NovelToon NovelToon

Sambat!

1. Aku bukan pencuri!

Bocah itu bernama Sakti. Tidak ada 'mandra guna' di belakang namanya. Anak dari almarhum Wibi dan Shopiah itu kini hanya memperhatikan tumpukan buku di meja lipat kecil yang berada di kamar yang menjadi tempat tinggalnya.

Satu persatu buku yang bertumpuk itu sudah diberi nama. Dia akan mulai belajar di sekolahnya yang baru besok. Pembullyan dan kenangan buruk di desanya membuat ibunya mengajak Sakti merantau ke kota untuk merubah nasib juga ymenghapus kenangan buruk di benak sang putra. Shopiah takut masa depan anaknya jadi suram dan hancur karena efek pembullyan.

"Udah selesai kak?" Tanya ibunya lembut sambil membelai pucuk kepala sang bocah.

Sakti tidak menjawab, dia hanya mengangguk. Diperhatikan peluh yang mengucur di dahi ibunya. Jelas dia tahu jika saat ini ibunya sedang letih. Pekerjaan sebagai asisten rumah tangga di rumah sebesar ini memang terbilang menguras tenaga apalagi pekerjaan itu di handle ibunya sendiri. Sang pemilik rumah terbilang alot dan susah percaya pada orang lain. Itulah alasan hanya ada Shopiah yang dipercaya bekerja di sana. Juragan itu pun tidak berniat menambah karyawan untuk meringankan pekerjaan asistennya. Itulah alasan sang pemilik rumah awet kaya, pelit adalah jalan ninjanya!

"Besok pagi berangkat gasik ya kak, ibuk udah ijin sama pak Jawir biar ibu bisa nganterin kamu ke sekolah dulu." Ujar Shopiah memberitahu.

"Ibuk mau nemenin aku di sekolah?" Tanya Sakti tak bersemangat.

Nyatanya bocah tujuh tahun itu benar-benar tak berkeinginan untuk kembali menuntut ilmu di bangku sekolah meski telah berpindah domisili. Harus berbaur dengan orang-orang baru yang tidak dia kenal salah satu alasannya. Di usianya sekarang, tak ada tatapan antusias ketika ibunya bercerita tentang asyiknya memiliki banyak teman baru. Cerita itu terdengar seperti karangan belaka.

Tidak ada orang yang benar-benar mengerti anak itu. Dia memalingkan pandangan tak ingin lagi bertatapan dengan ibunya yang terus bercerita tentang asyiknya bersekolah di tempat yang baru.

"Ya udah kalau emang nggak bisa buk. Aku bisa sendiri."

Padahal Shopiah bercerita untuk memberi semangat putranya agar besok tidak gugup di hari pertama masuk sekolahnya tapi tanggapan Sakti malah sedatar itu. Shopiah diam memperhatikan raut mendung di wajah putranya.

"Kak.. Ibuk tahu kamu sedih. Berpisah dengan ayah juga pukulan untuk ibuk. Tapi kak, kita tidak boleh terus larut dalam kesedihan itu dan mengabaikan dunia kecil kita di sini.. Ayah pasti bisa lihat kakak meski ayah jauh di surga. Kita harus semangat, kita harus sabar dan ikhlas sampai saatnya tiba.. Kita bisa kumpul sama-sama ayah lagi. Bisa ya kak? Kakak ngerti kan maksud ibuk?"

Untuk kesekian kalinya bocah itu hanya diam mengangguk sekenanya. Apa yang harus anak itu mengerti? Di usianya itu dia sudah merasakan kejamnya dunia. Dihina, ditindas, dikucilkan, dibully secara fisik juga mental. Bukan lagi air mata yang jatuh keluar tapi helaan nafas dalam yang terdengar berat memilukan.

"Buk.. Aku ingin cepat dewasa. Agar ibuk nggak lagi kerja. Aku saja." Ucapan itu terdengar membuat hati Shopiah mencolos dibuatnya.

"Kerja? Iya kak.. Terimakasih udah perhatian sama ibuk ya. Kamu memang anak sholeh nya ibuk dan ayah. Sini sayang.." Shopiah memeluk lembut kepala Sakti. Yang dipeluk hanya menatap kosong pada tumpukan buku yang besok akan menemaninya pergi ke sekolah.

___________

"Inget ya kak.. Kalau ada yang usil atau ada yang nakal sama kakak langsung beri tahu bu guru di kelas. Jangan diem aja. Ibuk pulang dulu ya, ibuk kan kudu kerja di rumah pak Jawir. Nanti pulangnya ibuk jemput. Bekalnya juga jangan lupa dimakan, ya?!" Pesan Shopiah pada Sakti.

"Iya buk."

"Tenang saja bu, di lingkungan sekolah kami tidak pernah ada kasus perundungan. Sekolah kami sangat menjaga kenyamanan untuk setiap murid. Juga menomorsatukan sopan santun dan tata krama. Jadi ibu tenang saja." Sanggah guru tersebut meyakinkan Shopiah.

Setelah salim, Sakti berjalan mengikuti guru yang mengajaknya menuju kelas. Sudah ada banyak murid seusianya yang sejak tadi membuat kegaduhan akibat tidak adanya tenaga pengajar yang mengawasi mereka. Guru di kelas tersebut sedang menyambut kedatangan murid baru yaitu Sakti yang diantar ibunya ke ruangan guru tadi pagi.

Seketika ruangan itu hening ketika bu guru dan Sakti datang membuat para siswa duduk kembali ke tempatnya masing-masing.

"Anak-anak kita kedatangan teman baru di sini. Ibu guru harap kalian bisa berteman baik dan saling menghargai. Silahkan Sakti perkenalkan diri dulu kepada teman-temanmu." Bu guru ada di dekat Sakti memegang punggung bocah itu agar tidak gugup di depan kelas dan dipandangi siswa lainnya.

Masih diam. Sakti menatap satu persatu teman sekelasnya, memindai mereka dari jarak dia berdiri. Siapa tahu ada orang yang berpotensi mencari masalah dengannya, dia harus menandai terlebih dahulu jika ada yang seperti itu.

"Sakti, ayo nak.. Perkenalkan diri dulu. Setelah itu, kamu bisa duduk di sebelah sana." Begitu lembut tutur kata bu guru.

"Aku Sakti." Ucap Sakti singkat.

"Aku ironman! Hahaha.."

"Aku satria baja ringan! Yeaaayah!"

"Aku ultramen polkadot!"

Riuh kelas itu dengan gelak tawa. Tidak ada senyum di sana, Sakti diam tak menggubris ejekan mereka.

"Sudah anak-anak sudah.. Jangan begitu! Ini teman baru kalian jadi bingung jadinya, ya sudah Sakti.. Silahkan duduk di sebelah sana."

Sakti duduk di bangku yang ditunjuk bu guru. Ada anak laki-laki lain di sebelahnya.

"Niko." Ucap bocah itu mempersilahkan Sakti duduk di sebelahnya.

"Sakti."

Keduanya diam setelah itu.

"Kamu pindahan dari mana?" Tanya Niko penasaran.

"Jauh dari sini."

"Iya, kalo deket ngapain pindah sekolah. Kamu nggak naik kelas ya makanya pindah sekolah?" Ini bocah cerewet sekali.

"Nggak."

"Kenapa ngomongnya dikit-dikit? Aku nggak bakal nakal sama kamu." Niko tak patah semangat untuk bisa mendapatkan perhatian teman barunya itu.

"Niko.. Sakti.. Baru juga duduk, kelas baru di mulai.. kok ya berisik banget. Bisa diem apa nggak!?" Tanya bu guru mengagetkan keduanya. Niko hanya cekikikan, Sakti? Diam tanpa ekspresi.

____________

Semua murid ke luar kelas saat jam istirahat berbunyi. Ruang kelas di tutup agar mereka istirahat di luar ruangan.

Tapi, ada satu anak yang masuk ke dalam kelas tanpa tahu adanya peraturan jika tidak boleh memasuki ruang kelas di saat jam istirahat. Sakti lupa untuk membawa bekal makan siangnya. Dia bermaksud mengambil bekal buatan ibunya.

Ketika tangannya sudah mendapatkan kotak makan siang itu, Sakti bermaksud langsung ke luar dari ruangan itu kembali.

Tapi, tangan kecilnya dicekal oleh seseorang yang memberi tatapan tajam padanya. Orang itu lebih tinggi dari Sakti, sudah dipastikan jika dia bukan teman sekelas anak itu.

"Abis maling ya? Ngapain ngendap-ngendap kayak gitu?" Tanyanya sinis menelisik apa yang ada di tangan Sakti.

"Nggak! Aku cuma ambil bekalku." Sakti menjawab tanpa peduli pada orang yang memperhatikannya.

"Bohong! Kamu pasti abis maling!"

Terjadi keributan di depan kelas satu. Sakti yang bermaksud makan siang dengan tenang kini harus berurusan dengan kakak kelasnya. Beberapa murid ikut berkerumun ingin tahu apa yang terjadi.

"Ada apa ini anak-anak?" Tanya bu guru yang mendengar adanya keributan saat jam istirahat.

"Ini bu guru, ada yang abis nyuri di dalam kelas satu." Bocah itu memberi laporan terlebih dahulu.

"Mencuri? Anak-anak tidak boleh menuduh tanpa adanya bukti ya. Dan.. Sakti, kenapa masuk ke dalam kelas saat jam istirahat?" Bu guru melihat ke arah Sakti.

"Aku nggak mencuri apapun. Aku ambil ini." Sakti menunjukkan kotak bekal makan siangnya.

Tangan seseorang dengan sengaja menyenggol tangan Sakti yang sedang membawa kotak bekalnya, dan ambyar... Bekal berupa nasi dan lauknya jatuh berantakan.

"Ya ampun Izam.. Apa-apaan kamu? Nggak boleh kayak gitu ya Zam. Cepat minta maaf sama Sakti!" Tegur bu guru memperingatkan Izam, bocah yang menuduh Sakti mencuri.

"Nggak! Aku nggak salah! Tadi aku lihat dia clingak-clinguk sebelum masuk kelas satu bu, lagian aku juga nggak pernah lihat dia. Kan wajar aku nuduh dia kayak gitu!" Izam membenarkan apa yang sudah dia lakukan.

Kesal karena bekalnya jatuh begitu saja, Sakti menarik tangan Izam kasar. Tidak peduli pada bu guru yang berusaha memberi pengertian kepada Izam jika perbuatan bocah itu salah.

"Udah Sakti udah. Jangan berkelahi!"

Keduanya ditarik paksa oleh bu guru untuk dibawa ke ruang BP. Mereka diberi wejangan agar tidak lagi bertengkar dan menuduh orang tanpa bukti. Dengan dipaksa guru pembimbing di sana, Sakti dan Izam mau bersalaman meski hanya beberapa detik.

"Dasar maling!" Ujar Izam saat mereka sudah keluar dari ruang BP. Ceramah panjang lebar tadi rupanya tidak diindahkan sama sekali oleh bocah itu.

Sakti mendekat, jarak mereka hanya beberapa langkah saja. Tanpa rasa takut, dengan pandangan menusuk kalbu.. Sakti mendorong keras Izam hingga terjungkal sambil berkata..

"Aku bukan pencuri!"

2. Jangan sok Jagoan

Baru hari pertama sekolah tapi Sakti sudah pulang dengan membawa surat pernyataan yang harus ditandatangani oleh ibunya. Anak itu hanya menerima surat dari bu guru tanpa berniat memberikannya kepada ibunya. Untuk apa dia berikan surat itu? Agar ibunya tahu jika dia jagoan di sekolahnya di hari pertama masuk sekolah? Nggak.. Tentu Sakti tidak akan memberi tahu apapun kepada ibunya.

Sakti tidak peduli dengan hukuman yang besok menanti dirinya. Dia sudah kebal dengan pukulan, hinaan juga tuduhan tidak mendasar yang orang-orang tujukan padanya. Tidak masalah baginya jika besok harus menambah daftar hukuman yang akan dia terima. Sudah biasa!

"Hai gantengnya ibuk.. Gimana hari pertama sekolah? Gimana di kelas, rame? Banyak yang nyapa kamu kak? Pasti banyak yang mau temenan sama kamu kan!" Pertanyaan itu Shopiah ajukan saat bertemu dengan Sakti di depan gerbang sekolah ketika kegiatan belajar mengajar selesai.

"Iya buk." Jawab Sakti singkat.

Shopiah menatap anaknya yang lesu. Seperti tak ada semangat sama sekali. Tapi ditepisnya rasa itu, dia terus menanyakan hal-hal yang Sakti kerjakan saat di sekolah tadi.

Harus bercerita apa? Tidak mungkin Sakti membeberkan pada ibunya jika dia bertengkar dan dibawa ke ruang BP di hari pertama sekolah kan?

"Ya udah.. Ayo sekarang kita pulang. Nanti saja ceritanya di rumah ya?" Usul Shopiah sambil mengambil tas itu dari pundak sang anak untuk dibawanya agar tidak membuat anaknya keberatan membawa tas tersebut.

Mereka naik angkutan umum. Jalan kaki setelah sampai di kompleks perumahan yang memang tidak dilalui kendaraan umum. Di sepanjang perjalanan itu, Sakti hanya diam. Sesekali menanggapi obrolan ibunya dengan kata 'iya' dan anggukan saja. Shopiah beranggapan sikap anaknya yang lebih tertutup dan makin jarang bicara sekarang ini hanyalah suatu proses adaptasi diri dari lingkungan barunya. Tidak apa, lambat laun juga Sakti pasti paham dan bisa ceria seperti anak lain seusianya.

Pak Jawir yang merupakan majikan Shopiah adalah seorang duda beranak satu. Anak perempuan pak Jawir berusia sebelas tahun, empat tahun lebih tua jika dibandingkan dengan Sakti yang baru menginjak usia tujuh tahun. Kedua bocah berbeda usia itu jarang berinteraksi, padahal pak Jawir tidak pernah sekalipun melarang anaknya bergaul dengan siapapun. Termasuk anak dari asisten rumah tanggal yaitu Sakti.

Setelah memasuki rumah, Shopiah segera meminta Sakti untuk berganti pakaian di kamar. Sedangkan Shopiah menuju dapur untuk mengambilkan makan siang untuk sang putra.

Shopiah bisa dibilang cukup beruntung memiliki majikan yang baik dan mau mengerti keadaan seorang janda dengan anak masih kecil sepertinya. Belum genap sebulan bekerja di rumah itu, pak Jawir menyuruh Shopiah agar menyekolahkan Sakti. Semua biaya tentu ditanggung oleh pak Jawir.

Ketika pak Jawir meminta Sakti untuk sekolah di tempat yang sama dengan anaknya, Shopiah langsung menolak usulan tersebut. Pasalnya biaya sekolah di sana sangat mahal dan. Shopiah takut pembullyan yang pernah dialami Sakti kembali terulang jika anaknya belajar di lingkungan sekolah elit dan Shopiah sadar pada kemampuan diri jika anaknya tidak masuk dalam bagian dari anak-anak elit tersebut. Dia tidak tahu saja jika di sekolah yang sekarang pun anaknya mendapatkan perlakuan tidak mengenakan dari siswa lain.

Slawatiya Aini, nama anak dari pak Jawir dan almarhumah Marlina. Setahun lalu kecelakaan tunggal mengakibatkan Aini harus merelakan ibundanya pergi menghadap Sang Pencipta meninggalkan dirinya juga ayahnya. Berbeda dengan Sakti yang tertutup dan belum bisa berdamai dengan keadaan karena kepergian ayahnya, Aini lebih legowo dan ikhlas melepas kepergian ibundanya.

"Sakti, ibuk kerja dulu ya. Kalau kamu ada PR di kerjain dulu. Kalau nggak bisa atau kesulitan ngerjain nanti tunggu ibuk menyelesaikan pekerjaan aja. Nanti ibuk bantu ngerjain, ya?"

Jawaban yang diterima Shopiah masih sama seperti sebelum, hanya satu kata 'iya'.

"Bi Sho, aku mau dibikinin nasi goreng dong." Aini baru pulang sekolah.

Meneriaki Shopiah yang sedang ada di dapur menyiapkan makan siang untuk keluarga itu. Sedangkan Aini duduk di sofa setelah melempar asal tas sekolahnya di sana.

"Biiii Shooooo.. Aku ma-"

Teriakannya terhenti oleh kemunculan Sakti. Kedua bocah itu saling melihat, mengamati satu sama lain.

"Tumben kamu keluar dari sarang mu." Ucap Aini kepada Sakti. Tak di jawab, Sakti berjalan lebih dekat ke arahnya.

"Jangan teriaki ibuku seperti itu!"

Aini bangkit dari duduknya, berdiri mensejajarkan diri dengan Sakti. Matanya melotot seperti memberi tahu jika dia lah ratu di rumah itu.

"Kenapa? Ibu mu kan babu ku." Dengan senyum mengejek.

Perkataan Aini sukses membuat Sakti menarik kasar rambut kepang bocah itu. Suara teriakan Aini berhasil mengundang Shopiah berlari tergopoh ke ruang tamu.

"Sakti astagfirullah.. Udah kak, lepasin rambut neng Aini. Dia kesakitan itu. Aduh ini kenapa kamu jadi kasar sama perempuan sih kak?!" Shopiah menarik bahu anaknya.

Tangan Sakti tidak lagi ada di rambut Aini sekarang. Meski begitu tangisan Aini membuat Shopiah kelimpungan. Dia takut pak Jawir marah menemukan anak perempuan kesayangannya menangis sesenggukan seperti itu.

"Ibuk dia bilang ibuk babu. Itu nggak sopan kan buk?" Sakti menatap ke arah ibunya berharap mendapat pembelaan melalui perkataannya barusan.

"Ibuk memang pembantu di sini Sakti, jadi jangan kasar sama neng Aini. Sekarang minta maaf sama neng Aini! Nggak baik berbuat kayak tadi ya, kalau juragan Jawir tahu bagaimana??" Shopiah sedikit menaikan nada bicaranya.

Anak kecil itu terpaku di tempat. Dia pikir membela ibunya akan mendapat hadiah pelukan, setidaknya ucapan hangat sebagai bentuk terimakasih akan dia dapatkan. Tapi lihat apa ini? Dia dibentak? Ibunya membentaknya di depan anak yang memanggil ibunya dengan kata babu?! Lelucon apa lagi ini? Amarahnya sudah muncul sejak kepulangannya dari sekolah dan sekarang ditambah dengan pertengkarannya dengan Aini yang berakhir dia harus meminta maaf?

'Nggak! Ini nggak adil! Kenapa aku harus minta maaf? Aku nggak mau!'

Sakti berjalan cepat kemudian berlari ke arah kamarnya. Satu-satunya ruangan di rumah itu yang memperbolehkan dirinya keluar masuk secara bebas. Sakti hanyalah anak kecil, baginya ibu adalah orang tua yang harus dia hormati dan patuhi perkataannya. Tapi jika ada yang menghina ibunya seperti yang dilakukan Aini tadi, apa dia harus maklum?

"Sakti, Kamu jangan kayak gini nak ya Allah.. Kamu tahu kan neng Aini itu anaknya pak Jawir. Bos nya ibu, yang punya rumah ini, yang nyekolahin kamu juga! Bisa kan sopan sama dia? Dia perempuan Sakti, jangan pernah menyakiti perempuan! Kamu ngerti?" Tegas Shopiah yang menyusul anaknya ke dalam kamar.

"Tapi buk, dia tadi bilang-"

"Udah udah.. Ibu nggak mau denger alasan kamu apa. Yang jelas ngasarin orang seperti tadi itu nggak baik. Kamu bukan super hero Sakti, jadi jangan sok jadi jagoan."

Seketika Sakti terdiam. Beberapa minggu tinggal di rumah pak Jawir, sikap ibunya sudah jauh berbeda.

"Iya buk..." Sakti berusaha menerima semua perkataan ibunya. Ditanamkan dalam benaknya jika dirinya bukan jagoan! Anak kecil memang mudah menyerap informasi dari luar, apa yang dia lihat dan dia dengar akan tersimpan rapi di dalam memori.

Malam itu setelah menyelesaikan semua pekerjaannya, Shopiah menghampiri anaknya yang tidur meringkuk tanpa menggunakan selimut untuk menutupi badan kecilnya.

"Nak.. Maaf ya, bukan maksud ibu marahin kamu tadi.. Tapi nak, kamu juga harus ngerti kalau neng Aini itu anak majikan ibu. Kamu juga harus menghormati dia nak.."

Meski belum tertidur, Sakti enggan menjawab perkataan ibunya. Dia berusaha memejamkan mata erat-erat agar bisa tertidur dan melewati hari berat ini.

________

Di sekolah terasa memuakan, pulang sekolah pun begitu menyebalkan. Kehidupan Sakti kecil hanya berkutat di situ-situ saja. Bertengkar di sekolahan, dan di rumah harus selalu mengalah oleh setiap titah yang Aini berikan kepadanya. Menyebalkan sekali bukan menjadi seorang Sakti?

Sampai tak terasa satu tahun sudah dia lalui dengan situasi toxic seperti itu. Pagi ini Sakti dan Aini dikumpulkan dalam satu ruangan. Ruang makan yang besar itu biasanya hanya di pakai untuk keluarga pak Jawir saja tapi lihat sekarang ini! Pak Jawir, Shopiah, Aini dan Sakti duduk bersama dalam satu meja.

"Ada apa sih yah? Aku buru-buru ini, nanti ada upacara!" Aini, dia sudah memakai seragam osis SMP. Seragam merah putih tidak lagi dia kenakan karena di awal tahun ajaran baru ini dia sudah terdaftar menjadi siswi di sekolah menengah pertama di kotanya.

"Jadi begini.. Ayah sudah memutuskan, Bu Shopiah mulai hari ini akan menjadi ibu kamu. Dan Sakti.. Kamu bisa menganggap bapak sebagai ayahmu mulai sekarang. Kami akan menikah minggu ini."

Sakti dan Aini menatap tak percaya pada ucapan pak Jawir. Waktu seakan berhenti di detik pak Jawir mengatakan maksud dan tujuannya mengumpulkan mereka di satu meja.

"No! Apaan sih yah, aku nggak mau punya bunda baru! Apalagi bi Shopiah kan ibunya si tengil ini, iyuuuuh ogah! Pokonya aku nggak setuju!" Tentang Aini lantang.

"Tapi sayangnya ayah tidak meminta mu untuk memilih antara mau atau tidak Ai, ayah dan ibu Shopiah hanya memberi tahu bukan meminta restu. Tolong pahami." Pak Jawir nampaknya sudah menduga jika Aini akan menolak keputusannya, tapi pak Jawir tidak peduli. Dia sudah menentukan dan mau tak mau keputusan itu harus diterima oleh seluruh keluarga, termasuk Aini tentunya.

"Oh Tuhan.. Sadarkan aku kalau aku lagi pingsan, bangunkan aku kalau aku lagi mimpi, tapi jangan bilang kalau semua ini nyata Tuhan.. Oh my.. No!!" Tolak Aini mentah-mentah.

Lalu apa yang di lakukan Sakti? Tanpa banyak bicara, bocah itu melenggang pergi menuju pintu utama. Mengambil sepeda yang akan mengantarkannya ke sekolah. Teriris rasa hatinya tapi dia hanya diam tak memberi tanggapan.

"Tengil hooeee!! Kamu napa nyelonong pergi hah? Seneng ya ibumu yang babu itu naik pangkat jadi nyonya di rumah ini?" Aini menggebu-gebu melampiaskan amarahnya kepada Sakti yang sebenarnya tidak tahu menahu tentang masalah ini.

"Minggir!" Sakti tak bergeming meski Aini dan Shopiah memanggil namanya.

"Ya Allah mas.. Ini terlalu cepat untuk mereka. Mereka pasti syok.. Apalagi Sakti.. Dia pasti-"

"Sudahlah, lambat laun anak-anak akan menerima hubungan kita. Mereka masih kecil, bisa apa mereka tanpa kita, orang tuanya?!"

'Yah.. Ibu jahat.. Ibu mau gantiin posisi ayah.. Sakti harus gimana yah? Sakti benar-benar sendiri sekarang..'

Dengan derai air mata, tanpa diketahui siapapun.. Sakti berangkat sekolah dengan hati yang teramat perih mengetahui ayahnya tidak ada lagi di hati ibunya.

3. Hubungan baru

"Saya terima nikah dan ka_winnya Shopiah binti Rasidi dengan mas ka_win uang tunai sebesar dua ratus dua belas ribu dua ratus dua belas rupiah dan seperangkat alat sholat di bayar tunai!"

"Saksi?" Tanya penghulu ke arah kanan dan kiri.

"Saah! Alhamdulillah."

"Alhamdulillah.."

Sakti hanya menatap nanar pada kedua mempelai yang sekarang duduk mesra di pelaminan setelah beberapa waktu lalu meresmikan hubungan mereka dalam ikatan agama yang di sahkan oleh negara.

"Seneng kan kamu?? Muak aku lihatnya!!" Aini tak kalah kesal dengan adanya acara hari ini. Meski tidak mengundang banyak tamu tapi melihat dekorasi indah dan terkesan mewah itu pastilah butuh gelontoran dana yang tidak sedikit.

Sakti memilih pergi menyelamatkan sisa kewarasan yang ada dari pada ikutan gila seperti yang Aini lakukan. Bocah itu dengan sengaja menggunting beberapa taplak meja yang adalah bagian dari dekorasi ruangan itu. Ayahnya pasti akan mengeluarkan uang tambahan untuk kerusakan yang Aini lakukan. Tapi siapa peduli?!Aini marah saat larangannya tak digubris oleh ayahnya sama sekali. Sakit hati Aini melihat ayahnya tersenyum hahahihi menyalami tamu yang hadir di acara pernikahan mereka.

"Waktunya foto keluarga, mana anak-anaknya pak bu? Bisa sekalian diajak naik ke pelaminan untuk foto keluarga bersama."

Juru shooting yang mengabadikan semua momen di hari bahagia Shopiah dan pak Jawir ikut celingukan mencari keberadaan anak dari kedua mempelai yang sejak awal dia datang tidak ikut masuk ke dalam rekaman yang dia buat.

"Mas.. Mereka kemana ya?" Shopiah cemas. Dia ingin berlari turun dari tempatnya menjadi pasangan raja dan ratu sehari untuk mencari keberadaan anak mereka tapi tangan pak Jawir menggenggamnya erat berusaha mencegah apapun yang ada di benak istrinya.

"Biarin aja. Nanti kita bikin foto keluarga sendiri pas mereka udah bisa nerima kenyataan jika kita sudah menikah dan menjadi orang tua mereka."

"Kamu fokus pada acara kita saja. Hari ini adalah hari bahagia kita. Tentang anak-anak, biarkan saja.. Yang penting mereka tidak membuat keributan dan masalah hari ini." Imbuh pak Jawir menenangkan Shopiah.

'Kamu pasti kecewa banget sama ibu ya kak.. Maafin ibu kak..'

____________

Aini tidak peduli dengan acara itu. Sama dengan Sakti dia memilih pergi. Kakinya berjalan menuju luar gedung resepsi itu digelar. Tidaklah sulit bagi Aini untuk kembali pulang ke rumah, tapi tidak dia lakukan. Aini menghentikan langkah kakinya saat melihat Sakti duduk diam di taman kecil tak jauh dari gedung resepsi tempat orang tuanya menggelar pesta.

"Heh tengil, ngapain di sini?!" Bentak Aini.

"Namaku Sakti."

"Terserah aku mau manggil kamu apa. Ngapain di sini, bukannya kamu seneng ibu mu bisa nikah sama ayah ku?! Sok sedih, drama tau nggak!!" Aini menyalurkan emosinya pada Sakti.

Sakti berdiri dari duduknya, tidak berniat sedikitpun untuk meladeni anak manja satu ini. Lagipula siapa juga yang senang dengan pernikahan antara ibunya dan ayahnya si manja itu? Sakti juga marah sama ibunya. Selalu bicara seolah-olah ayahnya lah satu-satunya lelaki yang ibunya cintai tapi nyatanya baru setahun meninggalkan kampung mereka dan merantau ke kota.. Ibunya bisa mengambil keputusan penting di hidupnya dengan menikah lagi.

"Jangan ganggu aku. Aku sedang nggak ingin berdebat sama kamu." Tutur Sakti berjalan melewati Aini.

"Ganggu kamu?? Pede sekali kamu nak ckck. Kamu pikir kamu siapa, sok penting banget sampai aku kudu gangguin kamu hah??" Aini melotot tak percaya dia ditinggal begitu saja oleh Sakti.

"Heiii!! Aku belum selesai ngomong tengil!!" Seru Aini lantang seperti toa masjid.

"Sakti." Dan Sakti terus berjalan.

"Masa bodoh!" Mengekor di belakang Sakti.

"Heh tengil, kamu kok makin nggak sopan gitu sih!! Awas ya kamu!!" Aini berjalan sesekali menyenggol lengan Sakti. Tanpa mereka sadari kedekatan sudah terjalin meski dengan ejekan dan sikap acuh dari keduanya.

Malam hari di rumah pak Jawir.

"Sakti, bagaimana sekolahmu? Apa ada yang mengganggumu di sana?" Tanya pak Jawir berusaha mendekatkan diri dengan membangun bonding dengan anak tirinya.

"Biasa saja." Jawab Sakti sekenanya.

"Kak.. Ayah mu lagi bertanya, kenapa jawabnya ketus begitu?" Shopiah memegang punggung tangan Sakti. Hal mengejutkan diterima Shopiah, wanita yang baru diperistri pak Jawir mendapat tepisan juga pandangan tak terbaca oleh anaknya sendiri.

"Ayahku sudah meninggal. Apa ibuk lupa?" Sakti bangkit dari tempat duduknya.

"Astaghfirullah Sakti, pak Jawir kan sekarang suami ibuk kak.. Ayah kamu juga.. Kamu bicara begitu bisa menyakiti hati ayah kamu kak.." Shopiah berusaha memberi pengertian kepada Sakti.

"Suami ibuk bukan berarti jadi ayah ku. Ayahku udah nggak ada." Lagi-lagi perkataan Sakti seperti hunusan pesan yang merajam hati Shopiah.

Tanpa diminta Sakti berdiri dari kursi yang dia duduki. Berjalan menuju kamar yang dulunya ditempati berdua dengan ibunya.

"Sudah lah biarin aja dulu, dia butuh waktu untuk menyesuaikan diri." Ucap pak Jawir bersikap santai.

"Tapi mas-"

"Anak bi Sho aja males ngomong sama bibi, apalagi aku! Bye!" Ucapan Shopiah terhenti oleh kalimat Aini yang menggeser kursinya ke belakang berniat meninggalkan ruang makan keluarga.

"Ai duduk!! Jaga sopan santun mu!! Jangan lagi panggil ibumu bibi. Panggil yang benar!! Dia ibumu sekarang!!" Hardik pak Jawir semakin tersulut emosi.

Tadi Sakti sekarang Aini, sepertinya kedua bocah itu akan terus membuat kedua orang tuanya pusing tujuh keliling, mengikis rambut kedua orang tuanya agar terjadi kebotakan perlahan karena stress mikirin tingkah polah serta penolakan anak-anaknya atas pernikahan mereka.

"Ayah bentak-bentak aku dihadapan bi Sho? Yah.. Si tengil aja nolak mentah-mentah ayah jadi bapak sambungnya apalagi aku! Aku kudu nerima bi Sho jadi ibuku, hahaha.. Lucu sekali ayah ini. Benar kata Si tengil ayah nikah sama bi Sho bukan berarti bi Sho itu bisa jadi bundaku! Dah lah.. Ilang selera makan ku!" Aini mengambil benda pipih di saku celananya, dia berjalan sambil fokus ke layar ponselnya tanpa peduli panggilan ayahnya.

"Anak jaman sekarang.. Bisa-bisanya mereka menjawab setiap omongan ku dengan kalimat ala sinetron seperti itu! Apa mereka pikir bersikap kurang ajar sama orang tua sendiri akan mendapat tepukan gemuruh dari netizen?!" Pak Jawir bermonolog.

"Maafkan Sakti dan Aini mas, aku yang salah.. Aku nggak mikirin perasaan mereka. Aku yang egois.." Shopiah sedih mendapati kedua anak mereka tidak lagi hormat kepada mereka sebagai orang tuanya.

"Sudahlah dek, jangan selalu menyalahkan diri sendiri seperti itu. Mereka bukan bayi yang tidak mengerti hubungan baru kita. Mereka punya nalar yang bisa dipakai untuk berpikir jernih. Lebih baik sekarang kita istirahat, hari ini cukup melelahkan untuk kita." Ajak pak Jawir.

Shopiah menurut saja pada titah pak Jawir. Dia langsung digiring suami barunya itu ke peraduan. Shopiah bahkan tidak menyempatkan diri terlebih dahulu untuk melihat kondisi putranya yang menuju kamar tanpa makan. Fokus Shopiah sudah terbelah sekarang. Hubungan baru antara dirinya dan pak Jawir secara tidak langsung membuat mental Sakti semakin tertekan. Sayang sekali.. Shopiah belum juga menyadari bagaimana tersiksanya batin anaknya sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!