Epilog
Nama ku Sartika Dewi biasa dipanggil Dewi sebagai Ibu Rumah tangga, umurku sudah 50 tahun. Aku memiliki 3 orang anak. Satu perempuan dan dua orang laki-laki. Anak ketiga ku mengalami penyakit autisme hiperaktif serta gangguan syaraf akibat terjatuh ketika masih bayi dan balita. Benturan keras terus menerus membuat syaraf bagian otak terganggu dan adanya pembekuan darah bagian otak memperparah untuk pemikiran.
Usia pernikahan ku kurang lebih 33 tahun menikah diusia belum sampai 18 tahun, namun Aku sudah lulus SMEA. Di zamannya untuk umur 18 tahun sudah matang menikah. Begitu banyak teman-teman ku menikah di usia lebih muda. Beda dengan zaman sekarang usia matang menikah untuk wanita umur 25 tahun.
Diawal pernikahan, Aku sudah diberi cobaan dengan sikap mertua ku. Sikap suami ku yang tidak pernah terlihat setelah menikah berbanding terbalik ketika Aku masih pacaran dengannya. Sifat asli yang pemarah, menyimpan rahasia serta suka berkata merendahkan ku.
Aku yang masih sangat polos menerima dengan rasa sabar tanpa mengeluh. Selama menjalani pernikahan dengan berbagai ujian Sifat ku berubah ketika Dia suamiku mulai ketahuan berselingkuh pertama kali.
Berbagai ujian bisa Aku hadapi, tapi tidak untuk menduakan hati. Rasa sakit melebihi rasa sakit ketika Dia berucap kasar padaku.
°°°
Seperti biasa kehidupan Ibu Rumah Tangga setelah melaksanakan ibadah sholat Subuh bergegas Aku ke dapur untuk memasak sarapan pagi dan bekal suami. Melihat jam sudah 05.30 wib suami juga belum keluar dari kamarnya. Membuat rasa penasaran, Aku mengecek kamar yang biasa suami tidur. Rasa penasaran itu membuat ku kaget, melihat kamar terlihat kosong.
Anak-anak ku sudah bangun yang mulai beraktifitas untuk bersiap kerja. Aku mencoba bertanya dengan Rani anak pertama yang tengah sibuk mengurus bayinya yang berumur 8 bulan.
"Ran... bapak mu kemana?" tanya ku penasaran.
"Ga tahu ma... semalam emang pergi sekitar jam 9 malam" jawab Rani masih membereskan perlengkapan anaknya untuk dititip ke pengasuh.
"Lahhh kemana bapak mu? tidur dimana dia..."
Mendengar ucapan ku anak-anak ku ikut kaget dan mendekati ku. Aku yang masih penasaran mencoba menghubungi suami ku. Panggilan ku dialihkan, tak satupun dijawab.
Kemana dia? tidur dimana dia.
Beribu pertanyaan mengisi di otak ku. Jantung ku berdetak tak beraturan. Ada rasa khawatir dan ada rasa berfikiran negatif. Aku dengan suami ku tidak sedang bertengkar. Padahal lagi bermesraan, tidak ada perubahan pada suami ku.
Apa aku yang tidak peka perubahanya. Ku raih handphone, untuk terus mencoba menelpon. Fikiranku kacau dan hati ku tidak tenang. Terus berfikir mencari jawaban ketidaktahuan ku.
Belum lama anak-anak sibuk mencoba menghubungi suami ku, dia pulang. Matanya merah bajunya kusut, seperti baru bangun tidur. Tidur dimana kah Dia???
Aku mencoba bertanya dengan lembut. Aku tidak mau mencurigai suamiku, walau fikiran negatif itu terus memenuhi diotak ku.
"Pak... tidur dimana?" tanya ku.
Suami ku tidak menjawab, Dia bergegas berganti pakaian dengan wajah yang masih kusut belum mandi.
"Pak... tidur dimana? kenapa pulang subuh, tidur dimana" aku mencoba bertanya kembali. Mencoba berfikiran positif, tidak ingin membuat keributan di depan anak-anak.
"Main gap..." jawab suamiku.
"Main gap dirumah siapa? tidur dimana" tanya ku yang masih penasaran.
"Di rumah teman" jawab suami ku yang masih bersiap-siap untuk berangkat kerja.
"Di rumah siapa? siapa temannya? cewek atau cowok? di rumah siapa?" Hati ku sudah merasa tidak enak. Ada sesuatu yang terjadi.
"Main gap terus ketiduran" jawab suami ku bergegas ingin pergi kerja.
Aku mencoba mengikutinya, sangat tidak masuk akal. Barusan kemaren pergi mengantar pengantin keponakan yang ingin menikah. Pulang karena sudah malam, sholat magrib langsung tidur dikamar tengah yang biasa Dia tidur. Tidak ada hal mencurigakan, hanya saja dia bilang capek dan lapar.
"Siapa nama temannya? bukannya semalam bilangnya capek... ngantuk... kok keluar malam main gap?" tanya ku yang masih menyelidiki. Aku tidak mempercayai kata-katanya.
Suamiku tidak menjawab, Dia pergi membawa mobil Dinas berangkat kerja.
Ya Allah, kemanakah suami ku?
Aku mengeluarkan unek di hatiku kepada anak perempuan ku Rani. Hati ini masih belum puas jawaban suami yang tidak bisa dipercaya.
"Ran... kemana bapak mu? nginap dimana dia? semalam dia bilang capek... ngantuk... tapi malah keluar malam dan nginap ga tahu kemana. Apa bapak mu berselingkuh" Akhirnya aku mengucapkannya, sudah lama tertahan ucapan itu. Aku hanya ingin terus berpikir positif. Namun hati tak kuat menyimpannya.
"Ntah ma... bisa jadi. Tiba-tiba aja keluar malam" jawab Rani duduk dikursi ruang tamu. Rani merasa heran dan belum percaya apa yang terjadi.
Aku yang masih belum bisa menerima jawaban suami. Lekas mengetik pesan ke whatsapp.
Aku 📩: Tidur dimana? katanya semalam capek dan ngantuk. kok malah keluar malam? tidur dirumah siapa? cewek atau cowok? mana nomor handphone nya biar aku hubungi. Kenapa tiba-tiba aja pulang subuh. kalau main gap ga mungkin tidur sembarangan
Hati ku terus bertanya, rasa curiga menghantui ku. Aku mencari jawaban pada diriku. Ku tanya dalam hati apa Aku berbuat salah ?.
Kemaren seperti biasa, tidak sedang bertengkar. Cuma dia beberapa minggu ini agak berbeda, sudah mulai cuek dengan anak terakhir, Abri. Sudah tidak mau tidur dibelakang dan suka menjauhi aku.
Apa yang terjadi dengan suami ku ? apa yang salah dengan ku ? mengapa dia pulang subuh ?.
Rani sengaja belum berangkat dari kerjanya, untuk menenang pikiranku. Aku keluarkan isi hati kepada Rani. Cerita kemaren waktu mengantar pesta. Selama perjalanan menuju kelokasi selama 3 jam, tidak ada sepata kata pun. Dia lebih banyak diam hanya aku yang berceloteh kesal karena dari awal sudah tidak berniat ingin pergi. Dia tidak berbicara pada ku, ntah fikirannya sedang kemana. Aku tidak mencurigai perubahannya. Aku fikir Dia diam karena lagi banyak kerjaan.
Bukan itu saja Kami sudah lama tidak tidur bersama. Aku hanya berpikir positif Dia tidak ingin tidur bersama dikarenakan tidak ingin tidur bersama Abri dan tidak ingin terganggu.
Aku tidak menyadari semua perubahan itu. Aku terbiasa mandiri, Aku terbiasa sendiri dirumah bersama Abri. Aku terbiasa mengurus semua sendiri. Suami ku jarang pulang lebih memilih tidur dirumah Dinas dan ulang jumat malam.
Kami jarang berkomunikasi, kami jarang bersama. Namun Dia masih terus memberikan nafkah materi dengan memberikan uang gaji penuh.
Lantas kenapa dia pulang subuh ? tidur kemana dia ?
Teringat kembali peristiwa terjadi 10 tahun yang lalu. Suami ku pernah selingkuh dan 10 tahun yang lalu itu selingkuh yang ke 3 kali nya yang aku ketahui. Aku memaafkannya, Aku menerimanya namun tidak melupakan atas perbuatannya. Rasa sakit itu masih membekas dihatiku. Tidak mudah melupakan perselingkuhannya.
Sepuluh tahun yang lalu Dia juga berubah lebih cuek dan gampang marah. Setiap apa yang aku lakukan tidak pernah benar di matanya.
Apa Dia mengulang kesalahan sama dengan berselingkuh lagi? Apa Dia ketempat *******? Ya Allah semoga apa yang Aku fikirkan itu salah.
Berat kepala ku memikirkan semua pertanyaan yang tidak ada jawabannya. Segera ku ambil wudhu dan membasuh muka ku berulang-ulang agar fikiran lebih jernih. Ku raihi sajadah dan ku bentangkan.
Hanya Allah tempat mengadu, Allah tempat ku bersandar. Kepada Allah aku mencurahkan kesedihanku. Ada rasa tangis dihati, rasa sakit sepuluh tahun itu mulai mencuat kembali. Aku meminta pertolongan kepada Allah agar dapat membantu menemukan setiap pertanyaanku.
Selepas sholat sunat dhuha, Aku mencoba membereskan kamar bersama anak bujang ku Abri. Mencoba melupakan fikiran negatif, ku sibukkan diri yang bermanfaat.
Namun pikiran itu tidak benar- benar hilang ketika Anak-anak ku sudah berangkat kerja, disaat rumah keadaan sepi. Aku termenung melihat nasib hidup ku dan nasib anak ku Abri. Kesedihan terus bertambah atas perbuatan suami. Handphone ku berbunyi, balasan whatsapp dari suamiku.
Suami 📩 : tidur di perumnas.
Jawaban singkat dari suami ku. Aku tidak mempercayainya, Aku mencoba meminta pendapat dengan anak ku Rani. Aku mengirin pesan whatsapp kepada anak ku Rani.
Aku 📩 : Ran... kamu percaya bapak mu tidur diperumnas?
Rani 📩 : Ga ma... Rani ga percaya
Aku 📩: Mama juga tidak percaya, subuh tadi dia bilang kerumah teman siang bilang tidur diperumnas. kelihatan bohongnya.
Ketika hati ku yakin kalau suami ku berbohong segera ku kirimkan pesan whatsapp ke suamiku.
Aku 📩: Aku tidak percaya... pagi tadi kamu bilang tidur dirumah teman sekarang berubah tidur diperumnas. Jangan membohongi ku...
Kesabaran ku mulai habis, jika dia tidak tidur dirumah teman berarti dia tidur di hotel bersama wanita lain. Siapa wanita itu? Siapa yang mengusik rumah tangga ku kembali.
Rasa sakit dikhianati yang ku kubur begitu lama kembali menguat. Bertahun-tahun Aku mencoba mengikis rasa sakit ini. Dia malah mencoba kembali membuka luka lama ku.
Ya Allah apakah ini ujian ku lagi? Aku benar-benar sudah tidak kuat terus memerus disakiti oleh suami ku berulang kembali.
Air mata ku menetes, mengingat luka lama yang tersimpan rapi. Luka itu bertambah, setelah kejadian ini. Aku berharap Allah bisa memberikan kekuatan untuk menghadapi kenyataan hidup pahit ku.
Menanti jawaban menunggu Suami yang pulang 5 hari di hari Jumat setelah selesai kerja. Aku yang tidak sabaran, terus mengirimkan pesan. Pastinya pesan whatsapp ku sudah penuh bertebaran di handphone suami.
Aku tidak akan biarkan Dia bersembunyi dalam kebohongan. Terus menerus ku ingatkan kisah perselingkuhan sepuluh tahun yang lalu.
Dalam tangisan doa, Ku panjatkan kepada Nya agar terbukanya rahasia yang telah Dia sembunyikan. Ku biarkan keningku menyentuh lantai begitu lama kucium sajadah yang terbentang dengan khidmat. Menangis dalam sujud, ku sebutkan nama suami agar Dia jujur kepada ku.
Ya Illahi... hanya kepada Mu aku memohon, hanya kepada Mu aku berserah diri, Ku ikhlaskan kehidupan rumah tanggaku kepada Mu.
Penantian kejujuran itu datang, namun seribu bahasa Dia sembunyikan. Hari jumat malam sabtu, takdir memiliki suami yang tidak pernah kapok berselingkuh. Dia pulang lebih malam, ntah kemana Dia pergi. Rentetan pertanyaan yang sudah ku simpan dalam fikiran, ku curahkan pada malam ini. Dia membisu, bagai patung yang tidak punya hati.
"Jujur tidur dimana?" tanya ku yang kesekian kalinya.
"Perumnas" jawabnya acuh.
"Aku tidak percaya, kemana? ke tempat *******?" tanya ku bergetar.
"Tidak pernah berubah, kita cerai saja" lanjut ku geram.
Suamiku hanya diam saja tidak menjawab apapun. Beberapa saat terdiam, Dia melontarkan ucapan yang membuatku sakit.
"Maaf... Aku emang salah. Tapi kamu juga tidak instropeksi diri, kenapa Aku sering keluar malam"
Bagaikan disambar petir, tidak ada angin tidak ada hujan. Dia menyalahkan Ku akibat Dia keluar malam.
"Apa salahku? Aku tidak pernah menyakiti Mu... Aku tidak pernah menyelingkuhi mu... sedangkan Kamu?? berulang kali Kamu sakiti Aku... luka sepuluh tahun saja belum sembuh sekarang Kau torehkan luka itu kembali dengan kesalahan yang sama" ucap ku begetar menahan emosi.
Lagi-lagi Dia diam, tidak ada ucapan apapun. Aku meninggalkannya, menuju kekamar anak ku Rani tempat ku mengeluarkan isi hati ku. Ku ceritakan semua kesedihan ku.
Anak ku Rani tidak banyak berkata, sedikit Ia lontarkan kata Nasehat dan menenangkan amarahku. Dari kamar Rani aku mencoba untuk tidur dikamar kosong yang sudah lama tidak ku tempati.
Di dalam kamar Aku menangis sambil bercerita dengan sahabat ku di whatsapp. Mencari ketenangan dengan mengungkapkan rasa gundah dihati. Cukup ku biarkan hati ini membeku penuh rasa sakit. Aku biarkan mencair mengalir melepaskan beban dengan bercerita ke sahabat.
Keingat nasehat almarhuma mama ku, jika punya masalah jangan pernah dipendam sendiri... keluarkan isi hati mu dan amarahmu biarkan hati mu lega.
Ketika ku baru menikah, tidak sedikit pun kulontarkan kesedihan, kesusahan maupun amarah kepada orang tua ku, keluarga ku dan sahabatku. Semua ku simpan dengan rapat dilubuk hati. Hingga badan ku mengurus dan sakit-sakitan. Aku menahan semua penderitaan, ku tampung didalam hati yang rapuh.
Aku menikah ketika umurku 18 tahun baru lulus sekolah. Aku menikah karena sangat kesal dengan kakak perempuanku yang selalu usil dengan kehidupanku. Begitu bawel, membuat ku tidak betah hidup terus bersama dengan kakak perempuan. Awal pernikahan ku sangat disesali kakak perempuan ku. Ali suami ku terlalu manja dengan orang tuannya.
Jelas masih teringat ketika anak ku masih sangat kecil. Rani yang masih berumur 1 tahun, aku dan suami ku menderita sakit diare dan demam tinggi. Mertua ku datang membawa suami ku ke rumahnya meninggalkan Aku dan Rani. Saat itu kami tinggal dibelakang rumah kakak perempuan ku. Tanah itu Ku beli dengan kakak perempuan ku dengan harga sangat murah.
Di gubuk rumah yang sangat sederhana, ketika Aku tidak mampu bangkit dari tidur. Rani yang masih kecil hanya tertidur disamping tubuh ku yang lemah. Kakak perempuanku melihat suami ku dibawak oleh orang tuanya. Segera menghampiri ke gubuk rumah kami. Tangis ku pecah, Aku menangis tersedu-sedu. Mertuaku tidak membawa serta diriku dan anakku. Mereka hanya membawa suamiku, sakit rasanya. Kakak perempuanku tidak menyalahkan suamiku ataupun orang tuanya. Di depanku Ia menasehati dan membawaku serta anakku ke rumahnya. Disana Aku dirawat hingga sembuh.
Rasa sakit terdahulu kembali keingat, sesak rasanya. Aku menyesal harus bertahan dengan suami dan mertua yang tidak menyanyangi ku.
Fikiran ku jauh melayang, badan ku lemah tidak berdaya, mata ku tetap terjaga hingga subuh tiba. Ku bangkit dari tidur, ku basuh muka dengan air wudhu. Sepanjang sholat subuh tidak lepas air mata mengalir. Suami ku disamping ikut melaksanakan sholat subuh. Dia lebih dulu melaksanakan sholat subuh.
Dia menunggu dan menanti hingga Aku selesai memanjatkan doa. Suami menarik tangan ku dan meminta maaf. Aku yang masih belum bisa memaafkannya, beranjak dari duduk meninggalkan Dia. Ku beranjak dan berahli keruang tamu untuk menenangkan diri sambil membaca Al quran.
Kembali Suamiku mendekatiku dan meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Ntah rasa hati ini belum ikhlas namun ada rasa ingin memaafkan dirinya. Aku mencoba memaafkannya dan melupakan semua kesalahan. Walau rasa penasaran dan curiga itu tetap ada. Aku tidak ingin menjadi istri durhaka mencurigai tanpa bukti. Belum tentu suami ku berselingkuh.
Pagi hari seperti biasa, Aku membuat sarapan dan menyiapkan bekal untuk suami. Rani melihat Aku kembali ceria dan bersemangat merasa bahagia.
Ketika hari libur Aku, Suami dan Rani sering mengunjungi Perumnas. Rani baru membeli rumah itu lima bulan yang lalu. Rumah yang di beli belum di tempati. Dikarenakan suami Rani kerja di luar kota.
"Ma... kita keperumnas, melanjuti perbaiki rumah Rani" ucap Suami sambil menyantap sarapan pagi.
Aku menganggukan kepala tanda setuju, kebiasaan dihari libur kami bersama keluarga.
Sesampai di perumnas fikiran negatif tentang suami ku kembali. Sikap Dia yang masih acuh kepada ku membuat rasa curiga.
Rasa kesal kepada suami ku masih sangat terasa. Ku tepiskan semua rasa gundah dan ingin memperbaiki semuanya. Aku mencurigai suami ku berselingkuh dengan teman sekolahnya dahulu. Ada 2 wanita yang sangat genit dengan suami ku. Awalnya aku tidak menaruh curiga dengan mereka, karena sudah tabiat wanita janda itu ganjen. Kecurigaan itu bermunculan ketika suami ku aktif digroup alumni SMEA angkatannya.
°°°
Hari mulai malam Kami masih diperumnas melaksanakan sholat magrib di lingkungan perumnas. Sholat magrib Suami selalu ke masjid dekat rumah.
Adzan isya kembali berkumandang Suami ku segera berangkat ke masjid sambil membawa Handphone nya. Tidak seperti biasa, suami ku seperti menyimpan rahasia yang tidak ku ketahui. Beberapa kali Rani menegur hal Handphone dibawa kemana-mana. Namun Dia tidak menjawab bukan itu saja. Tingkah laku suami yang menjaga jarak dengan ku membuat aku merasa semakin mencurigainya.
"Beli martabak pa" pinta ku ketika perjalanan pulang kerumah.
Suamiku melajukan mobil menuju martabak favorit keluarga. Suami menepi dipinggir jalan tepat depan martabak. Terlihat berjejer mengantri memesan martabak. Rani keluar dari mobil, memberikan anaknya kepadaku.
"coklat campur wijen kan Ma?" tanya Rani di balik kaca mobil.
"Iya..."
Rani ikut mengantri duduk di kursi yang sudah disediakan penjualnya. Kesempatan untuk bertanya yang membuat ku penasaran. Aku berniat ingin memancing suami ku agar ia jujur. Ku tarik nafas dengan panjang, agar hati ku tetap tenang.
"Pa, pulang subuh kemaren kemana? tidur dimana? Papa sudah tua, tidak takut dosa? terus berzina" tanya ku dengan tenang.
"Supaya tidak berdosa atau zina terus bagaimana?" jawab suami ku dengan tenang menjawab.
Mendengar ucapannya darahku mulai mendidih. Cepat-cepat ku redakan dengan ucapan istigfar didalam hati. Niat mengorek semua rahasianya membuat ku begitu tenang bertanya.
"Ya nikah dong..." jawab ku dengan santai.
"Terus kamu gimana?" Suami melihat kearah ku.
"Dari dulu Aku tidak ingin di poligami, yaaa kita cerai dulu" jawab ku gemetar.
Rasa dada menyesak secara tiba-tiba. Relung hati ku terasa amat sangat sakit. Suami ku terdiam, tidak ada ucapan yang Dia lontarkan kepada ku. Seperti memikirkan hal yang begitu berat. Termenung menatap lalu lalang kendaraan melintasi jalan.
"Sudah ada calonnya?" sambung ku kembali.
"Belum... masih dicari dulu" jawab suami ku tanpa merasa bersalah.
Perih rasanya, lemas tubuh terasa dingin. Mendadak tenggorokanku kering. Suami ku sudah ada niat untuk menduakan cinta ku. Jiwa ku meronta, tidak dapat ku tahan kembali rasa amarah, kecewa, kesedihan. Bertambah rasa sakit yang sudah lama.
Rani menghampiri ke mobil, dengan wajah ceria membawa sekotak martabak favorit keluarga. Aku yang tidak bisa menahannya, berucap di depan Rani. Sungguh hati ini tidak kuat menahan pilu kesedihan.
"Malam ini kita harus bicara di depan anak-anak, masalah perceraian kita"
Terlihat Rani kaget mendengar ucapan ku secara tiba-tiba, hilang wajah ceria Rani.
"Siapa yang mau cerai? itu kan kamu yang mau cerai" jawab suami ku mulai emosi.
"Kamu kan mau menikah lagi, cerai dulu dong" jawab ku dengan bernada tinggi.
Ku jelaskan semuanya kepada Rani kenapa Aku berniat ingin bercerai. Tidak ada rasa getar dihati. Niat ku bulat ingin bercerai.
Wanita mana yang kuat menerima jika cintanya dibagi. Wanita mana yang bisa bertahan jika cintanya di khianati. Wanita mana yang tidak sakit hati jika hatinya terluka. Wanita mana yang tidak marah jika Ia kecewa dan terluka.
Rasa sakit yang memburu didada terasa sangat menyesak direlung jiwa. Hati ku menangis namun tidak satupun tetesan air mata keluar.
Sesampai dirumah Aku memanggil anak kedua ku Leo untuk bergabung diruang TV. Suamiku terlihat sangat takut melihat sikap ku. Aku ingin marah, Aku Kecewa sangat kecewa.
"Jangan dulu masuk kamar kesini duduk diruang TV" ucapku tak gentar.
"Apa? Mau ngomong apa?"
"Kita selesaikan sekarang, biar tuntas... kita cerrrrraaaiii sekarang"
Luapan Emosi ku tidak dapat dibendung kembali, setengah berteriak ku lontarkan kata Cerai.
Suamiku duduk di kursi ruang Tv disamping anak ku Rani. Aku yang masih memegang cucung segera ku berikan kepada Rani sebagai ibunya.
Ketika semua anak ku berkumpul diruang TV, sidang pertama Suami ku didepan anak-anak dimulai. Ku ceritakan semua apa yang kami bicarakan tadi didepan anak-anak ku.
"Berarti Ayah mu ada niat ingin menikah lagi, Ibu tidak ingin dimadu... sama aja Ayah mu ingin cerai sama ibu mu"
"Siapa yang mau cerai? kamu kan yang mau cerai" ucap suamiku.
"Tadi kata mu mau menikah lagi kan... ya kita cerai saja, Aku juga sudah tidak ada rasa sama kamu lagi"
"Biar Aku hidup bersama dengan anak-anak ku, kamu pergi dari rumah ini"
Anak ku Rani yang tertua mulai menanyai Ayahnya. Aku mencoba meredakan emosiku dan rasa sakit yang amat sakit.
"Yah... apa benar Ayah mau menikah lagi" ucap Rani dengan lembut.
"Kami sudah tidak ada keharmonisan lagi, Ibu mu sudah tidak menyukai Ayah lagi... terus untuk apa dipertahankan?"
Ya Allah bagaikan disambar petir rasanya. Lagi-lagi perselingkuhannya dibuntuti dengan ucapan kesalahanku. Suamiku selalu menyalahkan diriku ketika Ia berselingkuh. Hatiku terasa teriris iris, setengah gila rasanya.
"Yang buat tidak harmonis itu ya kamu... Kamu yang selalu menghindar, jarang pulang kerumah... Aku terbiasa sendiri dirumah" kutunjuk jari ku didepannya. Ucapan yang dilontarnya lebih sakit dari kekerasan fisik.
"Apa yang kurang dari ku? Semua hidupku sudah ku serahkan pada mu... tapi apa yang kau berikan padaku?"
Aku berdiri dengan gemetaran, seluruh badan ku terasa panas namun badan terasa lemah. Fikiranku penuh dengan memori terdahulu. Berputar kembali masa dimana Suami ku mengkhianati pernikahan yang kami bangun dengan air mata.
"Siapa wanita yang Ayah ingin nikahi?" tanya Leo anak kedua ku.
"Belum ada dicari dulu"jawab Suamiku masih dengan santai.
"Bohong... mana ada maling mau ngaku, siapa wanita itu? Mantan selingkuhan mu yang dulu? atau wanita ganjen teman sekolah mu?"
"kita Ceraiii.... " ucap ku gemetar.
"uruslah perceraian kan kamu yang mau cerai" ucap suamiku ikut emosi.
"Enak aja kamu ya, kamu yang buat salah Aku yang harus nanggung semuanya. Kamu urus cerai kita, besok Aku temui Ayuk ku dan kepala Dinas tempat mu kerja" Emosiku meluap.
Rani melihat emosi Ku yang tidak dapat dibendung, memberikan solusi untuk keluarga yang sudah 30 tahun dibina.
"Ibu... tenang dulu, jangan langsung minta cerai begitu saja. Ibu mau menyelesaikan masalah dengan baik atau tidak baik?" tanya Rani dengan lembut.
"Baiklah..." aku terdiam menahan sisa-sisa emosi.
"Yah... Ayah mau cerai atau mau memperbaiki semuanya? kalau Rani harus jujur, Rani ga mau Ibu dan Ayah bercerai... cukup yah... cukup... bukan hanya Ibu yang sakit tapi Rani juga begitu, masih kecil Rani sudah melihat pertengkaran ini. Rani sempat ingin bunuh diri jika Ibu dan Ayah bener-bener cerai waktu itu... Rani ga mau keluarga kita berantakan" Rani menangis didepan kedua orang tuanya.
"Ibu juga ga mau begini Ran... tapi Ayah mu terus-terus menyakiti Ibu. Ibu selalu menderita selalu dikhianati" Air mataku yang sudah tidak tertahan jatuh juga melihat Rani menangis.
Suamiku melihat Rani menangis, tertunduk ada rasa tertekan dilubuk hatinya. Ntah itu apa, apa karena Ia begitu menyanyangi anak-anak atau ada hal lain.
"Ayah juga tidak mau cerai, tapi Ayah dan Ibu sudah tidak harmonis lagi... beri Ayah waktu untuk berfikir"
Suami ku yang Aku percayai yang Aku cintai selama 30 tahun lebih pernikahan ini. Jatuh bangun Aku selalu mempertahankan pernikahan ini. Begitu tega Ia bilang tidak ada keharmonisan. Dia lah aktor yang membuat ketidakharmonisan itu. Sakit rasanya, ketika Ia terus menyalahkan diriku penyebabnya.
"jangan lama... karena aku butuh persiapan" ucapku dengan nada tinggi.
"Aku butuh seminggu untuk berfikir" jawab suamiku dengan nada ketus.
"Enak benar dirimu... itu lama seminggu, besok... aku mau besok keputusannya"
"Tidak bisa, seminggu..."
Jiwa ku yang sudah lama tergoncang bertambah buruk ucapan suamiku yang membuat ku sakit hati. Hancur pondasi pertahanan jiwa waras ku. Alam fikir ku tergoyah, kehilangan sadar. Aku menghentakkan kaki sambil berucap stengah teriak.
"ooooyyy... dengar semua suamiku selingkuh... Dia selingkuh, laki-laki jahanam ini tidak pernah berubah..."
Hentakan kaki sambil berjalan mondar mandir. Seperti orang gila, kehilangan akal sehat. Rani melihat sikap perubahan diriku segera menyuruh leo untuk menenangkan. Anak perempuanku menangis sambil berteriak emosi kepada suamiku.
"lihat Ayah... ini yang Ayah mau, semua ini akibat ulah Ayah... Rani benci sama ayah buat Ibu jadi stres" tangis Rani pecah tatapan Rani nanar menghadap suamiku.
Melihat Rani menangis, Aku mulai menangis. Terduduk lemas di lantai sembari berucap astagfirullah sadar lepas kontrol. Lelah menghadapi nasib memiliki suami yang tidak pernah berubah ditambah anak terakhir ku yang memiliki cacat otak. Rani menghampiri ku sambil memeluk ku, hangat terasa hangat.
"Aku butuh waktu untuk menenangkan fikiran, 3hari... Aku butuh 3 hari" ucap suami ku meninggalkan kami.
Melihat sikap suamiku terasa menjijikan. Suami sebagai panutan keluarga mengkhianati kesucian rumah tangga.
Rani mengingatkan ku untuk kembali bersujud kepada Allah. Memohon dan berdoa setiap masalah yang Aku hadapi. Segera ku basuh muka dengan air wudhu. Ku tunaikan kewajibanku seorang muslimah. selesai melaksanakan Sholat Isya segera ku masuk kedalam kamar yang biasa suamiku tidur. Beberapa hari setelah kejadian pulang subuh, Aku menyuruh dia menemani anak bungsu kami Abri. Selama ini Aku selalu menemani Abri tidur. Sedangkan suamiku tidur dikamar sendiri dengan nyaman.
Aku segera berkonsultasi dengan salah satu sahabatku. Meminta pendapatnya, kecurigaanku terhadap salah satu teman alumni SMEA. Kecurigaan ku sangat mendasar selama ini wanita itu terlalu ganjen didepan suamiku.
Setiap suamiku berselingkuh selalu ada detakan yang tidak mengenakan. ketika ku mencurigai salah satu selingkuhannya akhirnya itu terbukti. Perasaan wanita tidak pernah salah.
Jam terus berputar, namun mataku terus terjaga. Memori 10 tahun yang lalu berputar kembali hingga awal pernikahanku. Kesedihan dan penderitaan yang ku rasa.
Meringkuk ku didalam selimut tebal, menangis dan menyesali semua yang telah terjadi. Perasaan menyesal menerima lamaran laki-laki yang sudah menjadi suamiku. Menyesal mengapa terlalu percaya dengan lelaki yang ku hormati.
Dadaku terasa sesak, kepala ku pusing, perut terasa mual. Badan terasa lemas lunglai, tidak ada tenaga. Teringat kembali anak-anak ku yang sudah besar. Bahagiaku melihat mereka tumbuh menjadi orang yang sukses.
Mata kupejamkan ketika sudah jam 3, walau otak ku terus berputar mengingat memori terdahulu. Berharap semua hanya mimpi buruk.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!