NovelToon NovelToon

Hurt Be A Love

1. Selamat!

Hubungan yang cukup lama sudah dijalani oleh Balqis Lalita dengan sang kekasih Agam Samudra. Malam ini, perempuan cantik itu sedang menunggu kekasihnya di sebuah restoran. Segelas choco ice sudah habis. Namun, lelaki yang dia tunggu tak kunjung datang.

Mencoba menghubungi kekasihnya lagi. Namun, jawaban dari operator lah yang dia dapatkan. Sepuluh menit yang lalu masih tersambung, tetapi tak dijawab. Aqis yang begitu tulus mencintai Agam selalu berpikiran positif terhadap kekasihnya itu.

Seorang karyawan restoran menghampirinya. Berbicara dengan penuh sopan.

"Maaf, Mbak. Resto kami sudah mau tutup."

Aqis menekan tombol power ponsel. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 wib. Dia pun tersenyum perih.

"Maaf ya, Mbak," ucap Aqis dengan tak enak hati.

Perempuan cantik itu menghela napas kasar. Dia mencoba menghubungi Agam kembali. Namun, nomornya masih tidak aktif. Bukan hanya kali ini Agam selalu ingkar janji.

Tibanya di rumah, sang kakak yang berbadan tinggi ternyata sudah menunggunya di depan teras.

"Kenapa muka lu? Dia gak datang lagi?"

Apang terlihat sudah muak dengan kekasih adik perempuan satu-satunya itu. Selalu saja membuat adiknya pulang dengan wajah penuh kecewa.

"Ada kerjaan dadakan."

Aqis terpaksa berdusta. Dia tidak ingin sang kekasih selalu dinilai buruk oleh kakak bahkan keluarganya.

"Lu percaya?" tanya Apang penuh selidik.

"Tentu," jawab Aqis dengan begitu tegas.

Demi menghindari pertanyaan yang lainnya, Aqis memilih untuk masuk kamar dengan alasan ingin istirahat. Ketiga kakaknya belum memberikan restu kepada Agam. Mereka juga selalu menilai buruk sosok Agam. Terkadang, Aqis kesal dengan sikap ketiga kakaknya. Namun, dia harus memaklumi. Dia adalah anak bungsu dan perempuan satu-satunya di keluarga. Wajar, jika dia diperlakukan seperti itu oleh kakak-kakaknya.

Di kamar, Aqis mencoba untuk menghubungi Agam. Dia tersenyum tipis ketika nomor ponsel Agam masih tidak aktif. Aqis melempar ponselnya ke atas tempat tidur. Masuk ke dalam kamar mandi untuk mendinginkan kepalanya.

Ketika pagi datang, panggilan dari Agam masuk ke ponsel Aqis. Namun, dia memilih untuk mengabaikannya. Rasa kesalnya masih ada. Dia pun mensenyaplan ponselnya dan bergegas ke bawah untuk sarapan.

"Semalam pulang jam berapa?" tanya sang Abang pertama dengan wajah datarnya.

"Jam setengah sebelas juga udah nyampe rumah," jawab Aqis dengan begitu santai. Padahal, hatinya berdegup ketakutan.

Ruang makan pun mendadak hening. Tak ada obrolan apapun, dan hanya suara dentingan sendok serta piring yang terdengar.

"Mas antar," ucap Dalla.

Orang pendiam dan tak banyak bicara jika sudah berkata pasti akan terasa mencekam. Itulah yang Aqis rasakan.

Tak ada obrolan apapun di mobil. Mereka bergelut dengan pikiran masing-masing. Setibanya di Moeda Kafe milik sang ayah yang kini Aqis kelola, Dalla melontarkan sebuah kalimat yang membuat jantung Aqis berhenti berdetak untuk sepersekian detik.

"Sudahi hubungan kamu dengannya."

Aqis tersenyum perih, dan menatap sang kakak dengan begitu dalam. Matanya pun terlihat memerah.

"Kenapa sih Mas? Apa karena dia itu karyawan biasa di sebuah stasiun televisi?"

Aqis tak menyangka jika kalimat itu akan terlontar dari mulut kakaknya. Sungguh begitu kejam

"Aqis sayang dia, Mas!"

Aqis turun dari mobil dan membanting pintu mobil dengan teramat keras. Dalla pun menghela napas kasar. Seketika bibirnya terangkat sedikit ketika melihat sang adik dipeluk oleh seorang lelaki.

Setelah kejadian itu, hubungan Dalla dan Aqis pun merenggang. Hanya berbicara seperlunya.

.

Aqis merengutkan dahi ketika sang kakak kedua mengajaknya untuk pergi ke suatu tempat. Aqis tak banyak berkata karena sudah hampir delapan tahun dia tidak pernah menikmati waktu berdua dengan kakak keduanya itu.

Dahi Aqis mengkerut ketika mereka tiba di sebuah gedung yang tak asing. Di mana acara penting sering diadakan di sana.

"Kenapa Bang Iam ajak Aqis--"

"Bang!"

Suara yang Aqis kenali terdengar jua. Rasa bingung semakin menjalar. Di mana kakak ketiganya pun ada di tempat yang sama. Dua lelaki tinggi nan tampan itu tak banyak menjelaskan. Mereka membawa Balqis Lalita masuk ke dalam gedung tersebut.

"Emang siapa yang menikah?"

Balqis menatap Ahlam dan Apang bergantian. Namun, tak ada jawaban dari mereka. Hanya sebuah usapan lembut di ujung kepala yang Ahlam berikan.

Seketika tubuh Balqis menegang ketika mereka baru saja keluar dari lift. Foto prewedding yang sangat dia kenal. Dia mencoba untuk menolak percaya dengan tersenyum begitu tipis.

"Bukan, Qis. Bukan."

Tangan sang kakak ketiga menggenggamnya. Kemudian, mereka masuk ke dalam hall di mana acara itu tengah berlangsung. Tubuh Aqis seketika menegang melihat siapa yang ada di atas pelaminan.

"Selamat berbahagia untuk pengantin baru kita, Agam Samudra dan Karina Larasati Kusuma."

Air mata mulai menggenang. Kesakitan sudah mulai dapat dia rasakan. Sekarang, hatinya terluka begitu dalam.

"Aku ada tugas ke Bali untuk seminggu ke depan."

Kalimat itu yang kini berputar di kepala. Kemarin lusa Agam mengabari Aqis jika dia akan tugas, dan seharian kemarin Agam tak bisa dihubungi. Hari ini, ternyata dia sudah berbahagia dengan seorang perempuan yang tak Aqis kenal.

Apang dan Ahlam saling pandang melihat adiknya membeku sembari menahan air mata.

"Maaf, Qis," ucap Ahlam sembari mengusap lembut pundak sang adik. Dia sangat tidak tega melihat adiknya.

"Lihatlah! Bukankah lelaki itu yang lu bela mati-matian di depan kami?" sergah Apang sambil menahan emosi.

"Di mana letak kesetiannya, Qis? Cinta boleh, bego jangan?"

Sedang syok dan patah, Apang malah mengeluarkan sindiran yang begitu menusuk. Namun, Balqis tak menjawabnya karena pandangannya masih tertuju pada lelaki yang tertawa bahagia di atas luka yang dia terima.

"Bang, Kak," panggil Balqis dengan suara bergetar hebat.

"Aqis mau ucapin selamat."

Sontak kedua kakak Balqis pun terkejut. Mereka kompak menoleh ke arah Aqis yang sudah menatap kedua kakaknya dengan mata yang merah menahan tangis.

"Qis--"

"I'm okay, Bang."

Senyum penuh paksa dan luka terukir di sana. Anggukan kecil sebagai tanda setuju membuat Aqis membalikkan tubuh. Dan langkah kakinya mulai menuju pelaminan di mana lelaki yang dia cintai malah berkhianat dengan menikahi wanita lain.

"Bang," panggil Apang dengan penuh kecemasan. Matanya masih tertuju pada sang adik yang sudah berada di atas pelaminan.

"Biarkan dia meluapkan semuanya," jawab Ahlam dengan wajah penuh rasa iba.

Hati Aqis bukan main sakitnya. Kakinya pun terasa melayang. Tak terasa tinggal beberapa langkah lagi dia berhadapan dengan Agam.

Senyum bahagia Agam seketika pudar ketika dia melihat pacarnya ada di hadapannya dengan senyum penuh luka. Aqis mengulurkan tangannya ke arah Agam. Pengantin pria itu membeku dengan tangan yang sudah berjabatan dengan Aqis.

"Selamat atas pernikahannya, Gam."

...***To Be Continue***...

Test ombak yuk dengan komen.

2. Berengsek

"Karina Larasati Kusuma adalah anak dari bos stasiun tv di mana si berengsek bekerja."

Reksa memberikan bukti kepada Ahlam, Apang dan juga Dalla sebelum pernikahan Agam berlangsung. Wajah ketiga pria itu memerah menahan marah. Terlebih Dalla yang begitu marah sampai menggebrak meja.

Keluarga tahu jikalau hubungan Dalla dan Aqis sedikit renggang karena Dalla menyuruh Aqis berpisah dengan si berengsek. Dalla melakukan itu karena dia tidak ingin melihat sang adik terluka lebih parah. Sekarang saja, hati Aqis sudah begitu tersiksa. Dibohongi terus-terusan dengan alasan pekerjaan.

"Cinta Aqis terlalu besar sampai dia mengabaikan hal kecil yang sebenarnya kode untuknya menyudahi hubungan itu." Reksa menjelaskan.

"Salah satu orang yang sulit untuk dinasihati, adalah orang yang tengah dimabuk cinta."

Balasan Dalla membuat tiga orang lain di sana menoleh. Mereka setuju dengan apa yang dikatakannya.

Aqis memang termasuk ke dalam manusia keras kepala. Bukan hanya ketiga kakaknya yang sudah menasihati, kakak sepupunya saja yang bermulut pedas sudah turun tangan, tapi tetap Aqis tak mendengar.

"Jalan satu-satunya bawa Aqis ke acara resepsi. Supaya dia lihat sendiri dan percaya kalau lelaki yang dia cintai itu berengsek." Apang mengide.

Agam Samudera memang dari kalangan biasa. Tapi, itu bukan faktor yang membuat ketiga kakak lelaki Aqis tak memberi restu. Ada hal yang selalu mereka pantau dari kejauhan. Semakin ke sini lelaki yang menjadi kekasih Aqis semakin tak beres. Itulah yang membuat mereka menahan restu.

.

Mati-matian ku membelamu

Di depan mereka

Walau sakit tetap ku percaya

Kau beda dari lainnya

Air mata tak berhenti menetes. Berkali-kali Aqis menyeka pipinya yang basah. Sakit sekali hatinya dibohongi seperti ini. Dia tidak menyangka lelaki yang dia bela sekuat tenaga malah menyakiti tanpa naluri.

Helaan napas kasar keluar dari mulut Aqis. Mencoba untuk mengatur hatinya yang masih terasa sakit. Memorinya kini berputar ke setiap kejadian di mana Agam selalu mengingkari janjinya dengan alasan tugas di luar kota.

"Mereka sudah merajut kasih satu setengah tahun."

Aqis tersenyum perih ketika teringat ucapan sang Abang. Agam telah berubah lebih dari satu tahun ini. Mereka berdua memang pacaran. Namun, Agam seakan tak memiliki waktu untuk Aqis. Selalu memiliki alasan jika Aqis ingin bertemu.

"Bodoh lu, Qis! Bodoh!"

Air mata kembali jatuh. Agam adalah cinta pertama untuk Aqis. Di mana Aqis banyak berharap kepada Agam. Dia jugalah yang membuat hati Aqis patah dan hancur berkeping-keping, dikhianati dengan begitu sadisnya.

Suara pintu kamar terbuka terdengar. Aqis menoleh dan bayang sosok tegap mampu Aqis lihat.

"Hanya satu hari Baba ijinkan kamu untuk menangisi lelaki itu."

Suara yang begitu tegas, tapi juga penuh kelembutan. Anggukan kecil Aqis berikan kepada Baba Radit.

Rumah Baba Radit dan Bubu Echa memiliki satu kamar khusus untuk para keponakannya menumpahkan kesedihan. Kamar di mana mereka bebas berteriak dan menumpahkan segala isi hati mereka. Namun, kamar itu memiliki waktu terbatas untuk ditempati, yakni hanya 1x24 jam.

Baba Radit duduk di samping sang keponakan. Menatap Aqis dengan begitu dalam. Seketika Aqis berhambur memeluk tubuh Baba Radit dan tangisnya kembali pecah.

"Tuhan itu maha baik. Sebelum kamu terikat dengannya, Tuhan sudah menunjukkan faktanya."

"Aqis bodoh ya, Ba. Aqis--"

"Jangan bilang seperti itu," potong baba Radit.

Baba Radit memundurkan tubuh Aqis dan mengusap wajah Aqis yang sudah basah.

"Terkadang cinta itu bisa membuat logika tak bekerja dengan semestinya. Dan selalu mengikuti apa kata hati yang belum tentu benar."

Baba Radit akan selalu menjadi tempat curhat para keponakannya. Dia yang memang pernah menjadi psikiater tahu apa yang harus dia lakukan dan katakan tanpa men-judge. Tanpa mereka sadari jika Baba Radit telah memberikan obat mujarab untuk luka yang mereka terima.

"Waktu kamu tinggal dua jam lagi, ya. Setelah itu, sudahi tangisan kamu," jelas baba Radit dengan begitu serius.

"Percayalah, Tuhan telah menyiapkan seseorang yang ribuan kali lebih baik dibandingkan dia."

Hati Aqis menghangat seketika. Dia tersenyum mendengar ucapan sang baba. Ketenangan mulai Aqis dapatkan. Anak bungsu Aska pun kembali memeluk tubuh sang paman dengan begitu erat.

"Terimakasih, Ba."

Ponsel Baba Radit berdenting. Setelah membuka pesan yang masuk. Dia meninggalkan Aqis disisa waktu berdiam di kamar itu.

Aqis memejamkan mata setelah baba Radit pergi. Bayang wajah Agam masih melekat di kepala. Namun, dia begitu yakin jika dia mampu move on dari lelaki pengkhianat itu. Dan yang kini ada di kepala Aqis adalah sang kakak pertama. Lelaki yang pernah dia benci dan dia jauhi.

"Mas Dalla," gumamnya.

Aqis segera menghidupkan ponselnya yang hampir seharian ini dia matikan. Banyak sekali pesan dari kedua kakak lelakinya yang sangat mengkhawatirkannya. Belum lagi pesan dari dua kakak sepupunya, Agha dan juga Ghea. Namun, tidak ada pesan dari Dalla dan itu membuat hati Aqis terasa sakit.

"Apa Mas benci Aqis?"

.

Agam dan Karina direncanakan akan berbulan madu ke Bali. Laporan itu sudah masuk ke dalam ponsel ketiga kakak Aqis. Dendam masih ada di hati mereka.

"Kalian gak perlu ngotorin tangan," ujar Dalla kepada Apang dan Ahlam.

"Temani Ellea dan si little twins," ucapnya pada Ahlam

"Selesaikan kerjaan yang masih banyak," lanjutnya kepada Apang.

Jika, sudah seperti itu pasti ada hal yang sudah direncanakan oleh Dalla. Diamnya Dalla bukan lemah, tapi dia memang bukan orang yang senang mencari masalah. Akan tetapi, jika ada orang yang menyenggol dirinya. Taringnya pasti akan keluar.

Tibanya di Bali, Dalla tak lantas mendatangi apartment sang istri. Dia malah mendatangi sebuah resort mewah khusus untuk berbulan madu.

Penjaga resort itu menunduk hormat pada Dalla. Pria tampan yang biasanya menebarkan senyum, kini terlihat berbeda. Dua orang berbadan kekar sudah menunggunya dan menunjukkan sebuah kamar.

Tanpa bersusah payah, kamar itu mampu Dalla buka dan adegan dewasa dia lihat. Di mana sang lelaki sedang menunggangi kuda betina tanpa menggunakan sehelai kain pun.

Tangan Dalla menarik bahu lelaki itu hingga terjengkang ke belakang. Bukan hanya lelaki itu yang terkejut. Si wanita yang sedang merem melek pun menganga tak percaya.

"Bugh!"

Bukan hanya satu kali Bogeman mentah itu Dalla layangkan. Dalla seperti dirasuki setan ketika menghajar wajah dan tubuh Agam.

"Sudah!"

Karina pun menjerit karena sang suami sudah tak berdaya dengan wajah yang sudah tak berbentuk. Namun, Bogeman mentah itu tak berhenti. Hingga tubuh Dalla ditarik dengan penuh tenaga oleh Karina yang masih boegil.

"Saya akan laporkan kamu--"

Dalla melemparkan sebuah kartu nama ke wajah Karina dengan wajah yang masih penuh emosi.

"Ghaldan Abdalla," gumam Karina dengan wajah begitu terkejut.

Nama yang begitu terkenal di Bali. Seorang pengusaha muda resort dan villa mewah, tapi tidak pernah terekspose ke media.

Dua orang berbadan kekar masuk dan langsung menarik paksa tangan dua manusia boegil yang sudah tak bisa melawan.

"Pastikan semua resort dan villa di Bali tidak menerima mereka berdua!"

...***To Be Continue***...

Boleh minta komennya? Banyakin dong ...

3. Move On

Teringat akan lelaki yang masih dia cintai untuk kesekian kalinya. Senyum penuh kepedihan terukir di bibirnya.

"Dia pasti lagi enak-enakan jadi pengantin baru," gumam Aqis pedih.

Aqis kembali menghela napas kasar. Sakit jangan ditanya. Perih apalagi. Kedua orang tua Aqis pun pasti sudah tahu. Namun, mereka sengaja tak membahas karena mereka mengerti bagaimana perasaan Aqis.

Benar kata sang baba, cinta bisa merusak logika. Aqis baru menyadari itu semua setelah kenyataan pahit dia terima. Hanya sebuah kata andai yang kini ada di benak Aqis.

Masih bergelut dengan hati dan pikiran, suara pintu terbuka menyadarkan Aqis dari lamunan yang tak berkesudahan.

"Waktunya sudah habis."

Aqis tersenyum dan mengangguk pelan. Dia segera mengemasi barang-barang yang dia bawa. Sedangkan sang paman sudah duduk di tepian tempat tidur memperhatikan sang keponakan yang tengah hancur.

"Apa rencana kamu?"

Pertanyaan baba Radit membuat Aqis menghentikan kegiatan tangannya. Dia terdiam untuk beberapa saat sebelum dia menatap sang paman yang begitu serius.

"Aqis ingin ke luar Kota, Ba," ucapnya dengan begitu pelan.

"Ke mana?"

Aqis menggeleng. Dia sendiri belum tahu ingin pergi ke Kota mana. Dia ingin mencari suasana baru untuk menata hati dan harinya.

"Aqis juga gak yakin ketiga kakak Aqis, ayah dan bunda setuju kalau Aqis pergi dari Kota ini," lirihnya.

"Baba akan bantu kamu." Sontak Aqis terkejut.

"Kebetulan kafe di Bandung kekurangan pegawai. Kalau kamu mau, kamu bisa kerja di sana. Tapi, jadi pelayan."

Bukannya marah Aqis malah terlihat bahagia. Dia pun tak henti bilang mau karena sesungguhnya dia bosan menjadi manager kafe di Moeda Kafe.

"Tapi, jangan buka identitas Aqis yang sebenarnya."

"Nanti kamu malah dikhianati lagi," balas baba Radit dengan sedikit menyindir.

"Ck!"

Baba Radit pun tertawa. Dia mengusap lembut rambut Aqis yang sudah dia anggap seperti anaknya sendiri.

"Justru Aqis ingin tahu orang-orang tulus," tukasnya.

Baba Radit menyampaikan keinginan Aqis kepada kedua adik iparnya di rumah Daddy Aksa. Ayah dari Aqis hanya menghela napas kasar.

"Adek gak bisa melepasnya, Bandit," ucap ayah Aska dengan nada penuh keberatan.

Baba Radit menatap kembaran dari ayah Aska yang terlihat masih santai meneguk wine yang tersedia di atas meja.

"Aqis cuma ke Bandung, bukan ke kutub Utara," celetuk Daddy Aksa.

Ayah Aska pun menatap sang Abang dengan tatapan tajam. Namun, yang ditatap masih tetap santai.

"Gua udah pernah jauh dari anak gua, Bang. Masa sekarang gua harus jauh lagi dari anak gua?"

Daddy Aksa mulai menatap sang adik dengan tatapan tak terbaca.

"Apa lu mau ngeliat anak bungsu lu terus-terusan tenggelam dalam kesedihan tinggal di Kota yang begitu kejam kepada kisah cintanya?"

Ayah Aska pun terdiam. Dia melihat jelas bagaimana keadaan Aqis sekarang. Tersenyum palsu di depannya juga sang bunda.

"Anak lu ke luar Kota bukan tanpa pengawasan," tekan Daddy Aksa.

Akhirnya, ayah Aska pun setuju dan semuanya dia serahkan kepada baba Radit. Urusan bicara kepada bunda Jingga itu urusan yang mudah.

.

"Lu serius?"

Aqis, Apang dan Ahlam tengah berada di kedai kopi di mana mereka selalu berkumpul di sana.

"Aqis ingin berada di tempat baru, Kak. Syukur-syukur dapat jodoh di sana," candanya.

Apang menoyor dahi Aqis hingga membuatnya tertawa. Beda halnya dengan Ahlam yabg terus menatap sang adik dengan begitu dalam.

"Melupakan itu gak mudah, Qis."

Kalimat Ahlam membuat Apang dan Aqis menoleh. Melihat tatapan sang Abang membuat mata Aqis memerah.

"Aqis tahu, Bang. Tapi, Aqis juga gak mau terus tenggelam," sahutnya dengan wajah yang tak bisa berdusta.

"Aqis harus bisa move on. Sekalipun itu mustahil, Aqis harus bisa."

Apang yang berada di samping Aqis langsung memeluk tubuh sang adik. Bulir bening pun menetes membasahi wajah Aqis. Pelukan kakaknya membuat Aqis terharu.

"Kapan berangkat?"

Ahlam tidak ingin adiknya semakin menangis dengan mengganti topik pertanyaan.

"Nunggu Baba hubungi Aqis."

Baru juga selesai berbicara, ponsel Aqis berdering dan nama sang paman yang tertera di sana.

"Baba," ucap Aqis.

Ahlam dan Apang dapat melihat raut wajah Aqis yang berubah. Mereka saling pandang dan meyakini jika Aqis akan segera berangkat ke Bandung.

"Lusa Aqis ke Bandung. Ayah, Bunda dan Daddy udah setuju."

Sebagai kakak, dua lelaki itu hanya mengangguk. Mereka akan mendukung setiap keputusan adik mereka. Dan juga mereka akan terus memantau adik perempuan satu-satunya.

.

Keesokan harinya, Aqis datang ke rumah sang paman. Baru juga masuk, tubuhnya menegang ketika melihat siapa yang sudah ada di sana.

"M-mas Dalla--"

Lelaki itu sudah berdiri dan merentangkan tangan. Aqis segera berlari dan memeluk erat tubuh Dalla dengan begitu erat.

"Maafin Aqis," lirihnya.

Dalla tak menjawab apapun. Dia mengusap lembut punggung Aqis yang bergetar. Semua penyesalan Aqis tumpahkan. Dalla memundurkan tubuh Aqis. Menghapus jejak air mata yang membasahi pipinya.

"Sudahi sedihnya, ya."

Aqis mengangguk mantap ketika mendengar kalimat yang begitu lembut keluar dari mulut kakak pertama. Di balik masalah pasti ada hikmah.

Sekarang Aqis sudah mendapat ijin dari semua anggota keluarga untuk tinggal di Bandung, bekerja di kafe baba Radit. Mencoba hidup mandiri di sana.

Ayah Aska dan bunda Jingga terlihat bahagia ketika melihat keempat anaknya sudah akur kembali. Meskipun, Aqis akan pergi meninggalkan mereka, mereka masih bisa menjenguk Aqis karena masih berada di negara yang sama.

"Bunda dan Ayah gak akan rindu Aqis. Soalnya semenjak Seyna dan Seyla hadir, kalian lebih sayang sama mereka."

Kedua orang tua Aqis pun tertawa mendengar ucapan sang putri penuh cemburu.

"Tahta tertinggi sekarang itu si little twins," ujar Apang.

.

Aqis meminta untuk tidak diantar keluarga. Dia ingin pergi sendiri. Keluarga pun harus setuju.

"Jaga kesehatan, dan jaga diri."

Petuah dari sang bunda untuk putri tercinta. Aqis pun mengangguk dan memeluk tubuh bunda Jingga dengan begitu erat.

"Aqis berangkat, ya."

Ternyata baba Radit yang akan mengantar Aqis ke Bandung. Jadi, semua keluarga pun dapat bernapas lega.

Di tengah jalan, mobil yang dibawa baba Radit berhenti. Aqis menatap bingung ke arah sang paman yang sedang menerima panggilan telepon. Terlihat wajah sang paman begitu serius dengan dahi mengkerut. Seperti ada hal yang tidak beres.

"Qis, Baba gak bisa antar, ya."

"Ya udah gak apa-apa, Ba. Aqis naik taksi online aja," sahut Aqis.

Namun, sang paman menggeleng dengan tegas. Kini, dahi Aqis yang mengkerut. Pandangan Aqis teralihkan ketika mendengar klakson mobil. Baba Radit pun turun. Aqis malah semakin bingung. Rasa penasaran mulai hadir. Aqis menurunkan kaca jendela pintu mobil. Dia tertegun ketika melihat sang baba berjalan dengan pria tampan menghampiri dirinya.

"Kamu ke Bandungnya bareng Rio."

...***To Be Continue***...

Boleh minta komennya?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!