Tok! Tok! Tok!
"Kak! Ibu memanggil Kakak untuk datang ke ruang tamu!"
Suara ketukan pintu dan juga teriakan seorang anak kecil menghentikan aktivitas seorang gadis yang sedang melipat baju di dalam kamar. Kamar yang sudah ia tempati sejak berusia 3 tahun.
Gadis bernama Jingga itu berdiri dari duduknya dan membuka pintu kamarnya. "Tolong katakan pada Ibu, Kakak akan ke sana sebentar lagi," ucapnya pada gadis kecil yang menggendong boneka teddy yang sudah lusuh.
Gadis kecil itu mengangguk dan berlari kecil menuju ruang tamu. Jingga kembali masuk ke dalam kamarnya dan berganti pakaian dengan yang lebih layak.
Selang 5 menit, Jingga keluar dari kamar dan menghampiri Ibu yang sudah merawatnya selama 19 tahun di sini.
"Ibu," sapa Jingga saat sudah sampai di ruang tamu. Di hadapan Ibunya, ada seorang pria yang masih terlihat muda secara terang-terangan menatapnya.
"Duduk, Nak" perintah Ibu dan menarik pelan tangan Jingga agar duduk di kursi kayu yang ada di sampingnya.
Jingga menurut tanpa banyak bertanya, "Silahkan perkenalan diri Anda, Tuan," ucap Ibu panti kepada pria yang sedari tadi tidak mengalihkan tatapannya dari Jingga.
"Nama saya, Jerry Januarta. Ayah kandung kamu!"
Ibu panti menatap Jingga yang tampak terkejut dan mengelus punggung tangannya dengan sayang. "Ayah?" cicit gadis itu.
"Ya! Saya Ayah kamu. Saya pernah membuat sebuah kesalahan dan akhirnya lahirlah dirimu. Maaf, jika Ayah baru menemuimu sekarang," jelas pria yang mengaku ayah jingga dengan penuh sesal.
Jingga, selama 19 tahun tinggal di panti asuhan, sejak di tinggal oleh ibunya saat ia baru berusia 3 tahun, tidak pernah sekalipun ada yang datang mencari dan mengunjunginya.
Selama ini, tak ayal selalu terbesit rasa iri di hatinya kala ada beberapa anak asuhan yang diadopsi dan memiliki keluarga baru. Dia sudah berhenti berharap untuk diadopsi saat usianya 13 tahun.
Sekarang, saat ia sudah berdamai dengan keadaan, tiba-tiba datang seorang pria yang merupakan ayah kandungnya?
"Apa benar jika Anda adalah Ayah saya? Kenapa Anda baru menemui saya sekarang? Kenapa Ayah meninggalkan Ibu dan saya saat itu?"
Jerry menatap Jingga dengan dalam. "Ayah sudah berusaha mencarimu dan ibumu selama ini, Ayah bukannya meninggalkanmu dan ibumu. Keadaan lah yang membuatnya demikian," jawabnya.
"Ayah akhirnya mengetahui jika ibumu sempat membawamu ke panti asuhan sebelum meninggal. Untuk menebus kesalahan Ayah, Ayah akan bertanggung jawab dan membawamu tinggal bersama."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Setelah bujukan yang cukup alot, di sinilah Jingga sekarang. Berdiri di depan sebuah rumah megah, rumah ayah kandungnya.
"Ayo masuk, ayah akan memperkenalkanmu kepada istri ayah dan Kakak-kakak kamu," ucap Jerry.
Jingga mengangguk pelan dan mengeratkan tangannya pada tali ransel yang berada di gendongannya.
Di ruang tamu, terlihat satu wanita yang masih tampak muda dan cantik sedang berbincang dengan ketiga laki-laki yang usianya tidak berbeda jauh.
"Sayang," panggil Jerry kepada wanita yang merupakan istrinya itu. Jingga berdiri di belakang ayahnya dengan perasaan takut.
"Oh. Kamu sudah pulang?" balas wanita itu dengan senyum lebar lalu berdiri dan mendekati suaminya. "Siapa yang kamu bawa?" tanyanya lagi saat melihat keberadaan Jingga.
Jerry menuntunnya kembali ke ruang tamu dan mengajak Jingga juga. Ketiga laki-laki yang merupakan anak Jerry menatap Jingga dengan tatapan yang berbeda.
"Sebelumnya, Ayah ingin meminta maaf kepada kalian. Perkenalkan, dia Jingga, adik kalian," kata Jerry di depan ketiga anaknya.
"Apa maksudmu? Siapa yang kamu maksud dengan adik?! Siapa gadis ini sebenarnya!" sentak Tania--istri Jerry.
Coba bayangkan jika suami yang sudah 3 hari tidak pulang karena pekerjaan, tiba-tiba pulang membawa seorang gadis dan memperkenalkannya sebagai adik bagi anak-anaknya?
"Aku akan menjelaskannya nanti. Tetapi, aku ingin kalian semua memperlakukan Jingga seperti anak dan adik kandung kalian sendiri," jelas Jerry.
Jingga kembali bersembunyi di belakang punggung lebar ayahnya. Tatapan tajam dari keempat pasang mata membuatnya menciut seketika.
"Anak? Jadi selama ini kamu bermain di belakangku?!" cecar Tania dengan wajah yang memerah.
"Tania, dengar! Jingga sudah tidak memiliki siapapun, selama ini dia tinggal di panti asuhan. Aku ingin mempertanggungjawabkan perbuatanku dulu dan membawanya tinggal bersama dengan kita. Tolong! Tolong terima dia dengan tangan terbuka."
Tania menatap tajam suaminya, "Kamu menyuruhku merawat anak dari selingkuhanmu?! Benar begitu?"
"Aku tidak sudi! Aku tidak akan pernah sudi menerima kehadirannya di rumah ini!!"
Setelah mengatakan itu Tania melangkah pergi dari ruang tamu. Wanita itu tidak menghiraukan panggilan dari suaminya.
"Jingga bisa kembali ke panti, Ayah. Akan lebih baik jika Jingga tinggal di sana," lirih Jingga dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
Jerry menatap sedih putrinya, "Tidak. Ayah sudah berjanji akan menjagamu mulai saat ini, kamu tanggung jawab Ayah."
"Drama murahan macam apa ini," decih salah satu anak laki-laki yang menyaksikan sedari tadi. Dia adalah Jean, anak kedua dari Jerry dan juga Tania.
"Jaga bicaramu, Jean!" sentak sang Ayah.
"Ayah lebih membela anak haram itu dibanding Kakak?"
Sekarang anak bungsu Januarta ikut berbicara, anak yang usianya 3 tahun lebih muda dari Jingga. Tetapi perkataannya mempu menyayat luka dihati Jingga.
"Jio!! Tarik kembali ucapanmu! Tidak ada anak haram di sini! Dia Kakakmu, panggil dia Kakak mulai saat ini," perintah Jerry.
Selama 19 tahun hidupnya, tidak pernah sekalipun sang Ayah membentaknya seperti ini. Sebagai anak bungsu ia selalu dimanjakan.
"Aku tidak akan pernah memanggilnya Kakak!! Kakakku hanya Kakak Jeje dan Kakak Jean!!"
Jio melangkah pergi setelah mengatakan itu, sekarang hanya tinggal Jerry dan kedua putranya serta Jingga. "Jason! Kamu yang tertua di sini, ayah harap kamu bisa menjaga Jingga dengan baik ke depannya," pinta Jerry kepada anak sulungnya yang sedari tadi hanya diam.
"Seperti yang Jio katakan, adikku juga hanya Jean dan Jio, tidak ada adik yang lain. Dia bukan adik Jason, dia orang asing yang berniat merusak keluarga kita," jawabnya dengan datar.
Anak Jerry dan Tania memiliki rentang usia yang sangat dekat. Jason anak sulung kini berusia 23 tahun, Jean si anak tengah berusia 22 tahun seperti Jingga. Serta si bungsu Jio yang masih berusia 19 tahun.
Ketiga anak laki-laki yang sedari kecil selalu bermain bersama dan bergantung satu sama lain harus di hadapkan dengan fakta baru jika dia memiliki adik hasil perselingkuhan ayahnya dengan wanita lain.
Bersambung
Sarapan yang biasanya di iringi dengan canda tawa hari ini terasa begitu dingin. Penghuni rumah lebih memilih memakan sarapannya dengan diam.
Jingga masih merasa aura permusuhan yang di layangkan untuknya dari semua sisi, kecuali dari sang Ayah.
"Jingga akan kuliah di kampus kalian," ucap Kepala keluarga di sela makannya.
Jean, yang dari awal sangat amat tidak menyukai kehadiran Jingga meletakkan sendoknya dengan keras. "Setelah membuat keributan di rumah ini, dia juga akan membuat keributan di kampus?" ucapnya dengan dingin.
"Kamu memang kepala keluarga di sini, tapi kamu tidak bisa mengambil keputusan sepihak!" Tania ikut menimpali.
Jerry menghela napas panjang, "Jingga orang baru di sini, lebih mudah jika dia satu kampus dengan kalian. Akan ada yang menjaganya di sana," ucapnya dengan menatap anaknya satu persatu.
"Tidak!! Jio baru saja mendapatkan banyak teman. Jio tidak ingin dijauhi jika mereka tau jika dia adalah anak hasil perselingkuhan Ayah!!"
"Kamu dengar?! Anak-anakmu menolak kehadirannya di sini, akupun begitu. Untuk apa kamu tetap mempertahankannya!!"
"Jika kamu ingin bertanggung jawab, cukup biayai hidupnya dan kembalikan dia ke panti asuhan!" murka Tania.
Jingga menundukkan kepalanya, dia benar-benar tidak di harapkan di sini. Lebih baik hidup seadanya di panti asuhan dari pada hidup di rumah mewah yang terasa tertusuk duri di setiap langkahnya.
"Cukup!! Aku sudah membawanya ke sini, dia akan tetap tinggal di sini. Keputusan mutlak!"
Setelah Jerry mengumandangkan kalimat itu, istri dan juga ketiga putranya pergi dari ruang makan. Sarapan yang masih tersisa banyak di piring ditinggalkan begitu saja.
"Jangan dengarkan mereka, mereka hanya masih terkejut. Lambat laun mereka akan menerimamu dengan baik di sini," ucap Jerry kepada Jingga dengan lembut.
Apakah benar begitu?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Suasana duka menyelimuti keluarga Januarta, wanita yang sudah melahirkan tiga putra serta menemani Jerry selama 27 tahun baru saja di makamkan 1 jam yang lalu.
Jerry langsung masuk ke dalam rumah setelah kembali dari pemakaman. Meninggalkan Jingga bersama Kakak dan juga adik tirinya.
Mereka bertiga menatapnya dengan penuh amarah. "Pembawa sial!!"
"Andaikan kau tidak datang, ibuku pasti masih hidup! Ibuku mati karena dirimu!!" teriak Jio. Laki-laki itu mendorong Jingga hingga jatuh ke lantai.
Jingga meringis merasakan sakit di bokongnya yang langsung menghantam kerasnya lantai marmer.
"Jangan harap kau bisa hidup tenang di sini," kata Jean dengan datar dan dingin. Dari ketiganya hanya Jean yang terlihat sangat tidak menyukai kehadiran Jingga.
"Ayo masuk! Jangan buang tenaga kalian hanya untuk sampah sepertinya," tukas Jason lalu melangkah masuk dan diikuti oleh kedua adiknya.
Air mata yang berusaha Jingga tahan luruh begitu saja. Tanpa ia sadari, Jerry menyaksikan semua itu dari jendela dengan diam.
Pagi ini, setelah acara sarapan yang berakhir adu mulut, Jerry mendapatkan panggilan jika sang istri mengalami kecelakaan dan meninggal saat perjalanan menuju rumah sakit.
Tidak ada yang tau takdir seseorang.
Jingga masuk ke dalam rumah dengan tertatih, sebelum masuk ke dalam tadi, Jean sempat menginjak telapak tangannya.
Rumah besar nan megah ini benar-benar terasa sunyi. Semua orang pasti merasa begitu kehilangan. Jingga yang baru bertemu dengan Tania juga merasakan hal yang sama. Apalagi mereka yang sudah hidup bertahun-tahun bersama.
"Ibu, Jingga rindu," lirih gadis itu saat sudah duduk di sofa yang ada di kamar yang sekarang ia tempati.
Jingga lupa bagaimana paras ibu kandungnya, ia ditinggalkan di depan panti saat usianya masih belia. Sudah pasti ia melupakan bagaimana wajah dari orang yang sudah melahirkannya.
Matahari sudah berganti dengan bulan, satu kepala keluarga dengan keempat anaknya duduk di ruang makan untuk makan malam.
"Makan," perintah Jerry kepada anak-anaknya.
Entah di sengaja atau tidak, Jean yang duduknya bersebrangan dengan Jingga menyenggol lengan gadis itu saat akan mengambil sayur. Sayur berserakan di atas meja.
"Hati-hati, bodoh! Lihatlah mejanya jadi kotor!" kata Jean.
Semua pasang mata menatapnya, "Aku sudah berhati-hati, kamu yang menyenggol tanganku," balas gadis itu mencoba membela diri.
"Untuk apa aku menyenggol tanganmu. Aku tidak sudi untuk bersentuhan denganmu!"
Sayang sekali, tidak ada yang melihat kejadian yang sebenarnya. "Lain kali lebih hati-hati," ucap Jerry dengan dingin. Suasana hatinya masih buruk.
"Baik, Ayah."
Hanya itu yang bisa Jingga ucapkan. Tidak ada gunanya dia memperpanjang masalah ini, dia tidak ingin memperkeruh suasana.
Makan malam berlangsung dengan cepat, tidak ada yang berselera untuk menyantap hidangan nikmat di atas meja. Semua orang kembali ke kamar masing-masing.
Jingga membuka pintu balkon dan keluar untuk melihat indahnya malam. Kepalanya mendongak ke atas menatap bulan yang dikelilingi ribuan bintang-bintang.
"Maafkan Jingga, Tante Tania. Jika Jingga tau kedatangan Jingga membuat semuanya menjadi rumit seperti ini, lebih baik Jingga hidup di panti saja. Semoga Tante tenang di alam sana," monolog Jingga.
Dalam perjalanan menuju rumah ayahnya kemarin, gadis itu tidak berhenti berdoa di dalam hati. Hanya satu kalimat yang dia ucapkan berkali-kali di dalam hati.
"Semoga istri ayah menerima Jingga dengan baik."
Kalimat yang sangat sederhana, tetapi sangat sulit untuk di wujudkan.
Tok! Tok!
Tok! Tok!
Tok! Tok!
Suara ketukan tidak sabaran membuyarkan lamunan Jingga. Gadis itu dengan cepat berbalik dan melangkah menuju pintu kamarnya.
Clek!
Pintu ia buka dari dalam, dengan pelan ia melihat siapa yang mengetuk pintu kamarnya. Laki-laki dengan tubuh tinggi kurus berdiri dengan angkuh di depan pintu.
"Ngapain sih! Lama banget buka pintu!"
Jingga yang belum terbiasa dengan laki-laki yang lebih muda darinya berdehem pelan. "Ada perlu apa, Jio?" tanyanya.
"Ayah menyuruhmu mencari barang di gudang. Barang penting, nanti taruh aja di depan kamar ayah," ucap Jio dengan malas.
Jingga menatap adik tirinya dengan bingung, "Jam segini?"
"Ini perintah Ayah! Apa kau ingin menjadi anak durhaka?!" sinis Jio. "Ayo! Aku akan mengantarmu sampai depan gudang," lanjutnya.
Mau tidak mau Jingga mengikuti langkah Jio setelah menutup pintu kamarnya. "Sana masuk! Aku akan menunggumu di sini," perintah anak itu saat sudah sampai di depan gudang yang letaknya jauh di belakang rumah.
Dengan perasaan gugup Jingga memutar kenop pintu, dia menatap Jio dengan melas. "Masuk! Nyalain aja lampunya," sentak Jio dengan mendorong Jingga agar segera masuk.
Setelah Jingga masuk, Jio dengan sangat pelan menutup pintu gudang dan menguncinya dari luar. Sedangkan di dalam, Jingga masih mencoba mencari saklar lampu, tetapi hasilnya nihil.
"JIO!! TIDAK ADA SAKLAR LAMPU DI SINI!" teriaknya.
"JIO! APA KAMU MASIH DI SANA! APA KAMU MENDENGARKU!!"
Tidak ada sahutan, Jingga mendekati pintu dan mencoba membukanya. Terkunci!
"JIO! BUKA PINTUNYA!! JIO!"
Gudang dalam keadaan gelap gulita, Jingga rasanya ingin menangis sekarang juga. "AYAH! KAK JASON! JEAN! TOLONG BUKA PINTUNYA!"
Jingga terus berteriak dan menggedor pintu gudang dengan keras dari dalam. Tidak ada yang merespon satupun, termasuk para pelayan.
Semua sudah di rencanakan oleh si bungsu, mengambil barang di gudang hanyalah akal-akalannya saja.
Jingga adalah orang baru, dia tidak tau jika gudang juga ruangan kedap suara. Mau sekeras apapun ia berteriak, tidak ada satupun orang yang akan mendengarnya.
"Ibu..." lirihnya dengan air mata yang sudah berlomba-lomba untuk turun dari pelupuk matanya. Malam ini sepertinya ia harus bermalam di ruangan gelap dengan suara tikus yang menemani.
Gelap, dingin, pengap, kotor. Tidak ada kasur dan alas, hanya dua lengan kurus yang ia gunakan untuk memeluk dirinya sendiri. Berharap esok hari ada seseorang yang mencari dan membukakan pintu untuknya.
Bersambung
"Dimana Jingga?" tanya Jerry kepada ketiga putranya.
Tidak ada yang menjawab dari ketiganya. "Panggil Kakakmu," perintahnya kepada anak bungsunya.
Jio langsung berdiri dari duduknya dan naik ke lantai atas, di mana kamar Jingga berada. Pemuda itu hanya bersandar pada tembok samping kamar Kakak tirinya. Setelah beberapa saat, dia kembali ke ruang makan.
"Sepertinya dia masih tidur, aku sudah mengetuk pintunya dan memanggilnya berkali-kali tetapi tidak ada jawaban," ucapnya.
Jerry menatap lantai dua dengan datar, "Makan," ucapnya lalu memulai mengambil nasi.
Lagi-lagi hanya ada suara dentingan garpu serta sendok yang menggema di ruang makan.
Jason yang sudah berada di semester akhir menyelesaikan sarapannya dan berangkat ke kampus terlebih dahulu. Jean tidak ada kelas hari ini, sedangkan Jio hanya ada satu kelas saat siang hari.
Di dalam gudang, Jingga menggigil kedinginan. Kedua lengan kurusnya tidak mampu menghalau dinginnya udara semalam. Bibirnya yang pucat mendesis pelan, badannya meringkuk merapat ke dinding.
Matahari semakin meninggi, tenggorokannya terasa kering, cacing-cacing di perut berdemo meminta asupan, demam melanda.
Jam antik di dalam rumah keluarga Januarta berdentang beberapa kali. Menandakan jika jarum panjang dan jarum pendek sudah berada di angka 12 tepat.
"Ji?" panggil Jean kepada sang adik yang melewati ruang keluarga.
"Ada apa, Kak?" tanya Jio lalu berjalan mendekati Kakaknya yang sedang asyik bermain PS. Sedangkan dirinya hendak pergi ke kampus.
"Apa kau melihat "orang itu"? Tidak mungkin dia kabur, kan?"
Hanya butuh sepersekian detik bagi si bungsu Januarta untuk memahami maksud Kakaknya. Pemuda itu melepaskan tas yang tergantung di pundak kanannya dengan kasar lalu melangkah cepat ke arah dapur.
Dia baru saja mengingat sesuatu.
Jean tampak acuh melihat adiknya, pemuda berusia 22 tahun itu kembali fokus menatap layar menyala di depannya dan melanjutkan permainannya.
"Kak! Kak Jean!" pekik Jio dari arah belakang.
Sang pemilik nama mendengus kasar. "ADA APA?!" teriaknya. Tatapannya tidak teralihkan sama sekali. Jarinya menari-nari di atas stik PS, sebentar lagi dia akan menang.
"TOLONG!! CEPAT KE SINI!" balas Jio dengan teriakan.
Jean masih tidak beranjak, terkadang adiknya itu memang sedikit lebay. Melihat ulat kecil saja hebohnya minta ampun.
"CEPAT KAK!! DIA SEKARAT!"
Melihat game yang ia mainkan berakhir dengan tulisan "YOU'RE A WINNER", Jean melempar stik PS nya dan melangkah ke arah suara adiknya.
"Ada apa? Awas saja jika tidak penting!" umpatnya ketika sudah melihat adiknya yang berdiri di depan gudang dengan wajah pias.
Jio menggigit bibirnya dan menunjuk ke dalam gudang yang pintunya sudah terbuka. Jean menaikkan sebelah alisnya dan mendekat, rasa penasaran mulai menyeruak.
Di buka pintu kayu itu lebih lebar, kaki panjangnya melewati ambang pintu. Matanya terbelalak kaget, "Apa yang sebenarnya sudah kau lakukan, Ji!" desisnya dengan gigi bergemeletuk.
Dengan jelas ia bisa melihat gadis yang sedari pagi tidak ia lihat, dengan hanya menggunakan kaos tipis serta rok sepanjang lutut, Jingga sudah tidak sadarkan diri dengan posisi meringkuk seperti bayi yang masih di dalam kandungan.
Jean mendekati Jingga dan segera membawa tubuh ringkih itu ke dalam gendongannya. Dengan langkah lebar, pemuda itu membawa Jingga ke kamar.
Jio mengikuti di belakang merasakan sedikit rasa bersalah. Sungguh, ia hanya ingin memberikan sedikit pelajaran kepada anak selingkuhan ayahnya.
Dia benar-benar lupa, padahal saat ayahnya menyuruh untuk memanggil gadis itu ia mengingatnya dan berniat membuka gudang setelah selesai sarapan.
Nyatanya selesai sarapan ia sibuk bermain game bersama teman onlinenya sehingga melupakan niatnya sebelumnya.
"Berpikirlah dewasa! Bagaimana jika Ayah tau perbuatanmu? Aku tau kau membencinya, akupun sama, tapi jika sampai dia kehilangan nyawa, Ayah tidak akan segan untuk mengusir kita" ucap Jean setelah membaringkan Jingga di atas kasur.
Jio menatap ke arah lain, tidak berani menatap sang Kakak. Dari mereka bertiga, Jean yang memiliki kontrol emosi paling buruk.
"Maaf," cicitnya pelan. "Aku hanya ingin memberikannya sedikit peringatan, aku benar-benar lupa untuk membuka gudang kembali," lanjutnya.
"Lain kali jika kau ingin bermain-main dengannya, diskusikan dulu denganku atau Kak Jason," peringat Jean. Pemuda itu baru saja selesai menghubungi dokter keluarga agar datang.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jingga membuka kedua kelopak matanya dengan pelan, kepalanya terasa berputar-putar. "Shhh" desisnya sembari memegangi kepalanya.
Dia berusaha mendudukkan tubuhnya dan bersandar pada headboard, matanya mengedar dan menyadari jika dia sudah berada di dalam kamar yang sudah ia tempati selama 3 hari.
Pintu kamarnya terbuka dari luar, "Kau sudah bangun?" tanya orang itu.
"Berbaring saja," lanjut orang yang mendekat ke arahnya dengan membawa nampan berisi makanan.
"Makanlah walau sedikit, kau harus minum obat agar sembuh," ucap orang itu lagi. Nampan tersebut ia taruh di atas nakas dan mengambil semangkuk bubur yang baru saja selesai ia masak.
Jingga menatap orang itu dengan diam, dia sama sekali tidak mengenal pria yang mengenakan kemeja berwarna dongker di depannya itu.
"Aku dokter pribadi keluarga Januarta," ucap orang itu memperkenalkan diri. "Panggil saja Kak Doni," tambahnya di iringi senyum manis yang memikat.
Tidak tau ingin merespon seperti apa, Jingga mengangguk singkat.
"Apa kau ingin ku suapi?" tanya Dokter Doni.
Jingga menggeleng pelan, "Terima kasih tawarannya, Saya akan makan sendiri," balasnya.
"Baiklah. Setelah makan, minum obat yang sudah aku siapkan. Aku akan keluar dulu," ujar Dokter Doni dan beranjak untuk keluar dari kamar.
Di ruang keluarga, Jean duduk dan menatap datar ke arah lantai atas. Setelah beberapa saat, dia bisa melihat Dokter keluarganya yang berjalan menuruni tangga.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Anak itu hampir saja dehidrasi, untung saja belum terlambat," ucap Dokter Doni dan ikut duduk di sofa bersama Jean.
"Jio menguncinya di gudang semalam hingga siang ini," jawab Jean datar.
Dokter Doni menggelengkan kepalanya tidak habis pikir, "Memangnya siapa gadis itu?" tanyanya penasaran. Selama dia menjabat sebagai dokter pribadi keluarga Januarta, baru kali ini ia melihat gadis itu.
"Anak selingkuhan Ayah."
Dokter Doni tersedak air liurnya, "Ayahmu memiliki selingkuhan?! Dia juga sudah memiliki anak sebesar itu?" tanyanya dengan raut tak percaya.
"Apa benar Jerry berselingkuh dari Ibumu? Aku saksi bagaimana tergila-gilanya ayahmu dulu pada Ibumu sedari masa kuliah," lanjut pria yang tak lain merupakan teman Jerry dan juga Tania.
Jean mengedikkan bahunya acuh. "Ayah sendiri yang mengatakannya. Gara-gara kedatangannya, kami kehilangan Ibu. Semua gara-gara dirinya," ucapnya dengan kedua tangan terkepal dan tatapan tajam mengarah ke lantai dua.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!