'Yang...aku kangen kamu.'
Isi sebuah pesan yang masuk ke dalam handphone kentang keluaran lama. Membuat wajah seorang gadis desa berseri-seri.
'Aku juga...'
Pesan jawaban dari sang gadis yang tengah buang air besar di kali. Benar-benar tidak bermartabat, berjongkok dalam jamban sembari memikirkan ayang yang berada jauh di sana.
'Sayang setelah pulang nanti, kita menikah ya?'
Satu pesan lagi membuat wanita cantik yang tengah salah tingkah ini semakin berseri. Dilamar dalam jamban walaupun melalui pesan singkat, romantis bukan?
Tidak ala Korea, namun ala kadarnya.
Menghela napas kasar, dirinya mulai bangkit membersihkan diri setelah lega. Yang jelas saat perjalanan pulang kembali membalas pesan ayang.
'Iya, tapi janji segera pulang ya? Pak Burhan melamarku.'
Namun, anehnya tidak ada jawaban lagi dari kekasihnya yang bekerja di kota. Pemuda yang bekerja sebagai kuli bangunan.
Melanjutkan perjalanan pulangnya. Menghela napas berimajinasi tentang hidup bahagia, bersama Deni (kekasihnya).
Usianya saat ini sudah menginjak 30 tahun, anak pertama dari tiga bersaudara. Dapat dikatakan tulang punggung, walaupun dirinya anak kepala desa.
Sehari-hari bekerja di pasar menjual ikan, terkadang pula membantu panen padi atau kentang. Semua pekerjaan dilakukannya, yang penting cuan masuk ke kantong.
Kala dirinya sampai di rumah maka pembicaraan mengenai pernikahan kembali terdengar.
"Dewi! Buatkan ibu teh! Ibu pusing karena kamu belum juga menerima lamaran juragan Burhan! Lihat adik-adikmu! Satunya suaminya PNS, satunya lagi punya suami perawat! Sementara kamu---" Weni, sang ibu menggeleng-gelengkan kepalanya heran dengan anak sulungnya.
"Kan beda ibuku tercinta! Mereka tamatan SMU, nah aku SMP. Mereka tidak pernah jemur-jemuran, aku? Dari lulus SMP sudah seperti kerupuk tinggal digoreng." Jawab Dewi melangkah ke dapur membuatkan teh untuk ibunya.
"Kamu beda dengan mereka. Ingat jasa kami, kalau bukan karena---" Kalimat sang ibu terpotong.
"Iya! Aku tau, karena itu, ibuku yang cantik. Setelah Deni pulang dia akan melamarku. Mantu ibu sudah gagah bertanggung jawab." Dewi mengaduk teh penuh kebanggaan.
"Mending juragan Burhan, walaupun jadi istri ketiga. Tapi kehidupan terjamin. Deni? Sudah cungkring, hitam, tidak punya modal. Dengar! Dimana-mana orang tua ingin yang terbaik untuk anak-anaknya." Tegas sang ibu kala putrinya menghidangkan teh.
"Ibu! Biarpun hitam tapi manis, biarpun hitam harga kopi lebih mahal daripada gula." Celetuk Dewi.
"Terserah! Tapi tahun ini kamu harus menikah! Cari yang mapan! Jangan bikin malu!" Peringatan keras dari sang ibu menatap tajam pada putrinya.
"Siap! Deni sudah melamarku! Ibu tenang saja!"
*
Namun terkadang segalanya hanya dapat tertinggal sebagai rencana. Pujaan hati belum tentu pujaan yang hati sebenarnya.
Dimana sejatinya Deni yang telah merantau ke kota selama ini. Pemuda yang tengah mengetik pesan sembari berteduh dari hujan.
Tangannya memegang sebungkus martabak manis. Kemudian kembali melajukan motornya ke suatu tempat.
Tempat kost terpencil, mengetuk pintu. Kala itu wajah seseorang terlihat. Yunita (salah satu anak juragan Burhan, saat ini tengah kuliah di kota), meraih martabak yang diberikan Deni.
"Bapak kamu nikah lagi?" Tanya Deni pada Yunita, setelah sebelumnya berbalas pesan dengan Dewi.
"Mana aku tau... omong-ngomong main yuk?" Ucap Yunita, menunjuk-nunjuk pada bagian dada Deni. Perlahan melepaskan kemejanya.
"Yunita, setelah pulang aku akan menikah dengan Dewi. Kita tidak bisa bersenang-senang terus seperti ini." Deni menghela napas kasar.
"Itu nanti! Bukan sekarang! Lagipula juga tidak mungkin hamil." Yunita, menunjukkan sekotak alat pengaman yang dibelinya.
Pada akhirnya terbuai juga bukan. Bahkan kali ini Deni lebih ganas, menyerang tubuh Yunita.
Ini dimulai dari setahun lalu, dari sekedar teman satu kampung yang kebetulan bertemu. Saling membantu, hingga terbuai untuk melakukannya. Status? Entahlah mereka lebih dari sekedar teman, tapi bukan juga kekasih. Karena Yunita juga sudah dijodohkan dengan pria lain.
Terbuai melepaskan semua pakaian, menginginkan puncak penyatuan layaknya pasangan suami-istri.
***
Brak!
Sang anak laki-laki berlari ke arah anak perempuan yang berlumuran darah segar. Kecelakaan besar terjadi di persimpangan jalan.
"Joseph, aku kedinginan." Ucap sang anak perempuan dalam pelukannya.
"Lily, A...akan aku belikan selimut. Sebentar lagi---" Kalimatnya yang memegangi luka Lily. Tidak ingin darah mengalir lebih banyak lagi.
"Ti... tidak apa-apa." Tangan sang anak perempuan lemas. Bersamaan dengan kedatangan ambulance dan petugas kepolisian.
Darah, lumpur semuanya masih membasahi tubuh sang anak laki-laki, berusaha menghentikan ambulance atau setidaknya mengikutinya."Lily!" Teriaknya, terjatuh kala mengejar ambulance.
Dua orang anak jalanan yang tidak menemukan jalan untuk bersama.
*
Napas Joseph terengah-engah baru terbangun dari tidurnya, mimpi tentang kecelakaan itu terlintas lagi, sudah 23 tahun berlalu, tapi dirinya masih mengingat segalanya.
"Lily..." Gumam pemuda yang menderita mysophobia (ketakutan berlebih terhadap kuman atau bakteri). Pemuda yang kini berusia genap 33 tahun.
"Kakak! Sudah setahun dari perjanjian! Kapan menikah!" Teriak Jonathan, sang adik memasuki kamarnya tanpa ijin.
Srak!
Brak!
Serangan berkecepatan tinggi, lemparan bantal yang hampir mengenai wajah Nathan. Namun dapat dihindari dengan cepat.
"Jangan masuk ke kamarku sembarangan! Kamu hanya membawa virus ke tempat ini." Komat-kamit mulut sang kakak mengomel membuat sang adik menahan tawanya.
"Jadi kapan menikah?" Tanya Nathan yang telah menang taruhan, menagih janji pada kakaknya.
"Tidak mau, dapat dibayangkan bagaimana berbagi kamar dengan wanita. Wanita yang kalau menstruasi mengeluarkan darah penuh bakteri dan bau amis, wanita yang terlalu sering shopping juga membawa virus dan bakteri dari luar." Keluh Joseph merapikan tempat tidur.
"Menikah itu enak! Buktinya anak pertamaku sudah lahir. Begini kak, berani kotor itu baik." Nasehat dari sang adik nan bijaksana.
"Berani kotor itu baik? Coba kamu fikirkan sekali lagi, jujur karena penasaran aku pernah menonton videonya. Wanita menjilati milikmu dan kamu menjilati miliknya. Lalu keringat kalian bercampur, ditambah liur yang didalamnya pasti terdapat jutaan bakteri, bercampur aduk saat berciuman. Gilanya lagi, tubuh menyatu, hingga ada cairan yang membuat seprei basah. Menjijikkan..." Joseph membayangkannya sebagai sesuatu yang laknat.
Tapi Nathan, memikirkan dengan cara normal."Itu enak, terutama saat mendengar dia menjerit!"
"Percuma bicara pada makhluk jorok sepertimu!" Gumam Joseph, mengambil bantal yang tadi dilemparkannya pada Jonatan. Kemudian menyemprotkan semprotan anti kuman pada bantal.
"Kak kapan menikah?" Tanya Jonatan lagi, membuat Joseph benar-benar muak.
"Aku tidak akan pernah menikah. Menikah itu menjijikkan." Jawaban Joseph untuk kesekian ribu kalinya.
"Itu curang! Melanggar perjanjian! Aku sudah menang taruhan, bahkan tinggal di desa satu tahun lebih, karena taruhan gila kakak!" Geram Nathan tidak dapat menerima segalanya.
"Aku tetap tidak mau menikah." Kembali jawaban datar terdengar.
"Aku dan Hana (istri Jonathan) akan tinggal di Jepang, selamanya tidak akan pulang! Kalau kakak terus begini." Bentak Nathan.
"Itu bagus, tinggal sendiri itu lebih baik." Jawaban penuh senyuman dari sang makhluk anti bakteri.
Nathan mengangkat salah satu alisnya."Bagaimana kalau aku sendiri yang memilihkan calon untuk kakak?"
"Aku bilang tidak mau! Lebih baik aku tinggal di desa selama setahun dari pada berbagi kamar dengan wanita!" Bentak sang kakak, melangkah ke kamar mandi.
"Nah! Itulah! CEO seharusnya tinggal di desa! Agar tau berani kotor itu baik!" Teriak sang adik menggedor-gedor pintu kamar mandi.
Jonathan yang tersenyum merencanakan dengan matang, membuat sang kakak merasakan apa yang dirinya rasakan. Tinggal di desa selama setahun, dengan jumlah uang yang minim dan sepetak tanah serta gubuk.
"Aku adalah adik yang baik!"
🥔🥔🥔
...Cinta terbaik bagaikan nasi hangat, begitu sederhana namun memikat....
...Cinta terbaik bagaikan nasi hangat, mirip dengan gadis yang selalu setia, menunggumu pulang....
...Cinta terbaik bagaikan nasi hangat, tidak akan berselera tanpanya....
...Cinta terbaik bagaikan nasi hangat. Betapa aku merindukannya, sejauh manapun kaki ini melangkah....
Joseph Northan Fredrik
...🌾🌾🌾CEO Masuk Desa 🌾🌾🌾...
Memakai setelan jas rapi, sarung tangan, masker ditambah dengan semprotan anti bakteri. Baru saja selesai mandi dan berganti pakaian setelah berolahraga di gym pribadi dalam rumahnya.
Dapat dikatakan dirinya lebih nyaman hidup seorang diri. Semua orang bagaikan kotor dapat menyebarkan virus dan bakteri padanya.
Joseph Northan Fredrik, itulah namanya. Pemuda yatim-piatu yang menghabiskan masa kecil dengan adiknya Jonathan Northan hidup di jalanan, hingga dapat membangun kerajaan bisnis seperti saat ini. Mengapa kondisi psikologis mysophobia (ketakutan berlebihan terhadap virus dan bakteri) dapat terjadi?
Ada alasan tersendiri, alasan yang bahkan tidak diketahui oleh Nathan. Tapi yang jelas jika ditanyakan siapa yang lebih rupawan dan disegani antara dirinya dan adiknya. Maka jawabannya adalah...
"Pa...pagi pak Joseph..." Sapa pegawai front office tersipu.
Tidak ada jawaban, Nathan yang mengikuti kakaknya hanya menipiskan bibir menahan tawanya. Tidak pernah ada yang membuat sang kakak tertarik, mau perempuan, laki-laki, maupun setengah perempuan setengah laki-laki.
"Nathan! Tekan tombol liftnya." Perintah dari sang kakak, yang tidak ingin sarung tangannya tercemar bakteri atau virus.
"Baik...kakak..." Jawaban dari Nathan penuh senyuman. Dirinya benar-benar akan memberi pelajaran pada kakaknya, bahwa terkadang kotor itu tidak begitu buruk.
Bagaimana caranya? Sang kakak benar-benar tangguh. Walaupun menderita mysophobia namun merupakan atlet hangar profesional. Ditambah dengan otaknya yang cerdas.
Memasuki ruang kerjanya, kala seorang sekretaris pria membukakan pintu untuknya. Chief Executive Officer, sekaligus komisaris itulah jabatan yang diemban Joseph. Sedangkan adiknya memegang jabatan sebagai Presiden Direktur.
Seperti biasanya juga, sebelum duduk, sang kakak akan kembali menyemprotkan semprotan anti bakteri dan virus.
"Kakak bagaimana dengan taruhannya?" Tanya sang adik masih menanti pernikahan sang kakak.
"Sudah aku bilang, punya pasangan itu kotor." Joseph perlahan membuka laptopnya menggunakan tissue basah, kemudian mengelap setiap celah tombol, barulah mulai menyalakannya.
Seorang office boy memasuki ruangan. Meletakkan minuman dingin di atas meja sang CEO. Kala itu Jonathan tersenyum, menatap sang kakak yang minum perlahan tanpa ragu.
"Kak, aku bisa saja menghancurkan perusahaan ini kalau kakak masih menolak untuk menikah." Sebuah ancaman penuh senyuman dari sang adik.
"Kalau perusahaan ini hancur kamu tidak akan bisa makan." Joseph menertawakan ancaman adiknya.
"Kakak lupa istriku memiliki perusahaan yang dikelola orang lain? Aku diminta untuk mengelolanya. Ini bukan ancaman, tapi peringatan. Tinggal di desa selama setahun, alami penderitaan yang aku alami. Jika tidak aku akan meruntuhkan perusahaan yang sudah payah kakak bangun..."
"Hah?" Joseph memegangi kepalanya yang tiba-tiba sakit. Begitu berat rasanya, tubuhnya juga lemas.
"A...apa yang kamu masukkan ke dalam minumanku br*ngsek!" Bentak sang kakak.
"Obat tidur, dosisnya lumayan. Jadi tinggallah di desa yang dipenuhi lumpur. Kakakku tersayang, dengar! Aku melakukan ini karena benar-benar menyayangimu..." Wajah penuh senyuman dari Jonathan, hal terakhir yang diingat oleh Joseph. Sebelum pemuda itu tidak sadarkan diri.
Kala itulah Kevin (sekretaris Jonathan) memasuki ruangan.
"Pindahkan makhluk anti bakteri ini! Buat dia menjadi petani kotor." Nathan tersenyum senang. Ini menjadi semakin menarik saja. Bagaimana kakaknya akan bertahan di lingkungan yang berbeda?
*
Kala dirinya membuka mata, matahari telah bersinar menembus genteng. Bau yang aneh seperti kotoran? Ini dimana? Itulah yang ada di otaknya.
Kasur kapuk menbuat dirinya bangkit dengan cepat. Melihat keadaan sekitar yang begitu hening.
"Jonathan...!" Geram Joseph, menghela napas berkali-kali berusaha bersabar. Hal pertama yang dicarinya adalah semprotan anti bakteri dan sarung tangan, serta masker. Tapi nihil, kebutuhan pokoknya bagaikan nasi tidak ada sama sekali.
Hanya sebuah catatan, yang bahkan terlalu jijik disentuh Joseph berada di atas meja.
'Nikmati hidup setahun sebagai petani, pengganti janji kalah taruhan. Sebagai adik yang dermawan aku sudah memberikan bekal yang cukup. Lahan di depan gubuk juga ada, tinggal beli pupuk dan tanam semangka. 60-70 hari lagi masa panen. Beres!' Itulah pesan dari sang adik membuat Joseph begitu murka.
"Aku akan menghancurkannya! Tidak lain kali aku akan mengirim adik sialan itu ke wilayah konflik bersenjata!" Teriak Joseph, sebelum dirinya menyadari sesuatu.
"Ada tikus yang lewat!"
"Sial! Ada kecoa!"
"Desa br*ngsek! Disini bahkan sabunnya batangan. Kamar mandi sebau ini!"
Berbagai keluhan dari makhluk yang mulai menerima kenyataan membersihkan rumah. Dirinya harus membuat lingkungan yang bersih agar dapat bertahan hidup.
*
Kala siang menyapa, maka energi sudah habis. Sialnya Joseph benar-benar tidak tahu lokasi desa ini. Yang jelas kala melewati jembatan kayu seadanya, ingin rasanya melompat dan mati. Tempat ini benar-benar kotor baginya. Menjijikkan dan...
Melangkah melewati area pesisir sungai. Kakinya terkena lumpur, beberapa kali dirinya mencuci kaki. Benar! Sabun adalah kebutuhan utama.
Namun kala turun untuk kembali mencuci kaki. Dirinya tidak sengaja menatap seorang wanita yang berjongkok di aliran sungai yang sedikit tertutup semak-semak.
Wajahnya terlihat rileks, sesekali mengejan.
"Kamu buang air besar di sungai!?" Teriak Joseph yang hendak mencuci kaki ke 10 kalinya.
Wanita yang baru menyadari keberadaan Joseph mengernyitkan keningnya. Dirinya diintip oleh malaikat kala tengah konsentrasi mengeluarkan isi perut.
"Dasar mesum!" Teriaknya melempar Joseph menggunakan batu kali. Tapi dengan cepat pemuda itu menghindar.
"A...aku tidak sengaja! Mau cuci kaki! Kamu yang salah! Ini pencemaran lingkungan, tidak boleh buang air besar di sungai!" Teriak Joseph mengalihkan pandangannya.
"Mau bagaimana lagi, jamban penuh!" Jawaban dari Dewi, menunjuk ke arah jamban yang ada di sisi seberang sungai.
Seketika Joseph berusaha mencerna segalanya. Bangunan aneh yang terletak di tengah sungai, berbentuk kotak dimana ada orang di dalamnya.
Warga desa sini masih buang air besar di sungai? Jadi dirinya dari tadi mencuci kaki di tempat yang terdapat kotoran.
Seketika kepalanya sakit, pemuda yang tidak dapat menerima kenyataan jatuh pingsan. Sementara Dewi bangkit usai membersihkan... membersihkan... sudahlah.
"Hai! Kamu malaikat dari mana? Artis ya? Kok pingsan!?" Tanya Dewi mengguncang pelan tubuh Joseph. Namun, bagaikan tenggelam dalam kematian, dirinya lebih baik mati dengan tenang dari pada menerima kenyataan ini.
*
Namun sayangnya Tuhan tidak begitu baik padanya. Dirinya mengerjapkan mata terbangun di rumah kepala desa.
"Sudah bangun?" Tanya Dewi menyodorkan teh hangat.
Tapi membayangkan pasti tangan itu yang digunakan untuk cebok, membuat dirinya memalingkan wajah."Aku ingin pulang!" Gumamnya yang merindukan shower serta bathtub.
"Memang rumahmu dimana? Maaf saya kepala desa disini. Karena belum ada laporan warga baru jadi---" Kalimat sang kepala desa disela.
"A...aku CEO perusahaan White Rose. A...aku ingin pulang..." Ucapnya lagi, ketakutan akan bakteri dan virus di tempat ini.
"Bapak White Rose, bukannya perusahaan yang mereknya ada pada makanan ringan dan alat pembersih ya?" Tanya Dewi berusaha tersenyum.
"Anak cabang perusahaannya juga ada di industri penerbangan. Bapak pernah baca di koran dagang gorengan." Gumam sang kades berusaha tersenyum.
"Mungkin dia rada-rada tidak waras..." Ucap Dewi penuh keyakinan dijawab dengan anggukan kepala oleh sang ayah.
Sementara Joseph masih begitu trauma mengingat Dewi berjongkok di sungai. Serta beberapa petak jamban di sana. Tubuhnya gemetar ketakutan."Jonatan sial..." Batinnya mengingat sang adik laknat.
🌾🌾🌾
...Sisi baikmu begitu indah....
...Sisi burukmu, terkadang membuatku tersenyum ketika mengingatnya....
...Bunga Lily putih yang terjatuh, terhanyut derasnya sungai. Menyelam untuk mendapatkannya, memeluknya walaupun harus mati bersamanya....
Joseph Northan Fredrik.
...🌾🌾🌾 CEO Masuk Desa 🌾🌾🌾...
"Namamu siapa?" Tanya sang kepala desa. Mungkin saja dapat mencari informasi tentang warga barunya.
"Joseph Northan Fredrik, A...aku ingin kembali ke kota." Jawaban dari pemuda yang masih gemetar hingga saat ini.
"Jo...Jo... apa?" Tanya Dewi memastikan pendengarannya.
"Joseph Northan Fredrik." Dirinya kembali mengulang kata-katanya.
"Alah! Panggil saja Jefri!" Gumam Dewi seenaknya.
"Itu nama pemberian ibuku! Begini secara logika saja, orang-orang di kampung ini sudah banyak melanggar hukum. Kalian tau tidak boleh mencemari sungai?" Kalimat dari Sengkuni, eh salah maksudnya Joseph, atau kita dapat memanggilnya Jefri saja agar lebih berjiwa nasional.
"Tidak ada sarana MCK yang memadai di desa ini. Ini desa terpencil. Akses jalan jauh." Sang kades berusaha tersenyum.
"Hah ..." Joseph menghela napas kasar tidak dapat menerima segala alasan. Ingat! Mulut pria anti bakteri ini benar-benar berbisa."Jadi kalian akan selalu melanggar hukum? Itu seperti membenarkan mencuri karena perut lapar. Atau membunuh orang hanya karena malas melihat wajahnya."
"A...apa hubungannya dengan membunuh!?" Teriak Dewi, tapi entah kenapa setiap kata yang keluar dari Joseph terdengar masuk akal. Aneh bukan?
"Kalian membenarkan tindakan melanggar hukum karena keadaan. Kalau setiap tindakan karena keadaan dilonggarkan, mencuri karena lapar dibenarkan, maka merampok rokok di warung karena kecanduan juga dapat dibenarkan." Jawaban gila dari seorang pria yang gemetar, mengamati keadaan sekitar yang benar-benar kotor baginya.
"Lalu bagaimana!? Kamu pejabat!? Politikus!? Pak Bupati saja---" Kalimat sang kepala desa disela.
"A... ajukan proposal ke perusahaan swasta yang biasa mengadakan amal tahunan. Kalau tidak berhasil, pergi ajukan lagi pada pejabat. Jika pejabat br*ngsek itu kembali menolak, pinjam smartphone orang! Rekam! Dan viralkan! Aku muak pada desa kotor ini! Aku mau pulang!" Teriak Joseph, pergi tanpa permisi. Merasa tubuhnya kotor akibat terjatuh di lumpur pinggiran sungai, saat pingsan.
"Di...dia tetangga kita?" Gumam sang kepala desa melihat Joseph, atau kita panggil saja Jefri memasuki rumah tepat di sebelah rumah mereka.
"I...iya, mungkin orang yang baru beli rumah sebelah. Aku kesal padanya...tapi jatuh cinta pada otaknya." Gumam Dewi menghela napas kasar.
"Ingat pacarmu yang kerja di kota!" Sang ayah memukul kepala putrinya.
"Iya! Iya! Omong-ngomong ibu masih ingin aku menikah dengan juragan Burhan." Dewi tersenyum menyeruput teh yang tidak disentuh oleh Jefri.
"Bapak secara pribadi lebih setuju dengan juragan Burhan. Begini, walaupun sudah tua tapi juragan Burhan dijamin masih bisa memuaskan istrinya. Tanahnya berhektar-hektar, rumah, tempat penggilingan padi. Tidak ada yang kurang. Usia segitu jarang ada yang gagah, tapi dua istrinya masih betah, itu artinya urusan ranjang lancar-lancar saja." Inilah ayahnya Supra, sang kepala desa. Namanya mirip dengan merek motor bebek, tapi ini bukan iklan motor bebek berkecepatan tinggi. Ingat nama sang Kades memang Supra.
"Tapi cinta Deni sejati, bekerja keras banting tulang untuk---" Kalimat sang anak disela.
"Cinta hanya membawa penderitaan. Memang cinta bisa bikin kenyang!?" Sang ayah menghela napas berkali-kali, mengambil singkong rebus yang telah mendingin. Membayangkan putri sulungnya hidup dalam keterbatasan.
"Ayah menikah dengan ibu yang cuma lulusan SD, anak penggarap lahan, tapi hidup bahagia." Cibir sang anak, menjulurkan lidahnya kemudian berlari pergi.
"Itu karena ibumu rajin!" Teriak sang ayah, pria lulusan S3 (SD, SMP, SMA).
*
Namun bukan karena kepentingan mereka pribadi. Terkadang orang tua memang menginginkan yang terbaik untuk putri mereka.
Menghela napas kasar berkali-kali dirinya mencoba menghubungi sang pujaan hati. Namun, sayangnya tidak ada jawaban sama sekali.
Kekasih yang berjanji untuk melamarnya. Hingga kala dirinya baru pulang dari membantu menggarap lahan, hal aneh didengarnya.
"Bapak serius? Kalau Dewi sampai tau---" Kalimat sang ibu yang tengah berada di kamar disela.
"Ini juga demi masa depannya. Juragan Burhan punya berhektar-hektar lahan. Nanti cucu kita tidak akan kekurangan. Deni? Bapak tidak suka dengannya. Jujur saja, kerja 10 tahun di kota jadi kuli bangunan, apa hasilnya? Rumahnya saja masih seperti kandang kambing. Ada lahan, itupun terbengkalai, warisan orang tuanya." Sebuah kenyataan yang memang memapar dirinya. Dewi terdiam mendengar hal yang dibicarakan kedua orang tuanya.
Tidak ada yang salah, benar-benar tidak ada yang salah. Namun, memang benar terkadang kenyataan begitu menyakitkan.
"Itulah, ibu juga tidak mengerti, gaji tukang bangunan tidak sedikit. Apalagi di ibukota, Irwan anak pak Suroto saja sudah bisa beli pick up, kerja jadi tukang bangunan lima tahun di ibukota." Sang ibu menghela napas kasar. Sementara Dewi yang diam-diam mendengarkan dari pintu yang terbuka hanya menunduk.
Gaji? Gaji kekasihnya yang telah bekerja sekitar 10 tahun, mencapai 250.000 per hari. Memang aneh, sama sekali tidak memiliki tabungan. Cinta? Tentu saja, tapi...
Air matanya mengalir, orang tua yang lebih cenderung berpihak agar dirinya menerima cinta juragan Burhan. Tapi secara logika juga sulit, logikanya membenarkan orang tuanya, sayangnya hatinya terlanjur tertuju pada Deni.
Menghapus air matanya, mungkin dirinya harus pergi ke ibukota bicara secara langsung pada Deni. Agar dapat lebih serius dengan hubungan mereka.
Dadanya terasa sesak, mungkin karena itu juga dirinya memutuskan untuk keluar menenangkan fikirannya.
Menghela nafas berkali-kali, duduk di kebun terbengkalai milik tetangganya. Mengamati bintang bingung apa yang harus dilakukan olehnya. Memilih antara jasa orang tua angkatnya dan kekasihnya.
Orang tua angkat? Benar! Itulah mengapa hanya dirinya yang lulusan SMP. Berbeda dengan adik-adiknya yang lulusan SMU. Itulah mengapa dirinya yang tahu diri bekerja tanpa mengeluh, itu karena dirinya hanya anak pancingan.
Mengingat segalanya, air matanya mengalir. Nama aslinya Lily, anak jalanan yang berkeliaran di kota. Bekerja serabutan hanya agar bisa makan, walaupun dirinya harus mengais-ngais tempat sampah.
Menahan dingin kala hujan turun, menjadi ojek payung. Bersama dengan anak jalanan yang paling akrab dengannya.
"Cungkring!" Gumamnya kangen pada teman yang paling mengerti dirinya. Menghela napas kasar berusaha tenang. Temannya mungkin sudah mati di jalanan, hidup sebagai anak punk, gelandangan, bisa juga pada akhirnya diadopsi di panti asuhan.
Dirinya beruntung saat kecelakaan ada sepasang suami istri yang iba mengadopsinya membawanya hidup di kampung.
Karena itu menjalani hidup sebaik-baiknya akan dilakukan olehnya. Hidup penuh rasa syukur tidak kelaparan seperti dulu lagi.
Hingga kala malam menjelang sinar senter menyorotinya."Kamu orang yang buang air di sungai kan!? Bi...bisa antar aku ke warung atau sejenisnya? Ta...tapi jangan dekat-dekat!" Ucap Jefri canggung, menjaga jarak takut tercemar bakteri.
Wanita yang baru saja menangis itu mengeluarkan ingusnya kemudian mengelap tangannya menggunakan daun. Lebih parahnya lagi ujung kaos yang dipakainya digunakan untuk mengelap hidung.
"Ya Tuhan! Lindungi aku..." Komat-kamit mulut Joseph berucap, tubuhnya gemetar. Menjaga jarak satu meter dari gadis penyebar virus ini.
"Lindungi dari apa? Dosa karena napsu padaku ya?" Tanya Dewi mengedipkan sebelah matanya, menggoda pria yang anti bakteri ini. Godaan yang sejatinya bermaksud untuk bercanda.
"Aku tidak napsu pada siput berlendir!"
🌾🌾🌾
...Siput merangkak pelan, bergerak sedikit demi sedikit, tidak kenal lelah. Apa kamu tidak telah hanya mengingatku......
...Siput yang bersembunyi di cangkang. Seperti aku yang bersembunyi, tersenyum hingga tidak kamu temukan....
...Siput dengan cangkang yang terinjak. Seperti harapan kita untuk bertemu kembali, tidak ada lagi.....
...Namun, sialnya kata rindu itu masih ada. Hanya dua sisi koin yang saling merindu tapi tidak pernah dapat bertemu......
...Itulah kita......
Dewi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!