NovelToon NovelToon

ALTAIR: The Guardian Eagles

PROLOG

"Semua telah direncanakan, sekecil apa pun diperhitungkan, tidak akan datang terlambat ataupun terlalu cepat. Nasib bisa diperbaiki, setelah takdir digenapi"

...\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=...

Karena keserakahan sang pemilik, cahaya mulia itu pun terbagi menjadi dua. Seharusnya cahaya tersebut kelak akan menjadi inti dari kemuliaan diri si empunya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya---menjadi titik balik kejatuhannya.

Kemuliaan cahaya itu pun ternoda dan untuk memurnikannya kembali, cahaya yang telah menjadi bayi harus tinggal di bumi seperti makhluk buangan untuk menggenapi takdir.

...\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=...

Air turun dari langit seperti dituang, angin bertiup kencang menyapu apa pun, pohon-pohon berkeriet merintih, daun-daun rapuh tak kuasa mempertahankan diri---lepas dari tangkai dan terbang seturut arah angin membawa. Kilat menyambar seperti cambuk api diayun liar, guntur pun menggelegar ibarat raungan alam yang memberi peringatan bahwa di luar rumah tidak aman.

Seolah menantang alam, sebuah mobil meluncur pelan di jalan perbukitan yang kiri-kanannya adalah jurang. Jalanan basah yang diterangi lampu mobil tampak mengilap seperti arena es. Rasanya roda-roda kereta besi itu bisa tergelincir kapan saja.

"Ayah, kurangi lagi kecepatannya!" Wajah gadis berambut kemerahan itu tampak pucat. Matanya menatap ngeri jalanan yang berkilau tertimpa cahaya lampu mobil.

"Tapi kita nggak punya banyak waktu, Ras---"

"Aaarrrhhhggg!"

Petir menyambar tepat di depan mobil mereka. Refleks, pria itu menginjak rem, sedangkan putrinya berteriak histeris ketakutan sambil menutup kedua telinga.

"Pulang, Yah! Kita pulang saja!" Gadis itu histeris sambil mengguncang-guncang lengan ayahnya.

"Aku tadi sudah nyuruh kamu tinggal---"

Petir kembali menyambar dengan suara menggelegar, keduanya pun lagi-lagi terlonjak. Sesaat suasana terang benderang, memungkinkan mereka untuk melihat keadaan di sekitar dengan lebih jelas. Sebuah benda besar berwarna putih terjun, lalu jatuh berdembam tepat di depan mobil.

"A-ayah, i-tu apa?" Suara gadis itu serak dan bergetar. Dia berbicara sambil melirik takut-takut ke arah depan mobil.

"Aku mau keluar lihat," ujar sang ayah dengan suara yang dibuat sewajar mungkin, lalu menelan ludah untuk membasahi kerongkongan yang terasa kerontang sekaligus untuk menutupi gugup.

"Jangan, Yah." Gadis itu merengek sambil mencengkeram lengan sang ayah erat-erat. "Kita balik saja. Pulang. Laras takut." Matanya berkaca-kaca, gigi menggigit bibir bawah untuk menahan tangis.

Menghela dan mengembuskan napas kasar, pria itu menatap frustrasi ke arah jalanan. Ini memang aneh. Tadi saat meninggalkan rumah semua masih baik-baik saja, tetapi saat mulai memasuki kawasan perbukitan tiba-tiba hujan turun sangat deras. Padahal, sebelumnya tidak ada tanda-tanda akan turun hujan.

Lagi pula sekarang ini sedang musim kemarau. Siapa pun pasti berpikir bahwa fenomena ini aneh. Sebagai seorang cenayang, pria itu bisa merasakan bahwa ada yang tidak beres, seperti ada yang sengaja mengacaukan perjalanannya.

Perjalanan yang ada hubungan dengan profesinya. Pria bernama Suro Geni ini hendak menuju rumah salah seorang klien yang sekitar setengah jam lalu menelpon meminta bantuan untuk mengobati anak yang katanya sedang kerasukan. Namun, hujan dan kondisi jalan ini sepertinya tidak memungkinkan Suro Geni dan putrinya untuk tetap melanjutka perjalanan.

Selagi dia merenung, tiba-tiba terdengar suara bergemeresak, kemudian disusul oleh bunyi berdembam teramat keras dari arah depan. Bumi sampai ikut bergetar karenanya. Satu pohon besar tumbang memblokir jalan. Sepertinya tidak hanya sang putri yang tidak ingin perjalanan ini dilanjutkan, tetapi alam pun demikian.

"Oke, kita pulang. Tapi ayah harus lihat dulu benda apa itu."

"Jangan, Yah. Kita tinggal saja---"

"Laras, dengar!" Suro Geni sedikit meninggikan suaranya, membuat Laras mengkerut seketika. "Aku bisa rasakan energi kehidupan, kita kudu nolongin dia."

Laras langsung melotot dan protes, "Kehidupan apa? Lah wong, benda itu jatuh dari atas. Kalaupun manusia pasti tubuhnya sudah hancur. Ayo, putar balik, Yah."

"Maaf, Ndok. Ayah harus tetap lihat. Anggap saja ini pertolongan dari Sang Pencipta. Andai kita nggak ribut soal benda itu, mungkin kita sudah celaka ketiban pohon rubuh di depan sana."

Tercengang, Laras spontan meneguk ludah---ludah yang rasanya seperti benda padat menyisir tenggorokan yang teramat kering.

Benar juga. Tapi, masa sih? Lalu kalau benda itu ternyata orang jahat yang pura-pura pingsa bagaimana? Gadis itu termenung, larut dalam pikiran hingga terlambat untuk mempertahankan cengkeraman pada lengan ayahnya.

"Oh, ya ampun! Yah!" Akhirnya dia buru-buru menyusul turun tanpa ingat mengambil payung.

Sesampai di depan mobil matanya membelalak. Tepat di bawah bumper, senter mini sang ayah menyinari sesosok tubuh pemuda tampan tergolek lemah. Rambut kecokelatan, jubah putihnya ternoda oleh bercak-bercak darah yang sudah luntur tersapu air, terkoyak di beberapa bagian, termasuk di dada kiri yang kini mengekspos sebuah nama, tertulis langsung di permukaan kulit kemerahan, Arka Gaganantara.

DIYAN GAGANANTARA

Seorang pemuda berdiri di pelataran, tenang, tegak, kaku, seperti patung menghadap ke utara. Jauh di depan sana dengan latar ilam-ilam, Gunung Pandan terlihat pongah karena menjadi satu-satunya yang paling tinggi di wilayah ini.

Di puncak gunung yang eksistensinya tidak populer ini sebenarnya sering terjadi peristiwa-peristiwa aneh.  Peristiwa aneh yang dampaknya bisa dirasakan semua makhluk, tetapi sumbernya tidak bisa ditemukan atau tidak bisa dilihat karena berasal dari dunia yang bukan dunia manusia.

Pemuda itu mengembuskan napas kasar. Dia tidak mengerti kenapa jiwanya selalu merasakan fluktuasi yang sangat intens setiap kali menatap gunung tersebut. Rasanya seperti ada suatu ikatan antara dirinya dan gunung berapi yang sudah lama tidak aktif lagi itu.

Menyadari bahwa hari sudah gelap, dia pun segera beranjak. Sembari mendorong pintu hingga terbuka, pemuda berambut hitam panjang sepunggung itu berucap lirih, "Aku pulang."

Setelah itu dia pun tertegun di ambang pintu. Ucapan barusan hanyalah sebuah kebiasaan yang sudah mendarah daging. Tinggal sendirian, sudah tentu tidak akan ada yang menyambut atau membalas salamnya. Namun, kali ini dia bisa merasakan adanya kehidupan di dalam rumah.

Apa Pakde Suta?

"Sudah pulang, An ...."

Terdengar suara pria dari arah dalam, dahi pemuda itu langsung mengernyit. Dugaannya benar. "Pakde Suta! Pakde, ngapain di sini jam segini?" teriaknya kemudian.

Sudah hampir pukul delapan malam walinya itu tidak seharusnya ada di sini. Diyan, lengkapnya Diyan Gaganantara, segera menutup pintu, lalu melangkah lebar-lebar melintasi ruang depan.

Suara desisan dari penggorengan disusul oleh aroma harum merebak sudah merupakan jawaban. Wali sekaligus orang kepercayaan Keluarga Gaganantara itu dulu memang kerap datang untuk memasak makan malam untuknya, tetapi sudah cukup lama tidak pernah lagi karena Diyan melarang. Pikirnya tidak perlu repot-repot karena dia bisa makan apa pun di mana pun.

Diyan pun teringat sesuatu dan mengerti kenapa tiba-tiba Pakde Suta datang. Pemuda itu tersenyuman lebar, senyum yang menciptakan cekungan cantik di kedua pipi dan dipermanis oleh dua gigi taring kecil yang menyembul dari balik bibir.

"Selamat ulang tahun, Mas Diyan!"

Bocah laki-laki kisaran usia sepuluh tahun tiba-tiba muncul dari balik dinding pemisah ruang depan dan ruang tengah. Setelah membuat Diyan terlonjak mundur, dengan sekuat tenaga dia meniup terompet yang bisa memanjang. Sangat berisik, Diyan sampai harus menutup kedua telinganya.

"Hentikan, Wan!" Diyan terpaksa berteriak untuk mengatasi suara terompet yang memekakkan. "Wawan, berhenti!" Dia segera merampas terompet dari tangan bocah itu, lalu menyembunyikannya di belakang punggung.

Mata Wawan menyipit dan bibirnya manyun. "Balikin atau aku ngadu sama i---adu du du!"

Telinga kiri bocah itu dijewer oleh seorang perempuan yang muncul dari arah pintu samping kiri, arah di mana dapur berada.

"Bude Ranti ...." Diyan menyapa sembari meringis, seperti ikut merasakan sakitnya dijewer.

"Ibu lepas. Sakit ini loh." Setelah berusaha melepaskan diri dengan cara memukul-mukul tangan sang ibu gagal, akhirnya bocah itu pun memohon.

Akan tetapi, Ranti, perempuan berpostur tinggi yang masih konsisten mengenakan kain batik dan kebaya sebagai pakaian sehari-hari itu tidak hirau, malah tersenyum lebar pada Diyan.

"Kami sengaja datang khusus buat merayakan ulang tahunmu. Kamu wes genap delapan belas tahun sekarang, An."

Melepaskan putranya, perempuan itu sangat antusias memeluk Diyan dan mendekapnya erat-erat sambil berkata lirih dengan suara goyah, "Semoga kebaikan dan keberuntungan selalu bersamamu."

Membalas pelukannya, Diyan merasa hangat dan tentram. Dada pun tiba-tiba terasa penuh. Dia tidak tahu harus berkata apa karena rasa haru membuat tenggorokannya seperti tersumbat dan lidah pun kelu.

Kecelakaan satu tahun yang lalu tidak hanya membuatnya kehilangan orang tua dan kakak, tetapi juga menjadi penyebab dia menderita amnesia. Selama satu tahun ini pula, Keluarga Pak Suta yang merawat serta bertindak sebagai walinya.

Pak Suta tidak hanya orang kepercayaan Pak Satria Gaganantara di perusahaan, tetapi juga sahabat baik. Bahkan merangkap sebagai sopir perjalanan jauh karena dia tidak pernah percaya Pak Satria bisa mengemudi dengan baik.

Pak Suta bahkan menyalahkan diri sendiri atas kecelakaan yang menimpa Pak Satria sekeluarga. Padahal, waktu itu Pak Satria sengaja diam-diam mengemudi perjalanan jauh tanpa dirinya karena suatu alasan. Dalam perjalanan mereka mengalami kecelakaan nahas---mobil yang dikendarai masuk ke jurang.

Walaupun kecelakaan itu terjadi bukan karenanya, tetapi sampai saat ini Pak Suta masih merasa bersalah dan selalu menyesali peristiwa itu sebagai keteledoran terburuknya. Andai saja dia tidak kecolongan, kecelakaan itu pasti tidak akan pernah terjadi. Begitulah dia selalu mengingatkan dan menyalahkan diri sendiri.

Akan tetapi, Pak Suta masih memiliki satu hal berharga yang patut disyukuri, yaitu Diyan masih ditemukan dan bisa diselamatkan. Sementara itu, jasad kedua orang tua dan kakaknya entah di mana. Para petugas penyelamat sudah berulang kali melakukan pencarian, tetapi tidak ada hasil.

Hari ini, tanggal 10 Agustus 2000, adalah ulang tahun Diyan yang ke-17. Sebelum Pak Suta sekeluarga datang untuk merayakan, dia sudah tahu dari teman-teman di kampus. Tadi banyak dari mereka yang mengucapkan selamat.

Hari lahirnya berbarengan dengan hari peringatan kematian kedua orang tua dan sang kakak. Sungguh ironis, dua momen yang sangat bertolak belakang terjadi dalam satu waktu. Akhirnya, di acara malam ini tidak ada nyanyian ulang tahun maupun tepuk tangan. Saat makan pun sangat hening dan khidmat.

Setelah berdoa untuk mereka yang sudah meninggal dan acara makan malam sederhana berakhir, Pak Suta sekeluarga pun pulang. Sekarang, Diyan kembali sendirian ditemani sunyi.

Berdiri di sebuah kamar yang terdapat dua tempat tidur di dalamnya, Diyan menatap foto keluarga yang terpajang di dinding. Foto itu menampilkan empat orang, tiga laki-laki dan satu perempuan. Namun, yang tampak sempurna hanya dua laki-laki muda, salah satunya adalah Diyan sendiri. Posisi jongkok, tangan berangkulan dengan pemuda lain rambut kecokelatan, wajah sendu dan tatapan sayu.

Dua sosok yang duduk di belakang mereka hanya tampak jelas sampai sebatas leher saja, sedangkan wajahnya buram. Tidak hanya di foto ini wajah kedua orang tua Diyan buram, tetapi di seluruh foto yang ada dalam koleksi pun begitu.

Ada satu hal aneh lagi yang selalu menimbulkan pertanyaan dalam benaknya, kenapa dia tidak bisa mengingat wajah sang kakak jika sedang berada di luar rumah? Emh, bukan hanya di luar rumah saja. Dia bahkan langsung lupa bagaimana rupa sang kakak begitu memalingkan pandangan dari fotonya.

Untuk satu hal itu dia hanya menyimpannya dalam hati. Dia terlalu takut menghadapi kenyataan kalau-kalau ternyata dirinya mengidap kelainan yang lebih parah dari amnesia. Amnesia sudah sangat menggangu dan wajah kedua orang tuanya hilang dari semua foto juga keanehan yang sulit diterima akal sehat. Dia tidak mau orang lain mengetahui keanehan lain yang dialaminya. Cukuplah dirinya sendiri yang tahu.

Menghela napas panjang, matanya melirik jam dinding yang berada tidak jauh dari foto itu tergantung. Hampir pukul sepuluh. Diyan pun beranjak, melangkah menuju salah satu tempat tidur, lalu membaringkan diri.

Sungguh tidak habis pikir. Bagaimana bisa orang tuanya tidur di pembaringan terpisah? Apakah dulu mereka tidak bahagia? Lalu, kenapa juga hanya foto mereka yang buram, sedangkan sang kakak tidak? Keganjilan itu kerap membuatnya merasa masih memiliki harapan pada sang kakak. Dia berharap Arka Gaganantara masih hidup dan tengah berbahagia di suatu tempat.

Sebenarnya, dosa besar apa yang sudah Diyan perbuat di kehidupan sebelumnya atau di masa lalu, sampai-sampai harus mengalami semua ini? Tidak hanya sebatang kara dan mengalami amnesia, tetapi, bahkan hanya sekadar ingin mengenang wajah orang tuanya di dalam foto pun sepertinya tidak diizinkan.

Ya, Tuhan. Diyan menekan pangkal hidung, lalu berniat memejamkan mata untuk tidur. Namun, sebelum kelopaknya terkatup rapat, ponsel dalam saku celana berdering. Dengan ogah-ogahan dia pun mengeluarkannya.

"Halo---"

Suara perempuan menyelanya, "Selamat ulang tahun, Sayangku. Maaf, aku nggak bisa nemenin tadi. Ibu maksa aku nemenin dia ke salon, habis itu mampir kuliner di alun-alun. Menyebalkan .... "

"Nggak masalah. Aku wes ngerti di acara liburan besok ada rencana kejutan ulang tahun buat aku, toh?"

"Hah?! Gimana bisa tau?! Ah, nggak seru lagi, ah!"

Diyan hanya tergelak. Tidak mau lebih lama mendengar ocehan dan gerutuan Intan---gadis yang mengaku sebagai kekasihnya---dia langsung mematikan sambungan.

Dia tidak tahu apakah Intan benar-benar kekasihnya, tetapi teman-teman di sekolah menegaskan bahwa gadis itu memang sangat dekat dengannya. Bahkan foto-foto dalam album pun membuktikan bahwa dia dan Intan, serta dua pemuda lain memiliki hubungan persahabatan yang sangat dekat.

Entahlah. Diyan tidak mau ambil pusing. Jalani saja. Setelah menonaktifkan ponsel, Diyan segera meraih guling lalu memeluknya. Dengan mata terpejam dia berucap dalam hati, Ayah, Ibu, Mas Arka ... hari ini aku ulang tahun. Kalian nggak pengen gucapin selamat meski hanya dalam mimpi?

Di sudut ruangan, sesosok perempuan berjubah putih cemerlang hingga seluruh tubuhnya tampak berpendar, menatap penuh kasih pada Diyan yang sudah terlelap.

"Selamat ulang tahun Diyan putra Gaganantara," ucapnya lirih sembari mengangkat tangan untuk memberi berkat. "Kebahagiaan akan segera kamu jelang, Nak."

"Altair Suli!"

Altair perempuan itu menghela napas kasar karena merasa terganggu oleh suara tanpa rupa yang tiba-tiba saja terdengar.

"Ada apa, Altair Tawang? Bagaimana situasi di sana?" Altair Suli mengibaskan tangan menyapu udara, kemudian suara pria yang berbicara kepadanya hanya menggema dalam benak saja.

" ... "

"Baiklah, besok kita bertemu di sana. Ingat, jangan sampai ada kesalahan."

" ... "

"Jangan sampai! Aku nggak yakin bisa sekuat Altair Satria dan Altair Harnum"

" ... "

"Baiklah, sampai jumpa besok."

Setelah itu, sosoknya langsung berubah menjadi gumpalan cahaya, lalu melesat menembus atap, melintas gelap malam dengan wujud manusia bersayap, disaksikan oleh bintang-bintang yang berpendar lembut.

Dia adalah salah satu altair, makhluk yang dianggap suci setara dewa atau malaikat, penghuni Sahen Gaganantara. Dunia lain yang dekat dengan dunia manusia, tetapi tidak kasatmata. Bagi masyarakat sekitar Gunung Pandan, kabar tentang Pasukan Manusia Elang yang bersemayam di puncak gunung hanyalah mitos atau sekadar dongeng anak-anak belaka. Padahal, sebenarnya mereka memang ada, tetapi hanya orang-orang istimewa yang bisa melihatnya.

ARKA GAGANANTARA

Arka Gaganantara yang baru saja keluar dari kamar refleks menutup telinga saat lagu ulang tahun dikumandangkan sangat nyaring dengan nada tidak beraturan.

Suro Geni, biasa dipanggil Pakde Suro, dan Laras melakukan koor tidak kompak untuk beberapa menit dan berakhir dengan terbatuk-batuk. Laras sampai harus membungkuk supaya ludahnya tidak menciprati kue ulang tahun yang dia pegang.

Mata sayu pemuda berambut kecokelatan itu menatap datar. "Aku ulang tahun?"

Tidak ingat kapan seharusnya berulang tahun, tentu saja Arka heran dan bertanya-tanya. Karena sejak ditemukan oleh pasangan ayah dan anak itu kisaran setahun yang lalu, Arka menderita amnesia. Kalau dia sendiri saja tidak ingat, bagaimana mereka yang tidak mengenalnya semenjak lahir bisa tahu kapan ulang tahunnya?

Pakde Suro terkekeh dan di sela batuk yang sesekali menyerang dia menjelaskan, "Ora usah bingung ... semua ini kemauan Laras. Dia yang ... ngotot pengen kasih kamu kejutan. Sebenarnya aku, ya, lebih suka nasi tumpeng, tapi Laras ngeyel beli kue." Pria usia enam puluh tahun itu kembali terkekeh meskipun oleh karenanya harus kembali terbatuk-batuk juga.

"Ish, Ayah. Tumpeng itu wes kuno." Laras sekilas mendelik pada sang ayah, lalu kembali pada Arka. "Kami kan nggak tau kapan Mas Arka ulang tahun. Jadi, mumpung aku ingat kalau hari ini genap satu tahun kami menemukan Mas Arka, anggap saja hari ini tu hari ulang tahun Mas." Setelah mengoceh cukup panjang, Laras pun tersenyum lebar hingga matanya tertimbun kerutan.

Senyum tipis tersungging di sudut bibir Arka. "Terima kasih," ucapnya singkat tanpa ada embel-embel lain untuk sekadar basa-basi. Itu sudah hal biasa bagi mereka, Arka bukan orang yang pintar berbasa-basi. Malah terkesan sangat irit bicara.

"Ayo, ke ruang makan!" Pakde Suro mencekal lengan Arka, lalu menariknya menuju dapur yang sekaligus merangkap ruang makan.

Di atas meja makan, Laras meletakkan kue bulat penuh krim yang terlihat begitu menggiurkan dengan siraman karamel di permukaan seperti luber, meleleh hingga ke tepian.

"Biar afdol, Mas Arka harus membuat permohonan dulu sebelum meniup lilin," ujar gadis itu sembari menggeser kue lebih mendekat pada Arka.

Arka terpaku, iris kecokelatan yang selalu terlihat sayu menatap cukup lama lilin yang menyala. Ada sensasi aneh dirasakan olehnya. Nyala lilin itu membuat dia merasakan sensasi yang sangat familier. Entah apa, ingatannya tidak mampu berlayar jauh untuk menjangkau kenangan yang terhalang oleh amnesia yang dia derita.

"Tunggu apa lagi, toh? Ayo, ndungo, terus tiup lilinnya. Ini cacing dalam perut wes njerit kelaperan." Pakde Suro terkekeh riang sambil menepuk bahu Arka cukup keras.

"Katanya tadi makan kue nggak bikin kenyang. Sana, makan nasi. Masih ada nasi sama lauk, kok." Laras berujar sarkas sambil bersedekap dan menatap ayahnya dengan mata menyipit.

Pakde Suro pura-pura tidak mendengar ocehan Laras dan malah mendesak Arka, "Ayo, ayo, Arka tiup lilinnya ...."

Pemuda itu tersenyum samar sekilas karena merasa geli dengan tingkah mereka. Setelah itu, menatap lilin beberapa detik lebih lama sembari berdoa dalam hati, kemudian meniupnya. Seketika itu juga, suara sorak-sorai Pakde Suro dan Laras kembali membahana. Sementara Arka hanya tersenyum lebar dan menatap penuh haru.

Setelah makan malam sederhana yang cukup meriah usai, mereka melakukan persiapan untuk perjalanan besok. Mereka harus mengusir roh jahat yang menghuni salah satu vila di Magetan. Harus berangkat pagi-pagi sekali. Jika perlu sebelum matahari terbit karena butuh waktu kisaran dua sampai tiga jam untuk sampai di sana.

Dari salah satu ruangan terdengar Pakde Suro terkekeh sarkas lalu menggerutu, "Ada-ada saja. Besok mau dipakai, kok, baru minta bantuan sekarang."

"Bukannya pemilik vila itu wes bilang kalau gangguannya datang tiba-tiba? Sebagai bentuk profesionalitas, kita nggak boleh nolak." Sembari tergelak, Laras menepuk kasar punggung ayahnya.

Sementara ayah dan anak itu terus meributkan hal-hal yang tidak penting---sudah menjadi kebiasaan jadi tidak mengherankan lagi---Arka beranjak menuju kamarnya.

"Selamat tidur, Mas Arka! Semoga mimpi indah!" Laras berteriak sekuat tenaga seperti Tarzan, padahal jarak di antara mereka tidak begitu jauh.

"Kalian juga harus istirahat," balas Arka sesaat sebelum menutup pintu kamar.

Sebenarnya, pekerjaan mereka tidak memerlukan banyak peralatan. Paling-paling Pakde Suro hanya akan membawa keris sakti dan sebuah cupu berbahan tembaga untuk diisi air, sedangkan Laras memiliki kalung keramat. Selebihnya, mereka akan merapal mantra dan doa.

Akan tetapi, semenjak ada Arka proses pengusiran roh jahat menjadi lebih mudah dan lebih cepat. Bahkan ada kalanya Pakde Suro dan Laras tidak perlu turun tangan sama sekali. Arka memiliki cara tersendiri untuk menangkap atau mengusir arwah-arwah penasaran, juga roh jahat yang terkadang sangat kurang kerjaan menjahili manusia, bahkan merasukinya.

Suatu kali, Pakde Suro tidak bisa menahan diri. Dia bertanya, apa yang Arka lakukan dan ke mana arwah-arwah itu disingkirkan?

Pemuda itu hanya menjawab, mengajak mereka berdialog baik-baik, lalu mengirim mereka kembali ke tempat asalnya. Jika ada yang bandel, maka Arka akan melakukan sedikit pemaksaan.

Yakin tidak akan mendapat jawaban lebih dari yang sudah disampaikan, Pakde Suro pun tidak bertanya lebih lanjut. Padahal sampai detik ini pun dia masih penasaran, bagaimana bisa Arka melakukan semua itu dengan sangat mudah?

Pemuda berpostur tubuh tinggi tegap dan atletis itu duduk di tepi pembaringan lalu melepas kaus abu-abu yang dikenakan. Tulisan nama di dada kiri kini lebih terlihat jelas karena bekas luka goresannya timbul. Seperti keloid, tetapi tidak terlalu tebal.

Apa benar itu namanya? Lalu siapa yang mau repot-repot menulisnya di situ?

Katanya dia ditemukan di jalan perbukitan saat hujan deras sedang turun, tubuhnya seperti jatuh begitu saja dari langit. Saat terbangun dari tidur panjang yang katanya lima hari, Arka mendapati dirinya terbaring di rumah sakit dengan banyak luka gores yang belum sepenuhnya kering di tubuhnya. Luka dalam di bagian dada dan rusuk yang masih terasa, waktu itu membuatnya cukup kesulitan saat menarik napas.

Apa mungkin Arka adalah korban percobaan pembunuhan berencana?

Baru saja pemuda itu hendak membaringkan diri, Laras mengetuk pintu kamar. "Mas Arka, boleh aku ganggu sebentar?"

"Masuklah." Arka segera menyampirkan baju di bahu kiri untuk menutupi goresan nama yang ada di dada.

Masuk dan melihatnya bertelanjang dada, Laras segera mengerling ke arah mesin pendingin ruangan yang ada di dinding atas jendela.

"Kalau panas kenapa nggak nyalakan AC, toh?" Seperti biasa, gadis itu mengakhiri perkataan dengan kekehan ringan, lalu duduk di samping Arka.

Meskipun sudah berusaha bersikap biasa, tetapi rona yang muncul di pipi tidak bisa menyembunyikan perasaan gadis itu. Ya, gadis normal mana pun tidak mungkin tidak terpesona oleh ketampanan Arka Gaganantara. Laras  bahkan langsung menyukainya malam itu juga saat melihat Arka untuk pertama kali, di bawah derasnya hujan.

Akan tetapi, pemuda itu hanya menganggapnya sebagai adik. Bagaimanapun cara dia berusaha menarik perhatian, hasilnya tetap tidak bergeser dari zona persaudaraan. Kasih sayang pemuda berwajah sendu itu tak lebih dari kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya.

Sampai sekarang, Laras masih tidak berhenti berharap, suatu saat nanti Arka akan melihatnya sebagai gadis yang pantas diperhitungkan untuk dicintai sebagai kekasih, bukan sekadar saudara.

"Kalau dinyalakan pasti dingin banget. Aku hanya butuh sedikit angin, buka jendela atau lepas baju cukup," ujar Arka sambil tersenyum tipis.

"Tsk, terserah."

Laras meringis lebar hingga giginya yang rapi terlihat semua. Arka sungguh tidak peka kalau sebenarnya gadis itu sedang berusaha supaya terlihat tidak canggung.

"Ada apa?" tanyanya sambil menyentuh lembut kepala gadis usia delapan belas tahun itu tanpa tahu kalau jantung pemiliknya seketika bertalu-talu.

Mengepal jemari untuk menahan luapan perasaan, Laras lantas bertanya dengan suara sedikit serak, "Emh, An itu siapa, toh?"

Arka menautkan alis. "An siapa? Kenapa tanya aku?"

"Soalnya kemarin malam Mas Arka tu ngingau, terus manggil-manggil, An. An jangan pergi, An tunggu aku, An kamu di mana. An, An, An." Gadis itu berceloteh riang sambil terkikik.

An? Arka tiba-tiba merasa familier dengan nama panggilan itu. Namun, siapa dia? Apakah An ini nama panggilan orang atau mungkin nama binatang peliharaan? Mencoba mengingat, matanya sampai menyipit, alis bertaut semakin rapat, dan dahi pun turut berkerut.

"Ah! Bodoh sekali aku ini!" Laras berseru sembari menepuk bahu Arka hingga yang bersangkutan terlonjak, lalu gadis itu pun dengan senang hati menertawakannya. "Maaf, Mas Arka. Aku nggak maksud ngagetin. Lagian bodoh sekali, loh, aku ini."

"Bodoh?"

"Ya, bodoh, to. Bagaimana nggak bodoh? Sudah tau Mas mggak bisa ngingat, tapi aku malah tanya begitu. Ya, weslah. Sebaiknya Mas Arka tidur, maaf wes ngganggu." Laras terkekeh ringan sembari bangkit dari duduk, lalu ngeloyor pergi. "Nggak usah dipikir," ujarnya sesaat sebelum menutup pintu.

Saat melangkah menjauh, wajah gadis itu langsung berubah muram. Jujur saja, sebenarnya dia cemburu pada An. Tidak tahu An itu manusia, binatang, atau apa, yang jelas hati kecil Laras merasa takut kalau suatu saat An ini akan mengambil Arka darinya.

Sepeninggalnya, Arka kembali termenung. Kalau benar dia mengigau, pastinya juga bermimpi, kan? Namun, dia sama sekali tidak merasa sudah bermimpi. An? Siapa An? Terasa familier, tetapi tetap tidak bisa mengingat.

Daripada kepalanya sakit karena dipaksa berpikir untuk mengingat, Arka lebih memilih untuk beristirahat. Pemuda itu meraih bantal, tidak untuk dijadikan alas kepala, tetapi dipeluk seperti guling.

Aku hanya ingin tau siapa aku ini sebenarnya. Jika masih punya keluarga, aku pengen banget ketemu mereka, dalam hati Arka mengulangi permohonan yang tadi dia panjatkan sebelum meniup lilin. Setelah itu, kelopak matanya perlahan menutup.

"Selamat tidur Arka putra Gaganantara. Tanpa memohon pun, kamu pasti akan bertemu kembali dengannya." Sesosok pria dengan tubuh bercahaya, yang sedari tadi memperhatikan Arka, mengangkat tangan memberi berkat.

"Altair Suli," panggilnya kemudian

" ... "

"Dia baru saja mengucapkan permohonan di hari ulang tahun yang bukan miliknya," sesaat dia terkekeh ringan lalu melanjutkan, "tapi, nggak masalah itu ulang tahun Arka atau bukan. Toh, memang sudah waktunya untuk mereka bertemu kembali."

" ... "

"Tentu saja aku akan sangat berhati-hati, jangan sampai kita mengulang kesalahan Altair Satria dan Altair Harnum."

" ... "

"Baiklah, sampai ketemu besok."

" ... "

Setelah itu, pria bercahaya tersebut berubah wujud menjadi gumpalan cahaya putih. "Semoga mimpi indah, Arka," ujarnya, sesaat sebelum terbang menembus atap lalu melesat cepat ke angkasa malam dan berubah wujud menjadi makhluk bersayap.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!