NovelToon NovelToon

Private Tutor

Tutor baru

Brakk

Pak Bram membanting rapor putrinya di atas meja. Pria itu murka melihat nilai yang hancur lebur. Bahkan kata sang guru, jika rata-rata nilai diurutkan, Kimmy berada dalam urutan 29 dari 30 siswa, yang artinya dia juara 2 dari bawah. Orang tua mana yang tidak malu, apalagi sekelas Pak Bram yang merupakan dokter spesial penyakit dalam sekaligus seorang dosen. Dan istrinya, Ratih, dia tak kalah hebat, Ratih adalah dokter spesialis anak. Mereka memang keluarga dengan profesi dokter turun temurun. Bisa dibilang, hampir 80 persen keluar Bram bekerja di bidang kesehatan.

"Sabar, Pah," Ratih mengusap punggung sang suami. Hal seperti ini hampir selalu terjadi saat pembagian rapor sejak Kimmy duduk di bangku sekolah menengah pertama. Dulunya tak seperti ini, meski tak pernah juara 1, tapi paling tidak, masih masuk 10 besar. Entah karena apa, sejak SMA, nilainya makin tak karuan.

"Gimana bisa sabar, Kimmy sudah membuat Papa tak punya muka di depan wali kelasnya. Sekarang dia sudah naik kelas 3, tinggal setahun lagi masa SMA nya. Bagaimana kalau dia tidak bisa masuk fakultas kedokteran?" Pak Bram menatap Kimmy tajam.

"Aku udah bilang berkali-kali, aku gak mau jadi dokter," ucap Kimmy lantang. Sebenarnya hal yang membuat dia tak mau belajar, adalah karena dia tak mau menjadi dokter. Nilai buruk ini adalah salah satu cara dia protes, tapi yang ada, dia makin ditekan.

"Mau jadi apa kamu, Hah?" bentak Pak Bram.

"Berapa kali aku bilang, aku mau jadi influencer."

"CUKUP!" bentak Bram. "Tidak ada dikeluarga kita yang kerjaannya gak jelas seperti itu."

"Ya biar ada, Pah."

"Kimmy," tekan sang Mama sambil melotot. Dia meletakkan telunjuk di depan bibir, tak mau Kimmy terus membantah ucapan Papanya.

"Memang apa yang bisa kamu banggain dari pekerjaan itu?" tanya Pak Bram. "Kamu fikir enak hidup di dunia seperti itu, dunia penuh kebohongan. Yang terlihat belum tentu sesuai dengan apa yang terjadi. Berlomba-lomba untuk terlihat baik di depan kamera, kadang bahkan tidak bisa menjadi diri sendiri demi pengikut. Mau kamu, hidup tak punya privasi?"

"Terus, Papa fikir dengan jadi dokter, aku bisa jadi diri sendiri?" Kimmy menggeleng cepat. "Enggak, Pah!" Sambil menangis, Kimmy meninggalkan ruang keluarga. Berlari menaiki tangga menuju kamarnya, mengabaikan teriakan sang papa yang memanggilnya.

"Kimmy, Papa belum selesai ngomong," teriak Pak Bram.

"Udah, Pah, udah, biar Mama yang ngomong pelan-pelan sama Kimmy," bujuk Ratih. Dia sebenarnya tidak setuju dengan cara didik Bram yang bisa dibilang terlalu keras, tapi mau gimana lagi, itu sudah watak suaminya.

"Kepala Papa rasanya mau pecah gara-gara anak itu. Papa akan carikan dia tutor baru."

"Masih belum kapok? Udah berapa kali ganti tutor, dan hasilnya sama, gak ada yang betah sama Kimmy. Anak itu susah diajak kerja sama."

"Lha terus mau gimana, dibiarin aja? Enggak," Bram menggeleng cepat. "Papa belum mau putus asa. Papa masih ingin melihat dia sukses seperti kita, seperti sepupu-sepupunya."

Ratih menghela nafas panjang, meninggalkan Bram lalu menyusul putri semata wayangnya ke kamar. Setelah mengetuk pintu, dia langsung masuk, dan seperti biasa, akan mendapati Kimmy yang sibuk main game untuk melampiaskan kekesalannya.

"Taruh dulu HP nya," Ratih duduk di sebelah Kimmy. Tapi karena tak digubris, dia merebut paksa ponsel tersebut dan meletakan di atas nakas.

Kimmy membuang nafas berat. Sepertinya, akan ada season dua pertengkarannya dengan orang tua.

"Yang tadi belum cukup?" tanya Kimmy.

"Kamu itu nurut kata Papa kenapa sih, susah ya?"

Kimmy tersenyum kecut. Jelas saja itu susah. Dia dipaksa melanjutkan kuliah di fakultas yang tidak dia minati, jelas itu susah.

"Kim gak ada passion disana, Mah. Kim gak suka mikir, otak Kim gak mampu."

Ratih menggeleng cepat. "Bukan tak mampu, tapi kamunya yang tak mau usaha. Kecerdasan anak itu, selain tergantung dari apa yang dia makan, juga faktor turunan dari ibu. Bukannya sombong, tapi Mama pintar, rasanya mustahil jika kamu bodoh. Apalagi sejak kecil, Mama sama Papa sangat mengupayakan segala yang terbaik buat kamu, mulai dari gizi, sekolah yang baik, juga tutor privat. Tapi sepertinya, kamunya saja yang malas belajar."

Karena Kim gak suka, Kim gak mau jadi dokter.

"Papa akan carikan kamu tutor baru. Mama harap, kali ini tak ada lagi drama seperti yang sudah-sudah. Tinggal satu semester lagi, Kim, buktikan sama Papa, kamu bisa masuk fakultas kedokteran," bujuk mamanya.

Kimmy menangis. Di luar sana, teman-teman nya menganggap hidupnya sangat sempurna. Anak orang kaya, cantik, populer, punya pacar tampan, tapi tak ada yang yang tahu, hidupnya sangat tertekan. Dia tak pernah diberi kebebasan untuk memilih, semua orang tuanya yang menentukan.

...----------------...

Alfath makan malam bersama Om Raka dan Tante Kinan. Kenapa hanya bertiga, karena anak-anak mereka tidak ada di rumah. Cinta dan Lovely, mereka mendapatkan beasiswa pendidikan spesialis di luar negeri. Sementara Kasih, dia yang sepantaran dengan dengan kakak pertama Alfath, bekerja di salah satu rumah sakit yang ada di Tangerang. Ketiganya mengikuti jejak mereka, menjadi dokter.

"Al, masuk semester 5, agak santai kan?" tanya Om Raka.

"Lumayan santai Om. Semester kemarin baru masuk organisasi, tapi ya gitu, aku cuma ngikut buat nyari teman aja, gak mau terlalu masuk dalam kepengurusan."

"Mau kerja gak?"

"Papah ini apaan sih?" Mendengar itu, Tante Kinan langsung meletakkan sendok dan garpunya. "Nara nitipin Al buat kuliah, kok kamu suruh kerja. Apa katanya nanti?" Dia takut terjadi kesalah fahaman dengan adiknya karena ini.

"Cuma jadi tutor, bukan Papa suruh kerja nyangkul, gitu banget ekspresinya," Om Raka sampai geleng-geleng.

"Ya tetep aja, namanya kerja. Mama gak setuju."

"Emang jadi tutor dimana, di sebuah lembaga gitu?" Alfath malah penasaran. "Emang masih kuliah, bisa gitu Om, jadi tutor?"

"Tutor privat," sahut Om Raka. "Temen Om ada yang lagi nyari tutor buat anaknya. Jadi iseng Om nawarin kamu. Gajinya gede, Al, lumayan buat nambah uang jajan kamu."

"Gak usah Al, nanti Tante tambahin kalau cuma buat uang jajan," Tante Kinan menginterupsi.

"Cuma dua jam sehari, senin sampai kamis," Om Raka belum putus asa membujuk Alfath.

"Kayaknya boleh juga, Om."

Tante Kinan langsung melotot. "Enggak, Tante gak setuju. Apa kata mama kamu nanti?"

"Mama pasti gak keberatan kok, Tante. Dulu Ayah juga kerja sambil kuliah. Al pengen juga nyoba cari uang sendiri."

"Good!" Om Raka mengacungkan dua jempol. "Om suka anak muda yang berfikiran seperti kamu. Meski orang tua berpunya, tapi hasil keringat sendiri, itu lebih nikmat. Nanti Om kasih alamatnya, lusa kamu langsung kesana."

Alfath mengerutkan kening. "Bukannya sekarang, anak sekolah baru masuk liburan semester ya, Om?" Masa iya, udah mau mulai, fikir nya.

"Dia di hukum sama Papanya, selama liburan gak boleh keluar, harus tetep belajar karena nilainya jeblok."

"Emang dia kelas berapa?"

"Kelas 3, cewek."

"Oh....," Alfath manggut-manggut. Dia bersyukur karena yang akan jadi muridnya cewek. Menurutnya, cewek usia SD lebih mudah diajari daripada cowok yang diusia itu, maunya cuma main.

...----------------...

Kimmy frustasi saat dirinya tak diberi izin keluar selama libur semester. Mungkin ini yang dinamakan terpenjara dalam sangkar emas. Semewah apapun rumahnya dan selengkap apapun fasilitasnya, tetap saja, tak nyaman jika terkurung disana. Apalagi remaja usia 18 tahun seperti dirinya, dimana sedang getol mencari jati diri, masih suka coba-coba dan seneng-seneng.

"Non Kimmy, ada tamu," ucap Bi Nana pada Kimmy yang sedang rebahan di sofa ruang keluarga. 3 hari di rumah tanpa kegiatan, dia gabut maksimal.

"Siapa, Bi?"

"Katanya tutor yang di suruh Pak Bram."

Kimmy mendengus kesal. Rupanya papanya benar-benar mencarikan dia tutor baru, belum menyerah meski yang dulu-dulu selalu mengundurkan diri karena tak betah dengannya. Dia beranjak dari sofa, berjalan menuju ruang tamu untuk menemui tutor tersebut.

"Kamu... siapa?" Kimmy mengerutkan kening melihat seorang cowok duduk di sofa ruang tamunya.

"Saya Alfath, tutor yang mau mengajar anak Pak Bram." Alfath berdiri sambil menunduk sopan.

Mulut Kimmy seketika menganga lebar. Apa papanya tidak salah, kenapa tutornya masih sangat muda seperti ini, tak seperti biasanya yang sudah bapak-bapak?

"Kalau boleh tahu, mana ya, anak yang mau saya ajar?"

Dengan sedikit ragu, Kimmy menunjuk dirinya sendiri. Ekspresinya antara mau ketawa dan mau nangis, apa papanya sudah se putus asa ini, sampai meminta pria muda menjadi tutornya?

Alfath mengernyit bingung. Setahu dia anak kelas 3 SD, tapi kenapa gadis itu menunjuk dirinya sendiri? "Adik kamu maksudnya?"

Kimmy menggeleng, "Aku gak punya adik."

"Tapi kata Om Raka, anak yang mau saya ajar, kelas ti_" Alfath tak melanjutkan kalimatnya. Mulutnya mengang lebar, jangan-jangan yang dimaksud Om Raka kelas 3, adalah 3 SMA, bukan 3 SD seperti yang dia fikirkan.

Gak boleh kalah

Kimmy masih belum bisa percaya jika cowok di hadapannya itu adalah tutor barunya. Ini pasti ulah teman-temannya. Kemarin dia bilang di grup kalau papanya mencarikannya tutor baru. Ya, pasti mereka ngeprank, sengaja ngirim orang untuk pura-pura jadi tutor. Gak mungkin papanya mencari orang sembarangan untuk menjadi tutor, karena selalunya orang-orang yang sudah profesional.

Dia yang sedang pegang HP, langsung menghubungi papanya. Panggilan pertama tidak dijawab, baru pada panggilan kedua, panggilannya dijawab.

"Pah, ada yang datang, ngaku tutor baru," Kimmy bicara dengan tatapan mata yang masih terkunci pada Alfath.

"Iya, namanya Alfath."

"Apa Papa gak salah?" pekik Kimmy. "Dia masih sangat muda. Emang papa yakin, dia bisa ngajar aku?"

Busyet, nih cewek ngeremehin gue banget.

"Kamu selalu gak cocok sama tutor tua, jadi Papa coba yang muda, kali aja klik. Bisa jadi tutor sekaligus sahabat."

Kimmy memutuskan sambungan telepon setelah mendapatkan kepastian dari sang papa. Dia memperhatikan Alfath dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi.

"Gak pernah lihat orang genteng, gitu banget liatnya?" Alfath tersenyum simpul.

Mulut Kimmy menganga lebar lalu tertawa mendengar ucapan Alfath. Sumpah, belum pernah dia ketemu cowok sepercaya diri itu. "Berapa umur kamu?"

"21."

"Kuliah?"

"Iya."

"Dimana?"

"Kenapa, mau nyamperin ke kampus gue?"

Lagi-lagi, Kimmy dibuat melongo. Cowok modelan apa sih yang dipekerjakan papanya ini.

"Lo naksir sama gue?" tanya Alfath.

"Hah! Coba ulangi," seru Kimmy. "Gak usah ke PD an ya."

"Biasanya, banyak nanya itu karena suka," Alfath tersenyum miring.

"Amit-amit," Kimmy menatap meremehkan. "Cowok aku aja 1000 kali lebih cakep daripada kamu."

"Ya, gue percaya. Percaya banget kalau lo bohong." Alfath menutup mulutnya dengan telapak tangan agar tawanya tak pecah. Tapi percuma, tawanya tetap saja tak bisa ditahan.

"Gak usah ngomong elo gue disini. Ini Bandung, bukan Jakarta."

Alfath mencebikkan bibir. Cewek kalau udah kalah debat, ya kayak gini. Jadi merembet kemana-mana, bahkan soal bahasa saja, sampai dikomentarin. Padahal intinya, paham juga dengan omongannya.

"Sepertinya, sesi perkenalannya sudah cukup. Dimana kita bisa mulai belajarnya?"

Kimmy menghela nafas panjang. "Aku lagi ngantuk, besok aja mulai belajar. Hari ini, aku bebasin kamu. Silakan pulang," dia menunjuk ke arah pintu.

"Terimakasih, tapi maaf, aku bukan tipe penyuka sesama jenis, apalagi tipe pemakan gaji buta. Jadi, ayo kita mulai belajar!"

Kimmy pikir, tutor muda akan lebih mudah diakali, ternyata dia salah. Dan mau tak mau, dia menuruti kemauan Alfath. Dia mengajak Alfath menuju sebuah ruangan yang memang didesain papanya sebagai tempat dia belajar. Tempat itu seperti ruang kelas, ada white board, proyektor, laptop, serta sebuah bangku dengan 2 kursi. Yang paling menarik, disisi ruangan, berjejer rak buku yang isinya penuh. Entah buku apa saja yang ada disana.

"Rumah ini kayaknya sepi." Alfath memang tak melihat orang lain selain Kimmy dan art yang tadi membuka pintu sekaligus membuatkan dia minum.

"Iya, memang sepi. Kenapa, mau nyolong?"

Alfath berdecak pelan. Kemarin dia sempat kenalan dengan Pak Bram, dari yang dia lihat, pria itu baik dan sopan, tapi entah turunan dari mana, anaknya bisa gak ada sopan santun seperti ini. Caranya bicara dengan yang lebih tua, sangat tidak ada adab. Entahlah, mungkin salah pergaulan.

Alfath merasa jika ruangan itu kurang nyaman untuk belajar. Kesannya terlalu formal, kayak di sekolah.

"Kita belajar di luar aja. Kayaknya lesehan di ruang keluarga enak." Kenapa dia bisa bilang seperti itu, karena tadi mereka melewati ruang keluarga sebelum masuk ke ruang belajar. "Vibes nya biar kayak lagi belajar kelompok."

"Serah, asal vibes nya gak kayak kita lagi pacaran aja," Kimmy memutar kedua bola matanya malas. Mau disini atau dimanapun, dia tak peduli karena sama saja, dia tetap enggan belajar.

Kimmy meletakkan laptop dan beberapa buku di atas meja. Sementara dia dan Alfath, duduk lesehan di karpet. Hari ini, Alfath memulai dengan mepel matematika. Dia ingin tahu lebih dulu, seberapa kemampuan Kimmy. Wajahnya sih cakep, semoga aja otaknya juga, batin Alfath.

Alfath mulai menjabarkan tentang materi matematika yang nantinya akan dipelajari Kimmy di kelas 3. Memberikan penjelasan sesimpel mungkin agar mudah difahami, tapi disaat dia sibuk menerangkan, Kimmy malah sibuk dengan ponselnya.

"Bisa ditaruh dulu gak?" Alfath menatap gadis yang menurutnya menyebalkan itu. Bahkan Alula saja, kalau di ajari tak semenyebalkan Kimmy.

Kimmy meletakkan ponselnya di atas meja. Kembali mendengarkan penjelasan Alfath, tapi saat ada suara notifikasi, dia kembali lagi meraih benda pipih tersebut. Membalas chat teman-teman gengnya, sambil cekikikan.

"Berhenti main HP," seru Alfath sambil menatap Kimmy tajam. Bukannya takut, Kimmy malah lanjut main HP.

Kesal kata-katanya tak gubris, Alfath merebut ponsel Kimmy.

"Apaan sih!" seru Kimmy. Dia hendak merebut kembali ponselnya tapi Alfath lebih dulu memasukkan ke dalam saku celana bagian depan. Dia fikir, Kimmy tak akan berani mengambil jika disana, tapi ternyata dia salah. Cewek itu tetap berusaha mengambil meski posisinya di tempat rawan.

"Anj_" Alfath hampir mengumpat saat tangan Kimmy menyentuh sedikit miliknya. Dia menarik tangan Kimmy keluar, lalu dengan sangat terpaksa mengeluarkan sendiri ponsel tersebut dari saku celananya. Dia tak menyangka kalau cewek di depannya itu tak ada takut-takutnya. Tapi meski sudah mengeluarkan ponsel tersebut dari saku celana, tak berarti dia akan mengembalikan pada Kimmy. "Ponsel kamu aku sita," dia memasukkan ponsel tersebut ke dalam tas miliknya.

"Gak bisa gitu dong," Kimmy berusaha menarik tas Alfath, hingga terjadilah, adegan tarik menarik. Sayangnya, tak berakhir dengan terjatuh bersama dengan posisi wenak, yang ada malah....

Alfath menatap nanar tali tasnya yang putus. Baru hari pertama ngajar, dia sudah rugi.

Bukannya merasa bersalah, Kimmy membuka tas milik Alfath, mengambil ponselnya yang ada disana. Alfath yang naik darah, langsung merebut ponsel tersebut.

"GUE SITA!" ucap Alfath penuh penekanan. Meletakkan benda pipih tersebut di sudut meja yang jauh dari jangkauan Kimmy. Disini, dia tutornya, jadi jangan sampai kalah dengan gadis tengil itu. Dia harus lebih galak dan bar-bar.

Setelah menarik nafas panjang lalu membuang perlahan, Alfath lanjut menerangkan. "Paham?" tanyanya di akhir penjelasan.

Melihat Kimmy menggeleng, kepalanya seperti mau meledak. Padahal dia sudah mengulang dua kali dan menggunakan metode yang menurutnya sangat mudah, tapi...Ah sudahlah, lelah dirinya. Dia memberikan dua buah soal pada Kimmy.

"Kerjakan, aku mau ke toilet sebentar. Dimana toiletnya?"

Kimmy menjelaskan arahnya, lalu membiarkan Alfath pergi. Setelah cowok itu hilang dari pandangan, dia langsung mengambil ponsel, kembali asyik chatingan dengan teman-temannya. Mendengar suara derap langkah, buru-buru dia mengembalikan ponsel di tempat semula lalu pura-pura tidur. Meletakkan kepala di atas meja, dengan berbantalkan lengan.

Alfath mengerutkan kening melihat Kimmy tidur. Saat dia lihat, soal yang dia berikan sama sekali belum dikerjakan.

"Bangun!" titah Alfath. "Aku tahu kamu cuma pura-pura. Buruan bangun dan kerjakan soalnya!"

Kimmy bergeming, tetap dalam mode pura-pura tidur. Pokoknya dia harus membuat tutor barunya itu kesal dan akhirnya mengundurkan diri atas kemauan sendiri.

"Baiklah," Alfath tersenyum simpul. "Bangun, sesi ini sudah selesai, aku ada urusan."

Mendengar itu, Kimmy langsung membuka mata dan mengangkat kepala. Buru-buru dia mengemasi buku dan alat tulis.

"Mau apa?" Alfath menahan tangan Kimmy.

"Kan udah selesai."

"Kata siapa?"

"Kata kamu barusan."

Alfath tersenyum miring. "Yang selesai, sesi pertama. Sekarang kita lanjut sesi berikutnya."

"Hah!" Kimmy langsung melongo. "Bu-bukannya kamu ada urusan?"

"Iya. Urusan ngajarin cewek bandel."

Bab 3

Pulang dari rumah sakit, Pak Bram mendapati Alfath masih di rumahnya. Ini sudah melewati jam kesepakatan, yakni 2 jam sehari.

Melihat pria itu, Alfath langsung menghampiri dan mencium tangannya.

"Kok belajarnya disini?" tanya Pak Bram.

"Biar nyaman, Om. Vibes nya biar kayak lagi belajar kelompok, gak terlalu tegang."

"Benar juga," Pak Bram manggut-manggut. Memperhatikan meja yang diatasnya ada laptop dan beberapa buku. Juga Kimmy yang masih duduk lesehan di atas karpet. "Kalau ngeliat kalian kayak gini, beneran kayak lagi belajar kelompok, secara usia kalian hampir sama. Om suka cara kamu, Al."

Kimmy mencebikkan bibir mendengar sang papa memuji Alfath. Hatinya meronta-ronta, tak terima.

"Tapi dia gak pinter, Pah," Kimmy menginterupsi. "Masa tadi pas aku tanya, gak bisa jawab. Tutor macam apa kayak gitu."

Alfath langsung melotot. Kapan dia ditanya tidak bisa jawab? Gadis itu sedang ingin menjatuhkannya saat ini. Dan dia harus bisa membalikkan situasi dengan elegan.

"Benar, Al?" Pak Bram menatap Alfath.

"Benar, Om." sahut Al sambil tersenyum. Tentu saja, responnya itu membuat Kimmy kaget sekaligus tak percaya. Padahal dia fikir, Alfath akan langsung menyangkal. "Saya memang gak jawab, tapi bukan berarti gak bisa, melainkan sengaja gak jawab."

Pak Bram mengerutkan kening.

"Kimmy tanya apa saya sudah punya pacar atau belum," Alfath berakting tersenyum malu-malu, sementara Kimmy langsung melotot tajam. "Rasanya pertanyaan itu.... " Dia sengaja menjeda, menatap Kimmy penuh arti.

Pak Bram tertawa ngakak sambil memandangi putrinya yang saat ini mukanya merah padam. "Kamu naksir sama Al, Kim?"

"Apaan sih, Pah, enggaklah," sangkalnya sambil tertawa absurd. Dia melihat ke arah Alfath, melemparkan tatapan kesalnya.

"Gimana Kimmy, gak bikin kamu naik darahkan?" tanya Pak Bram.

"Em.... lumayan," sahut Alfath sambil garuk-garuk tengkuk.

"Sabar ya, Al. Kimmy itu sebenarnya anak manis." Alfath pengen muntah dengar Pak Bram bilang Kimmy anak manis. Masih manisan juga, kucing yang ada di rumah Om Raka, batinnya. "Kim, contoh ini Alfath," Pak Bram menepuk bahu Alfath. "Mamanya dwkan, terus papanya pengusaha kafe yang sukses, tapi Alfath masih mau kerja, nyari duit sendiri."

Kimmy memutar kedua bola matanya malas. Makin Alfath dipuji, dia makin kesal.

"Ya sudah, Om, saya mau pamit," ujar Alfath. Dia lalu mengambil tasnya yang ada di atas sofa. Karena salah satu talinya putus, dia jadi tak bisa memakainya.

Pak Bram mengambil dompet yang ada di dalam tas, mengambil tiga lembar uang merah lalu menyodorkan pada Alfath. "Buat jajan."

"Pah, apa-apaan sih," Kimmy mendelik kesal.

"Gak usah Om, saya sudah digaji," tolak Alfath sopan.

"Anggap aja uang lembur. Ini kan sudah melebihi jam. Udah ambil aja." Pak Bram memaksa. Mau tak mau, Alfath mengambilnya, lumayan bisa buat jajan. Untuk ukuran mahasiswa seperti dia, dapat ang 300 ribu udah lumayan banget.

Alfath pamit sambil mencium tangan Pak Bram. Kimmy, malas banget dia pamit sama cewek itu, mending langsung pergi, tapi ternyata, Kimmy malah mengikutinya ke luar.

"Ngapain sih ngikut, masih kurang les nya?" Alfath tersenyum penuh arti sambil mengenakan helm.

Kimmy menengadahkan telapak tangan. "Mana duit dari Papa. Kamu udah digaji, gak berhak dapat uang lagi."

Alfath membuang nafas kasar lalu tersenyum pada Kimmy. Dia menunjukkan tali tasnya yang putus. "Kamu tahu berapa harga tas ini? Uang 300 ribu, gak cukup buat ganti." Dia lalu merogoh saku celana, mengeluarkan uang 300 ribu pemberian Pak Bram. "Nih, ambil! Tapi ganti tas ku yang kamu rusakin."

Kimmy mendengus kesal. Menghentakkan kaki kasar lalu berbalik badan, berjalan cepat masuk ke rumah.

Alfath tersenyum melihat tingkah gadis itu. Ada-ada saja, mengingatkan dia pada Alula. Iya Alula, kakak iparnya. Ah.... kenapa dia jadi kangen cewek itu. Enggak, gak boleh! Ini gak bener. Dia membuang jauh pikirannya tentang Alula.

Sesampainya di dalam, Kimmy melihat ada banyak sekali chat di grup geng nya. Besok mereka berencana akan nonton dan jalan-jalan di mall untuk mengisi liburan.

[ Sorry guys, aku gak bisa ikut. Harus les ]

Tulis Kimmy. Dan teman-temannya, langsung ramai-ramai merespon.

[ Gak seru kamu Kim ]

[ Pokoknya besok harus ikut, titik ]

[ Awas kalau sampai kamu gak ikut. Kamu kita keluarin dari geng ]

Kimmy berdecak kesal melihat komen teman-temannya. Geng mereka yang paling hits di sekolah. Enggak, dia gak mau dikeluarin. Dia harus cari cara agar besok bisa lepas dari Alfath.

...----------------...

Alfath yang baru datang, disambut Kimmy dengan wajah pucat nya.

"Aku sakit," ucap Kimmy pelan sambil memijat-mijat kepalanya. "Kepalaku pusing." Berakting sebagus mungkin agar Alfath percaya. Satu jam lagi, dia janjian dengan teman-temannya di mall.

"Ambil buku, kita mulai belajar," titah Alfath.

"Aku sakit," rengek Kimmy. "Besok saja ya. Hari ini aku mau tidur."

"Ya udah kamu tidur. Aku disini saja, jam kerjaku 2 jam, jadi 2 jam lagi, aku baru akan pulang."

Kimmy menggeleng cepat. "Kamu pulang sekarang saja." Dia memegang lengan Alfath, membalikkan badannya lalu mendorong ke arah pintu.

"Kamu demam?"

"Iya demam. Pusing, panas, mual muntah, semua pokoknya. Udah kamu pulang aja." Kimmy terus mendorong Alfath.

"Ok, Ok, aku akan pulang, tapi tunggu sebentar." Alfath menahan tubuhnya yang sejak tadi didorong Kimmy.

"Apa lagi?"

Alfath membalikkan badan, meletakkan punggung tangan di kening Kimmy. "Gak panas," cowok itu mengernyit.

"Gak panas, tapi pusing. Udah, buruan pulang."

"Kamu bohong ya?"

"Enggak," Kimmy menggeleng cepat.

"Ya sudah, aku disini dulu dan pulang 2 jam lagi."

"Sekarang! Aku bilang sekarang."

"Ya sudah. Aku teleponin Papa kamu ya, biar dia atau mama kamu pulang dan me_"

"Enggak! Gak perlu," Kimmy menggeleng cepat. "A-aku udah telepon mereka."

Alfath tak peduli, mengambil telepon lalu mencari nomor Pak Bram.

"Aku bilang gak usah," Kimmy merebut ponsel Alfath, mematikan telepon yang belum diangkat. Dia menatap Alfath kesal, lalu menyerahkan kembali ponsel tersebut. Namun saat ponsel baru saja kembali ke tangan Alfath, benda itu berdering. Pak Bram menelepon.

"Hallo, Om Bram."

Mata Kimmy membulat sempurna saat tahu yang menelepon papanya.

"Ini, Om, Kimmy katanya sa_" Kalimat Alfath terpotong karena Kimmy merebut ponselnya.

"Hallo, Pah," Kimmy bicara di telepon sambil menatap Alfath nyalang. "Gak ada apa-apa kok, Pah, ini mau mulai belajar."

Setelah panggilan terputus, dia mendengus kesal lalu mengembalikan ponsel pada Alfath.

Alfath terkekeh pelan. Akhirnya berhasil membongkar tipu daya gadis nakal itu.

"Puas kamu!" salak Kimmy sambil melotot.

"Belum," sahut Alfath sambil ketawa cekikan. "Belum puas sebelum kamu pintar." Dia menjitak pelan kening Kimmy. "Jangan coba-coba lagi buat ngebohongin aku."

Dengan berat hati, Kimmy memulai belajar, membuang segala khayalan indah tentang jalan-jalan di mall bersama teman-temannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!