Bianca menatap ponselnya yang bergetar di meja, layar menunjukkan nama Jacob. Dia menatap Sarah dan Evelin, yang tengah asyik membicarakan rencana akhir pekan.
“Halo?,” jawab Bianca setelah menekan tombol hijau.
“Bianca, bisa kau datang ke ruang kerjaku? Ada hal yang perlu kita diskusikan,” suara Jacob terdengar tegas dan langsung.
“Tentu, saya segera ke sana,” Bianca meletakkan ponselnya.
Bianca melangkah cepat ke luar ruangannya, menuju ruangan Jacob.
Dia mengetuk pintu besar dan menunggu.
“Masuk!” terdengar suara Jacob.
Bianca membuka pintu, menghirup wangi kayu yang baru difinishing. Jacob duduk di balik meja yang tertata rapi, matahari menyinari sebelah wajahnya. Sekilas, dia tampak serius.
“Ada yang bisa saya bantu tuan” ujarnya, menutup pintu di belakangnya.
Jacob mengangkat kepalanya, menatap Bianca. “Kau tahu ada beberapa poin yang aku ingin langsung bicarakan denganmu.”
“Oh, yang tentang proyek klien baru?” Bianca melangkah mendekat, sedikit mengerutkan dahi.
“Ya, tepat sekali,” jawab Jacob, mencatat sesuatu di atas kertas. “Kita punya tenggat yang ketat untuk pengajuan. Aku butuh semua informasi terperinci yang kau dapatkan.”
“Sudah saya siapkan. Hanya perlu mendiskusikan beberapa detail dengan tim.” Bianca meraih notebook dari tasnya, membuka halaman yang berisi catatan.
Jacob kembali menatapnya. “Ini bukan saatnya untuk ragu-ragu. Kita butuh kejelasan. Klien ini berpotensi besar.”
Bianca mengangguk. “Saya mengerti. Kita harus bekerja sama lebih dekat. Apakah ada data yang ingin Anda utamakan?”
“Proses pengiriman. Aku sudah mendengar beberapa umpan balik negatif. Kita perlu memastikan semua berjalan lancar.” Dia menyilangkan tangan, menunggu reaksi Bianca.
“Kalau begitu, saya akan memusatkan perhatian di situ dan menyusun ulang timeline pengiriman dengan tim. Saya bisa mengatur rapat dengan mereka ini sore.”
Jacob mengangguk, terlihat senang dengan inisiatif Bianca. “Ide bagus. Pastikan mereka siap dengan data yang lengkap.”
Bianca menatap Jacob, merasa seolah ada yang disembunyikannya. “Ada yang lain, tuan? Anda tampak sedikit cemas.”
“Cemas? Aku? Tidak. Hanya fokus dengan pekerjaanku.” Jacob menyandarkan tubuhnya ke kursi, tetapi Bianca tahu ada sesuatu yang lebih.
“Berarti, saya akan segera mengatur semuanya,” Bianca menjawab, memilih untuk tidak mendebat. “Apakah ada jadwal rapat lain yang perlu saya ketahui?”
Jacob mengalihkan pandang. “Rapat dengan investor hari Jumat. Jangan lupa untuk menyiapkan presentasi. Ini penting.”
“Saya siap. Data dari tim riset juga akan saya tambahkan.” Bianca tersenyum, berusaha menjaga suasana tetap profesional.
Jacob berdiri dan berpindah ke jendela, menatap jalanan yang ramai di luar. “Kadang aku berpikir, bagaimana jika kita mengambil risiko lebih besar dengan proyek ini.”
Mendapatkan jawaban yang tidak biasa, Bianca bertanya, “Apa maksud Anda?”
“Kalau kita bisa meyakinkan mereka tentang proposisi yang berbeda, kita tidak hanya bisa mendapatkan klien ini, tapi juga membuka jalan untuk lebih banyak peluang.”
Bianca mencoba mencerna. “Jadi, Anda ingin mengeksplorasi ide yang lebih berani.”
Jacob berbalik. Senyumnya muncul, tetapi tidak sepenuhnya menutupi keraguan di matanya. “Kau tahu cara berpikir seperti itu bisa membawa kita jauh, Bianca. Aku menghargainya.”
“Terima kasih,” Bianca menjawab, merasakan ada ketegangan dalam variasi kata-kata Jacob. “Saya hanya melakukan tugas saya.”
Jacob mengangguk, ekspresinya menjadi lebih serius. “Jangan takut untuk menyampaikan idemu. Kadang, yang terpenting adalah bagaimana kita membawanya.”
“Baik, saya akan ingat itu. Semoga kita bisa membawa hasil yang membanggakan.”
Jacob mengamati Bianca sejenak. “Kau selalu tahu kapan harus tampil. Itulah yang aku butuhkan darimu,” ujarnya pelan.
Dia tidak mengerti sepenuhnya. “Adakah yang lain yang perlu saya ketahui?”
Jacob memutar tubuhnya, berfokus pada layar komputernya. “Tidak untuk sekarang. Pergilah dan kerjakan itu. Kita akan diskusikan lebih lanjut nanti.”
Bianca merasa ada hal yang belum sepenuhnya diungkapkan. “Saya akan segera mulai.”
Saat Bianca keluar dari ruang kerja Jacob, napasnya terasa lega. Dia berjalan cepat ke meja kerjanya, otaknya berputar memikirkan semua yang harus dia lakukan.
Setelah memasuki ruangannya, Bianca langsung merapikan tumpukan berkas di meja. Dia mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.
Dia melihat ke jendela, mengamati aktivitas di luar. Orang-orang berlalu-lalang, beberapa di antaranya menyantap makanan di jalan. Pikirannya kembali ke pembicaraan barusan.
Bianca kemudian kembali menatap layar. Gradien data itu mengganggu konsentrasinya. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian mulai mencetak laporan yang diperlukan.
Dering ponsel Bianca menarik perhatiannya. Sekilas, nama Jacob muncul di layar lagi. Dia menahan napas sejenak sebelum mengangkatnya.
“Ya, Tuan Jacob?” suaranya serius, mencoba mempertahankan profesionalisme.
“Bianca, terima kasih sudah segera melanjutkan pekerjaan,” jawab Jacob, nada suaranya lebih santai. “Satu hal lagi, aku ingin kau siapkan dokumen yang diperlukan sebelum rapat investor. Kita perlu percaya diri di depan mereka.”
“Siap, saya akan buatkan rangkuman dan data yang sesuai.” Bianca mencatat di notepad.
“Kau sudah bersiap untuk presentasi? Itu akan menjadi momen penting,” Jacob mengingatkan dengan nada serius.
“Ya, saya akan pastikan semuanya siap. Apakah Anda memiliki outline untuk presentasi itu?”
Jacob terdiam sejenak. “Belum sepenuhnya. Mungkin lebih baik jika kita berdiskusi tentang poin-poin utama.”
“Baik, saya bisa menghimpun beberapa ide dan kita bisa bicarakan kembali.” Bianca memberikan solusi sambil mencatat.
“Jangan lupa untuk menekankan poin kekuatan tim kita. Kita berbeda dari yang lain.” Sebuah semangat baru muncul dalam suara Jacob, menyiratkan harapan dan kepercayaan.
“Sebentar. Saya ambil catatan, Tuan. Poin kekuatan tim. Sudah?” Bianca memastikan.
“Ya, itu saja. Bekerja dengan baik,” Jacob menyudahi panggilan.
Setelah menutup telepon, Bianca merasakan suntikan energi. Dia mulai merangkum dokumen yang diperlukan, fokus pada setiap detail.
Beberapa jam berlalu, ketukan jari-jemarinya terus berlanjut di atas keyboard.
Setelah menyelesaikan dokumen, Bianca menatap layar. Persentase pencetakannya menunjukkan hampir 100%. Dia menghela napas lega dan mengeluarkan lembaran yang sudah dicetak, kemudian menyusunnya rapi.
“Bianca!” Evelin tiba-tiba muncul dari pintu. “Kau masih di sini?”
“Ya, hampir selesai,” jawabnya tanpa menoleh.
“Aku sudah bilang, pulanglah! Tidak ada gunanya kerja lembur,” Evelin menggerakkan tangannya, menyuruh Bianca agar segera pergi.
Bianca tersenyum kecil, masih fokus pada pekerjaannya. “Aku perlu memastikan semuanya siap untuk rapat besok.”
Evelin mendekat dan melihat tumpukan dokumen di meja. “Ini untuk tuan Jacob?”
“Ya. Dia ingin semua data ini rapi sebelum presentasi,” jawab Bianca, menyusun berkas-berkas dengan lebih baik.
Evelin menggigit bibir. “Kau selalu terjebak di antara pekerjaan. Hidupmu jadi tak seimbang!”
Bianca menatap Evelin dengan serius. “Tapi ini penting. Kita perlu menunjukkan profesionalisme.”
Evelin menggelengkan kepala. “Dengar, kadang kau butuh istirahat. Ayo pergi makan sesuatu atau setidaknya menyeruput kopi.”
“Setelah selesai, aku akan pergi,” jawab Bianca, lalu menyimpan berkas dalam map.
Evelin mencibir. “Kau selalu begitu. Cepat sekali terjebak dalam pekerjaan.”
“Ini bukan sekadar pekerjaan bagi kita, ini masa depan yang kau tahu,” Bianca berargumen.
Evelin mengangkat bahu. “Terserah. Tapi aku benar-benar ingin kau menikmati hidup juga.”
Bianca hanya tersenyum, tidak ingin terlalu terpengaruh. Dia tahu limit dirinya.
Setelah cukup lama, Bianca menyelesaikan semua persiapan. Dia memeriksa jam. “Waktu pulang,” gumamnya, bersemangat untuk akhirnya meninggalkan tempat kerja.
Saat ia mengumpulkan barang-barangnya, Jacob tiba-tiba muncul di ambang pintu. “Bianca,” panggilnya.
Bianca membalikkan tubuhnya. “Ya, Tuan? Apakah ada yang saya lewatkan?”
Jacob mengamati tumpukan berkas di tangannya. “Bagus. Aku ingin melihatnya nanti malam"
...----------------...
Bianca berdiri di depan pintu ruangan Jacob, memperhatikan sekeliling dia mengetuk pintu, suara ringannya teredam oleh kedap suara ruangan.
“Masuk,” suara merdu Jacob menggema dari dalam.
Bianca membuka pintu, berusaha menstabilkan napas.
“Selamat sore tuan.”
Jacob mengangkat pandangannya dari layar komputer, menyunggingkan senyum. “Ya Bianca ada apa.”
Dia mengacak-acak berkas di mejanya, memindahkan dokumen ke satu sisi. Sifatnya mengingatkan pada badai yang tenang sebelum gemuruh.
“Sudah waktunya pulang tuan,” Bianca mengingatkan, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski degupan jantungnya memecah kesunyian.
Jacob mengangguk, lalu menatap jam dinding. “Kamu mencatat waktu dengan baik.”
“Saya hanya memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.” Dia tersenyum, berupaya menyembunyikan ketegangan.
Ia berjalan mendekat ke meja, memungut beberapa dokumen dan menggenggamnya dalam satu tangan.
“Bianca, ada yang perlu kita bicarakan,” katanya sambil menatap lekat pada berkas yang baru saja digenggamnya.
“Ya, apa itu tuan?"
Dia menarik napas dalam-dalam. “Ini mengenai permintaan ku.”
Dia mendapati pernyataan ini meluncur begitu saja dari bibirnya, penuh ketegasan.
Jacob mengerutkan kening, sesaat terdiam, seolah mempertimbangkan kejujuran kalimatnya.
“Apa kah saya harus menjawabnya saat ini juga"
“Kalau kau sudah memiliki jawabannya, saya membutuhkan kepastian” Jacob menatap lurus Bianca
“Tapi saya masih memikirkannya tuan” Bianca memalingkan wajah, usaha kecil untuk menutup kepanikan yang mengeliat dalam pikiran.
Bianca mendapati hatinya bergetar. Meski dia tahu Jacob hanya membutuhkannya untuk menjadi kekasih palsunya.
Bianca berjalan menyusuri koridor, suara langkah kakinya bergema di langit-langit tinggi. Pikiran melayang pada pertanyaan yang baru saja Jacob tanyakan.
Walau pandangan kepada Jacob terfokus pada pekerjaan, ada sesuatu yang lebih di antara mereka.
Jacob merasakan sedikit getaran di hatinya jika saat bersama dengan Bianca dan hal itu membuat Jacob merasa kurang nyaman.
***
Bianca duduk di ujung tempat tidurnya, tangan terlipat di dada. Dia memikirkan permintaan Jacob yang terlintas dalam pikiran. Suara pria itu masih bergema di telinganya, tegas dan penuh keyakinan.
"Bianca, aku butuh kamu untuk menjadi kekasihku, setidaknya untuk sementara."
Bianca menggelengkan kepalanya, menepis bayangan Jacob dari pikirannya. Konsekuensi dari kebohongan itu berputar di benaknya seperti badai. Dia meraih ponselnya, menatap layar hitam dengan penuh keraguan, lalu meletakkannya kembali.
Jacob mengirim pesan.
"Bianca, ini penting."
Dia meringis. Penting baginya, tapi tidak baginya. Dia mengambil napas dalam-dalam, berusaha meredakan keraguan yang merayapi hatinya.
“Apa aku harus membantu tuan Jacob” Bianca melangkah ke arah jendela. Dingin kaca menyentuh telapak tangannya, menambah kesan berat di dadanya.
Dia memandang ke luar, melihat daun-da Di luar, hujan mulai turun, menutupi dunia dengan tirai abu-abu. Pikirannya berputar, dibandingkan dengan kerja kerasnya selama ini. Rasa moralnya bergesekan dengan keinginan untuk membantu Jacob.
"Jika bukan aku siapa lagi yang akan menolongnya dengan phobia yang di alami oleh tuan" gumamnya.
Ponselnya berbunyi lagi. Kali ini, balasan Jacob "Bianca, aku tahu ini sulit. Tapi kamu satu-satunya yang bisa aku percayai."
Dia meremas ponselnya, merasakan konflik itu bergerak di dalam dadanya. Sinar bulan menyinari wajahnya, memantulkan keraguan dalam mata Bianca.
“Jadi, apa yang harus aku lakukan?” gumamnya, menatap bayangan dirinya di jendela.
Dia tidak butuh lama merenung sebelum mengingat ekspresi Jacob saat mengajukan permintaan itu. Raut wajahnya tegang, seolah dunia tergantung pada setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Dia teringat jelas saat Jacob memperhatikannya, sorot matanya penuh harap namun berbagi ketakutan yang dalam.
"Kamu tahu kan Bi hanya kamu yang bisa membantuku karna penyakit ku ini"
Bianca mendengus pelan, kembali mengingat bagaimana dia merasa terjebak dalam jaring keinginan dan tanggung jawab.
Memori itu mengembalikan suasana di mana mereka berdiri berhadapan di ruang kerja.
Ruang yang dipenuhi buku dan dokumen tertumpuk itu terasa semakin kecil saat Jacob menjelaskan rencananya.
"Kita hanya perlu terlihat seperti sepasang kekasih di depan mommy," kata Jacob.
Bianca mengernyit, mencermati raut wajah serius Jacob. "Apa tuan yakin nyonya akan percaya?"
Bianca terus berperang dengan pikirannya mengenai keputusan ini. Dia mengambil langkah mundur, kepalanya berdenyut memikirkan jawabnya apa yang akan dia berikan pada Jacob.
Bianca memutuskan akan tidur di perlu mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Bianca menepuk-nepuk bantalnya, mencoba menemukan posisi nyaman di atas ranjang. Namun, bayangan Jacob dan permintaannya terus mengganggu. Dia memejamkan matanya, berusaha mematikan semua suara dari luar. Namun, wajah Jacob terus mengisi benaknya, sorot mata cemasnya terbayang jelas dalam kelam malam.
Bianca bangkit dari tempat tidurnya, mengguncang kepala seolah mencoba mengusir pikiran yang menggerogoti. Dia melangkah menuju cermin kecil di sudut ruangan, membingkai wajahnya dalam cahaya remang-remang.
“Ceritakan padaku, Bianca, siapa kamu sebenarnya?” dia bercermin sambil bergumam. Tanpa menunggu jawaban, dia mengamati detail wajahnya. Mata cokelat yang mendalam, bibir tipis yang biasanya ceria kini melengkung ke bawah, dan garis rahang yang mengeras, menunjukkan ketegangan yang tak terelakkan.
Dia menghabiskan lebih banyak waktu menatap bayangannya, seolah menunggu seseorang mengubah jawaban dari dalam dirinya.
“Jadi, kamu akan jadi pacar pura-pura?” tanyanya pada cermin, suara itu hanya menggema di antara dinding kamar yang sunyi.
Hening menyelimuti ruangan. Dia menunggu jawaban yang tak pernah datang.
"Apakah ini yang terbaik?" ujarnya, mengerutkan kening pada refleksinya seakan cermin bisa menjawab pertanyaannya.
Dia memandangi cermin dengan penuh harap, seolah jawaban akan muncul dari dalam bayangannya. Hujan di luar semakin keras, seolah menambah deru tekanan di dalam rumah. Setiap tetes yang jatuh memberi irama gelisah pada pikirannya.
Dia mengambil napas dalam, menyentuh rambutnya yang terurai. "Kalau aku menjadi pacar di depan orangtuanya, apa yang akan terjadi pada kita setelahnya?"
Suara batinnya kembali bergaung, menggulung setiap kemungkinan yang bisa muncul dari kebohongan ini.
Dengan berusaha mencari jawaban, Bianca berjalan kembali ke tempat tidur. Dia meraih bantal dan memeluknya erat, seolah bantal itu bisa menyerap semua ketidakpastian di benaknya.
...----------------...
Bianca menatap layar laptopnya. Berita tentang Jacob menghiasi halaman utama—kekasih barunya, seseorang di dunia glamor, terungkap. Ia menarik napas, mengingat kembali semua panggilan telepon yang mereka lakukan.
“Bianca,” suara Jacob menginterupsi pikirannya. Pria itu berdiri di ambang pintu, matanya memancarkan kegelisahan.
“Ya, Bos?” Bianca menoleh.
“Apa kau suda memikirkan nya?” Ia melangkah lebih dekat, suara makin pelan.
“Ya saya sudah memikirkannya semalaman tuan?” Bianca gelisah.
Jacob terdiam sejenak, mengamati ruangannya yang tertata rapi. “Jadi apa jawaban mu Bi.”
“Saya akan membantu tuan.” Bianca mengatur napasnya.
“Sungguh” Jacob terkejut sekaligus gembira mendengar jawaban yang di berikan oleh Bianca.
Bianca mengangguk, perasaannya campur aduk.
"Terima kasih,” Jacob menyunggingkan senyum lebarnya lalu memeluk Bianca.
Bianca yang sedang menahan detak jantungnya, mengerutkan dahi. “Tapi, Bos, kita harus menetapkan batasan.”
Jacob menarik mundur melepaskan pelukannya "Sorry"
“Batasan?” Jacob mengulang, suaranya serak.
“Batasan? Seperti apa?” Jacob mendesak dengan tatapan tajam, tidak bisa menyembunyikan rasa keingintahuannya.
“Dalam hal apa yang kita tunjuk kan sebagai pasangan. Kita tidak boleh melewati batas profesional, bukan?" Bianca berkata sambil menatap bibirnya, berusaha menjaga fokus.
“Profesional,” Jacob mengulangi kata itu seperti meneliti, pikirannya berputar seiring dugaannya.
“Maksud kamu, kita tampil seperti kekasih di depan mommy tetapi tetap menjaga jarak di belakangnya?”
“Persis.” Bianca meluruskan punggungnya, merasa sedikit lega.
“Kita perlu meyakinkan nyonya, tetapi itu bukan tentang kita sebenarnya.”
Jacob mengangguk, seolah memahami, tetapi keraguan masih membayangi wajahnya.
“Jadi, dimulai dari mana?” Ia melipat tangannya, bersandar pada meja.
“Barangkali kita bisa merencanakan makan malam berdua untuk.sedikit membangun hubungan palsu ini,” Bianca menyarankan, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada.
“Setuju. Harus ada chemistry di antara kita, kalau tidak, semua ini hanya akan berantakan,” jawab Jacob, menyentuh dagunya sambil tersenyum.
“Chemistry?” Bianca menaikkan alisnya.
“Ya, kita harus terlihat alami,” Jacob menjawab, matanya menyala dengan semangat. “Kita harus terlihat seolah-olah kita benar-benar saling menyukai.”
Bianca menahan napas, membayangkan bagaimana rasanya berpura-pura. Meski hatinya berdebar, ia memaksakan diri untuk tetap tenang.
Begitu juga dengan keadaan Jacob yang tak jauh berbeda dengan Bianca, jantungnya terus berdebar tak karuan.
“Baiklah, jika kita akan memulai ini, kita butuh skenario yang jelas,” Bianca memulai, mengumpulkan pikiran.
“Rencana saja, Bianca,” Jacob menjawab , membenarkan posisinya di kursi. “Kamu lebih berbakat dalam merancang detail.”
“Baik, pertama-tama, kita harus saling mengetahui apa yang disukai dan yang tidak di sukai satu sama lain tuan" Jacob mengangguk setuju, meraih selembar kertas dari meja.
“Apa kamu suka sushi?” ia bertanya, mengernyit.
“Lumayan,” jawab Bianca. “Tapi saya lebih suka pasta. Dan tuan”
“Pasta,” Jacob menyeringai, “Kita sama, berarti. Ini mudah.”
Bianca mencatat di kertas, menggambarkan satu garis di bawah judul "Makanan Favorit".
“Berita bagus,” katanya sambil menulis. “Dan hobi? Apa yang tuan lakukan di waktu luang"
Jacob menggelengkan kepala. “Sejujurnya, aku lebih banyak bekerja daripada bersenang-senang. Tapi, jika ada waktu, aku suka bersepeda atau mendaki".
Bianca mencatat, lalu bertanya, “Bersepeda? Di sini?”
“Iya,” Jacob menjawab dengan senyum tipis, matanya bersinar ketika ia memikirkan yang menyegarkan.
“Ada rute favorit yang sering aku jalani. Melintasi taman danau—kamu harus coba suatu saat nanti.”
Bianca berfikir apa keputusan yang dia ambil sudah tepat.
“Sepertinya menyenangkan,” jawab Bianca, mengatur proses pikirnya. “Mungkin kita bisa jalan bersama setelahnya. Pura-pura menjadi pasangan yang aktif.”
Jacob mengangguk, “Bisa juga.” Senyumnya mengembang. “Seolah kita baru saja jatuh cinta.”
Bianca merasakan sesuatu yang asing menyelip di dadanya. Ia berusaha menahan senyumnya, namun tidak bisa menahan tawa kecil yang terlepas. “Kalau begitu, kita harus menjalani setiap langkah dengan hati-hati. Setiap detail.”
Jacob memperhatikan Bianca yang tertawa kecil itu membuatnya semakin berdebar.
"Dia sungguh manis" dalam pikiran Jacob menatap Bianca.
Jacob menatap Bianca, benak dipenuhi oleh gambaran lebih dalam tentang wanita di depannya.
“Aku rasa kita bisa mulai dengan sebuah makan malam,” ucapnya, berusaha memfokuskan kembali pikirannya. “Makan malam romantis di restoran favoritku.”
Bianca menyeringai, mengingat desas-desus tentang restoran itu. “Kau yakin? Itu tempat yang cukup terkenal. Kita mungkin akan menarik perhatian.”
“Lebih baik untuk kita. Semakin banyak orang yang melihat kita, semakin nyata hubungan ini terasa,” Jacob mengusulkan, matanya mencuri pandang pada jam tangannya.
“Benar juga,” sahut Bianca, mencatat nama restoran di kertasnya. “Tapi kita harus menyiapkan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul.”
“Seperti apa?” Jacob bertanya, terdengar serius.
“Seperti bagaimana kita bertemu, atau apa yang menyatukan kita,” jawabnya, menunjuk pada catatannya.
Jacob mengerutkan dahi. “Oh, itu pasti. Bayangkan jika ibuku bertanya. Dia pasti akan mengorek lebih dalam.”
“Jadi bagaimana, apa yang harus aku jawab"
"Katakan saja sejak kau menjadi sekertarisku setahun ya lalu aku mulai tertarik padamu Bi" Jacob menjawab pertanyaan Bianca.
"Apa nyonya akan percaya begitu saja" Bianca ragu
Jacob tersenyum manis "Kita bisa mengemasnya dengan sedikit romantis"
“Romantis?” Bianca menatapnya curiga. “Apa tuan yakin kita tak berlebihan? Kita hanya berpura-pura.”
Jacob memperlihatkan raut wajah penuh harapan. “Serius, Bianca. Untuk membuatnya meyakinkan, kita harus benar-benar menyelami karakter ini.”
Bianca menghelakan napas, berusaha mencerna ide itu. “Jadi kita harus berakting seperti pasangan sejati?”
“Persis,” jawab Jacob, mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Berbagi momen kecil, seperti berpegangan tangan atau saling mencuri pandang saat berbicara.”
Bianca menggigit bibirnya, membayangkan kedekatan itu dan bagaimana rasanya menyentuh tangan Jacob. “Itu bisa agak sulit. Kita harus membuatnya tampak natural.”
Jacob mengedipkan mata, wajahnya menampilkan ekspresi bermain-main. “Ayo saja. Kamu sudah pernah melakukan ini sebelumnya, bukankah?”
Bianca mengingat kejadian di kantin saat dia menarik tangan Jacob untuk segera keruangan nya. "Itu karna keadaan darurat tuan"
Jacob menyelipkan tangannya ke saku celananya, menyandarkan punggungnya di kursi. “Baiklah, itu bukan pengalaman yang sama.” Ia tersenyum.
“Memang tidak,” jawab Bianca, meremas kertas di tangannya. “Tapi kita bisa melatihnya. Mungkin di depan cermin?”
Jacob mengerutkan dahi, berusaha membayangkan saran Bianca. “Cermin? Mencoba berakting di depan cermin? Apakah itu berhasil?”
“Kenapa tidak?” Bianca memberikan senyumnya yang menenangkan. “Kita butuh kepercayaan diri sebelum beraksi di depan orang lain.”
Jacob mengangguk perlahan, makna dari kalimat itu mulai meresap. “Mungkin kamu benar. Pasti lucu melihat diriku berlatih berpegangan tangan.”
“Lalu kita juga bisa berbagi kisah sayang yang klise,” Bianca menambahkan, sedikit bersemangat. “Terutama saat membahas bagaimana kita bisa saling jatuh cinta. Siapa tahu itu bisa membantu kita.”
Jacob tertawa kecil, “Kisah klise? Apa kita bisa membuat yang lebih baik dari itu?”
“Cobalah, Bos,” Bianca menantang sambil menyilang tangan. “Tapi ingat, kita tidak cuma berusaha menarik perhatian nyonya. Kita juga harus meyakinkan orang lain di sekitar kita karen nyonya pasti mengorek informasi dari karyawan yang lain.”
“Baiklah,” Jacob bersiap, seolah memulai babak baru. “Mungkin kita bisa membuatnya lebih terkesan dengan sedikit drama.”
“Drama?” Bianca mengingatkan kembali, matanya menilai. “Apa maksud anda tuan? Kita bukan aktor di panggung.”
“Biarlah. Anggap saja ini sebuah pertunjukan,” Jacob berkilau, matanya bersinar. “Kita bisa berbisik-bisik saat tertawa. Ekspresi keceriaan yang mendalam.”
“Jadi semacam… ‘Kisah Cinta Rahasia’?” Bianca menyeringai, sambil membayangkan situasi tersebut.
“Ya! Biasanya ada kesulitan yang membuat orang lain penasaran,” jawab Jacob, menggoyang-goyangkan tangannya seolah menggambarkan sebuah plot. “Misalnya kita terlambat bertemu saat jam kerja, dan kita harus berpura-pura terburu-buru ketika nyonya menanyakan.”
Bianca mengangguk mengerti apa yang di maksud oleh atasannya itu
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!