...PROLOG...
Restoran ini cukup terkenal, Kimmy food logonya. Aroma kopi yang masih mengepul menguarkan wangi tentram.
Fakhri Ramadhan, kini duduk di depan tunangannya. Almira melepas cincin lalu meletakkannya di atas meja.
Fakhri menatap lekat lingkaran cincin bertahtakan berlian itu, cincin yang dia titipkan pada calon ayah mertua untuk disematkan di jari manis Almira.
Kini, benda mungil itu dikembalikan. Almira menyatukan kedua tangan. "Maaf. Tapi Ara rasa Ara kurang pantas untuk menjadi istri mu, Mas."
Fakhri menatap wajah cantik itu. Sudah dari pandangan pertama, dia sangat menyukai Almira, sayangnya hari ini gadis itu mengaku tidak bisa melanjutkan hubungan mereka.
"Karena aku orang miskin?" tanya Fakhri.
"Bukan!" Almira mengibaskan tangannya, dan memang bukan karena itu. Sungguh!
Lagi pula Fakhri yang sekarang juga bukan pemuda miskin seperti saat masih menjadi santri Gus Emyr. Fakhri Ramadhan sebentar lagi menjadi dokter spesialis bedah digestif.
Bukan masalah miskin atau tidak miskin tapi hati Almira sudah bertaut pada satu lelaki saja: Guntur Rakabuming Bakhtiar.
"Sama sekali bukan itu!" sanggah Almira.
"Kak..."
Fakhri melambai tangan pada seorang wanita berseragam pelayan restoran ini. Dan gadis berwajah Eropa itu mendatanginya dengan langkah segera.
"Iya, ada yang bisa saya bantu?" Wanita itu tersenyum ala karyawan. Agaknya karyawan magang karena wajahnya masih bocah.
"Ini tips untuk mu." Fakhri menyodorkan cincin berlian miliknya. Yang mana tentu saja membuat gadis itu melotot penuh.
Fakhri tak mau mengambil kembali cincin yang memiliki kenangan pahit. Jadi akan lebih bermanfaat jika dia berikan benda itu untuk karyawan mungil ini saja.
Lagi pula kasihan, masih kecil tapi sudah disuruh bekerja. Padahal dulu saat dia seumuran gadis itu, Fakhri masih mondok di pesantren Kiyai Zainy.
"Wait, Om melamar ku?"
Fakhri mengernyit, melamar? Tidak sama sekali bahkan. "Hanya tips, paham kan? Tips."
...BAB SATU...
"Kamu ini gimana, Sayang?! Sudah bagus kuliah di Inggris, ambil bisnis! Malah ambil kedokteran di UMI!" Sky Rain nama pria itu, owner sekaligus CEO perusahaan elektronik ter-hit di negaranya.
Hari ini dirinya dibuat tercengang setelah mendapati putrinya mengurungkan niat untuk kuliah bisnis di Inggris, berpindah haluan ke jurusan kedokteran di Indonesia.
Alice Aurora Princess Rain, gadis yang sedari bayi tak pernah melihat sosok ibunya. Alice tumbuh dengan baik dan cantik meski harus dibesarkan tanpa kasih seorang ibu.
Yah ... Nasib Alice cukup malang sekali karena tak berapa lama dari kelahiran gadis itu, tepat di menit setelahnya sang ibu harus meregang nyawa.
Sekarang, setelah dirinya besar, Alice harus diberikan beban yang cukup berat. Harus rela menjadi pewaris tahta seorang Sky Rain yang menurutnya terlalu banyak.
Mungkin akan suka jika menghabiskan uang- uang ayahnya saja, mungkin tak akan habis dimakan tujuh turunan serta belokan. Tapi untuk mengelola perusahaan, Alice tak bisa.
Alice ingin menjadi dokter. Apa lagi setelah mengetahui jika Dokter incarannya menjadi Lektor di fakultas kedokteran yang akan dia tempuh.
"Alice mau pilih bidang studi sesuai kemauan Alice sendiri!" sanggah gadis itu.
Sky Rain menyelanya cepat. "Terus siapa yang mau meneruskan Daddy?!" tegurnya.
"Daddy harus nikah lagi, punya anak lagi yang banyak dong, Alice nggak mau sendirian menanggung semua kekayaan Daddy, please nikah lagi, jangan bebanin semua ke Alice!"
Sky menghela dalam, sejenak pria 42 tahun itu mengusap keningnya. Di mana mana anak akan senang jika harta warisannya tak dibagi, tapi Alice justru menyuruhnya tidak melempar beban seluruh kekayaannya pada anak itu.
"Kamu mau punya ibu tiri?" Sky menatap kosong wajah mungil gadis itu. Dan Alice mengangguk kali ini.
"Tante Lala kandidat ibu tiri yang baik, asal Daddy serius saja! Dan ingat, Tante Lala itu wanita dari keluarga yang baik, jadi stop cuma ngajak kencan atau having sex, lamar dan lekas menikah," kata Alice menggurui.
Sky terdiam, pria itu tak bisa berkata apa- apa selain menatap anak gadisnya memasuki lift khusus yang mengarah ke kamarnya.
Sky mendengus, dasi yang baru disimpulkan kini dia kendurkan. Terlalu sesak, untuk pagi yang sudah dipenuhi emosi. "Anak sekarang, dikasih tahu malah ceramah."
"Tapi saran Alice boleh juga." Sky menatap seorang pria. Pria tua berkacamata yang masih tampan dan bugar Rega Rain lah yang mewariskan keluarga ini kekayaan berlimpah.
"Papi juga mau lihat kamu menikah lagi."
"No!!!" sergah Sky. Di luar, Sky disambut oleh asisten personal setianya; Dominic.
"Pagi, Boss!" sapanya.
"Kemarin siapa yang membuat Alice berniat kuliah di kedokteran?" tanya Sky.
Dominic tertawa karena kemarin Sky bahkan tak tertarik membahas ini. "Seorang dokter, tapi juga ustadz."
"Oya?" Sky baru tahu jika putrinya bisa menyukai seorang ustadz.
"Aku rasa princess kita butuh dibanting ke kehidupan realita." Dominic beri usul.
"Nona Alice hanya penasaran, tidak cinta. Tidak mungkin seorang Alice Rain akan betah menjadi istri seorang ustadz," imbuhnya.
Sky setuju, ada dua kemungkinan jika Alice berhasil mendapat dokter incarannya. Satu meminta cerai dan fokus ke kehidupan yang sebenarnya, atau justru lebih baik lagi karena bimbingan suaminya.
"Kamu selidiki seluruh keluarga dokter yang Alice sukai ini!" titah Sky. "Tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk dibuang- buang hanya demi mengejar cinta seorang ustadz!"
"Ok," kata Dominic.
Alice di bangku kuliahnya, dilabeli sebagai mahasiswa baru dengan wajah tercantik. Baru beberapa minggu menjadi bagian dari Universitas Millers-C Indonesia, namanya kian populer bahkan hingga ke fakultas lain.
Selain cantik, kekayaan ayahnya yang dikenal takkan habis di makan tujuh turunan pun ikut berkontribusi menjadikan Alice buah bibir para warga kampus.
Suasana siang cukup cerah, berhamburan manusia, ada yang makan siang, ada yang merayu gadis- gadis, ada juga yang berdandan seperti Alice Rain ini.
"Lice!"
Dewi menyenggol siku Alice hingga Alice yang sedang menatap cermin bulat kecil berdecak kesal karenanya. Bagaimana tidak, barusan saja lipstik yang sedang ia poles di bibirnya meleset ke pipi.
"Dedew!" Alice memiliki kebiasaan berteriak, apa lagi setelah melihat penampilannya mirip dengan badut joker.
"Mmh...."
Alice bukannya mendapatkan jawaban maaf atau basa- basi tak sengaja. Dewi justru menunjukkan gerakan topeng monyet padanya.
"Uu, aa, ii..."
Dewi memperagakan sesuatu dengan gerakan aneh, terkesan menunjuk ke belakang Alice yang terus mengerutkan kening keheranannya.
"Ngapain sih?!"
"Aa, oo," gagap Dewi yang mencoba Alice sembuhkan dengan tepukan keras di punggung gadis itu. "ADA OM LEKTOR!"
"Hah?!" Alice segera memutarkan tubuh dan menutup mulutnya yang terperangah. Fakhri Ramadhan, pria bertubuh tinggi, berwajah damai, memiliki senyum manis dan ramah.
Pria inilah yang menjadi alasan utama Alice mengurungkan niatnya ke Inggris. Yah, Alice baru tahu jika dokter yang memberikan cincin padanya juga mengajar di kampus ini.
Lelaki itu tersenyum pada setiap orang yang menyerukan nama di sepanjang jalan menuju kantin kampus. "Ya Tuhan, jodoh Gue!"
Merasa ada kesempatan Alice buru- buru meraih tas miliknya, berlari mengikuti Pak Dosen tampan nan ramah yang digadang- dagang sangat religius. "Ehm!"
Ada lirikan yang Alice yakin telah berhasil menusuk ke jantung hatinya. "Ah!" desahnya.
Fakhri sampai meliriknya kecil. Benar benar kecil hingga tak terlihat oleh Alice yang tengah dibuat melayang- layang dengan lirikan pertama dokter bedah itu.
Alice membayangkan sebagaimana panah asmara Fakhri jatuh tepat di hatinya. Ngilu, pedih, tapi enak juga. "Apaan sih, Lice?"
Alice melebar senyum setelah bergumam di belakang dosennya. "Mau di bawain nggak, Dok tasnya?" tawarnya.
"Nggak perlu."
Ah, suaranya. Ya Tuhan, Alice semakin dibuat jatuh meriang. "Dokter Fakhri, Alice jadi murid baru dokter loh."
"Selamat, semoga betah." Fakhri terus berucap dengan ramah walau tanpa mau memandangnya, Alice tak masalah, justru dia kagum karena baru pernah ada lelaki yang tak mau sedikitpun menatapnya.
"Pasti betah banget, Dok!"
Fakhri lalu melirik Alice, dia berhenti dan menatapnya begitu lekat. "Siapa namamu?"
"Alice!" Jantung Alice berdegup cepat. Baru pertama kalinya Fakhri merespon dengan pandangan yang begitu seksama.
Lihat di sekeliling, orang yang menatap ke arahnya mungkin karena mereka semua iri pada dirinya yang bisa dengan handal membuat seorang Fakhri Ramadhan dokter dengan banyak gelar melihatnya begitu lekat.
"Di sini!"
Alice mendelik seketika Fakhri menunjukkan pipinya. Seolah, sedang memberikan kode untuk sebuah kecupan di sana.
"Ya Tuhan, Dok. Jangan terang terangan gitu dong! Kan Alice malu..."
"Di sini, Lice," tambah Fakhri kembali sambil masih menunjukkan pipi seperti sebelumnya.
"Emang nggak apa- apa kalo dokter, Alice cium di tempat umum?" Alice maju satu langkah, sontak Fakhri mundur dua langkah.
"Hmm?" Fakhri bahkan berkerut kening, seperti melontarkan tanya; apa yang sedang Alice lakukan padanya.
"Dokter minta kiss kan?" tanya Alice.
Fakhri seperti menahan senyum, walau manis tapi Alice tak suka respon itu. "Dokter kenapa senyum- senyum begitu? Ada yang salah sama Alice?"
Fakhri sedikit menunduk kepalanya, ia sedikit menghindar ketika kemudian Alice sambut wajah itu dengan mata terpejam. "Lipstik mu belepotan," bisiknya.
"Khaaa?" Alice mendadak membuka matanya, mulutnya ternganga karena baru detik itu juga Alice mengingat jika riasan wajahnya seperti badut joker.
"Selamat siang." Fakhri tersenyum, lalu ngeluyur pergi begitu saja setelah berhasil membuat Alice merasa jika dirinya konyol.
"Ah, sialan Dedew! Hiks!" Alice menghentak kakinya tantrum, melirik ke kanan dan kiri, di sekitarnya bukan melihat dirinya dengan iri melainkan menertawakannya.
"Ciye, yang ngejar cinta Pak Dosen tapi dicuekin mulu!" Alice melirik ke kanan, harinya tidak cerah lagi melihat gadis itu.
Gadis menyebalkan yang selalu saja datang di saat dirinya sedang dalam kondisi yang tidak baik- baik saja. Namanya Cinta, walau perilakunya tak dapat menimbulkan kesan cinta sama sekali.
"Kita taruhan mau nggak?" tawar Cinta.
Gadis yang paling sering merebut pacar- pacar atau bahkan pemuda incaran Alice. Dan, hari ini gadis itu juga menawarkan pertaruhan dengan nada bicara mencemooh.
Alice diam, karena selain anak itu memiliki paras yang cantik, Cinta juga seorang aktris yang memiliki banyak penggemar. Sejauh ini, Cinta selalu punya pendukung di belakang.
Contohnya dayang di kanan kiri Cinta yang tak pernah berhenti mengipasi-nya. Entah dibayar berapa, tapi Lissa dan Mirna se-setia itu pada Cinta.
Cinta berbisik tepat di telinga. "Gimana kalau kita taruhan. Siapa, diantara kita yang bakal di terima Mas Dokter?" tantangnya.
Alice terkekeh, jelas Alice lah yang diterima, karena Alice sudah memiliki cincin berlian pemberian Dokter Fakhri. "Gue tunangannya, Lu ngapain minta kita taruhan?"
Cinta tertawa terbahak- bahak. Lihat, khayalan si anak Daddy yang Daddy-nya pacaran dengan kakaknya ini, cukup miris. "Lu pikir, Gue percaya? Ngayal jangan ketinggian!"
Fakhri Ramadhan digadang- gadang sebagai dosen yang anti wanita. Lagi pula takkan mungkin jika lelaki shaleh sekelas Fakhri mau dengan gadis seperti Alice.
Alice mengolah raut wajah menjadi sangat amat menyebalkan. Dia bahkan memanyunkan bibirnya dengan mata yang dibuat sipit seperti sedang meledek Cinta.
"Ini cincinnya," tunjuknya pada mata Cinta, bahkan sengaja didorongkan hingga gadis itu harus menepis tangannya. "FA, Fakhri, Alice!"
Ada inisial yang membuat Cinta seketika terdiam dengan wajah geram. Dia belum tahu, berita dari Alice ini benar atau bohong tapi inisial itu cukup membuatnya terpaku.
Bisa saja Alice berhalusinasi, bisa juga tidak, apa lagi jika mengingat keluarga crazy rich Alice yang dikenal sebagai manusia manusia arogan dan pemaksa.
Alice suka raut tak suka Cinta, kesombongan gadis itu seperti terjatuh ke jurang. "Bye!"
Alice menabrak lengan Cinta, lalu disambut oleh Dewi yang kebingungan. "Kenapa Lice?"
Alice merangkul Dewi, mereka perlu bicara empat mata di tempat lain. "Cinta mau ngajak Gue taruhan buat dapetin Dokter Fakhri, padahal kan Gue sama Dokter Fakhri udah tunangan."
"Lu serius, tunangan hah?" Dewi baru tahu bahkan, hingga mata gadis itu terlonjak membelalak, begitu kaget.
"Enggak lah, ege!" ralat Alice.
"Terus?"
Alice menghela napas, ingin menjadi tentram tapi tidak berhasil sama sekali. "Inilah kenapa Gue pengen banget dapetin Dokter Fakhri! Gue mau tunjukkin ke manusia plastik itu!"
"Tapi gimana?" sela Dewi. "Lu bolak- balik ke kliniknya ajah nggak pernah diinget namanya, gimana bisa Lu taklukkin itu ustadz coba?"
Alice setuju, dia memang sudah lama menjadi pasien dokter Fakhri, tapi sejauh ini lelaki itu datar- datar saja. "Apa Gue pake hijab ajah ya biar dia tertarik ke Gue?"
Sontak, Dewi melirik. "Agak aneh sih kalau bayangin Lo pake hijab ... tapi ... Boleh juga ide Lo!"
Manusia plastik, Alice selalu menyebut musuh bebuyutannya dengan panggilan itu. Selain karena memang wajah dan tonjolan body Cinta hasil operasi, kelakuan Cinta juga sukar diuraikan alias nyampah!
Sekarang, Alice jadi bingung harus dengan cara apa Alice membuktikan omongannya jika suatu saat nanti Cinta akan tagih bukti yang kongkrit perihal hubungan palsunya.
Tak ada cara lain! Yang bisa dilakukannya hanya terus mengejar dokter ustadz itu dengan sungguh- sungguh hingga dapat.
"Jebak bermalam panas?"
Ah, gumaman itu membuat Alice keki sendiri. Walau dia ingin sekali melakukannya, tapi menawarkan diri pada pria bukan lah solusi.
Ada satu cara yang akan digunakannya malam ini, yaitu merayu Fakhri dengan hijab cantiknya. Yah, hijab yang dibuat fashionable.
Kaca mata hitam lebar, poni gembung pirang miliknya terlihat cantik. Lipstik menyala, dan scarf yang disimpulkan di bawah dagunya.
Itu pakaian branded yang dulu pernah dibawa oleh beberapa Miss universe. Sepatu heels boot hitam, rok span putih gading di bawah lutut yang dipadukan dengan blouse marun.
Tas dia tenteng, sesekali Alice berdehem untuk menambah wibawanya. Ingat, tipe yang disukai Fakhri Ramadhan adalah wanita yang seperti Kak Almira.
"Okay, tidak sulit jadi dewasa!" katanya sambil berlenggak lenggok ketika menjumpai cermin yang terserak di dinding- dinding klinik.
Cincin cantik tersemat di jari manisnya, dia angkat jari- jari itu, dia pandangi kilau cincin pemberian Dokter Fakhri sambil berkhayal jika Fakhri memang benar- benar jodohnya.
"Dokter Fakhri ada kan?" Alice melepas kaca mata hitamnya, menatap resepsionis yang sedang bertugas.
"Ada," katanya. "Tapi barusan saja pulang, mungkin sudah sampai di parkiran."
"Oya?" Alice segera angkat siku yang baru saja menempel di meja tinggi itu. Dan sang resepsionis mengangguk serius.
Tak boleh lolos, Alice harus bertemu dengan dokter Fakhri hari ini juga. Kemarin- kemarin, mungkin Fakhri masih anggap dia hanya anak kecil karena masih berseragam SMA.
Tidak dengan sekarang, Alice sudah dewasa, anak Sky Rain itu sudah 18 tahun bahkan hampir masuk 19 tahun usianya. Tiga tahun lamanya Alice menunggu hari ini tiba.
Di mana gadis itu menjadi dewasa dan disebut mahasiswi. Tiga tahun, yah, Fakhri pernah memberikan cincin padanya tepat di tiga tahun yang lalu.
Saat, Kak Almira mantan tunangan dokter Fakhri belum menikah dan sekarang sudah dijodohkan kembali dengan pria lain bahkan tampak bahagia bersama lelaki yang baru.
"Dok!" Alice mencegah pintu mobil Fakhri yang baru saja hendak ditutup. Fakhri di jok kemudi menatapnya bingung.
"Kaifa haluk?" sapanya. Alice belajar sedikit bahasa itu, karena katanya dokter Fakhri bisa fasih berbahasa Arab.
"Bi khoirin wal hamdulillah," jawab Fakhri dengan nada lembut yang menyentuh relung hati Alice. Tentram, dan itu yang membuat Alice begitu terobsesi pada lelaki ini.
"Ada yang bisa dibantu?" tanya Fakhri.
Seperti biasanya, Alice segera berakting, menunjukkan sakitnya. "Tenggorokan Alice, uhuk- uhuk, sakit Dok!" bualnya.
Fakhri menghela napas berat, setiap hari gadis bernama Alice datang dengan keluhan yang berbeda. Batuk, pilek, demam, kemarin sesak napas dan minta napas buatannya.
Padahal sudah dikatakan jika dirinya tidak menangani semua yang Alice keluhkan selama ini, tapi tetap saja gadis cantik itu berusaha dengan gigihnya untuk sekedar mendapatkan jadwal periksa dengannya.
Perihal batuk, Fakhri sudah resep kan obat yang paling ringan karena Alice tidak benar- benar batuk, hanya vitamin. "Resep yang kemarin saya kasih harusnya masih kan?"
Alice menyengir cengengesan. Dia lupa jika kemarin sakitnya seputar batuk dan sudah diberikan resep untuk diminumnya.
"Ada lagi yang bisa dibantu?" Fakhri terbiasa ramah karena lelaki 32 tahun itu seorang dokter yang juga berasal dari keluarga kurang mampu, dan ramah adalah perangainya.
"Hijab Alice, bagus nggak?" Alice memang sedikit melenceng, tapi dia ingin tahu apa pendapat Fakhri tentang outfit-nya hari ini.
"Ini hijab?" Fakhri menatap Alice dari atas hingga bawah. Biasanya tak berani dokter itu menatap wanita, tapi kali ini dia penasaran.
Poni Alice terlihat, scarf itu juga hanya disimpul sedikit di bawah dagunya, tidak dipeniti, mengenai rok span putih itu memang bagus bahkan sangat pas untuk gadis bertubuh ramping ini, tapi jika tampilan Alice yang ini dikatakan hijab, Fakhri kurang bisa menerimanya.
"Hijab trend baru?" tanya Fakhri kembali.
Alice tersenyum- senyum, gadis itu memutar mutar tubuhnya GeEr. "Em em," angguknya.
"Lihat deh, ini tuh keluaran terbaru dari merek paling terkenal." Alice juga berputar lepas, berlenggak- lenggok seperti model yang mendemonstrasikan bajunya di atas catwalk.
Fakhri diam, datar, dan menghela napas, hal yang membuat Alice berdecak. "Dokter kok nggak jawab? Katanya dulu dokter bilang, mau menerima semua keluhan pasiennya?"
"Alice..." Fakhri memanggil lirih, sebenarnya ini bukan tugasnya seorang dokter, tetapi jika menolaknya gadis ini akan tersinggung.
"Hmm." Alice suka sebutan mesra itu maka tak segan untuk Alice mengangguk. "Apa?"
"Menurut saya, baju yang kamu kenakan ini, lebih mirip dengan temannya beruang."
Alice seketika tertawa sambil menampar kecil lengan Fakhri yang sontak mengerutkan keningnya keheranan. "Kok Dokter tahu kalau Alice pelihara beruang di rumah? Dokter diam diam perhatian deh!"
Fakhri berusaha menjelaskan dengan cara yang baik, tapi Alice masih saja salah paham dengan tindakannya. "Alice..."
"Hmm, iya!" angguk Alice lagi. Wajahnya berubah memerah, sungguh Alice suka dengan sebutan nama yang keluar dari bibir dokter Fakhri Ramadhan.
"Alice tahu Marsha and the bear?" tanya Fakhri kemudian, di jawab anggukan dan senyuman manis Alice. "Iya, tahu."
"Kamu lebih mirip dengan tokoh lucu itu dari pada orang yang berhijab."
Awalnya Alice masih tersenyum malu- malu sampai wajahnya berubah setelah sadar jika Fakhri menyamakannya dengan tokoh di film kartun yang paling dia benci.
"W-what Marsha and the bear?!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!