Langkah seorang wanita lusuh begitu cepat, dia terus melangkah melewati beberapa batu kerikil seraya mendekap seorang bayi mungil yang ada di gendongannya. Sampai di depan rumah kuno bertuliskan panti asuhan wanita itu buru-buru memasuki pekarangan rumah dan mengetuk pintu tersebut. Tak lama seorang wanita berumur 30 tahun membuka pintu.
"Yildiz,," sambut wanita itu.
"Ane, tolong jaga anakku, orang-orang itu masih mengejar ku" wanita lusuh itu menyerahkan bayi dalam gendongannya pada wanita yang menyambutnya itu adalah kepala panti, kepala panti menerima bayi itu dan menggendongnya, dilihat bayi itu sangat lucu dan manis seperti ibunya.
"Siapa nama anakmu Yildiz?"
"Namanya Asiyah Binti Yildiz, aku menggunakan margaku karena nasab anak itu padaku Ane, waktu ku tak banyak" Yildiz menyeka air matanya. Lalu dia berderap pergi dari panti tersebut.
Beberapa hari kemudian terdengar bahwa budak seorang saudagar kaya raya di kota tersebut telah meninggal karena di bunuh. Dan polisi tidak tahu siapa pembunuhnya karena kasusnya telah di tutup.
Ibu panti menatap nanar bayi yang ada di ranjang kecil, bayi itu semalaman menangis dan kini baru bisa tertidur.
"Asiyah, kamu kelak harus menjadi wanita hebat seperti Asiyah istri Firaun, dia wanita cantik dan keteguhan hati dan keimanannya sungguh luar biasa nak!"
Hari berganti hari tak terasa sepuluh tahun sudah waktu berlalu bayi yang dulu mungil sekarang sudah besar dan hampir menginjak kata remaja. Di depan panti terparkir sebuah mobil milik donatur tetap panti ini yaitu tuan Samer dan ibu Luci, berumah tangga hampir 15 tahun mereka tidak di karuniai seorang anak, sehingga saat ini mereka memutuskan untuk mengadopsi salah satu anak panti tersebut dan yang mereka pilih adalah Asiyah. Kini Asiyah sudah siap dengan tas jinjingnya, dia menyeka air matanya dan berpamitan pada teman-temannya, di panti mereka saling menyayangi meski berbeda umur ada yang lebih besar dari Asiyah ada yang masih kecil, tapi mereka saling menyayangi karena ibu panti selalu mengajari mereka tentang kasih sayang dan rasa tanggung jawab.
"Nak, kamu sekarang sudah punya keluarga baru, berbaktilah pada mereka sayangi mereka seperti kamu menyayangi kita disini" pesan ibu panti pada Asiyah. Asiyah mengangguk dan memeluk erat ibu panti. Di depan sudah ada keluarga baru yang menyambut Asiyah.
"Ayo nak, ikut kami, sekarang namamu adalah Asiyah Yildiz Samer" kata lelaki matang yang menyambut Asiyah. Asiyah mengangguk dan mengikuti langkah kaki lelaki matang itu bersama istrinya menuju mobil.
Sampai di rumah yang agak besar mobil itu berhenti dan disanalah Asiyah tinggal bersama dengan keluarga barunya, tuan Samer begitu baik pada Asiyah berbeda dengan nyonya Lusi. Tapi asisten rumah tangga mereka begitu baik pada Asiyah karena Asiyah gadis yang sopan dan mandiri. Meski Asiyah di adopsi tapi Asiyah tinggal di paviliun bersama ART. Tapi Asiyah masih bersyukur karena tuan Samer menyekolahkan Asiyah. Satu tahun kemudian nyonya Lusi melahirkan seorang putri dan sejak saat itu Asiyah di suru untuk menjaga anak dari nyonya Lusi yang bernama Zena Samer. Sepulang sekolah Asiyah menjaga Zena sampai malam, dan Asiyah begitu sayang pada Zena sampai dia selalu mengalah demi Zena. Semua itu dia lakukan karena sebuah kata balas Budi.
🌸🌸🌸
Cahaya mentari menembus gelapnya ruangan sempit yang ku tempati, entah berada dimana diriku, terpenjara saat ini karena sebuah kesalahan yang tak pernah aku perbuat. Bahkan kesalahan apakah yang telah di lakukan sampai mereka begitu geram dan benci padaku. Takdir, apakah aku harus menyalakanmu? ataukah aku harus ikhlas menerima semua ini demi sebuah kata bakti. Bertahun-tahun aku selalu menjaga dan menyayangi anak dari orang yang sudi mengadopsi ku, aku menyayangi mereka dengan sepenuh hati. Mungkin inilah bakti yang bisa ku berikan pada keluarga orang tua angkat ku. Serpihan masa laluku terus ku tulis dalam paling hatiku. Begitu juga saat ini diriku menjadi tawanan seorang karena sebuah kesalahan yang di lakukan adik angkat ku. Haus, tenggorokanku sangat kering sudah dua hari aku tidak minum bahkan makan. Ingin ku berpuasa tapi dalam agamaku tidak menginjinkan berpuasa sehari semalam suntuk.
Miris.
Mungkin itulah kata yang tepat untuk ku sekarang. Aku menarik nafas panjang. Lewat celah-celah kecil fentalasi udara itu aku bisa tahu kalau saat ini sudah pagi dan aku menjalani hidup di penjara ini sudah dua hari. Terdengar derap beberapa langkah seseorang berjalan mungkin mereka berhenti tepat di depan ruang ini.
Klik
Terdengar pintu terbuka, mataku menyipit melihat beberapa orang yang masuk. mereka berhenti tepat di depanku, jujur saja tanganku gemetar tapi sebisa mungkin aku harus bersikap seperti biasa untuk menghadapi mereka semua. Jujur di penjara ini aku masih bersyukur karena mereka tidak mengikat tubuhku seperti yang ada di film atau sinetron. Tatapan mereka semua tertuju pada ku wajar saja saat ini aku adalah tawanan. Ya Tuhan lindungilah hambamu ini, semoga mereka tidak melakukan sesuatu yang paling ku takuti. Di saat aku terbuai dengan pemikiran ku ternyata suara lantang seseorang memecah sebagian lamunanku.
"Jadi kau-" suara lelaki yang tatapannya tajam dan tegas, lelaki itu nampak memerhatikan penampilanku dari atas sampai bawah.
"CK! munafik" hardiknya padaku. Aku hanya menunduk terdiam, jujur saja aku paling benci di kata seorang munafik, tapi aku sadar jika lelaki itu pantas menyebutku begitu karena pakaian yang ku kenakan saat ini merupakan pakaian muslimah yang tertutup mulai dari atas sampai ke bawah hanya mataku yang nampak. Ya, aku mengenakan niqob. Dan saat ini aku tersangka kasus manipulasi keuangan perusahaan milik lelaki itu.
"Kau tak lebih dari seorang teroris yang berkedok menjadikan agama untuk sebuah ambisi" talak nya lagi. aku memejamkan mata sebisaku menahan rasa sakit atas ungkapan lelaki itu.
"Bawah dia ke ruangan ku!" titah lelaki itu pada anak buahnya.
"Siap tuan" dengan tegas anak buahnya menjawab. Lelaki itu melangkah terlebih dahulu meninggalkan tempat ini.
"CEPAT JALAN!" seru dua orang pria bertubuh kekar padaku. Saat ini aku hanya bisa menuruti mereka berjalan mengikuti arahan dua orang bertubuh kekar itu. Di jalan menuju ruangan itu ternyata yang kita lewati hanyalah sebuah lorong panjang dan sampai di pintu ternyata pintu itu adalah pintu yang menghubungkan lorong itu dengan sebuah markas besar dan banyak sekali lukisan serigala dan beberapa potret seseorang pria paruh baya yang wajahnya hampir mirip dengan lelaki yang menemui aku tadi mungkin dia adalah bapaknya. sampai di sebuah tangga yang menjulang kita menapaki tangga tersebut sampai tiba di sebuah ruang yang sepertinya sebuah ruangan untuk berkumpul atau meeting. Dua orang itu berhenti tepat di depan pintu yang bertuliskan Tom. Dua orang itu menyuruh ku masuk ke dalam. Betapa kagetnya aku saat melangkah memasuki ruang tersebut. Ruang yang komplit, beberapa buku tertata rapi berjejer di rak. Beberapa foto kelulusan menjadi picture di setiap dinding. Ternyata lelaki itu mengenyam pendidikan tinggi. Keluarganya juga sangat terkenal akan kekayaannya. Sesaat aku berfikir bagaimana bisa adik angkat ku berani bermain dengan keluarga ini, langkah kakiku terhenti di kala aku melihat tatapan mata tajam padaku. Jujur saja aku begitu takut akan nasib yang akan ku hadapi. Hanya Tuhan yang bisa membantuku. Lelaki itu berdiri dari tempat duduknya dan melangkah maju ke arahku. Langkah yang tegap dan tegas seakan dapat meremukkan setiap sendi dalam tubuh.
"Munafik!" hardiknya lagi seraya terus melangkah maju mendekati ku. Tapi aku melangkah mundur sampai tepat mentok di sebuah rak buku. Seringai lelaki itu menakutkan. Aku tak lagi bisa berkutik, tatapan mata lelaki itu begitu menghunus, segera ku tundukkan pandanganku. Jujur saja badanku bergetar hebat, tak pernah sekalipun dalam hidupku berdekatan dengan seseorang lelaki sedekat ini bahkan itu tuan Samer sekalipun. Ujung kerudung yang ku pakai ku remas kuat untuk menahan ketakutan ku. Apa yang akan di lakukan lelaki ini padaku. Ketakutan ku tak bisa ku bendung, kakiku sudah gemetar tak mampu lagi menopang tubuh ini, Tapi lelaki itu semakin dekat tatapannya menyeringai begitu menakutkan dan tangannya terulur menarik niqabku.
Srek...
Bruk..
Kakiku luruh, kini tubuhku terduduk di lantai, dengan sigap aku menutup wajahku degan kedua tanganku seraya duduk meringkuk. Lelaki itu sepertinya tambah geram, dan terdengar suara langkah kakinya menjauh.
BRAK
Mataku terus ku pejamkan mendengar suara pintu yang di tutup dengan keras.
"Astagfirullah hal Adzim" lirih ku beristighfar.
Hening, tak ada bunyi apapun, sedikit demi sedikit aku mulai membuka tanganku, dan mengintip, ternyata sudah tidak ada siapapun di ruangan ini kecuali aku. Aku bernafas lega.
"Alhamdulillah..." puji syukur ku panjatkan karena Tuhan ku telah melindungi ku. Ku sandarkan tubuhku di rak buku seraya menenangkan diri dan pikiranku. Mataku terarah ke penjuru arah guna mencari niqabku. Tapi aku tak menemukannya, dimana lelaki itu membuang nya. Lagi lagi aku bersyukur pada Tuhanku beruntung saat ini aku memakai kerudung segi empat yang besar, hingga aku dapat menggunakan sebagian untuk menutup wajahku.
"Allahu Akbar, Allah Maha besar, dia akan selalu melindungi hambanya!" yakinku mengucap takbir. Mengingat Tuhan ku aku merasa berdosa karena dari dua hari lalu aku belum melaksanakan kewajiban ku.
"Astagfirullah hal Adzim, aku tidak mengerjakan sholat dua hari karena aku di penjara dan tidak tahu waktu" lirihku sendiri.
Dan betapa kagetnya aku saat melihat jam digital yang tertera di dinding ruangan ini sudah pukul 1 siang.
"Ini sudah masuk waktu dhuhur, aku harus sholat" buru-buru aku berdiri dan mengedarkan pandanganku ke penjuru arah untuk mencari toilet. Tuhan sepertinya menuntunku untuk masuk ke sebuah ruang dan betapa kagetnya aku ternyata ruangan ini terhubung dengan kamar yang mewah. Aku tak tahu mungkin di setiap ruangan ini ada CCTV nya, tapi tekatku saat ini adalah melakukan ibadah sholat wajib. Aku mengitari setiap kamar untuk mencari kamar mandi dan beruntung aku menemukannya, dengan segera aku melepas kerudungku guna mengambil air wudhu dengan cepat aku menggunakan kerudungku kembali dan keluar dari kamar mandi, buru-buru aku melaksanakan kewajibanku. Meski aku sekarang tak tahu arah kiblat dimana karena tak ada orang yang bisa ku tanyai saat ini. semoga Allah menerima ibadahku.
🌸🌸🌸
🌸🌸🌸
Aku adalah dosen di salah satu kampus ternama di Mesir yaitu kampus Al Ashar. Aku mendapat beasiswa S2 di Mesir lima tahun lalu, berawal dari asisten dosen aku kini menjadi dosen, sedangkan S1 aku studi di Istanbul University itu juga lewat jalur beasiswa S1 aku memilih Jurusan HI (hubungan internasional).
Aku memilih tinggal di Mesir selama lima tahun ini karena selain mengajar kehidupanku disini lebih tenang dan damai, meski tak di pungkiri aku masih berhutang Budi pada keluarga tuan Samer. Semenjak lulus sekolah menengah atas aku mendapat beasiswa, sejak saat itu hubungan ku dengan keluarga tuan Samer renggang. Meski aku selalu menghubungi mereka tapi mereka selalu merijek. Padahal aku rindu pada mereka, dan selama lima tahun ini aku hanya bisa melihat postingan Zena lewat IG. Sempat aku DM tapi tak ada balasan. Getir, itulah yang ku rasakan sehingga satu Minggu lalu aku mendapat DM dari Zena. Betapa kaget juga senangnya hatiku akhirnya Zena mau membalas DM ku, selesai mengajar aku duduk di taman dan mengirim nomorku ke Zena. Dia meminta nomerku. Tak berapa lama dia menghubungiku.
"Assalamualaikum" salam ku saat menjawab telfon dari Zena.
'Wa'alaikum salam' jawab seseorang yang ku kenal suaranya, bukan Zena tapi nyonya Luci.
"Nyonya, apa kabar?" tanya ku agak gugup sekaligus senang.
'Buruk' jawabnya. Aku sempat terdiam sejenak untuk menelaah.
'Kau pasti bahagia disana' lanjutnya bertanya dengan ketus.
"Ada apa nyonya?" mencoba bertanya hanya itu kata yang bisa ku ucap.
'Kau lupa pada kami yang mengangkat mu!' sarkas nya.
"Tidak pernah akan lupa nyonya, karena kalian sudah bersedia mengadopsi ku, aku akan selalu ingat itu nyonya" balas ku.
'Tapi dimana kau saat kami susah?' sarkas nya kembali lebih geram.
"Aku selalu menghubungi kalian tapi kalian tak pernah merespon, maafkan aku" lirihku.
'Pulanglah ada sesuatu yang ingin di sampaikan suamiku padamu!' pinta nya. Begitu bahagianya hatiku mendengar seruan untuk pulang.
"Baik nyonya, sekarang juga aku akan pulang ke Ankara" jawabku pasti. Selesai mematikan sambungan telfon aku langsung menemui rektor untuk izin cuti beberapa hari dan aku menunjuk asistenku untuk menggantikan ku sementara.
~Ankara~
Langkahku pasti dan begitu bahagia saat kaki ini berayun melewati beribu orang lalu lalang di bandara ini dengan menyeret koper dan satu tas yang ku pegang di tanganku.
"Assalamualaikum Ankara, aku kembali" sambut ku pada kota kelahiran ku. Lima tahun sudah aku meninggalkan Ankara dan saat ini aku kembali.
Rindu...
Itulah kata yang cocok saat ini dengan perasaanku. Tak banyak berubah di sepanjang jalan masih tetap sama seperti lima tahun lalu saat aku meninggalkan negara ini untuk studi di negara tetangga. Dan sampai di depan rumah yang agak besar dari rumah tetangga mobil yang membawaku berhenti. Aku menarik nafas dalam lalu keluar dari dalam mobil itu ketika sopir membukakan pintu untuk ku.
"Terima kasih" kataku setelah sopir itu menaruh koperku di sebelahku.
"Sama-sama" sopir itu langsung pergi meninggalkanku di depan pagar besi rumah tuan Samer. Rumah yang masih sama ketika pertama kali aku di ajak kesini saat usiaku 10 tahun. Sekarang musim hujan, langit nampak mendung mungkin sebentar lagi akan hujan. Ku seret koper ku dan ku coba membuka pintu pagar besi itu. Ya, pintu itu tak pernah terkunci dari dulu. Setiap langkah kaki, kenangan masa lalu terputar layaknya film, kenangan saat menjaga Zena bermain dengannya sampai ketika dia beranjak remaja. Entah kenapa Zena tidak begitu suka dengan ku, tapi sadar diri aku disini bukanlah siapa-siapa. Aku selalu mengalah pada Zena. Meski begitu sungguh aku sangat menyayangi keluarga tuan Samer.
Bunyi Guntur menggelegar sepertinya hujan akan turun dengan lebat. Buru-buru tangan ini menekan bel. Tak begitu lama pintu sudah terbuka.
"Maaf, ada yang bisa saya bantu?" tanya ART yang menyambut ku. Sepertinya dia tidak mengenaliku saat ini.
"Ammah" panggilku pada ART itu. ART itu menatapku dalam.
"Asiyah" tanyanya padaku.
"Ya ammah, ini aku Asi" jawabku mengangguk.
Grep..
"Apa kabarmu Asi?" Ammah memelukku.
"Alhamdulillah Ammah. Ammah apa kabar?" tanya ku pada ammah. Ammah adalah ART di rumah tuan Samer, namanya adalah Rabiah, suaminya menjadi sopir pribadi tuan Samer, mereka berdua tinggal di paviliun yang ada di rumah tuan Samer. Ya, dan aku dulu tinggal di paviliun itu bersama mereka. Ammah dan baba merekalah orang yang begitu baik padaku. Sayangnya ammah dan baba tidak memiliki ponsel, sehingga saat aku di Mesir tidak bisa menghubungi mereka, tapi sempat aku mengirim beberapa surat kepada mereka tapi tak ada balasan.
"Alhamdulillah kami sehat Asi" balas ammah melerai pelukannya.
"Apa nyonya menyuruhmu pulang?" tanya ammah padaku. Aku mengulas senyum seraya mengangguk. Tapi sepertinya wajah ammah seakan tersirat sedihan.
"Kenapa ammah? kalau aku pulang kan bisa bersama ammah dan baba" ammah tak menjawab.
"Ayo kita masuk, sepertinya akan turun hujan. kamu pasti capek, sebaiknya kamu istirahat dulu!" ajak ammah menyeret koperku.
"Ammah dimana nyonya Luci dan tuan Samer?" aku mencoba bertanya.
"Tuan Samer masih ada urusan, sedangkan nyonya Luci dan nona Zena ada di atas" jawab ammah masih terus menyeret koperku menuju pintu dapur yang tersambung dengan paviliun.
"Ammah, aku ingin bertemu mereka" kataku berhasil menghentikan langkah ammah.
"Nanti malam saja sekalian ada tuan Samer" kata ammah dan dia kembali melanjutkan langkahnya. Aku hanya menurut dan mengikuti langkah ammah. Sampai di paviliun ammah langsung membawa koperku ke kamar yang dulu ku tempati. Paviliun ini masih sama seperti dulu, dan saat sampai kamar ternyata ammah merawat kamarku dengan baik.
"Istirahatlah, aku akan siapkan makanan untukmu!" titah ammah. Aku mengangguk.
"Terima kasih ammah" ammah mengangguk dia hendak melangkah pergi tapi sebelum itu dia menatapku dalam.
"Asi, kamu bisa melepas cadarmu. Disini kamu bebas memperlihatkan wajah cantikmu!" kata ammah lembut. Aku mengangguk kemudian membuka cadar yang ku pakai. ammah tersenyum lembut dan membelai wajahku.
"Kamu sangat cantik nak, pantas saja nona Zena menyuruhmu menutup wajahmu karena dia merasa tersaingi oleh mu Asi" ungkap ammah mengingat masa lalu ku.
"Ammah, aku lebih nyaman memakai niqab saat ini"
"Ya, dan begitu beruntung kelak lelaki yang mendapat wanita sepertimu Asi" tutur lembut ammah.
"Ammah masak dulu, kamu sebaiknya istirahat nanti aku akan memanggilmu!" seru ammah meninggalkanku sendiri di kamar.
Selesai sholat, aku ketiduran dan ku buka mata saat bunyi ketukan pintu. Dengan cepat aku meraih hijab juga niqab memakainya dengan berjalan menuju pintu.
Klek..
"Asi, makanlah dulu!" pinta ammah seraya menyodorkan nampan yang berisi sepiring kebab dan secangkir teh padaku.
"Terima kasih ammah" aku menerima nampan itu dari ammah.
"Nanti selesai magrib kita ke rumah utama. kata baba tuan sedang perjalanan pulang" tutur ammah. Hanya anggukan yang ku berikan.
Suasana saat ini begitu hening, dimana sekarang aku berada di sebuah ruang keluarga yang ada di rumah tuan Samer. Berbanding terbalik dengan keadaan di luar, hujan turun dengan deras di ikuti dengan suara Guntur yang menggelegar.
"Saat ini tunjukkan baktimu Asiyah pada kami yang mengangkut mu dari panti asuhan" Kata itu yang terlontar dari mulut nyonya Luci. Sedangkan tuan Samer hanya diam tidak menimpali.
"Kamu temui mereka dan katakan pada mereka kamu anak dari tuan Samer" seru Zena menatap tajam pada ku.
"Dan akui setiap apa yang mereka tuduhkan padamu" lanjut Zena.
"Apakah mereka akan percaya begitu saja nyonya?" alih ku menatap mereka satu persatu. Dan pertanyaan itu berhasil membuat mereka saling lempar pandang seakan takut dengan apa yang aku ungkapkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!