Kannita Gabriella. Merupakan sosok gadis berwajah yang cantik selalu disertai senyuman manis yang teduh mampu mencairkan hati siapa pun yang melihatnya. Sifatnya yang riang mampu membuat suasana yang ada di sekitarnya, akan tetapi kadang kala sifat egois muncul secara tiba-tiba membuat suasana hatinya naik turun. Dia adalah perempuan yang penuh warna, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Namun, di balik pesona wajahnya yang ramah, tersimpanlah sebuah perasaan yang rumit dan tak terungkapkan. Perasaan yang berusaha dengan keras ia tekan dan ia tutupi sangat baik di depan semua orang. Menutupi perasaannya dengan canda tawa yang palsu, namun tak ada seorang pun yang menyadari perasaan tersebut. Membuat dirinya semakin tidak percaya diri.
Mencintai, kata yang seringkali diucapkan tapi sulit untuk dijalani dengan mulus. Begitulah yang dirasakan oleh Bunga. Baginya, cinta bukanlah sekadar kata-kata manis yang terlontar dari bibir, melainkan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mampu mengubah segalanya. Namun, apa daya, takdir seringkali memainkan perannya dengan begitu kejamnya. Mencintai seseorang memang membutuhkan bukan hanya usaha dan waktu, namun juga membutuhkan dukungan serta keberanian, agar cinta yang hinggap di relung hati bisa di apresiasi.
Dalam perjalanan mencari jawaban, Kannita belajar bahwa cinta bukanlah hanya soal memilih antara dua orang, tetapi juga soal menghormati perasaan sendiri dan orang lain. Dia belajar bahwa terkadang, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah mengikuti hati dan mempercayai takdir.
Kisah Kannita bermula di sebuah acara perayaan di salah satu temannya yang bernama Vira. Vira, yang mengadakan pesta di sebuah hotel ternama di kota tersebut mengundang seluruh teman sekolahnya dan teman sekolah tetangga. Membuat suasana di pesta itu kian meriah. Suasana riang gembira menyelimuti semua orang yang hadir. Musik yang riuh rendah menggema di udara, sementara lampu-lampu berwarna-warni menerangi langit malam. Di tengah kerumunan, Kannita tak sengaja bertemu dengan seseorang yang membuat detak jantungnya berdegup lebih kencang.
Pemuda itu, seorang pria muda berwajah tampan dengan senyuman yang memikat, menarik perhatian Kannita sejak pandangan pertama. Namun, kebahagiaan Bunga pupus saat menyadari bahwa pemuda itu tampaknya memiliki ketertarikan pada teman dekatnya, Wulan. Karena ternyata teman sekelasnya memiliki hubungan yang begitu dekat dengan sang pujaan hatinya. Kannita merasa hancur melihat kedekatan mereka yang semakin hari semakin intens, namun dia tak bisa membendung perasaannya yang semakin dalam.
Dalam diamnya, Kannita menyimpan perasaan yang tumbuh subur di lubuk hatinya. Setiap kali melihat senyuman manis pemuda itu, Bunga merasa dunianya berputar dengan cepat, dan dalam hatinya, hanya ada satu nama yang terus terucap: Fais Alfiansyah, nama pemuda itu.
Namun, apa yang tidak Kannita ketahui adalah bahwa di balik senyum Fais, tersembunyi rasa yang sama pada dirinya. Fais diam-diam jatuh cinta pada Bunga sejak pertama kali mereka bertemu, yakni di parkiran sekolahnya. Namun, karena takut akan reaksi orang-orang di sekitarnya, terutama keluarga mereka yang kental dengan tradisi agama, Fais memilih untuk menyimpan perasaannya sendiri.
Perbedaan agama, begitu kental dan begitu mengakar di antara mereka. Kannita, seorang gadis yang tumbuh dalam keluarga yang taat beragama Kristen, dan Fais, seorang pemuda yang berasal dari keluarga Islam yang juga konservatif dalam menjalankan keyakinannya. Bagi mereka, cinta bukanlah sekadar persoalan hati, melainkan juga persoalan keyakinan dan kepercayaan.
Namun, di balik segala rintangan yang menghadang, cinta mereka terus berkembang, membara di dalam hati masing-masing. Meskipun hanya bisa bertemu dalam diam dan menyimpan perasaan secara rahasia, Kannita dan Fais percaya bahwa cinta mereka adalah takdir yang telah ditentukan oleh Tuhan.
Kisah cinta mereka menjadi semakin rumit ketika orang-orang di sekitar mereka mulai mencurigai kedekatan mereka. Desas-desus tentang hubungan terlarang antara seorang nambah Allah dan seorang anak Tuhan mulai menyebar di antara teman sekolah mereka beruda. Kannita dan Fais merasa tertekan oleh tekanan dari lingkungan mereka, namun mereka tetap bertahan, memilih untuk mempertahankan cinta mereka meskipun dihantui oleh ketakutan dan keraguan.
Dibalik semua perbedaan dan hambatan yang mereka hadapi, Kannita dan Fais terus berjuang untuk mempertahankan cinta mereka. Mereka tahu bahwa jalan menuju kebahagiaan tidak akan mudah, namun mereka juga percaya bahwa cinta sejati akan selalu menemukan cara untuk bersinar meskipun dalam kegelapan yang paling gelap sekalipun. Dibalik gemerlap itu, ada sepasang mata yang mengamati Kannita dengan intens, Ia melihat dan mendengar dengan jelas bahwa Kannita menyukai laki-laki lain dari sorot matanya yang terus saja melihat kearah laki-laki itu tanpa mengalihkan pandangan seincipun. Hatinya seperti diremas, sangat sakit menerima kenyataan pahit itu.
Sosok laki-laki itu adalah sahabat yang menyukai Kannita tanpa sadar. Sahabat yang selalu ada untuknya di kala suka maupun duka. Ia harus dihadapkan oleh kenyataan yang menghantam hatinya. Karena me dapati sangat pujaan hati ternyata malah menyukai orang lain. Rasa itu adalah cinta diam-diam yang telah tumbuh dalam hatinya sejak mereka pertama kali bertemu.
Asher mencoba menyembunyikan rasa patah hatinyadi balik senyuman semanis madu yang palsu. Dia mencoba untuk berpura-pura seolah tidak terpengaruh, akan tetapi setiap kali melihat Kannita bersama anak laki-laki itu, rasa sakit itu kembali datang dengan lebih kuat. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apakah dia harus mengungkapkan perasaannya kepada Kannita, namun disisi lain Ia takut mengungkapkannya karena takut perasaannya bertepuk sebelah tangan dan hubungan persahabatan yang sudah terjalin begitu lama menjadi renggang? Ataukah dia harus tetap memendamnya sendiri hingga waktu yang tak diketahui? Apakah hatinya akan tetap kuat melihat sosok gadis itu bersama tertawa yang lain?
Malam itu, Asher memutuskan untuk pulang terlebih dahulu dan langsung duduk di meja belajarnya dengan buku catatan terbuka di depannya, tetapi pikirannya jauh dari materi pelajaran. Dia terus memutar pertanyaan-pertanyaan dalam kepalanya. Apakah Kannita benar-benar bahagia dengan anak laki-laki itu? Apakah cinta yang dia rasakan hanyalah ilusi belaka?
Lantas, akankah Kannita tetap bersama Fais ataukah memilih dengan sahabatnya?
Inilah prolog dari kisah cinta segitiga yang penuh liku-liku yang dialami oleh seorang Kannita, seorang insan yang merasa bingung akan takdir cintanya. Bisakah mereka mengatasi segala rintangan dan menjalani cintanya agar ia bisa hidup bahagia? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Yang pasti, kisah cinta segitiga ini akan mengajarkan mereka tentang pengorbanan, keberanian, dan kepercayaan diri. Dan meskipun jalan menuju kebahagiaan mungkin penuh dengan rintangan dan hambatan, mereka percaya bahwa cinta sejati akan selalu menemukan jalan untuk bersinar.
Jalanan hari ini sudah lumayan ramai oleh kendaraan berpolusi. Nampak di sebuah rumah minimalis terjadi drama di pagi hari. Hari itu, Kannita diminta untuk menghantar sahabat sejak kecilnya, Nadine, ke sekolahnya karena sahabatnya tersebut tidak ada yang mengantarkannya. Meskipun Kannita bersekolah di SMA Negeri 09 Sedangkan Nadine di SMK Negeri 09, karena sekolah mereka bersebelahan, mereka memutuskan untuk berangkat bersama.
"Ayo Nit, ngebut lagi bentar lagi masuk tau!" teriak Nadine sangat keras.
"Iya-iya, bawel banget sih!" jawab Kannita sembari menambah laju kecepatan sepeda motor matic-nya.
Mereka berdua menikmati perjalanan menuju sekolah sambil berbincang-bincang tentang hal-hal sepele seperti cuaca dan acara sekolah yang akan datang. Namun, ketika tiba di gerbang sekolah, suasana menjadi sedikit tegang.
"Nadine, kamu yakin lo boleh masuk ke sini?" tanya Kannita ragu.
"Bolehlah, Nit. Kayak apa aja lo mah!" ujar Nadine meyakinkan.
Setelah melewati gerbang, Kannita dan Nadine berpisah untuk menuju ke gedung sekolah masing-masing. Namun, tiba-tiba, terdengar suara sorakan dari anak-anak yang sedang berkumpul di lapangan sekolah.
"Nit, lihat! Mereka sedang menggelar acara pagi ini," ujar Nadine antusias.
Kannita melihat ke arah lapangan dan melihat sekelompok siswa yang sedang berkumpul di tengah-tengah. Di podium, terdapat seorang siswa yang sedang memberikan sambutan. Terlihat juga seorang pemuda tampan yang memegang mikrofon, menjadi salah satu pembicara di atas panggung.
"Oh ya, aku dengar pemuda itu adalah ketua OSIS mereka. Dia cukup populer di sekolah," kata Kannita sambil memperhatikan.
Nadine yang penasaran langsung berlari menuju lapangan untuk melihat lebih dekat acara pagi itu. Kannita mengikuti di belakangnya, mencoba untuk tidak terlalu mencolok.
Setelah acara selesai, Nadine berlari kembali ke arah Kannita dengan wajah sumringah. "Nit, aku baru saja tahu bahwa acara ini adalah persiapan untuk pertukaran siswa antar sekolah. Mereka mencari siswa yang bisa mewakili sekolah untuk mengikuti program ini."
Kannita tersenyum, "Itu suatu pengalaman yang menarik. Lo tertarik untuk mengikuti program itu, Nadine?"
Nadine menggelengkan kepala, "gue enggak yakin. Tapi, gue mendengar bahwa mereka akan mengadakan seleksi untuk memilih siswa yang akan mewakili sekolah. Mungkin gue akan mencoba."
"Nit, bagaimana denganmu? Apa lo akan mencoba juga?" tanya Nadine.
Kannita terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Siapa tahu, Nadine. Kita lihat saja nanti."
Setelah itu, Kannita pergi dari parkiran dan menuju ke sekolahnya yang terletak persis di sebelah sekolah ini. Sedangkan Nadine, masih menunggu Kannita hingga sosoknya benar-benar menghilang dari balik pagar gerbang sekolah.
"Nit, jangan lupa nanti pulang sekolah langsung ke parkiran," kata Nadine sambil tersenyum tulus.
"Iya ngerti, Nadine," jawab Kannita ramah sambil menghidupkan motor matic-nya.
***
Setelah selesai jam di sekolahnya Kannita pun bergegas ke parkiran dan menuju sekolah di sebelah. Ia menunggu di parkiran sekolah, seperti yang diinstruksikan oleh Nadine sebelumnya. Sembari menunggu, dia sibuk dengan ponsel pintarnya, terlena dengan dunia digital yang menyapanya dengan beragam pesan dan notifikasi. Namun, di tengah keasyikan, pandangannya tersadar pada sosok pemuda yang melewatinya. Harum semerbak wangi maskulin terhirup oleh hidungnya. Ia pun mendongkak dan melihat siapa yang melewatinya. Ternyata, Ia adalah salah satu siswa yang bersekolah disana, bahkan satu kelas dengan Nadine.
Sosok pemuda itu adalah Fais Alfiansyah, salah satu siswa yang dikenal di sekolah sebagai pria yang tampan dan menarik perhatian populer karena menjadi ketua dari team basket. Kannita merasakan merasa kagum dengannya, namun ia pura-pura tidak memperhatikan keberadaannya dan tetap asyik dengan ponselnya.
Tiba-tiba, ponsel Fais berdering, dan membuat Kannita melirik yang sekilas. Dia mengangkat teleponnya, dengan suara samar.
"Ya, halo?" ucap siswa tersebut ketika tersambung.
Kannita mendengar siswa tersebut tengah di telepon oleh anggota keluarga nya untuk segera pulang. Bunga hanya mencuri pandang sembari bermain ponselnya. Sementara itu, Fais yang menyadari keberadaan sosok Bunga, hanya meliriknya, lalu mendengkus geli seraya menggelengkan kepalanya.
Setelah berbicara di telepon, Fais menutup panggilan dan memakai helm-nya, dan duduk di atas motor sportnya, bersiap untuk pergi meninggalkan area parkiran sekolah. Bunga yang melihat Fais akan pergi, berniat untuk menyapanya meskipun merasa ragu.
Fais menyadarinya, dia menoleh ke arah Kannita dan tersenyum lebar, dan mengatakan dengan suara pelan saat melintas di depan Bunga "Hai, sampai jumpa lain waktu!"
Kannita tersenyum malu-malu, "Hai juga."
Fais melambaikan tangan ke arah Kannita sebelum memacu motornya menjauh dari parkiran sekolah. Kannita menghela nafas lega, merasa sedikit kecewa dan sekaligus bahagia atas pertemuan singkat mereka.
Setelah itu, Nadine akhirnya muncul di parkiran sekolah. "Nit, maaf aku terlambat. Ada urusan dadakan di kelas tadi," ujar Nadine sambil berjalan mendekati Kannita.
"Tidak apa-apa, Nadine. Aku juga baru saja disini kok," jawab Kannita sambil tersenyum.
"Kita mau kemana dulu nih, Nit?" tanya Nadine.
"Ke taman dulu lah," jawab Kannita.
Mereka berdua memakai helm mereka masing-masing dan bergegas menuju tempat teman kota yang menjual banyak sekali makanan. Sambil berjalan, Kannita tidak bisa menghilangkan senyumnya, masih teringat akan pertemuan singkatnya dengan Gabriele di parkiran sekolah.
Pulang bersama Nadine, Kannita masih terbayang dengan senyum Fais dan rasa kegugupannya. Dia tidak sabar untuk melihat Fais lagi, dan mungkin, kali ini, dia akan berani untuk menyapa pria tampan itu.
"Gue tadi ketemu sama Fais, loh!" ucap Bunga bernada riang.
Seketika Nadine langsung mengarahkan spionnya ke wajah Kannita.
"Serius? Terus dia gimana?" tanya Nadine Penasaran.
Kannita menekuk alisnya, "ya, enggak gimana-gimana sih. Kenapa emang?"
Nadine mendengkus kasar, "lo tau enggak, kalo dia tuh deket tau sama si Wulan!"
Kannita memutar bola matanya dengan malas, "ah, Wulan lagi!"
"Kenapa emang? Naksir sama Fais?" tanya Nadine dengan tatapan menyelidik.
"Enggak sih, cuma ya gitu tau lah kan namanya cewek," jawab Kannita sembari menggidikkan bahunya.
"Tapi jangan terlalu, gak baik! Kan kalian beda," ucap Nadine dengan suara pelan.
"Iya tau kok," jawab Kannita seraya menunduk, tangannya memilih ujung bajunya dengan perasaan cemas. Ntah mengapa ia merasa sedikit takut akan sesuatu.
Setelah beberapa menit berkendara, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Mereka berdua pun melangkahkan kakinya ke salah satu bangku taman sembari menikmati semilir angin yang lewat mampu menghipnotis pandangannya. Pemandangan indah nanti ramai-ramai bisa mereka lihat secara bersamaan. Sembari berbincang ringan dan tertawa bersama, untuk menikmati sore hari yang menyenangkan. Di sela-sela senyumnya, kadang kala Kannita masih teringat akan sosok Fais yang mampu membuat hatinya berdebar tak karuan. Walaupun berusaha menampiknya, Nadine masih bisa melihat adanya romansa yang seharusnya tidak tercipta diantara dua insan tersebut.
Sudah beberapa minggu telah berlalu, Kan kita memilih untuk tidak terus berpikiran mengenai teman sekelas Nadine. Hari ini adalah hari sabtu, waktu libur sekolah. Dengan langkah yang begitu yakin, Kannita melaju dengan hati gembira menuju perpustakaan kota. Yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya, menggunakan sepeda motornya. Udara pagi yang segar membuatnya semangat untuk menelusuri rak-rak buku yang berjajar rapi. Di dalam hatinya, dia berharap dapat menemukan buku yang sesuai dengan minatnya. Hari ini, ia berencana untuk membaca buku mengenai luar angkasa. Ntah mengapa, ia begitu penasaran mengenai seluk beluk luar angkasa.
Sesampainya di perpustakaan, Kannita langsung bergegas masuk dan mencari buku yang dia butuhkan. Namun, di tengah perjalanan menuju rak buku yang dituju, dia menabrak seseorang.
Ketika kanita ingin mengambil sebuah buku, tetapi Kannita tidak bisa menjangkaunya dan Kannita pun terpaksa harus jinjit dan hampir jatuh. Untungnya seseorang dengan sigap menangkapnya.
Seketika pandangan Fais dan Kannita pun langsung bertabrakan dan seketika itu pipi Kannita langsung memerah karena merasa malu. Dalam hatinya berkata 'yaampun ganteng banget ni orang mimpi apa ya gue semalem bisa ketemu cowok ganteng banget kaya gini.'
Keheningan antara mereka pun dipecahkan dengan diawali perkataan dari Fais yang mulai merasa kesal karena Kannita hanya memandangnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
"Makanya jangan pendek jadi ga sampek kan," ucapnya dengan diiringi senyum kecil.
"Maaf," ucap Kannita sambil menegakkan menundukkan pandangannya.
"Enggak apa-apa kok, lain kali hati-hati ya," sahut seorang pemuda dengan senyum ramah.
"Kalo enggak sampek jangan di paksa. Nih buku lo udah gue ambilin," ucap Fais pelan.
"Makasih," ucap Kannita sambil mengambil bukunya.
Kannita memperhatikan pemuda tersebut. Dia mengenali wajah itu. Itu adalah Fais, teman sekelas Nadine di SMK. Mereka tidak terlalu dekat, tetapi Kannita ingat bahwa Fais juga mahir dalam bidang akademis. Terbukti dari banyaknya piala dan mendali yang ia peroleh, walaupun ia tidak satu sekolah, namun prestasi yang dimiliki pemuda tersebut selalu sukses menjadi buah bibir bagi seluruh siswa-siswi.
Sampai langkahnya terhenti akibat tidak sengaja menabrak punggung seseorang yang berada di depannya.
Kannita masih berusaha mencerna situasi yang terjadi. Dimana Fais membantunya dalam mengambil saat akan terjatuh tadi dan kini ia tak sengaja menabraknya karena Fais berhenti berjalan secara tiba-tiba.
"Loh, Fais? Temen sekelasnya Nadine kan? Mau ngapain disini?" tanya Kannita, mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia kemudian mengingat sosok pemuda yang ada di hadapannya.
"Hai, Kannita! Gue lagi mau cari buku nih buat persiapan cerdas cermat nanti, kalo kamu?" jawab Fais.
"Oh, iyakah? Kalo gue sih juga lagi cari buku buat dibaca," kata Kannita sambil tersenyum, "mungkin kita bisa cari bareng-bareng."
Fais mengangguk sebagai tanda setuju dengan ajakan Kannita, dan mereka mulai menjelajahi rak-rak buku bersama-sama. Mereka berdua saling bertukar pandangan dan komentar tentang buku-buku yang mereka temui.
"Kannita, coba lihat buku ini. Isinya kayaknya cocok deh buat refrensi cerdas cermat," kata Fais sambil mengambil sebuah buku dari rak.
Kannita mengambil buku tersebut dan membacanya. Dia merasa tertarik dengan isi buku tersebut.
"Wah, benar, Fais. Ini kayaknya tapi lebih membahas soal luar angkasa, emang mau ikut cerdas cermat soal luar angkasa?" tanya Kannita bingung.
"Iya. Ayok kita cari punyamu, mau cari soal luar angkasa juga kan?" jawab Fais dengan senyum.
Setelah beberapa saat mencari, mereka akhirnya menemukan buku-buku yang mereka cari. Mereka duduk di salah satu sudut perpustakaan dan mulai membaca buku masing-masing.
"Sudah lama kita tidak bertemu, ya?" ucap Fais sambil melirik Kannita.
"Iya, benar. Sepertinya kita sibuk dengan urusan masing-masing," jawab Kannita sambil tersenyum.
"Mungkin kita bisa lebih sering bertemu seperti ini, bukan hanya di perpustakaan," usul Fais.
Kannita merasa senang dengan usulan Fais. Meskipun mereka tidak terlalu dekat, Kannita menyukai ide untuk lebih sering berinteraksi dengan teman sekelasnya itu.
"Aku setuju. Kita bisa lebih sering berkumpul, enggak cuma buat ketemu di perpustakaan secara enggak sengaja kayak gini, tapi juga kayak di lain kali," ucap Kannita sambil mengangguk.
Mereka berdua melanjutkan membaca buku masing-masing, tetapi kali ini dengan perasaan yang lebih ringan dan bahagia karena telah menemukan teman untuk bersama-sama menelusuri dunia pengetahuan di perpustakaan. Setelah beberapa jam berlalu, mereka pun meninggalkan perpustakaan dengan membawa buku-buku yang mereka butuhkan dan juga dengan janji untuk bertemu lagi di waktu yang akan datang.
Kannita melirik jam tangannya dan menyadari bahwa sudah tiga jam berlalu sejak mereka mulai membaca buku dan mengobrol ringan di perpustakaan.
"Wah, sudah tiga jam kita di sini. Gue harus pulang sekarang, Fais," ucap Kannita dengan ramah.
"Oh iya, tapi kita bisa kan buat ketemu lagi lain kali, kan?" tanya Fais dengan sedikit kekecewaan terlihat di wajahnya.
"Pasti, Fais. Kita bisa bertemu lagi di perpustakaan lain waktu," jawab Kannita sambil tersenyum.
"Mungkin kita juga bisa berkumpul di tempat lain, seperti kafe atau taman," usul Fais.
"Iya, itu ide bagus. Kita bisa berbagi cerita dan pengalaman di tempat-tempat yang lebih santai," sambung Kannita.
Mereka berdua bangkit dari tempat duduk mereka dan melangkah menuju pintu keluar perpustakaan.
"Terima kasih, Fais, untuk hari ini. Gue seneng banget hari ini, karena bisa nikmatin rasanya baca buku sambil diajak ngobrol hehe," ucap Kannita sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
"Sama-sama, Kannita. Aku juga senang bisa menghabiskan waktu bersamamu," jawab Fais sambil tersenyum.
Mereka berdua berpisah di depan pintu perpustakaan, dengan senyum di wajah masing-masing. Kannita melangkah menuju sepeda motornya sambil merasakan kehangatan jalinan pertemanan yang baru saja mereka bangun. Dia merasa senang karena telah bertemu dengan Fais dan berharap mereka bisa bertemu lagi di lain waktu.
Di perjalanan pulang, Kannita merenungkan hari yang menyenangkan yang baru saja dia lewati. Dia merasa terhubung dengan Fais dan berharap bisa menjadi teman yang lebih dekat dengannya di masa depan. Saat dia tiba di rumah, dia melihat pesan dari Fais di ponselnya.
"Pesan dari Fais?" gumam Kannita sambil membuka pesan tersebut. Isinya membuat senyum tersungging di wajahnya.
"Pulang dengan aman, Kannita. Sampai jumpa lagi!" tulis Fais.
Kannita tersenyum membaca pesan itu. Dia merasa beruntung memiliki teman seperti Fais dan berjanji untuk menjaga hubungan pertemanannya mereka dengan baik.
Malam itu, Kannita duduk di pinggir tempat tidurnya dengan senyum bahagia di wajahnya. Dia merasa beruntung telah bertemu dengan Fais di perpustakaan dan berharap hhubunganya akan terus berkembang di masa depan. Sambil memikirkan momen-momen indah yang telah mereka lewati hari ini, Kannita merasa optimis tentang masa depan yang cerah bersama Fais.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!