🦋🦋🦋
Tubuh ini rasanya menggigil terbaring di atas kasur dalam balutan selimut yang menyelimutiku di gelapnya kamar di malam hari. Bibir ini juga bergetar, dengan hati menyebut namanya yang tidak kembali hingga dini hari sejak meninggalkan rumah setelah pertengkaran kami siang tadi.
‘Aku menikahimu karena ibumu! Dia yang menjeratku sejak awal untuk menjadi tamengmu.’
‘Jangan berharap cinta dariku, aku mencintai wanita lain!’
Dua kalimat yang baru keluar dari bibirnya itu sungguh membuatku kaget karena indra pendengaran ini tidak pernah mendengarnya sebelumnya.
Ketika memori pertengkaran itu berputar, air mataku kembali menetes.
“Ibu ...,” panggilku dalam hati dengan tubuh rasanya sudah tidak bisa menahan kondisi lemah dan akhirnya tidak sadarkan diri.
***
“Kondisinya baik-baik saja. Hanya stres ringan dan terlalu kelelahan. Jangan biarkan masalah merusak mentalnya.” Suara seorang wanita terdengar samar di telingaku.
Perlahan kedua bola mata ini kubuka. Langit-langit kamar putih bersih kudapati bersama tubuh kusadari berbaring di ranjang rumah sakit. Kepalaku menoleh ke kanan, melihat pria yang aku nanti-nanti semalam berdiri berhadapan dengan seorang wanita muda, seusianya, berjas putih yang merupakan seorang dokter.
“Udah bangun?” tanya wanita itu, tersenyum antusias menatapku.
Bibirku tersenyum tipis sambil menarik dagu ke bawah sembari mengedipkan mata. Akan tetapi, hati ini rasanya sakit saat melihat mereka bersama. Wanita yang berprofesi sebagai dokter ini namanya Karina, wanita yang selalu dipedulikan oleh pria yang ada di hadapannya itu, kakak angkatku, sekaligus suamiku.
Dua puluh tahun lalu, ibuku mengadopsi pria ini dari panti asuhan ketika usianya enam tahun, Redekha Prawira namanya. Ibu sengaja mengadopsi Kak Redek karena ingin menjadikan pria itu suamiku di masa depan yang bisa menjagaku dan menjamin tidak pria itu tidak akan menyakitiku. Anggapan Ibu seperti itu. Kenyataannya, hal yang ditakutkan ibu terjadi, meskipun dalam tema yang berbeda.
“Karena kondisi adikmu baik-baik saja, aku kembali merawat pasien lain,” pamit dokter cantik berhidung mancung dan bermata besar itu. “Galuh, jaga kondisimu,” ucap Kak Karina.
Aku hanya tersenyum melepas kepergiannya. Senyumanku spontan menghilang setelah melihat kak Radek menatapku dengan wajah dingin. Pria itu membantuku duduk dan mengajakku meninggalkan kamar yang entah sejak kapan aku tempati.
“Kita mau ke mana, Kak?” tanyaku, bingung.
Karena baru masuk rumah sakit, tentunya aku tidak mungkin pulang. Akan tetapi, ternyata Kak Radek akan membawaku kembali ke rumah. Betapa tidak pedulinya pria ini dengan kesehatanku.
Di dalam mobil, kami saling diam. Ingin sekali bibir ini mengajaknya berbicara, tetapi ekspresi dinginnya itu membuatku takut dan memilih bungkam. Setelah meninggalnya ibu satu tahun yang lalu, kak Radek berubah drastis. Biasanya pria ini selalu baik dan peduli padaku, tetapi sekarang tidak ada lagi perlakuan semacam itu. Aku sadar, itu karena Kak Radek sudah tahu tujuan tersembunyi ibu mengadopsinya, yaitu menikahkannya dengan diriku.
“Semalaman aku menunggu Kakak, Kak–,” terpotong.
“Ada masalah yang harus aku urus di kantor polisi,” timpal Kak Radek, dingin.
“Kak … bisa tidak Kakak bersikap seperti sebelumnya padaku? Ini membuatku terluka. Jika Kakak begini karena pernikahan kita, Kakak bisa menceraikanku dan menikah bersama Kak Karina,” ucapku, meskipun berat rasanya bibirku untuk mengatakan kalimat itu karena aku sudah jatuh hati pada pria yang duduk di sampingku ini sejak lama. Hanya status sebagai Kakak yang membuatku menenggelamkan perasaan itu, meskipun tahu dirinya hanya anak angkat.
Mobil diberhentikan secara mendadak oleh Kak Radek, menarik tubuhku ke depan.
“Kamu pikir semua bisa kembali seperti semula? Tidak. Bukankah aku berhutang budi pada ibumu? Baiklah, aku akan membayarnya,” ucap Kak Radek, marah.
“Aku tidak ingin selalu begini, Kak. Aku maupun Kakak memiliki masa depan. Kita tidak bisa terperangkap dalam hubungan yang tidak jelas ini,” terangku. “Kakak punya orang yang Kakak cintai, aku juga begitu,” ucapku, terpaksa berbohong.
“Tidak jelas? Kalian sudah memerangkap diriku, kalian yang sudah menjebak ku. Benar, apa yang kalian tanam, itu yang kalian tuai. Tapi, kalian tidak tau cara menggunakan kalimat itu. Ibumu merawatku dengan tujuan agar aku bisa merawatmu dengan baik. Entah apa yang ada di benak ibumu itu,” kata Kak Radek dalam emosinya.
Rasanya Kak Radek salah paham. Pria itu tidak bisa mengerti dan memahami ketakutan ibu. Akan tetapi, aku juga sadar kalau cara ibu memasukkan Kak Radek dalam hidupku juga salah.
“Iya. Ibuku memang salah. Aku juga salah. Kalau begitu, aku minta maaf,” ucapku dan membuka pintu mobil, keluar dari sana, berjalan di tepi jalan dalam rasa sedih yang aku tahan.
Seorang pria memberhentikan motor besarnya di sampingku. Pria itu teman satu kampusku, tetapi beda jurusan, anak komputer, sedangkan aku anak matematika. Pria itu bernama Pasha Harun.
“Galuh!” panggilnya sambil melepas helm.
“Pasha.”
“Mau ke mana? Kok jalan kaki?” tanyanya. “Mendingan naik, biar aku antar,” suruh Pasha dengan ramah.
Kepalaku menoleh ke belakang, memperhatikan mobil Kak Radek masih diam ditempat tadi. Perasaanku masih bengis mengingat perkataannya tadi, membuatku tidak ingin bertemu dengannya untuk sementara ini.
“Antar aku ke rumah Maya,” ucapku.
Pasha tersenyum, tahu aku setuju dengan ajakannya. Pria itu menyodorkan helm penumpang yang tersangkut di sisi kanan badan motor besarnya.
Ketika hendak mengambil helm tersebut, tangan yang separuh terangkat, diraih dan digenggam Kak Radek, entah kapan pria ini keluar dari mobil. Kemudian, Kak Radek menarikku kembali ke mobilnya, duduk di posisi awalku di dalam mobilnya.
“Kakak apa-apaan?” Aku protes dengan sikap seenaknya itu.
Kak Radek hanya diam. Lalu, menyalakan mesin mobil dan mengemudi dengan kecepatan cukup kencang. Ekspresinya terlihat marah dalam kebisuannya.
Kupandangi wajah pria yang sempat menawarkan tumpangan tadi dengan wajah merasa bersalah saat mobil Kak Radek melewati keberadaannya. Pasha tersenyum, tampak mengerti dengan sikap Kak Radek tadi dan memakluminya, seperti Kak Katina, mereka hanya tahu aku adalah adik Kak Radek, bukan wanita yang sudah dinikahi pria itu sejak satu tahun lalu, beberapa hari sebelum ibu meninggal.
***
Tangan kananku masih ditarik keras oleh Kak Radek keluar dari mobil setelah mobilnya berhenti di halaman rumah kami yang terbilang sedikit berada, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Rumah itu tidak bertingkat, tetapi memiliki fasilitas yang cukup lengkap dengan keberadaan kamar mandi yang ada di ketiga kamar di rumah itu.
Setelah memboyongku memasuki kamarku, Kak Radek menutup pintu dengan bantingan dan pintu itu dikunci, tertangkap jelas di telingaku suara kucing itu.
“Kak …! Kenapa Kakak mengunciku? Aku memiliki kebebasan!” seruku dari dalam.
Entah Kak Radek masih ada di luar atau tidak, aku tetap berseru menyuruhnya membuka pintu dengan berharap pria itu akan membukanya. Suara kunci kembali aku dengar, sepertinya pintu yang dikunci kembali dibuka olehnya.
“Termasuk menjalin hubungan dengan pria lain?” tanya Kak Redek setelah membuka pintu.
Pertanyaannya itu membuatku terdiam bingung. Sejenak aku mencerna perkataannya.
Kak Radek tampak geram melihat ekspresiku dan memasuki kamarku, kembali membanting pintu, menutupnya. Kak Radek mendekatiku, melilit pinggangku, dan menautkan bibirnya secara spontan sambil memainkannya dengan kasar.
Kedua telapak tanganku memukul pelan dada bidangnya dengan sedikit dorongan.
“Kakak apa-apaan?” Suaraku terdengar membentaknya.
🦋🦋🦋
Kedua tangan ini menyeka bibir dengan wajah kesal dan marah sambil menatap kak Radek berdiri diam dengan wajah dingin di hadapanku. Pandangan aku alihkan setelah mataku mendapati kedua tangan kak Radek mencengkeram.
“Aku mau istirahat. Keluarlah!” suruhku dengan nada suara lebih rendah dalam ketenangan sambil memutar badan, hendak berbaring di kasur.
Sebelum berbaring, tubuhku malah didorong kak Radek secara kasar sampai tertelungkup di atas kasur. Dia mengenduskan hidungnya seperti anjing di leher belakangku setelah menepikan rambut yang terurai memanjang ke belakang.
"Kakak mau ngapain?" tanyaku, bisa membaca adegan apa yang akan terjadi berikutnya.
Pria itu memutar badan ku sampai terlentang menatapnya yang mengungkung badanku. Kedua telapak tanganku mendarat di dada bidangnya yang terbungkus kemeja. Perlahan ku dorong sampai akhirnya berhasil duduk. Mataku menatap kesal padanya dan memalingkan muka, masih dengan ekspresi yang sama, juga ada kemarahan yang hanya terlihat dari ekspresi ku.
"Kenapa? Bukankah kamu menginginkannya?" tanya kak Radek, mengingatkan ku akan perbincangan kecilku dan dirinya di malam pernikahan kami.
'Hmm ... apa Kakak berencana memiliki anak dalam waktu dekat? Ibu membicarakan hal itu denganku kemarin.'
Saat itu kak Radek duduk diam di tepi kasur, di malam pernikahan kami dengan posisi membelakangi keberadaan ku. Ternyata, diamnya itu kemarahan yang tidak ditunjukkan karena merasa berhutang budi pada ibu dan tidak bisa menolak apa pun keputusan yang diambil ibu.
Satu hal yang aku sadari malam itu. Di tengah pembicaraan kami, kak Radek berpura-pura menghubungi seseorang melalui sambungan telepon dan berjalan memasuki kamar mandi. Padahal, tidak ada siapapun yang menghuninya, kak Radek hanya mencuci muka, tampak tidak tenang yang aku intip dari pintu kamar mandi yang sedikit aku buka.
"Aku tidak menginginkannya," balasku dan hendak berjalan keluar dari kamar.
Kak Radek memelukku dari belakang, mendaratkan dagu ke pundak kanan ku sambil berbicara ke telingaku, "Usiamu 22 tahun, bukankah sudah cukup untuk mengandung anakku?"
Caranya berbicara malah membuatku takut. Kak Radek tidak pernah seperti ini sebelumnya. Mengapa pria ini agak sedikit lebih aktif dari sebelumnya?
"Aku tidak bisa," ucap ku sambil melepaskan kedua tangan kak Radek yang melilit di pinggang ku.
Kaki ku lanjut berjalan keluar dari kamar. Keluar dari ruangan yang cukup panas itu, aku ke dapur untuk meminum segelas air putih. Bibirku sedikit tersenyum mengingat perkataan kak Radek sambil membayangkan diriku mengandung anaknya dan sikapnya tidak dingin lagi dan peduli padaku seperti sebelumnya. Bayangan itu buyar setelah aku sadar kalau pria itu tidak mencintaimu, hanya ada kak Karina di hatinya yang tertangkap jelas oleh indra pendengaran ku pria itu berbicara bersama kak Karina melalui sambungan telepon mengenai perasaannya. Hal itu aku dengar di malam pernikahan, di tengah malam, ketika kami tidur satu ranjang, tetapi seperti dua rumah yang dipisahkan oleh sebuah pagar, ada jarak di antara kami. Tetapi, sepertinya kak Radek tidak sadar kalau sebenarnya aku masih bangun. Malam itu juga menjadi malam di mana untuk pertama kalinya kak Radek dekat dengan wanita.
Ponsel yang sebelumnya aku taruh di atas meja dapur berdering. Raga menghubungiku, teman satu kelas di kampus. Gelas yang ada di tangan aku letakkan di atas meja dan beralih mengambil gawai itu.
"Galuh, keluar! Aku kasih kamu kejutan," ucapnya, terdengar senang.
Raga biasa datang ke rumah untuk belajar. Raga juga teman masa sekolah menengah atas yang cukup dikenal oleh almarhum ibu dan kak Radek.
"Baiklah." Dengan antusias aku berjalan keluar dari rumah.
Setelah membuka pintu, wujud Raga aku lihat berdiri di teras rumah dengan sesuatu disembunyikan di belakang badannya sambil mengumbar senyuman yang membuatku penasaran.
"Ta-Da ...." Pria berambut gondrong yang suka diikat itu memperlihatkan beberapa lembar buku. "Kamu bisa menggunakan buku-buku ini untuk menambah isian skripsi mu. Semoga berhasil," ucapnya sambil mengangkat tangan yang dikepal.
"Siapa ...?" tanya kak Radek sambil berjalan keluar dari rumah dalam balutan piyama yang tidak terikat di bagian depan, memperlihatkan roti sobeknya yang putih dan mulus, membuatku memalingkan pandangan dengan perasaan tidak sedikit malu.
"Kak Radek," sapa Raga.
Sejenak Raga diam, memperhatikan penampilan kak Radek dari ujung kepala hingga ujung kaki. Raga mendekatkan bibirnya ke telingaku, membisikkan sesuatu.
"Kalian tidak memiliki hubungan darah. Aku rasa ini terlihat tidak nyaman oleh orang-orang di luaran sana. Tidakkah sebaiknya kalian tidak serumah?" tanya raga dengan berbisik dan mata sesekali melirik kak Radek dengan senyuman yang berbalas palsu oleh pria bertubuh jangkung yang ada di sampingku ini.
"Dia adikku, aku akan menjaganya sebaik mungkin. Sekarang, dia tanggung jawab ku," jelas kak Radek, mungkin perkataan Raga didengar olehnya.
"Hari ini kamu ke kampus atau masih belum enakan? Aku bisa meminta izin pada dosen nanti," kata Raga.
"Hari ini aku akan ma," perkataanku dipotong oleh kak Radek.
"Kami akan berziarah ke makam Ibu. Besok dia akan kembali masuk. Kalau semua sudah, kami masuk dulu, harus bersiap-siap," ucap kak Radek dan merangkul ku masuk ke dalam rumah.
Kak Radek menutup pintu rumah, lalu mengambil buku di tanganku, menaruhnya di atas meja di sudut ruang tamu. Kak Radek kembali menghampiri ku, membopong ku berjalan masuk ke dalam kamarnya. Tubuhku dibaringkan di atas kasur. Pria ini kembali mengungkung tubuh ku, membuat indra penciumanku menangkap bau yang begitu sedang, mungkin itu parfumnya, karena aku sering mencium bau parfum itu.
Bergantian, ponsel kak Radek yang berdering, menghancurkan aksi pria ini yang hendak menautkan bibirnya ke bibirku.
Tubuh kak Radek bangkit dari kasur. Kak Radek berdiri di tengah kamar sambil berbicara bersama kak Karina yang jelas kulihat namanya di layar ponsel suamiku ini. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi kak Radek langsung menghampiri lemari, mengambil pakaiannya di sana dan keluar dari kamar tanpa ada penjelasan satu katapun.
***
Seperti malam-malam sebelumnya, aku seperti malam tidak bertuan. Di kamar, tubuhku berdiri di depan jendela dengan pandangan dilayangkan ke luar, mengarah ke gerbang rumah, melihat tidak ada wujud kak Radek pulang sejak tadi. Padahal, jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam.
Ketika hendak menutup jendela, menyudahi penantian itu, aku melihat kak Radek keluar dari mobil kak Karina yang baru berhenti di depan gerbang. Pertanyaanku, di mana mobilnya?
Kak Radek melambaikan tangan kepada kak Karina yang tidak keluar dari mobil. Kak Radek memperhatikan kepergian mobil kak Karina dan menutup gerbang rumah, lalu berjalan menuju rumah. Bergegas aku menutup jendela. Setelah itu, aku membaringkan badan di atas kasur, berpura-pura sudah tidur.
Sekitar dua menit kemudian, pintu kamar terdengar dibuka. Langkah kaki terdengar semakin mendekati tubuhku. Sebuah telapak tangan mendarat di dahi ku dan perlahan mataku terbuka.
"Kak Radek," lirihku.
Kak Radek menaruh jaketnya di atas meja dan membaringkan badan di sampingku, memelukku dalam kehangatan untuk pertama kalinya yang membuatmu bisu membeku. Mata aku pejamkan, merasakan kehangatan pelukan itu yang membuatku merasa nyaman.
🦋🦋🦋
Tubuhku masih bungkam dalam pelukan Kak Radek sambil melirik pria itu sesekali yang sudah tertidur sejak beberapa menit yang lalu. Aku berusaha melepaskan pelukannya, tetapi pelukan itu malah semakin bertambah. Ada igaun yang keluar dari mulutnya, membuatku sejenak diam membeku.
“Kamu harus tau kalau aku mencintaimu. Jangan tinggalkan aku.”
Perasaanku sedikit khawatir. Tubuh kak Radek pun terasa panas. Tangan ku mendaratkan di dahinya, merasakan suhu tubuh yang begitu panas.
Pada akhirnya pelukan itu bisa aku lepaskan dan bergegas keluar dari kamar, mengambil baskom berisi air dan kain. Aku mengompres dahi pria dingin ini dengan sabar hampir sepanjang malam sampai suhu tubuhnya tidak sepanas sebelumnya.
Mata ini mulai mengantuk. Ku paling kan wajah ke arah jam yang ada di atas meja yang menunjukkan pukul tiga dini hari. Badan yang sejak tadi duduk aku baringkan dan ikut memejamkan mata di bawah selimut yang sama.
Ketika kesadaran ku hendak menghilang, beban terasa hinggap di dadaku. Perlahan mata aku buka dan Kak Radek menjadikan dadaku bantalnya dengan kedua bola mata menatapku cukup dalam sampai aku salah tingkah dan memalingkan wajah darinya.
“Aku menginginkan anak,” kata Kak Radek, membuatku kaget seratus delapan puluh derajat.
Kedua bola mataku menatapnya membelalak kaget. Pria itu duduk dengan kedua kaki dilipat, tampak serius ingin mengajakku berbicara. Aku ikut duduk, melayaninya ajakannya.
“Mengapa begitu tiba-tiba? Jangan anggap serius perkataan Ibu saat itu. Dia juga sudah tidak ada. Jadi, jangan mengkhawatirkannya,” balasku. “Kak … aku ingin kamu bersikap seperti biasanya kepadaku. Jika pernikahan kita menjadi penghalangnya, kita akhiri saja. Tapi, jangan pernah dingin padaku,” kataku, berbicara dengan wajah memelas, dan berharap pria yang duduk di hadapan ku ini bisa menempatkan ku kali ini.
“Aku sudah berjanji pada Ibumu. Diriku tidak pernah mengingkari janji. Jadi, aku akan mengabulkan janji itu dan kita bisa berpisah setelah kamu melahirkan,” balas Kak Radek, masih dengan wajah dingin.
“Kak … aku tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Pokoknya, aku tidak bisa,” tolak ku.
“Karena Raga atau pria yang kamu jumpai di tepi jalan itu?” tanya Kak Radek membuatku merasa pria ini merasa cemburu.
Mungkinkah?
"Bukan, Kak. Mereka cuma teman-teman ku. Sekarang aku sedang fokus kuliah dan berusaha menjadi seorang wanita karir yang sukses. Bukankah Kakak selalu mendukung impianku? Mempunyai perusahaan sendiri," kataku, mengingatkan pria itu akan dirinya dulu yang begitu dekat denganku.
Ku tatap Kak Radek yang duduk diam tampak sedang memikirkan sesuatu. Dahiku sedikit mengerut, bertanya pada diri sendiri, mengapa Kak Radek tiba-tiba membicarakan hal ini setelah satu tahun pernikahan kami?
"Kak ...!" panggilku, menghancurkan lamunannya. "Kakak bisa menikahi Kak Karina dan memiliki anak dengannya. Jadi, kita bisa mengakhiri semua ini," kataku, berbicara sedikit ragu karena takut respons nya buruk. Akan tetapi, tidak mungkin juga, salah satu tujuannya pasti menikahi Kak Karina.
Kak Radek hanya diam menatap ku dengan tatapannya yang tampak sedikit tajam.
"Sekarang tidur. Besok Kakak masuk kerja, Kan? Ayo," ajak ku, membaringkan badan terlebih dahulu.
Sejenak tubuhku kaku merasa Kak Radek tidur di samping ku. Kedua bola mataku menatap matanya yang juga mengarah padaku. Bibirku tersenyum ringan dan sedikit salah tingkah dengan situasi itu. Jujur, aku sudah jatuh hati pada pria yang ada di hadapanku ini sejak aku mengenal cinta. Bukan seorang ayah, tapi dirinya menjadi cinta pertamaku karena kak Radek selalu ada untukku. Perasaan ini tidak pernah salah bagiku karena sejak kecil ibu memberikan penjelasan kalau kami tidak memiliki hubungan darah. Mengapa? Yah, untuk situasi yang sekarang. Ibu ingin kami menikah meskipun diketahui sebagai adik-kakak.
"Kenapa Kakak berbaring di sini? Ini kamarku," ucapku.
"Malam ini aku tidur di sini."
"Jantungku tidak bisa aman," gumamku tanpa sadar mengungkapkan perasaan yang selama ini aku tutupi.
"Apa?"
"Bukan apa-apa. Hanya saja, aku merasa tidak enak. Ini pertama kalinya kita satu tempat tidur setelah menikah. Kalau begitu, aku tidur di bawah saja," ucap ku, hendak duduk.
Kak Radek menarik tanganku, membuatku kembali terbaring. Ya Tuhan ... jantung ini rasanya ingin copot dari posisinya. Bernapas pun sulit bagiku. Bagaimana ini? Bibir tidak bisa aku tahan untuk tidak tersenyum karena salah tingkah. Senyuman itu akhirnya muncul sedikit yang membuat dahi kak Radek sedikit mengerut menatap ku. Bergegas tubuh ku berbalik membelakanginya dan tersenyum lebar sambil menatap lampu di atas meja.
Senyumanku menghilang total saat sadar kak Radek menatap wajahku dari atas. Aku sontak kaget dan duduk, membuat dahiku menodong hidungnya sampai cairan merah mengalir dari hidungnya.
"Hidung Kakak," kataku dan bergegas mengambil tisu di atas meja. "Maaf," ucapku sambil melap cairan merah itu menggunakan tisu.
Mungkin kak Radek marah. Dia mengambil sedikit kesal tisu di tanganku dan menyeka cairan merah itu sendiri.
"Kenapa senyum-senyum seperti orang gila? Kamu masih waras?" tanya kak Radek padaku.
Pertanyaannya membuatku menghela napas. Hallo ... peka sedikit. Tidakkah Anda bisa membaca apa yang sedang aku rasakan? Mengapa juga aku berharap kak Radek tahu dengan perasaan ku, untuk apa? Percuma.
"Bukan apa-apa. Kalau begitu, aku ke kamar mandi dulu," ucapku, malah melapor.
Mengapa perasaanku begini? Rasanya ingin terbang ke angkasa. Di dalam kamar mandi, aku menatap pantulan diri di cermin, menyadari pipiku memerah dan bibir tidak berhenti tersenyum. Ya ampun ... aku merasa sangat bahagia.
Hampir setengah jam aku di kamar mandi, semua karena khayalan bodoh ini. Aku malah berkhayal sesuatu yang akan terjadi beberapa jam kedepan. Bagaimana bisa aku mengkhayalkan pria itu memperlihatkan roti sobeknya yang sesekali aku lihat saat mengganti pakaian? Otak ini memang aktif. OMG! Ini gila.
TOK! TOK! TOK!
"Kamu baik-baik saja, Lu?" tanya kak Radek dari luar.
"Aku ... aku ... aku ... baik-baik saja." Sulit sekali mencari alasan.
Aku membetulkan rambut dan merilekskan otot-otot wajah agar terlihat biasa saja. Pintu kamar mandi aku buka dan melihat Kak Radek berdiri tanpa atasan. Aku meneguk air liur melihat tubuh kak Radek, membuatku memejamkan mata, dan berjalan menepi di sampingnya.
Tangan kanan ku digenggam kak Radek dan membuatku mengarahkan badan ke arahnya, ke belakang. Mata masih aku pejam dan tersenyum ringan.
"Kamu sakit mata?" tanya kak Radek tidak ada peka-pekanya.
"Iya. Mengapa Kakak begini di hadapanku?" tanyaku, kesal, dan membuka mata.
Bibirnya tampak tersenyum tipis.
Kak Radek melangkah kecil mendekati ku dengan tatapan cukup dalam, membuat perasaanku gugup, dan melangkah mundur sampai terduduk di tepi kasur.
Kedua tangan kak Radek mendorong dadaku, membuatku terbaring dan tubuhnya mengungkung ku. Perlahan wajahnya mendekati wajahku bersama mata kami saling menatap.
"Kakak mau ngapain?" tanya ku, mulai merasa tegang.
Kak Radek menoleh ke kanan, mengarahkan mata ke arah ponsel ku yang ada di atas meja.
"Kak ...!" panggilku.
Pria ini membuatku bungkam dengan bibirnya dan kedua bola mataku ikut melebar kaget. Kedua tangan kak Radek menarik kedua tanganku ke atas lehernya, melilit lehernya.
Ketika aku berusaha menarik bibirku, kak Radek terus memburunya, membuatku sesak napas, dan terpaksa mendorong dada bidangnya.
"Aku sulit bernapas," ucapku yang menarik senyum ringan kak Radek.
"Kenapa tersenyum?"
Bukannya menjawab, kak Radek malah kembali melanjutkan aksinya bersamaan dengan tangan kanan berusaha melepaskan kancing baju tidurku. Tangan kami bertengkar. Ketika pria itu berusaha melepaskan kancing bajuku, aku berusaha menghalanginya. Ini benar-benar menyesakkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!