Damar tidur di atas ranjangnya sambil memeluk tubuh seorang wanita. Dia mengusap rambut panjang wanita itu dengan penuh kasih sayang. Malam yang dingin
membuat dia semakin mengeratkan pelukannya, hingga dia bisa merasakan hembusan napas wanita itu di dadanya saking dekatnya.
Entah kenapa malam ini berasa seperti nyata. Dia bisa memeluk wanita diperlukannya itu sekarang. Padahal sudah dua tahun mereka tidak pernah bertemu. Bahkan ke mana wanita itu setelah perceraian mereka, Damar tidak tahu. Bagaimana kabarnya, apakah dia baik-baik saja? Apa yang dia lakukan sekarang? Damar sama sekali tidak tahu.
Rasa asing yang tiba-tiba muncul itu perlahan-lahan berubah ketika wanita di pelukannya itu berusaha melonggarkan pelukannya.
"Damar...?" Terdengar suara samar wanita itu memanggilnya sambil mengusap sebelah pipinya.
"Iya...?!"
"Ayo kita bercerai!"
Suara wanita itu sayup-sayup terdengar di telinga Damar. Antara dia
M sadar atau tidak, jelas dia mendengar permintaan wanita di pelukannya itu. Dia sangat kaget dan tidak percaya dengan apa yang dikatakan wanita itu.
"Apa...?"
"Ayo kita bercerai."
Di saat wanita itu mengulang kembali kalimatnya dengan suara lebih jelas dan nyaring, saat itu juga Damar tersadar dan bangun. Yang pertama dia lihat ketika membuka matanya adalah sisi tempat tidurnya kosong dengan napas ngos-ngosan.
Tubuh Damar dipenuhi keringat yang bercucuran seperti orang yang baru saja lari maraton. Padahal dia tidur semalaman berada di atas ranjangnya sendiri. Dia yang terbiasa tidur bertelanjang dada perlahan lahan merasakan dinginnya angin malam.
"Aaahk...! Ternyata hanya mimpi" gumamnya dalam hati.
Damar duduk dari rebahan nya dam melihat jam digital yang ada di atas nakas di samping ranjang. Jam sudah menunjukkan jam empat subuh. Bagaimana pun caranya dia mencoba untuk memejamkan mata lagi sudah pasti tidak akan berhasil. Pria itu akhirnya memutuskan pergi berolahraga, lalu mandi.
"Hah...! Sepertinya aku sudah gila" batinnya sambil berjalan masuk ke dalam kamar mandi.
Selama dia berada dibawah guyuran air yang membasahi tubuhnya, pikiran Damar tidak hilang dari wanita yang ada di dalam mimpinya itu. Ya, wanita itu adalah Thasya. Manta istrinya yang hadir ke dalam mimpinya setelah dua tahun mereka bercerai.
"Apakah karena nama itu, ya?" Damar bertanya-tanya di dalam hati.
"Thasya Wilona Adimerta. Kenapa harus sama dengan nama mantan istriku?" Kalimat pertanyaan itu selalu terngiang-ngiang di dalam pikiran Damar.
***
Di Perusahaan
Damar berjalan menuju ruang kerja bersama dengan sekretarisnya yang membawa beberapa berkas di tangannya. Sari, sang sekretaris meletakkan berkas yang dia bawa itu di atas meja kerja Damar dengan hati-hati.
"Rapat pengurus akan diadakan nanti. Aku beri waktu tiga puluh menit untuk mempersiapkannya" kata Damar sambil duduk.
"Baik pak, saya akan siapkan. Satu lagi pak, saya mau mengingatkan kalau pertemuan dari penanggungjawab Beauty Fasion nanti jam sebelas."
"Oke" jawab Damar dan mulai berkutat dengan kertas-kertas di depannya.
Pagi itu Damar sibuk menyelesaikan rapat internal masalah pengurus perusahaannya. Dan setelah selesai dia kembali lagi ke ruang kerjanya.
Ditengah-tengah kesibukannya yang fokus menyelesaikan pekerjaannya, tiba-tiba terdengar suara ketukan.
Tok... Tok... Tok...
"Pak Damar, penanggungjawab dari pihak Beauty Fasion sudah datang pak."
Mendengar pemberitahuan dari sekretarisnya membuat Damar sejenak menghentikan pekerjaannya.
"Apa sudah waktunya?" gumam Damar sambil melihat arloji di tangannya.
Dia membuka sebuah file yang beberapa hari lalu sudah diserahkan sekretarisnya itu. Dia membaca kembali berkas itu di mana tertera di sana informasi data pribadi atau profil m seseorang yang akan dia temui pada jam itu.
"Bawa saja orang itu masuk ke dalam" ujar Damar meminta Sari mempersilahkan yang membuat tidur pria itu tidak tenang.
"Ibu Thasya, silahkan masuk" ujar Sari dengan sopan sambil membuka pintu ruang kerja Damar.
Wanita itu pun masuk melangkahkan kakinya memasuki ruangan itu dengan sedikit gugup. Ruangan yang terlihat ditata rapi itu sejenak terasa hening. Hanya bunyi suara higheels wanita itu yang terdengar saat dia melangkah.
Berusaha bersikap tenang dan biasa saja sang wanita pun bersuara, "Senang bertemu dengan anda, Pak Damar."
Damar mengangkat wajahnya dan terdiam sejenak. Seolah-olah suaranya tertahan di kerongkongannya. Seperti orang lumpuh total yang tidak bisa melakukan apapun, begitulah kondisi Damar terlihat saat ini.
Ya, apa yang dia pikirkan beberapa hari terakhir ini memang benar. Nama wanita yang terngiang-ngiang di dalam pikirannya hingga membuat tidurnya tidak tenang adalah nama mantan istrinya sendiri. 'Thasya Wilona Adimerta' dan sekarang berdiri di hadapannya.
Rasa canggung semakin Thasya rasakan ketika dia melihat Damar diam saja. Apalagi pria itu sekarang hanya menatapnya tanpa berkedip sekali pun.
“Thasya, kamu…”
Hanya dua kata itu yang keluar dari mulut Damar setelah dia menyadari betul bahwa yang ada di hadapannya sekarang itu adalah Thasya, mantan istrinya.
‘Mantan istri…?” Aaah, rasanya Damar tidak rela dengan sebutan itu. Walaupun mereka sudah sah bercerai dua tahun yang lalu. Tetapi Damar sampai sekarang rasanya belum terima kalau sudah berpisah dengan wanita yang sedang berdiri tepat di depan matanya.
Ketika keduanya sedang berusaha menghilangkan rasa yang berkecamuk di
dalam hati masing-masing. Sementara di luar ruang kerja Damar, beberapa staf yang tadi sempat melihat kedatangan Thasya pada ribut membicarakannya.
Ciko yang sedang berjalan keluar dari pantry sambil membawa gelas kopinya sangat kaget melihat kehadiran Thasya di perusahaan itu. Dia kenal betul siapa wanita itu.
“O-orang itu…!”
Melihat Ciko yang sedang melamun memanggil rekan kerjanya itu.
“Ciko…! Kamu kenapa? Kamu melihat apa?”
“Aduh…!!!” Ciko kaget hingga membuat kopinya tumpah membuat lantai basah dan kotor.
Untuk memastikan siapa yang barusan saja dia lihat, Ciko pun bertanya. “Siapa yang barusan lewat?”
Akhirnya Alex sadar siapa yang membuat Ciko melamun. “Siapa? Dia perwakilan penanggungjawab Perusahaan Beauty. Fasion. Namanya Thasya Wilona Adimerta” jawab Alex.
“Ingatanku tidak salah” batin Ciko.
Melihat Ciko yang terdiam membuat Alex penasaran. “Apakah dia mantan pacarmu?”
Mendengar perkataan Alex barusan membuat Ciko kaget dan panik sendiri. Jangan sampai ada orang yang mendengar perkataan rekan kerjanya itu.
“Kau, hati-hati kalau bicara…! Wanita itu mantan istri Pak Damar!” kata Ciko sedikit berteriak memperingatkan Alex.
“Apa…?! Ma-mantan istri Pak CEO…?”
Alex begitu kaget mendengar ucapan Ciko barusan. Dia tidak menyangka jika wanita yang barusan mereka lihat itu adalah mantan atasan mereka sendiri. Dan.yang membuat mereka bertanya-tanya, kenapa Thasya kembali setelah dua tahun berpisah.
Apa yang akan terjadi ke depan setelah.pertemuan ini? Wanita yang memutuskan.berpisah dengan suaminya dan menghilang seperti di telan bumi, kembali muncul tanpa merasa seolah-olah tidak pernah terjadi apa apa di antara mereka.
Siapa pun yang mengenal mereka dan melihat pertemuan ini, akan berpikir yang sama.
Di dalam keterdiaman masing-masing, memory keduanya kembali jauh ke masa di mana momen yang paling tidak bisa mereka lupakan.
“Thasya, kamu boleh menolak jika kamu tidak mau.”
Thasya dan sang ayah berada di dalam mobil yang akan mengantarkan Thasya ke tempat di mana dia akan bertemu dengan seseorang yang akan dijodohkan kepadanya.
“Tapi, ayah harap kamu sebisa mungkin memikirkan ini dengan lebih positif” lanjut pria paruh baya itu.
Dia yang mengatakan Thasya boleh menolak, tetapi dia juga yang secara tidak langsung minta Thasya untuk memikirkan perjodohan itu tanpa bisa menolaknya.
Thasya juga bukan orang bodoh yang tidak bisa mengartikan arti dan tujuan perkataan ayahnya itu. Perjodohan yang dia hadapi saat ini bukan seburuk yang orang-orang katakan. Justru perjodohan yang mendatangkan kebaikan bagi keluarga mereka yang sedang membutuhkan dukungan finansial untuk keberlangsung perusahaan keluarga yang sedang diambang kebangkrutan.
Merasa tidak perlu mengatakan apa-apa. Apalagi menolak, itu tidak akan ada gunanya. Percuma saja. Pendapat apapun yang dia utarakan tidak akan pernah didengar oleh keluarga itu.
Thasya pun keluar dari dalam mobil tanpa mengatakan sepatah kata pun. Kecuali saat dia akan pamit turun. “Saya pergi dulu.”
Thasya pun masuk ke salah satu restoran dan salah satu staf pelayan di sana mengantarkannya ke ruangan yang sudah direservasi sebelumnya.
Dia melihat ruangan itu masih kosong yang berarti dia harus menunggu. Yang membuat Thasya bingung menentukan pilihan bukanlah gosip yang sebelumnya dia dengar kalau laki-laki yang akan dia temui itu orang yang dingin, arogan dan sombong.
Dia secara pribadi berpikir itu mungkin lebih baik dari pada hidup terkurung layaknya burung seperti sekarang yang dia rasakan di dalam keluarganya. Dia hanya anak yang dipungut dan dibesarkan di dalam keluarganya dan itu tidak akan gratis.
“Thasya Wilona Adimerta.” Dia mendengar seseorang memanggilnya. Mungkin karena dia sibuk dengan pikirannya sendiri dari tadi sehingga dia tidak mendengar seseorang masuk ke dalam ruangan itu.
“Senang bertemu dengan anda. Saya Damar Rai Dawson.”
Thasya melihat laki-laki di depannya itu tidak arogan atau kasar apalagi sombong seperti yang digosipkan. Dia malah terlihat lebih ke dingin dan cuek.
“Karena kita sama-sama tahu hungan kita ini adalah bisnis bagi kedua keluarga kita, kalau anda tidak keberatan mari kita secepatnya menikah.”
“Baik.”
Itulah pertemuan singkat yang Thasya ingat dengan Damar. Dan disaat itu juga mereka memutuskan untuk menikah. Karena keduanya juga sepertinya tidak mau membuang-buang waktu mereka.
Begitu juga Damar. Memorinya kembali terbuka seperti lembaran buku lama yang tidak pernah dia baca. Tetapi saat ini semuanya seolah terpampang jelas di hadapannya.
Damar mengingat kesan pertama saat dia melihat Thasya. Dia adalah wanita yang ekspresinya sangat datar. Seseorang yang menunjukkan kehidupannya tidak berwarna. Dan setelah menjalani pernikahan mereka, Thasya adalah wanita yang sesuai dengan harapannya.
Dia adalah istri yang tidak mengharapkan atau meminta sesuatu dari Damar. Tidak pernah menyusahkannya apalagi bertingkah aneh. Itu sangat sesuai dengan harapannya, kecuali saat di mana Thasya meminta bercerai darinya.
Damar masih sangat ingat betul di mana saat itu mereka sedang serapan.
“Lanjutkan apa yang ingin kamu katakan?” ujar Damar sambil menikmati serapannya.
“Nanti setelah selesai serapan saja.”
“Bukannya kamu bilang itu hal yang sangat penting? Lanjutkan saja.”
Saat itu Thasya terdiam. Dan dengan perasaan ragu-ragu dia meletakkan selembar kertas di depan Damar.
“Apa ini?” pertanyaan itu keluar dari mulutnya sambil melihat Thasya.
Wanita itu pun dengan bersusah payah membalas tatapan Damar yang masih berstatus suaminya itu. Berusaha memantapkan hatinya dan jangan sampai gagal. Walaupun dia tahu betul jika Damar sudah banyak membantu keluarganya.
“Mari kita bercerai.”
Perasaan Damar saat itu sangat syok. Dan tidak kepikiran jika Thasya akan meminta cerai darinya. Itu hal yang tidak pernah Damar sangka. Karena walaupun pernikahan mereka atas dasar bisnis dan setelah menjalani kehidupan pernikahan mereka selama dua tahun ini tidak pernah terbersit sedikit pun di pikiran Damar menceraikan Thasya.
Tapi pagi itu malah dia mendengar hal yang dia pikir tidak akan pernah terjadi di dalam hidupnya.
Waktu untuk mengingat kembali memori kenangan mereka masing-masing akhirnya berakhir ketika Damar mempersilahkan Thasya duduk.
“Tidak kusangka ternyata benar kamu yang datang.”
Dengan perasaan sedikit gugup tapi Thasya berusaha menyembunyikannya. Dia menjawab Damar setenang mungkin. “Terima kasih sudah meluangkan waktu anda.”
“Kalau sudah tahu saya sibuk, langsung saja ke intinya” kata Damar yang sepertinya tidak mau berlama-lama.
Thasya berusaha terlihat biasa saja. Dan berusaha menghilangkan ingatan jika dia pernah hidup bersama dengan laki-laki di depannya saat ini. Dia tidak mau masa lalunya akan berdampak buruk untuk menyelesaikan masalah pekerjaannya.
Dia sudah jauh-jauh datang dari Amerika dan kebetulan juga ini tugas individu pertamanya. Dia tidak boleh mengecewakan atasannya karena dia sudah dipercayakan untuk menyelesaikan masala ini.
“Saya mendapat laporan dari tim penjualan kami tentang situasi saat ini. Jika kontrak dibatalkan setelah pihak kami selesai memproduksi barang tepat waktu, perusahaan kami akan mengalami kerugian yang cukup besar” kata Thasya memulai pembahasan mereka.
“Lalu…?” ujar Damar dengan santai sambil melipat kedua tangan di depan dadanya.
“Tidak bisakah Pak Damar menarik kembali surat pembatalan tersebut?”
“Kalau tidak bisa?” Segampang itu Damar merespon pertanyaan yang dilayangkan Thasya. Dia tidak melihat bagaimana usaha mantan istrinya itu mencona memintanya dengan baik-baik.
“Apa…?” ujar Thasya tidak percaya dengan ucapan Damar.
“Thasya, apakah kamu meremehkan aku?” ujar Damar yang tidak suka ada orang menganggapnya gampangan dan tidak bisa konsisten dengan keputusan yang sudah dia ambil.
“Apa maksud anda?”
“Atau mungkin karena kamu sudah lama tinggal di luar negeri, kamu anggap ini panggung drama? Padahal kita sudah lama bercerai, tapi kamu mau kita saling membantu?”
Thasya masih mencoba menenangkan perasaannya. Dia tidak mau tersulut emosi karena dia datang ke sana atas nama perusahaan di mana tempatnya bekerja saat ini. Tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi.
“Saya datang bukan untuk mengungkit masalah pribadi kita berdua. Saya datang sebagai perwakilan dari Perusahaan Beauty Fasion. Saya meminta anda untuk memikirkan lagi tentang pembatalan…”
“Jadi kamu mau berhubungan bisnis lagi denganku?” potong Damar.
“Tapi bagaimana, ya? Tidak ada keuntungan yang bisa aku dapatkan dari berbisnis denganmu. Sepertinya situasi di sana sangat buruk sampai kamu rela datang kepada mantan suamimu, ya?”
Kata-kata Damar barusan seperti menyindir apa yang sebelumnya telah dilakukan Thasya.
Dia mengepalkan kedua tangannya berusaha untuk menahan emosinya.
“Tentu saja tidak ada orang yang senang bertemu kembali dengan mantannya” batin Thasya merasa sesak menyelimuti dadanya. Dia tertunduk karena sepertinya usahanya datang kali ini tidak akan berhasil.
Damar yang masih melihat Thasya diam melanjutkan pertanyaannya. “Kenapa? Karena sayang dulu kamu tidak dapat uang kompensasi?”
Thasya semakin tidak kuat mendengarkan tuduhan mantan suaminya itu. Dia datang menemui Damar tidak ada niat sedikit pun menggunakan statusnya yang pernah menyandang nama Nyonya Dawson.
“Maaf, saya sudah berpikiran pendek datang ke sini” kata Thasya langsung bangun dari duduknya. Dia tidak mau lagi mendengarkan tuduhan-tuduhan Damar yang nyatanya tidak benar.
“Saya pergi dulu” lanjut Thasya dan melangkah pergi.
Melihat Thasya yang akan pergi langsung menghentikannya. “Berhenti, tunggu dulu!”
Damar berdiri lalu berjalan mendekati Thasya sambil mengambil sebuah map file yang sudah dia siapakan di
meja kerjanya tadi.
“Sekarang giliran kamu yang harus tandatangani” lanjut Damar menyerahkan berkas di tangannya.
Setelah pertemuan itu, asisten Damar yang mengetahui pertemuan tadi dan melihat situasi yang sepertinya kurang baik membuat Ciko dan Alex tidak berani masuk ke dalam.
Alex yang sedang membawa berkas yang harus segera ditandatangani atasan mereka itu sekaligus minuman, hanya bisa berdiri di depan pintu. Ciko sampai mendorong-dorong Alex agar segera masuk, tetapi rekana kerjanya itu masih tidak berani.
“Setelah kepergian Ibu Thasya tadi, perasaan Pak CEO kelihatannya tidak baik ya?” kata Alex. Tangannya
sudah mulai pegal.
“Sepertinya begitu” jawab Ciko membenarkan.
“Sepertinya kalau aku masuk sekarang akan kena semburan api nggak, ya?” Dari tadi Alex mendung-duga apa yang akan terjadi nanti jika dia menemui atasannya itu dalam keadaan hati yang masih buruk.
Bisa-bisa dia nanti yang kena imbas omelan karena pertemuan sang bos dengan mantan istrinya yang kurang berjalan dengan baik tadi.
“Tapi kamu harus tetap masuk, Alex!” Ciko tetap mengingatkannya. Dia juga mulai mendorong tubuh Alex agar segera menjalankan tugasnya. Kalau cuma mau ngantar kopi masih bisa ditunda. Tapi berkas yang harus ditandatangani itu harus segera dikerjakan.
“Ha-harus sekarang, ya? Harus banget?” Wajah Alex mulai panik dan terlihat pucat padahal dia masih di luar.
“Iya! Memang sampai kapan kau berdiri di sini? Mau sampai kau lumutan? Ayo sana masuk!” bujuk Ciko.
Akhirnya dengan memberanikan diri, Alex masuk ke dalam ruang kerja Damar dengan Ciko membantu membukakan pintu ruangan itu. Sementara di dalam, Daren masih pusing memandangi berkas surat kesepakatan pembatalan kontrak yang sudah ditandatangani Thasya tadi.
Dia terlihat beberapa kali menghembuskan napas dengan kasar.
Tok… Tok… Tok…
“Masuk…!!!” terdengar suara Damar yang memerintah dari dalam.
“Pak Damar, saya membawakan kopi anda, pak.”
“Aku lagi tidak mood minum kopi sekarang. Bawa kembali saja!” jawab Damar.
“Apa lagi itu?” tanya Damar ketika Alex meletakan map file di mejanya. Sementara jantung Alex sudah dag dig dug dari tadi dan berusaha bersikap sebaik mungkin agar tidak memancing emosi Damar yang lagi tidak stabil.
“Ah, Ibu Riska menitipkan dokumen ini karena butuh persetujuan dan tandatangan Pak Damar secepatnya” kata Alex menjelaskan.
“Lalu gelas ini? Bukannya tadi aku sudah bilang membawanya keluar?”
“Maaf Pak Damar, itu teh hijau yang dititipkan Ibu Thasya untuk anda sebelum beliau pergi tadi.”
Jantung Alex semakin berdebar-debar tidak karuan dan berkeringat dingin ketika dia memberitahukan kalau itu pemberian dari mantan istri sang atasan. Dia sudah mempersiapkan diri menjadi tempat penampungan sumpah serapah sang bos nantinya.
Tetapi untungnya tidak terjadi. Dengan sopan, Alex undur diri keluar dari ruang kerja atasannya itu. Semantara Damar malah teringat ketika dia masih dengan Thasya masih bersama. Di mana saat itu dia sedang sakit.
“Damar, kamu tidak apa-apa? Coba minum ini” Thasya membangunkannya dan menyuruhnya minum ramuan
herbal buatannya.
“Minuman apa ini?”
“Ah, ini rebusan rempah dan madu. Ini cocok untuk kamu yang sedang sakit” Thasya menjelaskan. Walaupun saat itu mereka menikah atas nama bisnis, di saat Damar membutuhkan peran istrinya Thasya selalu melayaninya. Contohnya; ketika dia sakit.
“Sebelumnya dia sudah memberiku bubur, jus, sekarang ramuan herbal. Besok-besok dia memberikan apa lagi?” batin Damar saat itu sambil menerima gelas dari tangan Thasya.
Dia juga kaget dan tidak menyangka ketika Thasya mendaratkan punggung telapak tangannya di kening Damar. “Sekarang demammu sudah turun. Kamu akan baik-baik saja dan segera pulih.”
Mengingat momen itu, Damar tidak sadar jika dia juga meletakkan telapak tangannya di keningnya. Seolah-olah dia seperti diarahkan untuk melakukannya.
“Hufff…! Apa yang sedang kulakukan” cicitnya ketika sadar apa yang sedang dia lakukan.
Di Ciroz’s Café
Seorang gadis staf pelayan café bernama Fami sedang sibuk membuatkan pesanan pelanggan. Dia mendengar suara lonceng pintu berbunyi, menandakan ada yang datang berkunjung ke café tersebut.
Triiing…!!!
Selamat datang di Ciroz’s caf…” Fami terdiam ketika dia dia melihat siapa yang datang.
“Pak bos ada di lantai atas.” Fami berkata dengan wajah judes. Ada rasa kesal ketika dia melihat orang yang datang barusan. Sepertinya ada rasa marah setiap kali Fami melihat orang itu.
“Huh…! Hari ini hari sialku. Kenapa juga aku harus melihat wajah laki-laki itu” batin Fami kesal sendiri.
Ya, laki-laki yang barusan datang itu adalah Damar. Dia ingin menjumpai seorang teman sekaligus pemilik café di bawah. Dan lantai dua bagunan itu dijadikan sebagai hunian pemilik café.
Ding… Dong…
Ding… Dong
Ding… Dong…
Berulang kali Damar menekan tombol bel rumah tersebut. Hingga siapa pun yang mendengarnya akan merasa risih dan kesal.
Tak terkecuali yang punya rumah sekarang. Dia langsung membuka pintu dan memarahinya tanpa mengkonfirmasi siapa yang datang. Karena si pemilik rumah sudah tahu kelakuan siapa itu yang selalu bermasalah dengan bel rumahnya.
“Damar…! Bisa nggak cukup sekali saja menekan belnya. Gara-gara kamu bel rumahku selalu rusak!” teriak Vino kesal.
“Aah, diam! Resepkan aku obat tidur, cepat!” perintah Damar tidak menghiraukan kekesalan Vino.
Temannya itu pemilik café dan sekaligus berpfofesi sebagai dokter.
Mendengar permintaan pasien abdinya itu, kekesalan Vino seolah sirna. Yang tadinya dia bersikap keras berubah menjadi lunak. “Kamu kan sudah berhenti minum obat tidur! Apa belakangan ini ada yang membuatku stres lagi?”
“Perusahaan yang aku kelola selalu masuk dalam pemberitaan utama di televisi dan surat kabar. Apa kamu tidak pernah melihat atau membaca berita?” kata Damar langsung duduk di sofa tanpa sang empunya suruh.
“Lalu kenapa? Memang ada hubungan dengan masalah sebelumnya?”
“Bahkan kamu tidak kaget sama sekali ketika Dawson Company selalu menjadi headline news setiap hari” kata Damar sambil memperhatikan sekeliling ruangan itu tanpa melihat sedikit pun ke arah Vino.
“Kalau pemberitaan itu hal yang baik dan menguntungkan bagi perusahaan kalian, lebih baik kamu olahraga saja. Jangan terlalu mengandalkan obat tidur. Kamu nanti bisa…”
Vino berhenti sejenak ketika dia melihat Damar lebih tertarik melihat isi ruangan rumahnya itu dari pada mendengarkannya yang sedang berbicara.
“Kamu mendengarkan aku tidak…?!” tanya Vino dengan nada kesal.
“Tidak” jawab Damar santai dengan sikap acuhnya.
Rasanya Vino ingin sekali melemparkan temannya itu lewat jendela lantai dua rumahnya ke luar sana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!