“Bisa ketemu segera, pagi ini??”
pesan yang begitu misterius dari Ony, seseorang teman yang cukup dekat denganku. Ya,
hanya teman yang cukup dekat bukan seorang kekasih atau saudara dekatku.
“kenapa?” jawabku singkat dari pesan itu.
Lalu kugerakkan badanku menuju kamar
mandi, santai saja melangkahkan kaki.
*****
Ah iya, namaku Byan, seorang yang bekerja di sebuah perusahaan berskala nasional, tubuhku lengkap, ya lengkap, aku pernah menjadi seorang atlet yang cukup serius, dengan badan impian, tegap, berotot, namun karena cidera membuatku mengubur keinginanku menjadi atlet berskala nasional. Dan kini aku bertubuh cukup tambun, dengan tinggi 185cm dan berat 120kg.
Kala itu aku adalah seorang atlet kelas nasional, beberapa kali aku di panggi TC – training centre, pada level top
nasional. Beberapa kali aku dikirim mewakili negara ini di level asia pasifik. Walau terlalu sering kalah tapi aku menjadi salah satu tumpuan merah putih saat itu.
Dibidang olah raga yang aku tekuni sedari usiaku 5th itu, aku adalah seorang pemain dalam. Small forward yang berfungsi sebagai penyeimbang ritme menyerang dan bertahan. Aku pemain yang cukup diandalkan dengan jumlah pertandingan yang cukup menonjol di banding rekan seusiaku yang lain. Sampai suatu ketika malapetaka menghampiriku,
“tiga ligament lutut kiri putus, dan keretakan pada sendi, cukup parah untuk bisa melanjutkan bermain musim ini” ujar dokter yang menanganiku hari itu.
Seketika impianku menjadi pemain professional hancur. Aku hanya tau bagaimana bermain dilapangan, kuhabiskan lebih dari setengah usiaku saat itu untuk berlatih, memperdalam dan mempertajam kemampuanku. Dan aku pun mundur dari hiruk pikuk pemberitaan olahraga yang cukup popular di negaraku ini, tapi aku tak berhenti bermain, hanya aku tak lagi mengejarnya sebagai mimpi dengan penuh hasratku.
Beberapa tahun berlalu, aku tumbuh diasah oleh waktu dan terus bertahan. Kira kira saat ini usiaku 32th, aku belum menikah, hanya saja aku memiliki kekasih yang cukup serius buatku, kami berhubungan lebih dari 6th lamanya. Dia adalah Asih, kekasihku, gadis moderat yang masih berasal dari keluarga kolot. Ya, dia adalah pemberontak di keluarganya, tapi toh dia masih memegang kekolotan itu di hubungan kami. Kami tetap bahagia dan bertahan sekian lama, dengan segala rencana dan impian membangun keluarga.
“mas,jangan lupa sarapan sebelum kerja” pesan dari Asih yang melintas di notif
ponselku
“iya, sabtu jadi jalan?” balasku
“jemput jam 8, bapak sama ibu mau ikut” timpalnya
“ok`” dan kemudian aku lemparkan ponselku ke kursi sebelahku
Hari sabtu ini kami berencana mengadakan sedikit acara mengakrabkan keluarga kami, sekedar makan malam bersama.
Lalu tiba tiba ponsel ini berdering lantang, mengganggu telinga dan fokusku yang sedang mengemudi menuju kantorku. Dan fasilitas auto answer di mobil pun teraktivasi,
“dimana?” suara dari ujung sana dengan lirih dan terdengar sayup orang menangis.
“ini siapa?” kebodohan ku karena tidak sempat meraih ponselku untuk melihat siapa nomor yang menghubungiku.
“Ony!kakak dimana?, Ony udah di kantor, masih lama?, buruan, apa Ony pulang lagi?” masih dengan parau tangis yang ditahan.
Kadang aku terkejut wanita bisa mengeluarkan begitu banyak pertanyaan dengan satu helaan nafas. Ini seperti bakat bagi semua wanita sepertinya.
“tinggal markirin mobil, kamu dimananya?” jawabku segera.
“dibelakang,buruan!!” tep, ponselnya dimatiin.
Disini jiwa lelakiku mulai mikir, aku punya salah apa sama ini anak, telpon ga kasih tau ada apa, nangis dan di buru-buru pula. Di depan sana aku sudah melihat Ony duduk di kantin kantor, dengan mata sedikit bengkak yang ditutupi kacamata,-tololnya adalah kacamatanya bening. Segera saja aku menghampiri dia di sana.
Semakin dekat semakin terlihat, air mata nya sudah banyak mengalir, hidung pendek dan kulit wajahnya yang putih karena keturunan genetiknya tampak sedikit bengkak dan memerah lebih seperti orang yang terkena alergi protein.
“kenapa? Koq nangis?” kataku sembari menyenggolnya,
Ony diam, tepat di detik ini ingin rasanya aku gulung buku laporan tahunan perusahaan buat nyamper ke kepala dia, setelah serangkaian ketidakjelasan sepanjang pagi, jawaban dari dia hanya tatapan penuh airmata tanpa kata-kata.
2menit lewat dan masih diam, Cuma sesenggukan kaya bocah ingusan.
“aku udahan” kata Ony.
“bukannya udahannya dari tahun lalu?” aku masih diliputi kebingungan.
Dari sekian banyak lelaki di kantor ini, dia pilih aku pagi ini buat kasih tau kalau dia lagi ada masalah sama mantannya? Ini anugrah apa kutukan lagi sih? Untungnya aku bukan si oportunis yang bakal segera ngerangkulin tangan ke bahu cewek yang lagi patah hati, berlagak bisa nenangin. Aku sendiri malah bingung dilihatin banyak mata, dikira bikin nangis anak orang.
“then, tell me, what happened?” lanjutku
Ony pun mulai bercerita, bagaimana dia mengorbankan waktu bekerjanya di akhir minggu kemarin, tidak berangkat dan menghabiskan weekendnya untuk bertemu mantan kekasihnya yang bekerja di ibukota, apa yang terjadi, apa
yang dirasakan, mengapa mereka berpisah pada awalnya dan bagaimana akhirnya mereka memutuskan udahan, semua dengan cukup terperinci. Tentu saja dengan urai air mata yang kadang bisa di tahan, kadang ngalir kaya banjir musim hujan.
Aku ngapain?
Aku Cuma bisa dengerin dia sambil duduk di sebelahnya sembari menahan tatap mata orang orang yang lewat, yang aku pikirin adalah, jangan jangan mereka mengira aku ngapa ngapain Ony. Dan akhirnya pertahananku runtuh, siapa yang ga luluh liat gadis kaya Ony, nangis didepan mata? Tapi tenang, aku tidak sebenci itu sama otakku sendiri. otakku masih bisa berpikir jernih dan ga suka ambil kesempatan dalam kesempitan koq.
“Ony, aku anter pulang dulu aja ya?, hari ini kekantornya kalau udah tenang aja.”
Kebetulan jabatan aku di perusahaan ini cukup bagus, dimana aku bisa memberi ijin kepada orang yang sedang berhalangan masuk. Ony hanya menatapku kosong, lalu sedikit mengangguk. Lalu aku bangkit, masuk kedalam kantorku sebentar untuk meletakkan jariku di mesin absen, kemudian aku menghampirinya untuk mengantarkannya
pulang.
Diperjalanan yang sebenarnya tak terlalu jauh dari kantor, tapi serasa amat sangat lama. Ony lebih banyak melihat keluar jendela sisinya. Sekilas terlihat bayangan wajahnya menahan derai lebih keras. Ia cukup kuat untuk gadis seusianya, tapi masih belum cukup mampu menyembunyikan emosinya, terutama dariku. Aku berusaha
menghiburnya, meletakkan telapak tanganku di ujung keningnya, menepuknya.
“you should be a lady, for me, for your mom, and for yourself. Be strong ya!” ujarku.
Ia kemudian menatapku, tak berucap apapun. Detik ini aku melemah, aku merasa harus menjadi tukang bangunan untuk sekian kalinya. Aku harus menjadi orang yang bisa membangun kembali dindingnya yang sedang runtuh, untuk entah siapapun yang akan menempatinya nanti. Tapi aku memilih mengambil peran itu untuknya.
*****
“air mata wanita, adalah penghancur
gagahnya seorang pria”
*****
Masih hari yang sama, di kantor, pikiranku sendiri menjadi tak tenang. Aku masih memikirkan pertanyaan ku sendiri,
"dari sekian banyak lelaki di kantor ini, kenapa aku yang harus tau kalau Ony udahan?"
Sesiangan ini aku tak dapat berfokus pada pekerjaan kantor, waktuku lebih banyak aku gunakan hanya untuk menunggu khabar dari Ony, bahkan pesan dari Asih, pacarku, hanya aku balas seperlunya. Saat ini yang ada di kepalaku adalah ketakutan Ony akan melakukan hal tolol yang akan disesalinya, walaupun aku tau Ony sudah cukup dewasa dan tidak akan melakukannya, tapi mengingat betapa "pecah" ia tadi pagi, betapa ia bahkan berurai airmata, dan sering kali tak mampu berkata kata, tampaknya kekhawatiranku beralasan.
Tiba-tiba di ujung ruanganku di lantai atas, aku melihat dia, masih terlihat sedikit sembab, namun sudah lebih segar. Tentu saja aku sedikit tenang melihat dia didepan mata. Lalu ia menghampiri ruanganku, berjalan dengan sefikit malas menuju ke mejaku. Terlihat sekali ia sedang menguatkan diri, mengumpulkan sisa kekuatan dari dalam dirinya yang sedang hancur berantakan.
"kak, boleh kerja di sini aja ga hari ini?" katanya dengan manja sembari memasang wajah yang sedikit cemberut.
"silahkan saja, Cuma jangan nangis kalau aku marah marah" ujarku dengan sedikit tawa menggoda dia.
Hari ini aku tau Ony sedang berusaha terlihat kuat, sekaligus berusaha untuk tidak terlihat. Aku tak bisa menakar bagaimana hancurnya dia sebenarnya, sialnya otakku merasa aku harus mengenali perasaannya lebih jauh. Aku mulai menggali, mencari titik yang tepat agar aku bisa meletakkan batu pertama, demi pondasi dinding yang kuat, untuk dia. Dan semua mengalir saja, kami mulai menyamankan untuk berbagi cerita, tentang apa saja.
Beberapa hari kedepan ia mulai sering naik ke lantai atas, entah untuk menghampiri divisi di seberang ruanganku atau hanya ingin duduk bekerja di meja di divisiku, alasannya, selalu saja computer dibawah penuh. Begitupun aku, jadi lebih sering turun menghampiri mejanya, hanya untuk menengok apa yang sedang dia lakukan, dan kemudian menggodanya, memastikan dia sedang baik baik saja. untuk kemudian kembali ke ruanganku tanpa ada kegiatan lebih lanjut.
Beberapa kali aku duduk menghabiskan waktu istirahat siang kami bersama, terkadang kami hanya duduk di kantin kantor, menyantap bekal masing masing, atau sengaja memesan cemilan seporsi untuk disantap bersama, tapi kami memilih untuk enggan pergi keluar lingkungan kantor berdua, itu seperti area larangan bagi kami. Kami tak membuat kesepakatan itu secara sadar, tapi kami menyepakatinya begitu saja. "Ring nol" istilah yang muncul darinya untuk batasan kami ini.
Ring nol adalah area dimana kami dapat bertemu, tepatnya hanya dikantor dan tidak boleh lebih jauh dari itu, ini adalah area hijau dan diluar itu adalah area merah dan hitam. tentu saja Ony tau aku sudah memiliki pacar, dan ia sangat menghargai pacarku Asih.
Aku sih, bahagia saja selama bisa kembali melihat senyum Ony mengembang beberapa kali, karena entah mengapa, saat ini aku benar-benar seperti sedang di beri tanggung jawab untuk merangkai kembali puing puing yang tersisa di dirinya. Ya aku mengambil tanggung jawab ini
aku benar benar tak perduli apa keuntungannya buatku, toh saat ini aku yang memilih mengambil peran ini, bukan untuk diriku, hanya supaya Ony bisa menjadi "lady" yang akan tersenyum dalam menghadapi masalah nya kelak. Saat ini menjadi arsitek yang akan menjadikan hati Ony sekokoh benteng veer de burg adalah prioritas utamaku, aku tak perduli siapa yang akan mengisi benteng itu kelak. Toh seorang arsitek tidak selalu harus mengisi rumah yang ia bangun kan?
*****
"dari sekian banyak lelaki di kantor ini, kenapa aku yang harus tau kalau Ony udahan?"
*****
"mas, jam 8 ya jemput, bapak ibu, tapi mba Ranti ga jadi ikut." Asih mengingatkan acara makan malam keluarga.
"siaaap bu juragan!" jawabku di layanan pesan singkat berlogo hijau ini.
Malam ini malam yang cukup penting bagi kedua keluarga kami, malam ini aku berencana melamar Asih di hadapan kedua keluarga kami. Tidak ada yang mengetahui rencana ini, baik ibuku maupun keluarga Asih.
Jarum di pergelanganku menunjukkan pukul 5 sore, aku segera meluncur ke rumah ibu, menjemputnya untuk terlebih dahulu mengantarnya ke restoran yang sudah kupesan minggu lalu. Jarak perjalanan dari tempatku tinggal dan kerja sekitar 1 jam dari kediaman ibu, dan kebetulan ibu dan keluarga Asih tinggal di kota yang sama, sementara aku tinggal sendirian di kediamanku di kota sebelah.
Setiba dirumah, ibu masih saja sempat membikinkan minum buatku, belum repot berdandan demi ketemu calon besan.
"mas Byan, nanti ibu pakai baju yang mana?" tanya ibu,
"yang mana aja bu, ibu pasti cantik koq!" jawabku dengan penekanan di ujung kalimat, bukan karena ibuku cantik, tapi karena teh buatan ibu terlalu panas!
Ibu selalu seperti itu, ini bukan makan malam pertama bagi kedua keluarga kami, tapi ibu selalu saja bertanya harus bagaimana. Padahal, buatku ibu datang dengan pakaian biasapun tidak masalah, yang penting bukan pakaiannya, yang penting apa yang akan terjadi nanti.
Ibuku, wanita yang mengajarkan aku segalanya, mulai belajar duduk hingga bertahan hidup di kondisi apapun. Almarhum ayahku, dulunya adalah seorang manager perusahaan negara, kami bergelimangan harta benda saat itu, namun sepeninggal ayah, ibu di terpa penyakit yang akan mematahkan semangat banyak orang. Dan ibu bertahan bahkan berjuang untuk mementaskan pendidikan formalku.
Ibuku, sepeninggal almarhum ayah adalah petarung sejati, ia berkali kali merangkak naik kembali memperebutkan nyawanya yang sudah di garis datar. Ia pernah hampir tercabut dari raganya, tapi ia tidak menyerah. Ia membuka kembali matanya, menggetarkan kembali garis datar tadi agar membentuk gunung dan lembah yang stabil. Ibuku adalah segalanya buatku. Ia memberi contoh nyata bagaimana aku akan melangkah di kehidupanku nanti.
"yuk, ibu udah siap!" kata ibu, menyadarkan lamunanku.
Aku raih kunci mobilku, kemudian bersama ibu menuju rumah Asih dan keluarganya, yang hanya berjarak 40 menit dari rumah ibu. Kami semua pun berkumpul malam ini, aku, Asih, Ibu, Bapak dan Ibu Asih. Banyak hal yang di bahas malam ini, mulai bercerita masa muda mereka, bagaimana mereka bertemu, bagaimana perjuangan mereka, sampai Bapak tiba tiba berkata,
"mas Byan, rencana kedepannya mau bagaimana?"
Wah, ini momen yang tepat pikirku, lalu aku mengambil sebuah kotak yang sudah aku simpan di kantong celanaku sedari sore tadi. Aku berdiri, meminta sedikit ruang dari band penampil di restoran yang kemudian memperkecil suara mereka.
"Asih, kau pernah berkata kau ingin diikat pertunangan bukan dengan cincin, melainkan dengan sebuah arloji kan?" kataku mantap
Tanpa memberikan kesempatan bagi Asih menjawab, akupun melanjutkan,
"lalu didepan kedua keluarga kita ini, aku memohon ijin dan restu untuk mengikatmu dengan arloji ini"
Kuhampiri Asih yang duduk di sebelah Bapak, memintanya berdiri dan kemudian meminta Bapak untuk berdiri, sembari menunggu respon mereka.
Asih tampak menatap Bapak untuk meminta respon dari orangtuanya, tak berapa lama, ia berpaling kepadaku, berhambur, dan memelukku.
"butuh 6th untuk membuatmu melamarku ya?" ujarnya
Ya syukurlah malam ini berjalan cukup lancar, kami mendapat restu untuk melanjutkan hubungan kami kearah yang lebih serius. Malam pun berlanjut, kami seperti berpesta kecil merayakannya. Tentu saja dengan sedikit kekolotan yang akan menjadi bagian dari hidupku kedepannya.
Aku pun kembali ke kediamanku, malam cukup menyenangkan dengan sedikit melelahkan. Ku buka ponselku ada pesan dari Asih, isinya ucapan ucapan dari teman temannya disertai beberapa emoticon emoticon, tapi aku terlalu lelah untuk membuka dan membalasnya. Bahkan aku tertidur tanpa sempat membersihkan badanku.
Minggu pagi, pukul 2 dini hari tepatnya, hanya 3 jam aku tertidur. Ada sesuatu yang membuatku terbangun sedini ini, dengan perasaan tidak tenang, hanya tidak tenang, aku tak yakin apakah aku senang, atau aku muram. Ini bukan tentang semalam aku melamar Asih di depan kedua orangtuanya, tentu saja aku senang tentang itu, tapi yang membuatku tak tenang ini tentang, Ony.
*****
"hanya butuh satu mimpi untuk mengguncang dunia"
*****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!