NovelToon NovelToon

Cinta Terlarang

Bab 1

Sinta Nurmala, janda berusia 24 tahun yang di tinggal meninggal suaminya 1 tahun lalu. Wanita itu berparas ayu sesuai dengan namanya. Namun takdirnya tak se ayu namanya. Kehilangan orang yang dia cintai, sangat membuat Sinta terpukul dan trauma. Selama berbulan-bulan, Sinta tak pernah berhenti merenungi kisah rumah tangganya yang tragis. Butuh waktu lama untuk bangkit dan memulai kembali hidupnya.

Kini sudah 6 bulan Sinta tinggal di rumah kakaknya, membantu sang Kakak mengasuh anak sekaligus mengurus rumahnya. Sebab Kakaknya adalah wanita karir, sibuk dengan karirnya dan tidak ada waktu untuk menjaga 2 anaknya, apalagi mengurus rumah. Sinta bahkan sering bertanya pada kakak kandungnya itu, kenapa masih sibuk dengan karirnya disaat sudah memiliki suami kaya dan bertanggung jawab. Di tambah dua anak perempuan dan laki-laki yang sempurna. Apa lagi yang mau di cari.? Sedangkan keluarga kecilnya sudah sangat lengkap dan bahagia.

Tapi itulah Liana, wanita yang sejak dulu terkenal ambisius diantara saudara kandungnya yang lain.

Sinta terbangun ketika mendengar pintu kamarnya di ketuk. Dia segera membuka pintu kamarnya dan di depan kamar sudah ada Kakaknya yang memakai pakaian rapi.

"Ya ampun, Sinta kesiangan ya Mba.?! Mba Liana sama anak-anak sarapan apa.?" Pekik Sinta kaget. Liana sudah memakai baju kerja lengkap, tapi Sinta malah baru bangun. Dia biasanya bangun lebih awal untuk membuat sarapan. Sebab Liana dan kedua ponakannya berangkat pagi². Berbeda dengan Kakak iparnya, dia baru akan berangkat ke kantor pukul 9. Selisih 2 jam.

"Kamu nggak kesiangan Dek, sekarang baru jam 5. Mba tuh ada tugas dadakan ke luar kota. Jam 10 malam baru di kabari. Tadinya mau ngasih tau kamu, tapi semalam kamu tidur cepet." Kata Liana menjelaskan. Sinta langsung bernafas lega. Dia pikir bangun kesiangan, ternyata masih sangat pagi.

"Berapa hari Mba.?" Tanya Sinta. Dia sudah biasa melihat Kakaknya tugas ke luar kota. Kalau sudah ke luar kota, pasti bukan hanya sehari dua hari.

"Paling lama 6 hari, tapi bisa lebih cepat."

"Mba titip Mas Alan sama anak-anak ya. Maaf kalau mba ngerepotin kamu terus. Tapi bagaimana lagi, Mba nggak mungkin menolak tugas dari Bos." Wajah Liana tertunduk sendu. Kelihatan sangat menyesal karna harus meninggalkan suami dan anak-anak. Tapi tidak pernah mencari solusi bagaimana caranya agar tetap di rumah dan memiliki banyak waktu dengan keluarga kecilnya.

Sinta hanya menghela nafas. Dia juga sudah bosan membujuk Kakaknya berhenti bekerja. Bukan apa-apa, Sinta merasa kasihan pada dua ponakannya yang terlihat kurang kasih sayang dari Ibunya.

"Mba nggak usah khawatir, biasanya anak-anak juga sama aku."

"Mba pakai mobil atau pesawat.?" Tanya Sinta.

Sepertinya dia memang sudah lepas tangan, jadi tidak protes ketika Liana pamit ke luar kota.

"Pakai pesawat, soalnya harus ke Surabaya. Ini Mas Alan sudah nunggu di mobil. Mau antar Mba ke bandara. Tolong nanti beri pengertian ya Dek sama anak-anak. Mba percaya kamu bisa mengatasi mereka. Mba pergi dulu,," Liana langsung pergi begitu saja. Dia membuat Sinta melamun di depan pintu kamar. Sebagai seorang adik, Sinta pasti berharap Kakaknya rela melepaskan karir demi anak-anak.

...******...

"Pagi Tante ku yang cantik,,,"

"Tante masak apa.? Kok enak banget wanginya.?"

Itu adalah suara menggemaskan dari Zio dan Zia. Kakak beradik itu memiliki kesamaan nama, namun terpaut usia 2 tahun. Zio berusia 10 tahun, kelas 4 SD. Dan zia 8 tahun, kelas 2 SD.

"Tante masak makanan kesukaan kalian. Ayo cumi muka dan cuci tangan. Kita sarapan dulu, setelah itu mandi." Kata Sinta seraya mengusap lembut pucuk kepala mereka. Keduanya patuh dan pergi untuk cuci muka serta tangan.

"Mama sama Papa Kok nggak ikut sarapan.?" Tanya Zia karna kedua orang tuanya belum datang ke ruang makan.

"Nanti juga sarapan. Zia sama Zio habiskan dulu makanannya, jangan sampai terlambat ke sekolah karna kelamaan makan." Sinta tersenyum lembut pada kedua ponakannya. Lagi-lagi mereka patuh. Semua perkataan Sinta memang tidak pernah di bantah oleh mereka. Bukan karna Sinta pandai menarik hati mereka, tapi pada dasarnya kedua ponakannya itu memang anak yang penurut dan pengertian. Bahkan lebih dewasa dari anak seusianya.

...*******...

Sinta duduk di taman depan selepas mengantar dua ponakannya masuk ke mobil Alan. Kakak iparnya itu sampai di rumah pukul 7 pagi, jadi bisa mengantar anak-anak.

"Kasian Zio dan Zia." Lirihnya sendu. Walaupun Sinta tidak pernah merasakan kekurangan kasih sayang dari Ibunya, tapi dia bisa merasakan bagaimana hancurnya hati seorang anak yang tidak bisa merasakan kasih sayang Ibunya secara utuh.

Wanita itu kemudian masuk kembali ke dalam rumah. Masih banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan supaya nanti siang bisa menjemput ponakannya tepat waktu.

...******...

Sore itu Sinta sedang mengangkat jemuran di rooftop. Sedangkan dua ponakannya ada les di luar dari pukul 4 dan baru pulang pukul 5 sore dari tempat les. Biasanya mereka pulang bersama Papanya yang kebetulan bisa menjemput setelah jam pulang kerja.

Saat Sinta asik melamun, dia di kejutkan dengan suara derap langkah kaki. Janda muda itu reflek menoleh. Dia semakin terkejut melihat Alan yang begitu dekat dengannya.

"Kapan pulangnya Mas.? Kok nggak kedengaran suara mobilnya." Tanyanya.

"Kamu mana denger kalau lagi ngerjain sesuatu sambil melamun." Sahut Alan sedikit meledek. Sinta menyengir kikuk. Alan sampai hapal kebiasaannya.

"Anak-anak mana.? Tumben nggak berisik.?"

"Ketiduran di jalan sampai rumah. Udah Mas pindahin ke kamarnya, mau bangunin nggak tega. Nanti pas mau makan malam saja banguninnya." Jawab Alan. Sinta mengangguk-angguk dan tidak bicara lagi.

"Sini biar Mas bawain." Alan mengambil keranjang baju yang sudah penuh. Semua jemuran sudah di masukan ke dalam keranjang oleh Sinta.

Sinta kemudian mengikuti Alan yang sudah jalan lebih dulu. Keduanya berhenti di ruang laundry. Alan meletakkan keranjang di sana. Sinta ikut masuk karna biasanya dia akan langsung menyetrika baju setelah mengangkat jemuran.

"Makasih Mas." Ucapnya pada Alan. karna sudah membantunya membawa keranjang baju.

"Sebenernya Mas bosen denger kamu bilang makasih terus. Bisa nggak ucapan makasihnya di ganti yang lain.?" Protes Alan.

Sinta menatap bingung.

"Di ganti apa Mas.? Thank you.? Biar kaya orang bulel.?" seloroh Sinta kemudian terkekeh.

"Bukan itu. Misalnya cium pipi atau cium bibir gitu. Terserah Sinta mau kasih ciuman dimana." Jawaban Alan membuat Sinta terdiam seketika.

"Sin.? Sinta.??!" Alan menggerakkan tangannya berkali kali di depan wajah Sinta. Sampai akhirnya wanita itu sadar dari lamunan.

"Mas Alan aneh-aneh aja." Ujar Sinta acuh. Dia menganggap ucapan Alan hanya sekedar candaan, walaupun raut wajah Alan terlihat serius saat mengatakannya.

Bab 2

Keadaan rumah sudah sunyi di jam 10 malam, namun Shinta belum bisa memejamkan matanya. Sementara itu, Zio dan Zia sudah tidur lagi setelah belajar dan mengerjakan PR di temani oleh Shinta. Alan juga ikut bergabung, walaupun hanya 1 jam. Karna pria itu harus mengerjakan pekerjaan kantornya.

"Padahal cuma 1 jam tidur siang, itupun ketiduran. Efeknya malah susah tidur begini." Gerutu Shinta sambil turun dari ranjang dan mengikat asal rambut panjangnya. Dia keluar kamar dan pergi ke dapur.

Sinta mengambil mie instan dan telur, di tambah beberapa sayuran. Berniat mengisi perut agar kekenyangan dan berakhir dengan mengantuk. Sinta berharap bisa tidur setelah menghabiskan semangkuk mie.

"Kamu mau masak apa malam-malam begini.?" Suara bariton Alan mengejutkan Sinta. Hampir saja dia menjatuhkan mangkuk panas berisi mie kuah yang menggugah selera.

"Mas Alan bisa nggak sih jangan ngagetin aku terus." Bibir Sinta mengerucut. Dia melewati Alan dan membawa mangkuk itu ke meja makan.

Alan malah terkekeh, dia membuka lemari pendingin dan meneguk minuman kaleng. Sambil membawa minuman kaleng yang sudah di teguk setengah, Alan menghampiri Sinta dan duduk di sebelahnya.

"Kamu bukannya udah makan.?" Tanya Alan sambil menatap mangkuk besar berisi mie dengan topping lengkap. Ternyata Sinta menambahkan bakso dan dumpling ke dalam mienya.

"Aku nggak bisa tidur, kali aja habis makan jadi ngantuk. Ngantuk karna Kekenyangan." Jawabnya kemudian terkekeh.

"Sini minta, kayaknya enak." Alan menggeser mangkuk itu ke depannya. Padahal yang bikin saja belum makan.

Tapi pemilik mie itu hanya geleng-geleng kepala melihat Alan sudah lahap menyantap mie miliknya.

Sampai pukul 22.40, Alan dan Sinta masih duduk di ruang makan. Keduanya jadi asik mengobrol setelah menghabiskan 1 mangkuk mie bersama. Bukannya ngantuk, mata Sinta malah makin on.

"Kamu nggak pengen nikah lagi.? Biar tidurnya nggak sendirian terus. Emang enak tidur kedinginan.?" Seloroh Alan bercanda.

Mereka memang sedekat itu sebagai ipar. Sinta sudah menganggap Alan seperti Kakak kandungnya sendiri. Dia juga tidak sungkan berkeluh kesah pada Kakak iparnya. Di tambah sikap Alan yang dewasa dan bijak. Membuat Sinta merasa tenang dan selalu punya solusi setiap selesai curhat dengannya.

"Nggak usah ngeledek Mas. Bukannya 5 hari Ke depan Mas Alan juga kedinginan tidurnya." Balas Sinta tak mau kalah. Ekspresi wajah Alan langsung berubah sendu, tapi hanya beberapa saat dan langsung ceria lagi.

"Jadi kita sama-sama kedinginan nih.? Gimana kalau Mas tidur di kamar kamu, biar saling menghangatkan." Kata Alan sambil mengulas senyum menatap Sinta.

"Mas Alan makin aneh kalau malem. Aku mau ke kamar dulu, udah ngantuk." Sinta beranjak dari kursinya, namun Alan menahan pergelangan tangan Sinta dan menarik pinggang ramping itu hingga jatuh ke pangkuannya.

"Mas.!!" Pekik Sinta dengan bola mata membulat sempurna. Dia berusaha bangun, tapi tenaganya kalah kuat dari Alan.

"Malam ini saja, please. Boleh ya Mas tidur di kamar kamu.?" Pinta Alan memohon.

"Jangan naif Sinta, Mas tau kamu juga butuh kehangatan. Sudah 1 tahun, apa kamu yakin nggak kangen rasanya.?" Bujuk Alan. Entah pergi kemana akal sehatnya, sampai memiliki nyali untuk bicara seperti itu dengan adik iparnya sendiri.

"Apa Mas Alan juga sering tidur sama wanita di luar sana.? Ingat Mas, kamu punya Mba Liana." Sinta menatap tak percaya.

Alan menggeleng cepat.

"Aku nggak pernah berhubungan dengan siapapun sejak menikah sama Kakak kamu. Mengajak kamu tidur bareng bukan berarti aku melakukan hal yang sama di luar sana."

"Dengar Sinta, kita berfikir sebagai orang yang sama-sama dewasa dan sedang butuh kehangatan. Kamu mau kan.? Yang di bawah meronta-ronta sejak sore. Kamu bisa merasakannya kan.?" Tanya Alan.

Blusss

Pipi Sinta langsung merona. Kenapa juga Alan membahas hal itu. Padahal Sinta sedang menyingkirkan pikiran kotor yang bersarang di kepalanya akibat merasakan sesuatu yang keras dan besar mengganjal pantatnya.

Tidak bisa di pungkiri, dia sebenarnya sangat merindukan sentuhan dan belaian sejak beberapa bulan terakhir. Awalnya dia tidak memikirkan soal kebutuhan biologisnya dan berfikir tidak membutuhkan itu, tapi ternyata Sinta salah. Seseorang yang sudah pernah menikah dan sering terpenuhi kebutuhan biologisnya, ternyata masih sangat membutuhkan belaian.

"Mas,,!" Suara Sinta tercekat. Tubuhnya meremang saat merasakan tangan Alan menyusuri punggungnya di balik baju. Sinta bahkan tidak tau sejak kapan tangan Alan menyusup dibalik bajunya.

Sinta seharusnya memberontak, menolak tindakan Alan yang jelas keliru. Namun nalurinya sebagai janda yang sudah 1 tahun tidak di sentuh, membuat Sinta bimbang dan akhirnya pasrah mengikuti nalurinya.

Malam itu keduanya melakukan hubungan terlarang di dasari oleh nafsu dan hasrat yang sudah lama terpendam.

Sinta membiarkan Kakak iparnya memberikan kehangatan yang mungkin tak akan pernah dia lupakan. Sebab permainan Kakak Iparnya sangat memabukkan.

...*******...

Pagi itu di kamar Sinta, sepasang kaki menyembul di balik selimut. Saling menindih satu sama lain dengan perbedaan warna kulit yang sedikit kontras.

Sinta terbangun lebih dulu. Dia sudah terbiasa bangun pukul 5 pagi tanpa harus memasang alarm. Sudah otomatis bangun sendiri karna selam bertahun-tahun selalu nurutin bangun pagi-pagi sekali.

Saat menoleh ke samping, raut wajah Sinta mendadak sendu dan tampak sangat menyesal. Dia telah mengkhianati Kakak kandungnya sendiri dengan menghabiskan malam bersama suami Kakaknya. Padahal Liana selama ini sangat baik padanya. Memberikan tumpangan tempat tinggal meski harus merangkap sebagai baby sitter dan asisten rumah tangga.

"Maafin aku, Mba." Lirih Sinta tercekat. Dia lantas menyingkirkan tangan dan kaki Alan yang sejak semalam memeluknya sambil tidur.

Sinta bermaksud turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi, tapi pergelangan tangannya malah di cekal oleh Alan. Pria itu rupanya terbangun karna pergerakan Sinta.

"Mau kemana.? Hari ini aku sama anak-anak libur, bikin sarapannya nanti saja agak siang." Kata Alan dan menarik Sinta hingga berbaring lagi di sampingnya.

"Mas, apa yang kita lakukan adalah kesalahan besar. Kita sudah mengkhianati Mba Liana." Mata Sinta berkaca menatap Alan. Sebagai seorang adik yang di beri tumpangan dan selalu dihibur dikala sedih, Sinta merasa sangat tidak tau diri pada Kakaknya.

"Sstttt,, jangan menangis." Alan menyeka air mata Sinta yang tiba-tiba luruh.

"Mas rasa sudah saatnya kamu tau apa yang sebenarnya terjadi. Rumah tangga Mas dan Mba kamu sudah lama renggang. Bahkan lebih dari sebulan kami nggak melakukan hubungan suami istri." Penuturan Alan membuat Sinta terkejut. Sebab selama ini dia melihat rumah tangga kakaknya baik-baik saja. Hanya saja Liana jadi sering pergi ke luar kota akhir-akhir ini.

"Sinta, Mas benar-benar kesepian. Kamu pun butuh kehangatan seperti ini." Alam menarik Sinta dalam dekapannya dan mendaratkan kecupan di bibirnya.

"Mas harap percintaan ini bukan pertama dan terakhir." Pintanya memohon. Alan kemudian kembali mendaratkan kecupan, kali ini lebih intens dan dalam. Sampai akhirnya mereka berdua kembali mengulang perbuatan terlarangnya.

Bab 3

"Mas Alan. Ya di situ." Mata Sinta terpejam rapat. Kedua tangannya meremas rambut Alan dan menekan kepala Alan di bawah sana. Permainan lidah Alan membuat tubuh Sinta menegang dan bergerak tidak karuan akibat kenikmatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Des-ahan demi desa-han lolos dari bibir sensual Sinta yang sudah lama merindukan kenikmatan seperti ini. Nikmat yang membawanya seakan terbang ke awan.

Alan makin bersemangat mengobrak-abrik titik sensitif di bawah sana menggunakan lidahnya. Reaksi Sinta cukup membuat gairah Alan semakin terbakar. Sudah lama dia tidak melihat seorang wanita tak berdaya merasakan kenikmatan akibat permainannya. Tentu hal ini membuat Alan merasa bangga pada dirinya sendiri.

"Sinta mau sampai Mas,,," Tubuh Sinta melengkung. Kini tangannya meremas seprai kuat-kuat.

"Jangan di tahan sayang,," Sahut Alan seraya menggerakkan jari di bawah sana.

Sinta melenguh panjang, bersamaan dengan keluarnya cairan kenikmatan dari intinya.

"Huhh,,, Huhh,,," Nafas Sinta memburu setelah mendapatkan pelepasan. Matanya terpejam rapat, merasakan sensasi kenikmatan yang masih tersisa.

Alan memberikan waktu pada Sinta untuk memulihkan tenaga dan menormalkan nafasnya yang memburu. Pria itu berbaring di samping Sinta sembari menatap lekat wajah Sinta yang berkeringat. Adik iparnya terlihat sangat seksi dan menggairahkan dalam keadaan seperti itu.

"Kamu puas Sin.?" Tanya Alan. Sinta mengangguk lemas. Bohong kalau dia bilang tidak puas, sedangkan Alan sudah berhasil membuatnya sampai sebanyak 5 kali sejak semalam.

"Nanti gantian kamu puasin Mas ya. Semalam masih kurang goyangan kamu, bikin Mas pengen terus." Bisik Alan. Dia merapatkan tubuhnya pada Sinta, tangannya mulai bergerilya mencari sesuatu yang bisa dimainkan untuk membangkitkan gairah.

"Jadi goyangan Sinta kurang atau bikin nagih.?" Tanya Sinta yang sudah membuka matanya. Dia diam saja ketika tangan Alan bermain pada da danya.

Alan tersenyum, dia meraih tengkuk Sinta dan melu-mat bibirnya sekilas.

"Justru bikin candu. Boleh kan kalau nanti Mas sering minta jatah.?" Tanya Alan penuh harap.

Tanpa pikir panjang, Sinta mengangguk membolehkan. Dia tidak bisa munafik, daripada tersiksa karna merindukan belaian. Walaupun dia sadar bahwa perbuatannya salah.

Permainan penuh gairah itu berakhir ketika tubuh Sinta ambruk di atas dada bidang Alan. Keduanya baru saja mendapat pelepasan bersama-sama. Ada kepuasan dan tatapan saling mengagumi dalam sorot mata keduanya ketika beradu pandang.

"Kamu sangat liar di ranjang, Mas suka." Puji Alan senang. Sudah kesekian kalinya Alan memuji Adik iparnya dengan kalimat yang sama. Mungkin karna selama ini Alan mengenal sosok Sinta yang keliatan kalem, wajahnya juga bukan tipe-tipe wanita yang gampang ber ga-irah. Jadi Alan cukup terkejut ketika merasakan langsung bagaimana Adik iparnya ketika bercinta.

"Mas Alan jangan bikin aku malu,," Sinta memalingkan wajah. Sekarang jadi ketahuan aslinya saat di ranjang.

"Malu kenapa.? Mas malah muji kelebihan kamu, harusnya kamu senang." Sahut Alan. Dia mendekap erat tubuh polos Sinta dan berguling ke samping. Posisi keduanya jadi berbaring sebelahan.

Sinta hanya tersenyum tipis.

"Aku mandi dulu, nanti keburu anak-anak bangun." Ujar Sinta seraya turun dari ranjang.

"Mas ikut. Kita mandi bareng ya,?" Pinta Alan penuh semangat. Sinta mengiyakan, keduanya kemudian masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamar Sinta dan mandi tanpa ada ritual lain. Mungkin sudah lelah, jadi tidak mengulangi percintaan lagi.

...******...

"Tante,,,"

"Tanteku cantik,,,"

Suara renyah Zio dan Zia menggema do ruang makan. Dua bocah itu sudah mandi dan rapi. Keduanya kompak berlari ke arah Sinta yang sedang menata makanan di atas meja.

"Ya ampun, ponakan tante udah ganteng dan cantik." Sinta mengusap pucuk kepala Zio dan mencium pipi Zia. Zio sudah tidak mau di cium lagi, selalu protes dan mengatakan kalau dia sudah besar.

"Ayo duduk, kita sarapan dulu." Ajak Sinta. Dua bocah itu langsung patuh.

"Papa belum bangun Tan.?" Tanya Zio. Sinta terdiam seketika, dia jadi teringat kesalahan terbesarnya bersama Papanya Zio. Sinta merasa telah menjadi Tante yang buruk untuk kedua keponakannya.

"Tante.? Kok malah bengong.?" Zia menggoyang tangan Sinta sambil mendongak menatapnya.

"Eh itu, tadi Papa kalian lagi terima telfon di belakang." Jawab Sinta.

Tak berselang lama, Alan muncul dari arah taman belakang. Dia ikut bergabung di meja makan, memilih kursi di samping Sinta dan berhadapan dengan kedua anaknya. Alan tampak melempar senyum tipis pada Sinta, begitu juga sebaliknya.

"Zio sama Zia mau liburan nggak.?" Tawar Alan.

Dua bocah yang duduk di hadapannya itu langsung bersemangat menjawab mau.

"Mau ke pantai atau puncak.?" Tanya Alan penuh kelembutan. Tidak heran kalau anak-anak lebih dekat dengan Papanya di banding dengan Liana. Belum lagi dengan kesibukan Liana yang menyita banyak waktu, membuat dua anak itu sangat jarang berkumpul dengan Mamanya.

"Puncak saja Pah. Zia mau ke kebun binatang, boleh.?" Ucap Zia sambil menunjukkan wajah manisnya dan mata bulatnya yang bening.

"Kalau Zio gimana.?" Alan beralih dulu pada putranya. Dia memang sosok Papa yang adil dan pengertian. Jadi selalu menanyakan pendapat atau keinginan pada kedua anaknya.

"Zio ikut maunya adik saja. Ke kebun binatang juga seru." Jawab Zio bijak. Alan tersenyum bangga dan mengulurkan tangan untuk mengusap pucuk kepala putranya.

"Baik, kita ke Zoo setelah sarapan. Jangan lupa bawa baju ganti, kita menginap di villa."

Anak-anak langsung bersorak senang begitu tau akan menginap di villa mereka. Entah sudah berapa lama mereka tidak pergi ke puncak dan menginap.

"Kamu harus ikut,," Lirih Alan pada Sinta. Dia sampai menggenggam tangan Sinta yang ada di bawah meja makan.

Sinta mengangguk setuju.

"Tapi aku ijin dulu sama Mba Liana." Ujarnya.

"Iya, terserah kamu saja yang penting ikut." Alan melempar tatapan dan senyum teduh. Sinta jadi terperangah, hampir hanyut dalam pesona Kakak iparnya. Dia buru-buru mengalihkan pandangan karna takut jatuh cinta.

...*******...

Sinta menghubungi Liana hampir 5 kali dan panggilan telfonnya baru di jawab.

"Iya Dek, ada apa.?" Seru Liana di seberang sana.

"Itu Mba, anak-anak minta liburan ke puncak sama Mas Alan. Katanya mau nginep juga di villa. Aku boleh ikut.?" Tanya Sinta dengan detak jantung yang berpacu cepat. Sinta merasa takut karna sadar dia sudah bersalah pada Kakaknya.

"Ya ampun, kirain ada apa Dek. Kalau kamu nggak ikut, nanti siapa yang bantuin Mas Alan jagain anak-anak." Jawab Liana sambil terkekeh kecil.

"Ikut aja, sekalian kamu refresh aaww,,," Teriakan Liana membuat Sinta panik.

"Mba.? Mba Liana kenapa.?" serunya.

"Nggak, mba nggak kenapa-napa Dek. Tadi cuma ke sandung kaki meja. Udah dulu ya, Mba mau mandi. Titip anak-anak, bye,,"

Tut,, tut,,,

Liana memutuskan sambungan telfonnya. Sinta jadi kebingungan karna Liana terkesan buru-buru mematikan telfon.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!