"Anak ibu cantik sekali. Ibu sampai gak ngenalin tadi," Bu Lastri menatap takjub putrinya yang hari ini terlihat sangat cantik dengan gaun pengantinnya. Kedua matanya berbinar penuh bahagia. Wajahnya yang sudah nampak kerutannya itu tak hentinya mengembangkan senyum.
Kinan hanya tersenyum tipis mendengar ucapan ibunya, kepalanya lalu tertunduk. Melihat senyum ibunya ia justru merasa bersalah, karena apa yang dilihat sang ibu tak seperti kenyataannya.
Bu Lastri mengusap pucuk kepala putrinya yang tertunduk, lalu berpindah mengusap pundak Azka yang berdiri di samping Kinan.
Bu Lastri menatap calon menantunya itu dengan penuh kehangatan. Sampai hari ini, rasanya masih seperti mimpi. Kinan yang selalu mengatakan tidak punya kekasih, satu bulan lalu tiba-tiba seorang pria datang melamar putrinya.
"Setelah akad nanti, ibu menyerahkan semua tugas ibu sekaligus ayah terhadap Kinan padamu. Setelah menjadi istrimu, Kinan adalah tanggung jawabmu sepenuhnya." Ucap bu Lastri pada Azka.
"Bukan hanya Kinan, tapi Ibu juga akan menjadi tanggung jawabku. Setelah Kinan menjadi istriku, maka Ibu juga akan menjadi Ibuku." Ujar Azka dengan mantap. Ia tersenyum pada wanita paruh baya yang sebentar lagi akan menjadi ibu mertuanya itu.
Teringat beberapa waktu lalu, ketika ia datang melamar Kinan, bu Lastri nampak sangat terkejut tapi hari ini senyum kebahagiaan terus terpancar di wajah rentah nya. Tak tega rasanya melebur senyum kebahagiaan itu dengan kebenaran dibalik pernikahannya dengan Kinan.
Senyum bu Lastri kian mengembang, merasa sangat beruntung mendapatkan calon menantu seperti Azka. Tak hanya tampan dan mapan, tapi juga memiliki jiwa penyayang. Meski dari kalangan atas tapi tidak pernah memandang status sosial.
Sementara Kinan, meremat kuat gaun pengantinnya mendengar ucapan Azka. Kalimat itu sebenarnya tak perlu Azka ucapkan pada ibunya, ia tidak mengerti dengan jalan pikiran pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu.
"Kalau begitu Ibu keluar dulu, mau menyapa tamu-tamu." Bu Lastri pun keluar dari kamar hotel yang menjadi kamar pengantin Azka dan Kinan dengan perasaan yang luar biasa bahagia.
Pernikahan keduanya memang digelar di hotel berbintang lima, mengikuti Raka dan Alesha yang sudah jauh-jauh hari merencanakan pernikahannya. Azka dan Kinan hanya mengikuti saja.
Saat Azka mengatakan pada kedua orangtuanya akan melamar Kinan, saat itu juga kedua orangtuanya memutuskan akan mengadakan pernikahan kedua putranya secara serentak.
Setelah ibunya keluar, Kinan memutar tubuhnya berhadapan dengan Azka. Tatapannya yang semula berkaca-kaca menatap kepergian ibunya kini sedikit menajam menatap calon suaminya.
"Ini gak benar, Azka. Kita tidak seharusnya menikah!" Tukasnya lalu menghembuskan nafas berat, kedua matanya seketika saja berkaca-kaca. Sejak awal, ia sudah menentang pernikahan ini tapi Azka selalu membujuknya dengan banyak pertimbangan yang akhirnya ia pun setuju dengan kata terpaksa.
"Please Kinan, jangan sekarang." Azka meraih kedua tangan Kinan dan menggenggamnya erat, "Jangan menangis sekarang, aku tidak akan bisa menjelaskan jika ada yang bertanya kenapa kamu menangis. Dan aku juga tidak mau berbohong kalau air matamu ini adalah air mata bahagia."
Kinan tersenyum miring mendengarnya. Miris sekali, Azka tidak mau berbohong tentang air matanya tapi pernikahan mereka telah membohongi banyak orang.
Kinan dan Azka tak pernah merencanakan pernikahan sebelumnya, semuanya terjadi karena suatu perkara. Dan hari ini bukan hanya dia dan Azka yang akan menikah, tapi Alesha dan Raka juga akan melangsungkan pernikahan.
Raka dan Alesha telah menjalin hubungan sejak Raka lulus dari masa putih abu-abu. Sementara Azka dan Kinan tak ada hubungan spesial selain hanya kakak dan adik kelas pada masa itu.
Namun, pertemanan mereka berempat tidak pernah terputus meski Azka dan Raka telah memasuki perguruan tinggi lebih dulu. Hingga akhirnya Kinan dan Alesha pun telah bergelar sarjana.
Alesha lalu merekomendasikan Kinan untuk menjadi Sektretaris Raka yang kala itu telah menjadi CEO menggantikan papanya. Sebagai teman yang baik, Raka menerima Kinan dengan mudah.
Tiga tahun Kinan menjadi sekretaris Raka semuanya berjalan dengan baik, pertemanan mereka pun tak pernah terlibat konflik apapun meski diam-diam Kinan menaruh perasaan terhadap Raka, bos-nya yang merupakan kekasih Alesha sahabatnya.
Namun, suatu malam terjadi sebuah insiden tak terduga yang membawa Kinan pada hari ini. Menjadi calon istri Azka, pria yang dia anggap hanya sebagai kakak dan sahabat terbaiknya.
Di kamar lain, Alesha dan Raka pun telah selesai di rias. Dua pasang raja dan ratu sehari, sebentar lagi akan memasuki aula pernikahan.
Sembari menunggu waktu tersebut tiba, Alesha duduk di depan meja rias. Tatapannya lurus menatap ke depan, lebih tepatnya menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin. Ia sudah lama menjalin hubungan dengan Raka, tapi di hari pernikahannya ini ia justru merasa hampa. Dalam hati ia bertanya-tanya, benarkah langkah yang ia ambil ini. Menikah dengan Raka sementara hatinya bukan untuk calon suaminya itu. Kebersamaannya dengan Raka selama ini, kehangatan dan perhatian yang diberikan kekasihnya itu ternyata tak mampu meluluhkan hatinya untuk jatuh cinta pada pria itu. Hatinya tetap untuk laki-laki lain.
Di hari wisuda Raka pada masa putih abu-abu, kakak kelas sekaligus sahabatnya tersebut tiba-tiba mengungkapkan perasaannya. Saat itu ia dihadapkan pada dilema yang memenuhi ruang hatinya. Menolak Raka sama saja membuat pria itu menjauh darinya, sementara dia tidak bisa jauh dari Raka karena sama saja membuat Azka juga menjauh darinya. Dimana ada Raka pasti ada Azka, kedua bersaudara itu memang sangat dekat dengannya. Kedekatan mereka menumbuhkan rasa dihatinya untuk Azka tapi ternyata perasaannya tidak bersambut. Justru Raka lah yang mengungkapkan perasaan terhadapnya.
Tak jauh berbeda dengan Raka yang duduk di tepi ranjang pengantin, di hari yang seharusnya dia berbahagia karena hari ini akan menikahi wanita yang dicintainya. Ia justru tampak gelisah, beberapa kali ia melirik jam branded yang melingkar di pergelangan tangannya. Berharap waktu cepat berlalu, bukanlah lagi bersanding dengan Alesha yang kini menguasai pikirannya. Rasa tak sabar untuk segera menyelesaikan pernikahan itu lebih mendominasi, karena setelah pernikahan selesai ia ingin bertemu Azka dan Kinan.
Kinan menitihkan air matanya ketika Azka berhasil mengucapkan ijab kabul dengan lantang hanya dengan satu kali tarikan nafas. Dan yang jelas itu bukanlah air mata bahagia, ia tidak pernah menyangka akan menikah dengan laki-laki yang tidak dia cintai.
Meski lancar mengucapkan ijab kabul, tapi perasaan Azka benar-benar kalut. Ia selalu bermimpi suatu hari nanti menyebut nama wanita yang dicintainya dalam ikrar suci, namun yang terjadi justru sebaliknya. Ia menikahi wanita yang hanya ia anggap teman, dan merupakan sekretaris Raka adiknya.
Ketika giliran Raka yang mengucapkan ijab kabul, terjadi sedikit ketegangan kala Raka hanya diam tanpa membalas jabat tangan penghulu.
"Raka, kamu baik-baik saja, Nak?" Bisik Mama Flora. Kedua mata putranya nampak kosong menatap tangan penghulu yang terulur dihadapannya.
Raka tersentak, ia menoleh menatap mamanya lalu mengangguk sebagai jawaban bahwa ia baik-baik saja.
Raka menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, kemudian menjabat tangan penghulu. Ia menegaskan dalam hatinya, bahwa hari ini adalah hari bahagianya karena akhirnya ia menikahi wanita yang sangat dicintainya. Tak seharusnya ia bermuram, apalagi sampai terlihat tidak bahagia.
Setelah selesai ijab kabul. Dua pasang pengantin pun dituntun oleh orang tua masing-masing menuju pelaminan. Raka dan Azka duduk dengan gagah nya layaknya seorang pengantin yang bahagia, mereka berdua ingin menunjukkan pada para tamu yang hadir bahwa ini adalah hari bahagia dua putra Rangga.
Sedang Kinan dan Alesha yang terlihat begitu anggun hanya terus menundukkan pandangannya. Bukan karena malu ditatap banyaknya pasang mata para tamu undangan, tapi karena merasa sedih dengan keadaan yang tak sepenuhnya hati mereka inginkan.
Acara berlangsung dengan meriah nya. Beberapa tamu undangan yang merupakan kolega Azka dan Raka naik ke atas pelaminan untuk sesi berfoto bersama dua pasang mempelai, dan juga mengucapkan selamat kepada dua pasang pengantin baru itu.
"Selamat ya Pak Azka dan Kinan. Pak Raka dan Alesha, semoga menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah. Dan segera di beri momongan."
Mendengar itu, Kinan reflek mengusap perutnya. Tubuhnya seketika saja bergetar, ia menggelengkan kepala dengan sangat pelan, dalam hati berharap tidak terjadi hal yang tidak diinginkannya itu.
Beberapa jam acara berlangsung, para tamu undangan satu persatu meninggalkan aula pernikahan. Dan kini waktunya bagi dua pasang pengantin baru untuk beristirahat di kamar pengantin mereka masing-masing. Begitu pun dengan orang tua dua pasang mempelai yang juga akan menginap di hotel tersebut, sementara keluarga yang lain telah berpamitan untuk pulang.
*******
"Kenapa menatapku seperti itu? Apa sekarang aku terlihat tidak menarik lagi?" Tanya Alesha. Sejak memasuki kamar pengantin mereka, Raka terus menatapnya tanpa ekspresi, tak seperti biasanya yang tersenyum dan binar matanya selalu memancarkan cinta bila menatapnya.
Raka menunduk sejenak sembari menghela nafas, kemudian melangkah menghampiri sang pujaan hati yang kini telah resmi menjadi istrinya.
"Aku cuma gak nyangka aja, Al. Sekarang kamu benar-benar sudah menjadi istri aku, rasanya ini semua seperti mimpi bagiku. Kita memang telah berpacaran lama, tapi setiap sepasang kekasih tak selalu sampai pada titik ini." Ujar Raka sembari tersenyum tipis. Namun, di mata Alesha senyumnya itu nampak terpaksa.
Alesha pun membalas senyuman suaminya itu. Meski ia sendiri merasa gundah semenjak menerima lamaran Raka, tapi dia bisa merasakan ada yang berbeda pada pria itu sejak mendekati hari pernikahan. Sikap Raka tak seromantis biasanya, dan hari ini semakin terlihat ada yang tidak beres pada diri Raka namun ia juga enggan untuk bertanya.
Usai berganti pakaian, Alesha dan Raka duduk di sofa. Sampai detik ini meski hatinya belum sepenuhnya untuk Raka tapi Alesha tetap bertingkat seolah dia sangat mencintai. Disandarkan kepalanya di dada sang suami, dan Raka memeluk pinggangnya. Tatapan Alesha nampak kosong sementara Raka sibuk melirik arlojinya sambil memikirkan cara untuk keluar menemui Azka dan Kinan tanpa diketahui oleh Alesha.
"Bang, kalau kita tunda punya anak dulu, gak apa-apa kan?" Tanya Alesha tiba-tiba.
Raka tersentak, cukup terkejut mendengar keinginan Alesha yang ingin menunda punya anak. Sekaligus perkataan istrinya itu mengingatnya tentang sesuatu.
"Ya, kalau kamu belum siap, tidak apa-apa." Ujar Raka terdengar tenang, namun hatinya diliputi kecemasan akan suatu hal yang membuatnya sulit tidur akhir-akhir ini. "Nanti aku akan mengantarmu ke rumah sakit untuk pasang kontrasepsi." Lanjutnya.
Alesha tersenyum, "Terima kasih atas pengertiannya, Bang." Ucapnya.
Raka mengangguk, "Tapi jangan lama-lama ya, Al. Orang tua kita pasti akan menagih cucu dari kita."
Alesha tak langsung menjawab, dia terdiam sejenak. "Iya Bang, sampai aku bisa menemukan orang yang bisa aku percaya untuk membantuku mengelola Butik ku." Ucapnya kemudian. Raut wajahnya nampak murung. Jika boleh jujur ia belum siap untuk itu, bahkan untuk menyerahkan diri pada Raka saja rasanya ia belum siap. Tapi apa boleh buat, sebagai istri ia harus memberikan hak suaminya.
"Aku akan bantu untuk itu." Kata Raka. Untuk saat ini ia bisa memaklumi alasan Alesha untuk menunda punya anak. Istrinya itu memiliki butik yang sedang berkembang pesat, di jaman sekarang cukup sulit menemukan orang yang bisa dipercaya memegang tanggung jawab yang besar.
Meski keluarga Alesha memiliki perusahaan yang besar, tapi Alesha lebih memilih membangun butik daripada bergabung di perusahaan keluarganya. Menurutnya, membuka bisnis sendiri itu lebih menantang ketimbang menjalankan yang sudah berkembang.
Raka melirik arlojinya lagi, waktu menunjukkan pukul lima sore. "Kamu gak mau tidur? Pasti capek tadi lama berdiri di pelaminan." Tanyanya, berharap Alesha berkata iya.
"Hem, sebenarnya aku emang ngantuk. Tapi gak apa-apa nih aku tinggal tidur?" Alesha yang masih bersandar di dada suaminya, mendongakkan wajahnya.
"Ya gak apa-apa dong, yuk aku temani." Raka menuntun istrinya menuju tempat tidur.
Tak membutuhkan waktu lama Alesha pun telah tertidur. Setelah memastikan istrinya benar-benar lelap, Raka beringsut turun dari tempat tidur. Melangkah pelan menuju pintu, ia menoleh menatap istrinya sebelum akhirnya keluar dan menutup pintu dengan gerakan pelan agar tak menimbulkan suara.
Kini, Raka telah berdiri di depan pintu kamar Azka dan Alesha. Ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya sambil mengatur nafas sebelum akhirnya mengetuk pintu itu.
Kinan yang sejak memasuki kamar pengantinnya hanya terdiam, tersentak ketika mendengar suara ketukan pintu. Ia gegas berdiri untuk membukanya.
"Biar aku saja," cegah Azka lalu berjalan cepat menuju pintu. Mungkin itu petugas hotel, pikirnya. Namun, saat membuka pintu ternyata Raka yang mengetuk.
"Bang, apa aku boleh masuk?"
Azka tak langsung menjawab, dia menoleh menatap Kinan. Istrinya itu berbalik badan begitu melihat keberadaan Raka.
"Masuklah," ucap Azka. Setelah adiknya masuk ia menutup kembali pintunya. Meski tahu Kinan tidak ingin melihat Raka tapi ia rasa ada sesuatu yang penting yang ingin dibicarakan adiknya itu. Beberapa hari belakangan mereka memang jarang komunikasi karena sibuk mengurus pernikahan masing-masing.
"Apa Alesha tahu kamu kesini?" Tanya Azka.
Raka menggeleng, "Alesha sedang tidur, Bang." Jawabnya. Kedua matanya berkaca-kaca menatap abangnya. Selama ini, dia sering kali merasa iri terhadap Azka yang lebih dekat dengan mama Flora ketimbang dirinya. Terkadang ia juga menilai Azka memang sengaja selalu mencari perhatian pada kedua orang tua mereka. Dia tidak suka itu, karena ia adalah putra kandung mama Flora, bukan Azka. Azka adalah anak dari istri pertama papa Rangga yang merupakan saudari kembar mama Flora sendiri yang meninggal dunia setelah melahirkan Azka.
Apalagi ketika Azka diangkat menjadi CEO di perusahaan mama Flora sementara dirinya diangkat menjadi CEO di perusahaan papa Rangga. Rasa iri Raka semakin menjadi, karena perusahaan mamanya ternyata lebih besar daripada perusahaan papanya.
Namun, Abang yang selalu ia nilai minus itu telah menyelamatkannya dari bencana besar. Jika tidak ada Azka, mungkin hari pernikahannya dengan Alesha juga tidak akan pernah terjadi karena kesalahan yang telah ia perbuat.
"Bang, maafkan aku." Raka memeluk abangnya dengan erat. Sementara Azka hanya mematung tanpa membalas pelukan adiknya.
Raka menitihkan air matanya, hal yang dia tahan selama beberapa hari belakangan. Ingin memeluk Azka dan menangis di pelukan sang kakak yang telah menjadi penyelamat hubungannya dengan Alesha.
Waktu itu Raka yang ditemani Kinan sedang berpesta bersama rekannya yang lain untuk merayakan keberhasilannya memenangkan tender. Melihat banyaknya minuman memabukkan yang tersedia Kinan ingin pulang, namun Raka melarangnya dengan alasan Alesha pasti akan banyak tanya bila tahu ia tak kembali ke kantor bersama Kinan. Sebagai sekretaris sekaligus sahabat akhirnya Kinan tetap berada di tempat itu sampai Raka selesai berpesta bersama rekan-rekannya.
Melihat Raka yang nampaknya sudah mabok berat, Kinan mengajaknya segera meninggalkan tempat itu. Diantara kesadarannya, Raka meminta Kinan mengantarkannya ke sebuah kamar untuk membersihkan diri dan memulihkan kesadarannya karena tidak ingin Alesha ataupun keluarganya melihat ia dalam keadaan mabuk.
Kinan menuruti, ia merangkul tubuh Raka yang sempoyongan menuju sebuah kamar yang letaknya di lantai atas. Sesampainya di kamar tersebut, Kinan langsung menjatuhkan tubuh Raka ke tempat tidur.
Efek minuman yang cukup banyak dikonsumsi Raka membuatnya sulit mengendalikan diri. Yang ia rasakan, sekelilingnya terasa berputar dan sulit mengatur pandangannya.
"Kamu istirahat saja disini, kalau sudah merasa baikan telpon aku, nanti aku jemput. Aku pergi dulu," ujar Kinan sembari mengatur nafasnya yang ngos-ngosan karena memapah Raka dari lantai bawah.
Baru akan melangkah pergi, Kinan tersentak ketika tangannya tiba-tiba ditarik. Tubuhnya oleng dan seketika saja terjatuh ke tempat tidur tepat di samping Raka.
"Al, jangan pergi. Please jangan marah. Aku janji tidak akan mabuk lagi."
"Sadar Raka, aku Kinan bukan Alesha." Ucap Kinan sembari berusaha bangkit. Tapi dasarnya berbicara pada orang mabuk tidak akan berefek apapun, yang terjadi Raka justru memeluknya dengan erat sembari terus menghiba meminta maaf.
Raka mengira Kinan adalah Alesha, ia tidak ingin melepas wanita itu pergi sebelum mendapatkan pengampunan karena telah terlena dengan minuman memabukkan.
Semakin Kinan berusaha melepaskan diri semakin Raka memeluknya erat. Pergerakan Kinan yang gesit justru memancing jiwa kelelakian Raka. Ditambah efek minuman memabukkan menjadikan Raka seakan lupa diri.
"Aku mencintaimu, Al. Aku sangat bahagia, kita sebentar lagi akan menikah." Sembari terus meracau, Raka mulia bergerak mengikuti naluri kelelakiannya. Yang dia pikirkan, sebentar lagi akan menikahi Alesha maka tak masalah mereka melakukannya.
Tak seimbangnya tenaga, membuat Kinan tak berdaya. Dia memang mencintai Raka tapi tidak akan pernah memberikan kesuciannya secara sukarela hanya karena cinta. Apalagi yang terjadi sekarang, Raka merenggutnya secara paksa.
Malam harinya. Raka begitu terkejut saat bangun, mendapati dirinya berada diatas ranjang yang sama dengan Kinan dalam keadaan tanpa busana. Wanita itu menangis sesenggukan di sampingnya.
"Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk melawan tapi aku tidak berdaya. Kamu telah memperkosaku Raka, kamu harus tanggung jawab!" Pungkas Kinan. Sebagai wanita yang telah ternoda, ia merasa masa depannya telah hancur. Tiada yang bisa ia lakukan selain meminta pertanggungjawaban Raka.
Raka tak bisa menyangkal telah memperkosa sahabat sekaligus sekretarisnya itu. Meski dalam keadaan mabuk, namun ia masih bisa mengingat potongan potongan kejadian siang tadi. Efek mabuk, ia mengira Kinan adalah Alesha.
Awalnya Raka meminta Kinan untuk melupakan kejadian itu dan berjanji akan memberikan apapun yang Kinan mau asalkan kejadian itu tidak terbongkar. Namun, Kinan mengancam akan mempublikasikan kejadian itu jika Raka tidak mau bertanggungjawab. Kinan tidak mau menjadi wanita ternoda yang tidak mendapatkan keadilan. Dia tidak mempedulikan lagi Alesha sahabatnya yang sebentar lagi akan menjadi istri Raka.
Raka merasa frustasi. Ia tidak mungkin menikahi Kinan sementara pernikahannya dengan Alesha akan digelar dalam waktu satu bulan mendatang. Petaka mabuk membuatnya terjebak dalam masalah yang besar.
Ditengah kebingungan yang melanda, Raka tidak bisa berpikir jernih. Dan akhirnya, yang dapat ia lakukan hanyalah menghubungi Azka, meminta kakaknya tersebut datang.
.
.
.
Visual 🙈🙈🙈
Azka&Kinan
Raka&Alesha
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!