***
Yudistira masuk ke dalam cafe yang sudah ia rintis sejak kelas satu SMA. Setelah pulang sekolah ia sempatkan kesini untuk mengecek. Yudistira membuka jaketnya yang basah kuyup karena air. Diluar hujan sangat deras.
"Bos ada yang mau lamar kerja?" Suara Riski membuat Yudistira mendongak. Ia menatap aneh Riski, dia sudah menyerahkan tugas jika ada yang mau melamar pekerjaan melalui Riski ini kenapa diserahkan padanya.
"Kenapa tidak kamu urus aja?"
"Begini bos, dia masih SMP. Saya tidak tega nolak."
"Dimana dia?"
"Di ruangan bos."
Yudistira menghembuskan napas, kemudian keruangannya. Benar saja ada seorang gadis dengan seragam putih biru diselimuti jaket duduk di sofa. Gadis itu nampak terkejut melihat kehadirannya yang tiba-tiba.
"Kamu mau melamar pekerjaan?" Tanya Yudistira, ia duduk di atas meja.
"Iya." Gadis itu penasaran dengan pria berseragam putih abu-abu di depannya. Apa mungkin pria itu adalah pemilik cafe ini? Rasanya sangat tidak mungkin.
"Sebutkan nama dan umurmu?"
"Naomi Lee umur 14 tahun." Yudistira terdiam mendengar penjelasan gadis itu. Sial! Usianya bahkan belum genap 15 tahun.
"Agama?"
"Rahasia."
"Oke."
"Tunjukkan KTP mu?" Yudistira penasaran dengan gadis itu.
"Saya belum punya." Balasan gadis itu membuat Yudistira sadar akan kebodohannya. Gadis ini belum berumur 17 tahun.
Yudistira menghela napas memijat kepalanya yang tiba-tiba berputar. Gadis ini benar-benar aneh untuk ukuran umur 14 tahun. Ini kali pertama Yudistira menemui anak kecil yang mencari pekerjaan. Mungkin dia memiliki masalah dikeluarganya. Maklum usia remaja masih labil.
"Alasan kamu ingin bekerja disini?"
"Saya butuh uang untuk biaya sekolah SMA."
"Memangnya dimana keluargamu? Sampai kamu harus bekerja."
"..."
Naomi enggan menjawab. Ini masalah keluarganya tidak mungkin ia mengatakan jika ibunya tidak mau membiayai sekolahnya. Sejak kematian ayah, ia dibenci ibunya. Ibunya lebih menyayangi kakaknya. Bahkan ibunya menyuruhnya berhenti sekolah untuk bekerja. Karena kakaknya akan kuliah tahun depan.
Naomi enggan melakukan perintah ibunya. Ia memilih untuk mencari uang sendirimembayar biaya sekolahnya. Disinilah dia sekarang untuk mencari partime. Ia tidak ingin ditindas. Meski oleh ibu kandungnya sendiri.
"Kenapa diam?"
"Saya butuh uang. Jika saya tidak punya uang maka saya tidak akan sekolah."
"Posisi apa yang ingin kamu lamar?"
"Chef."
"Apa?" Gadis ini benar-benar beda dari yang lain. Yudistira lagi-lagi takjub. Umur 14 tahun ingin jadi chef.
Ia kira gadis itu akan melamar sebagai tukang cuci piring atau pelayan.
"kamu bisa masak?"
"Bisa."
"Kalau begitu masakan untukku 3 menu utama dan satu desert, jika makananmu enak. Aku akan menerimamu." Ternyata dia memang bosnya. Untung Naomi tidak macam-macam.
"Baiklah."
Kemudian mereka pergi ke dapur. Yudistira mengamati gadis itu dari belakang. Ia terpesona dengan cara gadis itu masak begitu cepat, rapi dan bersih.Mulai dari memotong bahan, membuat bumbu dan menumisnya. Naomi terlihat
dewasa dari pada umurnya yang masih kecil. Kenapa bisa begitu?
Yudistira menggelengkan kepalanya. Ia tidak boleh tertarik pada gadis ini. Bukan hanya karena masih kecil, tapi juga karena Naomi tidak mengakui Tuhannya. Ia jadi penasaran agama gadis ini sebelumnya?
"Aku tunggu di ruanganku. Kalau sudah selesai kamu langsung saja kesana."
Perkataan Yudistira hanya dibalas anggukan oleh Naomi. Gadis itu bahkan tidak menatap Yudistira sama sekali. Tidak seperti gadis-gadis pada umumnya yang selalu menatapnya penuh minat. Apa dirinya sudah tidak tampan lagi? Kenapa Naomi bisa kaku seperti itu?
Yudistira kembali ke ruangan. Ia berganti pakaian, ia tidak ingin sakit karena memakai baju basah. Ia menyimpan pakaiannya di ruangannya, ada kamar disana. Khusus untuknya istirahat. Nanti ia akan menyuruh pegawainya
untuk membawa pakaian ke loundri. Beginilah enaknya jadi bos diusia dini.
Cafe yang ia dirikan bernama Moment, Yudistira punya moto dimana kita harus menghargai setiap moment yang
terjadi di hidup kita. Agar lebih banyak bersyukur. Konsep desain cafenya lebih ke nuansa monokrom, ada beberapa spot foto, dan fasilitas yang lengkap seperti Wifi.
Ketukan pintu menyadarkan Yudistira dari lamunannya. Ia bangkit dari sofa lalu membuka pintu. Ternyata Naomi yang mengetuk. Gadis itu datang membawa makanan. Baru mencium aromanya saja sudah membuat selera makan Yudistira tergugah, tampilan menu itu juga cantik.
Yudistira melebarkan pintu membiarkan Naomi membawa makanan itu masuk. Ia terpana melihat makanan yang dibuat Naomi. Perutnya bahkan bersorak kelaparan. Gadis itu memasak Beefsteak, Nasi Goreng dan Spaghetti carbonara. Sedangkan desertnya Naomi membuat puding mangga. Cukup cepat dengan waktu satu jam membuat makanan ini. Kenapa gadis ini tidak ikut MasterChef saja? Yudistira lagi-lagi mentertawai kekonyolannya.
"Silahkan makan pak.." Ucap Naomi.
"Kamu sudah makan?"
Naomi enggan menjawab pertanyaan Yudistira. Ia terlalu malu untuk mengatakan tidak. Ia belum makan dari tadi pagi. Ia tidak punya uang untuk membeli makanan di kantin sekolah. Sedangkan tadi pagi ibunya membeli sarapan
namun hanya untuk kakaknya saja.
"Makan bersamaku."
"Tapi pak.." Naomi enggan, ia merasa tidak sopan. Apalagi mereka baru bertemu. Ia takut jika dipandang jelek oleh bosnya.
"Makan tidak ada penolakan." Perintah Yudistira menyerahkan sepiring nasi goreng yang di lengkapi potongan telur, sosis dan siur ayam.
"Baiklah."
"Kamu ini makan saja harus dipaksa."
Naomi tidak membalas. Ia memilih untuk menyendok makanan pelan-pelan. Ia berharap semoga masakan sesuai selera Yudistira. Ia sangat membutuhkan pekerjaan ini. Ia harus merubah hidupnya menjadi lebih baik. Ia juga
ingin pindah dari rumahnya menjauh dari ibu dan kakaknya.
Yudistira berbinar merasakan makanan Naomi. Rasanya begitu enak, sangat pas di lidahnya. Dagingnya dimasak empuk dan bumbunya meresap rasanya candu untuk terus memakannya. Kenapa dari dulu ia tidak bertemu gadis ini? Ia pasti akan makan enak setiap hari. Ia penasaran darimana gadis itu belajar masak. Bahkan masakan ibunya kalah.
'maaf bun.' bisik Yudistira dalam hati.
"Kamu belajar masak dari mana?"
"Saya belajar sendiri." Dari kecil ia sudah suka memasak. Ayahnya lah yang mengajarkannya.
"Kenapa bisa seenak ini?"
"Tidak tahu." Naomi merasa ia masak seperti orang-orang pada umumnya dengan bahan dan cara yang sama.
"Mungkin keadaan." Gumam Naomi tanpa suara. Keadaan memaksanya untuk tumbuh dewasa di umurnya yang belum dewasa.
"Karena kamu masih SMP. Jam berapa kamu akan bekerja? Aku tidak ingin di teror orangtuamu atau gurumu karena menggangu sekolahmu."
'mereka tidak akan peduli.' balas Naomi dalam hati. Bahkan jika ia mati ibunya akan senang.
"Setelah pulang sekolah pukul 12 sampai jam 18." Naomi sudah merencanakan hal ini matang-matang. Ia menyusun rencana untuk menyambi sekolah dan bekerja. Ia juga akan bilang ke ibunya bahwa ada tambahan les di sekolah untuk ujian Nasional. Sehingga ia akan pulang pukul 6 sore.
Malamnya bisa ia manfaatkan untuk belajar dan mengerjakan PR. Ia harus pintar memanfaatkan waktu. Jika ia memiliki uang yang cukup maka ia akan pergi dari rumahnya. Ia lelah berada disana.
"Besok kamu bisa datang kesini untuk bekerja." Katakan Yudistira sudah gila menerima gadis kecil yang berusia 14 tahun untuk bekerja menjadi chef di cafenya. Semoga saja ia tidak dituntut komisi perlindungan anak seperti
si anjay yang lagi viral.
***
****
"Kamu mau pulang?" Tanya Yudistira.
Naomi bersiap pulang setelah membersihkan piring kotor. Ia tidak ingin menghabiskan waktu yang lama disini. Karena masih banyak yang harus ia lakukan di rumah. Baginya waktu itu sangat penting. Andai saja satu hari
48 jam ia pasti akan bahagia.
"Iya pak."
"Tapi diluar masih hujan." Ujar Yudistira tak yakin. Ia takut Naomi sakit.
"Sudah biasa pak. Lagipula hanya hujan air." Naomi begitu bersikeras untuk pulang.
"Sebentar aku carikan payung."
Naomi tidak ingin dibilang kurang ajar, ia menurut. Walau ia merasa janggal ada bos yang begitu baik dengan pegawainya. Namun ia tidak ingin kegeeran. Lima menit kemudian Yudistira keluar membawa sebuah payung
berwarna kuning cerah begitu mencolok jika di pakai. Apa payung itu punya Yudistira?
"Pakai ini."
"Baik pak terimakasih."
"Hati-hati." Naomi tidak menjawab. Ia lebih dulu keluar dengan berlari-lari kecil.
Yudhistira menghela napas, kenapa ia harus begitu perhatian dengan gadis kecil itu? Sadarlah Yudistira, anak itu masih SMP. Kemudian Riski datang menyapanya. Riski heran karena mempekerjakan bocah SMP. Bahkan sangat
perhatian dengan Naomi. Apakah si bos menyukai gadis kecil itu? Riski akui Naomi cantik dengan wajah oriental, kulit putih bersih, dan rambut hitam sebahu.
"Bos yakin Nerima dia?"
"Yup. Kayak gue nerima lo. Dia butuh uang buat sekolah." Yudistira merasa aneh kenapa ia tadi menggunakan kata "aku" dan "kamu" untuk Naomi. Padahal ia jarang menggunakan kata tersebut.
"Bos memang terbaik."
Riski adalah mahasiswa yang menyambi kerja disini. Ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kuliah itu mahal belum lagi biaya hidupnya. Untungnya ia bisa bekerja di cafe ini. Selain gaji UMR, pegawai juga mendapatkan jatah makan siang dan malam.
"Kalau besok dia dateng tolong bimbing dia. Besok gue agak sedikit terlambat ke cafe."
"Siap bos." Meski dia lebih tua dari Yudistira tapi ia sangat menghormati bosnya itu. Ia kadang kagum dengan anak SMA tersebut karena sudah memiliki cafe diusia yang masih muda.
***
Tiga puluh menit berjalan kaki, akhirnya Naomi sampai di rumah. Ia berharap tidak mendapat omelan dari
ibu dan kakak perempuannya. Kepalanya sudah cukup pening seharian ini. Masih ada banyak tugas sekolah yang belum ia selesaikan juga.
"Kenapa baru pulang??" Sisca berkacak pinggang menatap Naomi tajam.
"Ada les tambahan ma."
"Cepat masak makan malam dan cuci baju!" Perintah sang ibu.
Naomi mengangguk dengan malas. Ia masuk kedalam kamarnya sebentar untuk mengganti pakaian. Tubuhnya lengket dengan keringat dan air hujan. Ia menunda mandinya sebelum Sisca semakin menindasnya.
Cassandra sang kakak nampak sibuk menonton TV sambil main ponsel. Naomi iri ingin berada di posisi sang kakak. Kenapa ia harus dibedakan dengan sang kakak? Padahal ia juga anak kandung dari Sisca.
"Apa lihat-lihat sana kerja!! Mau diomelin mama." Naomi berdecih mendengar kalimat Cassandra. Ia baru tahu ada kakak yang menindas adiknya.
Naomi tidak ingin ambil pusing. Ia bergegas ke dapur mengelola beberapa bahan yang disiapkan Sisca. Naomi tebak ibunya pasti sedang tidur di kamar. Mereka semua bisa istirahat tapi dirinya harus melakukan pekerjaan tidak
berguna ini. Paling kecil ditindas lagi. Naomi ingin segera keluar dari rumah.
Mata Naomi berbinar melihat ati ayam. Ati ayam adalah favoritnya, ia akan membuat ati sambal balado, cah kangkung dan tahu goreng. Karena hanya itu yang disediakan Sisca. Naomi bersenandung sambil memotong bahan dan meracik bumbu. Padahal tadi ia sudah makan tapi perutnya masih terasa lapar.
Mungkin karena tadi pagi ia belum makan. Di tambah ia harus berjalan kaki dari sekolah ke cafe lalu ke rumah. Untung saja ia tidak pingsan. Bau harum masakan memenuhi ruangan. Ia menata lauk di meja makan. Rasanya sudah tidak sabar lagi untuk makan. Tepat saat itu ibu dan kakaknya datang.
"Siapa yang suruh kamu makan? Cuci baju sana."
"Tapi ma aku—"
"Nanti kami sisakan."
Naomi menelan ludah, kemudian mengangguk pergi. Ia benci dengan dirinya yang
lemah. Begitu memasuki kamar mandi ia kaget melihat begitu banyak baju di ember kotor. Ia heran dengan Cassandra berapa kali ia berganti pakaian sehari. Lagipula mana ada kakak yang bajunya dicucikan adiknya.
Mata Naomi terpejam sebentar, ia menghapus air mata yang jatuh. Ia tidak boleh cengeng. Ia harus kuat. Setelah ini ia akan mendapatkan hidup yang lebih baik dan keluar dari neraka. Ia mulai merendam baju-baju
tersebut. Tidak ada mesin cuci sehingga ia harus menggunakan tangan. Tubuh Naomi rasanya remuk. Ditambah bunyi bergemuruh di perutnya.
"Kita pasti akan makan tenang, tahan dulu." Ujar Naomi sambil mengelus perutnya yang lapar.
Selesai mencuci baju, ia menjemur pakaian di halaman belakang. Ia tersenyum
senang pekerjaannya selesai. Ketika ia berada di dapur untuk makan. Ia tersentak hanya melihat nasi, kangkung dan satu tahu goreng dengan porsi. Ia merasa diperlakukan seperti hewan peliharaan. Padahal ia
sangat mengharapkan ati ayam.
"Karena badan Lo kecil makan lo pasti juga sedikit." Kata-kata Casandra menusuk hati Naomi. Badannya kecil tapi ia melakukan pekerjaan dengan ekstra tidak seperti kakaknya yang hanya bersantai-santai saja.
"Apa mau protes? Gue bilang mama biar nggak dikasih makan sekalian.Seharusnya Lo itu bersyukur masih mau di tampung sama mama. Nggak dibuang di jalan. Gara-gara lo kita harus kehilangan ayah."
Naomi terdiam memilih untuk melanjutkan makan. Ia benci jika Cassandra sudah membahas itu. Ayahnya meninggal bukan karena dirinya. Naomi menyelesaikan makan dengan cepat lalu ke pergi untuk mencuci piring.
Disaat itu ia tertawa melihat banyak tumpukan piring kotor. Bahkan hal sekecil ini harus ia yang lakukan.
Dulu mereka memiliki pembantu namun setelah ayahnya meninggal. Tidak ada pemasukan, jadi Naomi yang harus bertanggung jawab mengerjakan pekerjaan rumah mulai dari nyapu hingga memasak. Tangan Naomi bergetar menyuci piring-piring tersebut. Ia harus cepat selesai membersihkan semua ini. Masih banyak tugas sekolah yang belum ia kerjakan.
Setelah menyuci piring Naomi pergi ke kamar. Ia membuka tas mengambil beberapa buku tugas dan mengerjakan. Beruntung ia memiliki otak yang pintar sehingga tidak kesulitan mengerjakan. Hanya dalam waktu satu jam semua
tugas sekolahnya selesai.
Naomi membuka jendela kamar. Lalu menyalakan korek api kayu. Dari kecil ia selalu menyukai benda ini. Ia menyukai kisah si gadis kecil penjual korek api dimana keinginannya terkabul setiap kali menyalakan korek api.
Walau impian gadis kecil itu hanya terkabul di dalam mimpi.
"Ayah kenapa kamu pergi meninggalkanku sendirian. Aku ingin pergi bersamamu ayah. Aku ingin menjadi debu sama sepertimu yah. Mama dan kakak tidak mencintaiku." Naomi menangis lalu api pada korek padam. Ayahnya
meninggal bukan karena dirinya. Tapi kenapa ia terus disalahkan.
"Ayah aku ingin bahagia. Apakah itu salah?"
***
Naomi menghela napas, lagi-lagi hujan. Bel masuk disekolahnya akan berbunyi tiga puluh menit lagi. Naomi harus sampai ke sekolah sebelum terlambat.Andai saja ia punya uang, ia akan menaiki bis. Ia iri dengan sang kakak yang pergi menggunakan taksi online. Ibunya pilih kasih, bukannya ia juga anaknya dan dilahirkan olehnya kenapa ia tidak diakui.
Payung kuning pemberian Yudistira berada digenggamannya. Senyum disudut bibirnya mengembang, dia beruntung bertemu Yudistira. Lalu Naomi keluar menggunakan payung tersebut. Hujannya begitu deras, rasanya percuma
menggunakan payung. Bajunya sedikit basah. Seragamnya ia taruh di tas.Agar ketika sampai sekolah ia bisa mengenakan seragam yang tidak basah.
Naomi terus melangkah tidak peduli hujan yang menerjang. Namun sebuah motor tiba-tiba berhenti di depannya. Naomi terkejut melihat seorang pria dengan jas hujan kalilawar dan helm hitam. Ia tidak mengenal siapa dia.
"Naik!!"
"Maaf kamu siapa?"
Pria itu membuka kaca helmnya. Saat itu juga Naomi menahan napas mengetahui pemiliknya. "Pak bos." Gumam Naomi.
"Cepat naik masuk ke dalam jas hujan ku." Naomi mengangguk, sebelum menutup payung. Ia memakai hodie di kepala. Meski ragu Naomi akhirnya naik ke atas motor dan menyembunyikan tubuhnya yang kecil di belakang jas hujan Yudistira. Mereka berbagi jas hujan.
Naomi meneguk ludahnya ketika kepalanya harus berhadapan dengan punggung tegap Yudistira. Seharusnya ia menolak tawaran bosnya. Ia tidak bisa melihat keadaan luar karena ia bersembunyi di balik jas hujan. Hanya
suara hujan yang menetes dari langit yang bisa ia dengar beserta deru suara motor.
Seketika Naomi ingat, ia belum memberitahu alamat sekolahnya. Ia keluar dari jas hujan tersebut. Mendekatkan diri ke arah pria ini. "Pak bos Saya sekolah di-" belum selesai Naomi menjelaskan Yudistira lebih dahulu memotongnya.
"Aku sudah tahu. Masuk kedalam sebelum kamu kebasahan."
Naomi menurut kembali menyembunyikan diri. Mungkin Yudistira tahu dari form yang ia isi kemarin sebagai data pegawai. Naomi tersenyum tanpa sadar. Ia harus berterimakasih pada Yudistira. Tanpa pria itu ia akan datang
terlambat dan kebasahan.
Motor Yudistira berhenti. Naomi yakin itu artinya ia sudah sampai. Ia keluar dari persembunyiannya. "Pakai payungnya." Suara itu membuat Naomi mengangguk patuh.
"Terimakasih pak bos."
"Ini buat kamu." Yudistira menyerahkan dua lembar lima puluh ribuan.
"Apa ini pak?" Tanya Naomi bingung.
"Gajimu kemarin. Aku akan membayar gajimu harian."
"Tapikan saya belum bekerja pak."
"Itu bayaran karena telah memasak makanan untukku. Lebih baik kamu masuk sekarang. Jangan lupa makan agar kamu nanti bisa bekerja dengan baik di cafeku." Setelah mengatakan itu Yudistira langsung menstater motornya
meninggalkan Naomi.
"Terimakasih." Gumam Naomi melihat kepergian Yudistira.
Naomi langsung masuk ke dalam sekolah. Ia ke kamar mandi sebentar berganti pakaian. Lalu ke kelas. Ketika ia masuk teman sebangkunya menyambut Naomi. Setidaknya di sekolah ada orang yang peduli dengannya. Namun ada satu orang yang membencinya karena Naomi selalu lebih unggul di akademik.
"Aku kira kamu bakal nggak dateng." Ucap Nara mengingat dua hari yang lalu hujan deras. Naomi tidak datang.
"Aku udah absen dua kali." Gumam Naomi sedih tidak ingin menambah daftar absennya.
"Bener pasti nanti Cintya kesenangan ngeliat peringkat kamu turun." Peringkat juga dipengaruhi oleh kedisiplinan. Naomi sudah dua kali alpha. Ia tidak ingin peringkatnya turun.
Setelah itu bunyi bel sekolah masuk berbunyi. Guru datang memulai pelajaran. Kelas yang tadinya berisik jadi sunyi seketika.
"Kumpulkan tugas kalian sekarang. Yang tidak mengerjakan silahkan berdiri di depan."
Naomi bernapas lega ketika tugasnya dibawa. Dulu pernah tiba-tiba buku tugasnya hilang dari tas. Padahal ia sudah menaruhnya, sehingga ia di hukum. Guru yang menghukum tersebut kecewa dengannya karena Naomi
terkenal pintar dan baik. Sejak saat itu Naomi berhati-hati ia tidak ingin mengecewakan gurunya.
"Kamu lagi?" Pak Arkin menatap tajam ke arah Leo. Karena anak ini berulang kali tidak mengerjakan tugasnya.
"Kali ini alasannya apa?"
"Buku tugas saya di robek adik saya pak."
"Saya tidak terima alasan seperti itu. Kamu berdiri di depan."
Naomi tidak sengaja menatap Leo. Ia menggelengkan kepala khawatir dengan sikap cowok ini. Sudah bodoh, pemarah, sering bolos, konyol, suka berkelahi dan tidak pernah mengerjakan PR. Mau jadi apa nanti di masa
depan?
"Saya akan tukar tugas kalian. Naomi dan Rio maju tolong bagikan buku ini secara acak." Naomi mengangguk menurut, ia membagikan buku-buku tugas tersebut tidak sesuai nama. Kemudian pelajaran terus berlanjut.
***
"Kamu mau ke kantin atau perpustakaan?" Tanya Nara.
"Kantin, aku lapar." Ucapan Naomi membuat Nara terkejut. Baru kali ini Naomi mau pergi ke kantin. Biasanya temannya itu lebih suka menghabiskan waktu untuk belajar dari pada makan.
"Jadi sekarang kamu bisa lapar?"
"Emang aku bukan manusia apa nggak bisa lapar?"
"Tumben aja."
"Yaudah yuk keburu masuk."
Mereka pergi ke kantin. Naomi senang sekali, akhirnya ia bisa makan. Biasanya ia akan menahan lapar di perpustakaan. Ia berbohong pada temannya jika ia tidak punya uang. Ia tidak ingin temannya tahu rasa sakitnya.
Melihat banyak sekali menu makanan. Naomi bingung ingin membeli yang mana. Ia juga berusaha irit agar bisa menabung. Tujuan utamanya mendapatkan uang adalah untuk bisa pergi dari rumah.
"Kamu pesan apa?" Tanya Naomi pada Nara.
"Bakso sama jus jeruk. Kamu?"
"Nasi soto sama es teh sepertinya enak." Alasan lain adalah harganya yang jauh lebih murah dibanding menu lainnya.
"Ayo cari tempat keburu penuh." Mereka duduk di sudut kanan kantin.
"Kamu agak beda loh hari ini Naomi?"
"Beda apanya?"
"Lebih ceria. Ada apa? Biasanya kamu kelihatan pucet."
"Nggak ada apa-apa kok."
"Kamu mah gitu hobinya bilang nggak ada apa-apa." Naomi tidak suka berbagi masalah pribadinya. Semakin dikit yang tahu semakin bagus. Kalau dia bicarakan ke orang lain pasti bisa menyebar dengan mudah.
"Namanya juga cewek." Nara cemberut mendengar balasan Naomi.
Kemudian makanan mereka datang. Naomi dan Nara menyantap makanan tersebut dengan saling mengobrol membahas materi tadi. Naomi lebih suka membahas tentang pelajaran dari pada gosip yang tidak penting. Sejak kematian ayahnya tekad hidupnya berubah. Ia hanya ingin melakukan hal-hal yang berguna untuk membangun masa depannya.
***
Bel pulang berbunyi, Naomi sudah tidak sabar dihari pertamanya bekerja. Ia tidak boleh terlambat. Tadi ia mendapat tugas untuk menaruh buku di ruang guru sebelum pulang. Untungnya hanya sebentar bisa ia selesaikan. Sekarang ia keluar dari sekolah menuju cafe moment.
Naomi berjalan menyusuri gank, ia tidak memakai uangnya untuk naik bis atau ojek. Lebih baik uangnya nanti ia pakai untuk pulang. Agar bisa menghemat tenaganya ketika sampai rumah. Ia harus pandai menghemat uang.
Langkah kaki Naomi tiba-tiba berhenti. Mendengar suara ribut, matanya terbelalak melihat sekumpulan anak SMA menghajar anak SMP. "Polisi.. polisi..." Teriak Naomi membuat anak-anak SMA itu lari. Naomi menghela napas lega untungnya anak SMA tersebut percaya.
Anak SMP yang dihajar tersebut terbaring di jalan. Naomi kaget melihat Leo. Jadi ia baru saja menyelamatkan anak nakal dikelasnya. "Kamu baik-baik saja Leo?"
"Thanks.." Leo bersyukur Naomi menolongnya. Andai saja gadis itu tidak datang mungkin ia akan mati.
"Mau kerumah sakit?"
"Tolong telpon Anton buat jemput gua." Anton adalah teman sekelas mereka.
"Pinjem ponselmu."
"Pake punya lo aja."
"Aku nggak punya." Leo menghembuskan napas berat. Kemudian merogoh sakunya. Menyerahkan ponsel tersebut pada Naomi. Ia baru tahu di jaman yang modern seperti ini. Ada orang yang tidak punya ponsel.
Naomi menghubungi Anton, untunglah pria itu cepat respon. "Aku pergi dulu ya kalau gitu." Ujar Naomi merasa tugasnya selesai. Ia memakai Hoodie dikepalanya lalu lari meninggalkan Leo.
"Hey gadis bodoh! Lo tega biarin gua sendirian kayak gembel disini." Leo menatap Naomi marah. Merasa dilecehkan karena gadis itu pergi begitu saja.
Naomi pura-pura tidak mendengar, ia harus sampai ke cafe cepat. Lagipula ia sudah menolong Leo. Sebentar lagi Anton akan sampai. Semoga saja Naomi tidak terlambat sampai ke cafe. Ia tidak ingin Yudistira kecewa dengannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!