"Dasar wanita brengsek! Aku bersumpah akan membunuhmu!" teriak wanita bertubuh gemuk itu.
Wanita itu membanting seluruh barang-barang yang ada di hadapannya. Wajahnya penuh dengan amarah, seolah siap membunuh siapapun yang mengganggu nya saat itu.
----------------
🦭ENAM BULAN LALU 🦭
POV BERRYL
"Badannya itu loh, mirip banget kayak babi." ucap Mirna yang di sambut gelak tawa oleh Kanaya.
"Mir, lo jahat banget sih. Berryl itu atasan kita loh! Gak boleh gitu!" sahut Kanaya tegas tapi sesekali ia juga mentertawakan lagi ucapan Mirna tadi.
"Haduh, Nay! Lo terlalu baik jadi orang, kalo gue sih jadi lo, gak bakalan deh gue mau hangout lagi sama si Berryl." Mirna kembali terkekeh lagi.
Mirna dan Kanaya adalah rekan kerja ku di kantor. Mereka adalah Dua orang yang memperlakukan ku secara berbeda. Kanaya merupakan sahabatku sejak lama. Selain cantik, dia sangat baik padaku.
Berbeda dengan Mirna yang selalu sinis padaku. Entah apa penyebabnya. Aku selalu berusaha mengingat, apakah aku pernah berbuat salah padanya. Namun tetap saja tak menemukan jawabannya. Entahlah, aku selalu punya firasat buruk tentang Mirna.
Mirna dan Kanaya, saat ini mereka sedang di pantry kantor, tengah menggunjingkan diriku. Mereka berdua tak sadar jika aku berada di belakang pintu. Aku sangat salut dengan sahabatku itu, bagaimanapun orang-orang menghasut nya, Kanaya tidak terpengaruh sedikitpun dan tetap berada disisiku.
Namaku Berryl, aku bekerja di sebuah perusahaan ternama dengan jabatan ku sebagai manajer keuangan. Memilih hidup mandiri, itu adalah jalan yang ku pilih selama ini. Sudah lima tahun aku mengabdi untuk perusahaan ini. Dalam lima tahun juga, aku mendapatkan rekan kerja yang seperti keluarga dan ada juga rekan kerja yang seperti musuh. Rekan kerja yang memusuhiku adalah segelintir orang yang iri dengan prestasi-prestasiku di perusahaan. Yes, aku Berryl ... karyawan dengan segudang prestasi dan jejak karir yang cemerlang.
"Kok malah menghadang di pintu sih, Ryl. Ntar orang-orang susah lewat loh, udah tau kamu lebar. Mau masuk enggak?" tanya Mas Ibnu padaku.
Mas Ibnu adalah suamiku. Lebih tepatnya, orang yang menjadi suamiku sejak satu tahun yang lalu. Di perusahaan ini, Mas Ibnu adalah bawahan ku. Dulu kami bersaing ketat untuk mendapatkan posisi manager keuangan, tapi aku lah yang jadi pemenangnya. Atasan begitu puas dengan hasil kinerja ku. Mas Ibnu, bagiku dia adalah pria yang tampan, baik, dan sopan. Tapi itu dulu, sebelum tubuhku membengkak seperti ini. Ya, berat badanku hampir menyentuh angka 100kg.
Aku masih heran sampai saat ini, kenapa bobot ku bisa hampir menembus 100kg. Padahal, porsi makanku sangat sedikit. Memang sih, aku suka banget sama makanan manis, seperti dessert, cake atau coklat. Sampai terkadang aku tak bisa mengkontrol diriku untuk tidak memakan itu. Akan tetapi, aku sangat rutin berolahraga. Bahkan dalam sebulan, hanya dua hari saja aku beristirahat. Ini adalah hal yang masih menjadi teka-teki untukku.
"Iya. Ini aku mau masuk kok, Mas." Jawabku sambil memberi senyuman manis walau hati meringis.
Aku lekas mendorong gagang pintu yang sejak tadi ku pegang. Sedangkan Mirna dan Kanaya menatapku dengan wajah seperti maling tertangkap basah.
"Ayo kita balik ke ruangan, Nay." ajak Mirna pada Kanaya, sambil melayangkan tatapan sinis nya padaku.
"Kami pamit ya, Mas Ibnu." pamit Mirna pada suamiku dengan kedipan matanya yang nakal.
Bukan hanya gosip belaka, Mirna menyukai suamiku. Banyak orang yang melapor kepadaku, bahwa gadis bertubuh montok itu selalu menggoda Mas Ibnu. Untung saja, suamiku tidak pernah meresponnya. Mirna cenderung bersikap tidak profesional terhadapku yang memiliki posisi sebagai atasannya, sangat bad attitude.
"I-iya, Mir," jawab Mas Ibnu tampak gugup.
Kenapa pula Mas Ibnu mesti gugup begitu? Kali ini, aku hanya mampu menatap mereka dengan sebuah rasa cemas dan curiga.
Profesional, Ryl. Lu lagi di kantor. batin ku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Halah kamu itu jangan mikir yang aneh-aneh deh, Ryl!" bentak Mas Ibnu saat aku mengutarakan kecemasan ku.
Aku cukup tersentak mendengar bentakannya. Ini kedua kalinya, Mas Ibnu membentak ku setelah kejadian di rumah sakit dulu. Rasanya, ingin ku menangis seperti di film-film. Akan tetapi, selain harga diriku yang terlalu tinggi, aku lebih tau bahwa diriku tak selemah itu.
"Respon mu lucu banget ya, Mas? Ngelihat respon mu begini ... aku makin kepikiran aneh-aneh, Mas!" jawabku ketus.
"Makanya, kamu tuh jaga badan dong." Mas Ibnu menatapku dengan senyuman miring.
Lagi-lagi tubuhku akan menjadi sasaran untuk kesekian kalinya.
"Apa hubungannya, Mas?! Kamu pun tau kan, aku rutin olahraga dan selalu kontrol makan!" jawabku sengit.
Ya, begitulah suamiku saat aku menunjukan kecurigaan ku. Dia akan selalu mengungkit fisik ku. Meremehkan ku setiap saat. Dan jika aku sudah menjawab sengit, maka ...
"Kamu tuh jangan membangkang kalau dikasih tau, Ryl. Lagian, badanmu itu loh. Kayak gapura desa!" nyinyiran bu Ratna, ibu mertuaku.
Maka, itulah yang akan terjadi jika aku menjawab sengit pada suamiku. Mertuaku akan selalu ikut campur akan hal itu. Sudah sering kali, aku dan Mas Ibnu berselisih paham karena ibunya.
Bukan aku tak pernah meminta pada Mas Ibnu, untuk berpisah rumah dengan ibunya. Sudah pernah, akan tetapi Mas Ibnu selalu menolaknya dan pasti akan selalu berujung keributan. Alasannya sederhana, karena dirinya adalah anak lelaki satu-satunya yang wajib menjaga ibu dan adik perempuannya.
"Itu sih bukan gapura desa, Bu. Tapi gerbang negara, ha ... ha ... ha ...." celetuk Nela, adik Mas Ibnu yang baru saja pulang. Ibu mertua ku tertawa terbahak-bahak saat mendengar lelucon putrinya, yang menurutku sangat tidak lucu untuk didengar bagi orang gendut seperti ku.
Aku menatap suamiku yang juga ikut mentertawakan ku, dan ini bukan yang pertama kalinya. Entah sudah sebanyak apa aku menelan dan menahan rasa kecewa.
Setelah puas tertawa, ibu mertua mulai mendekatiku.
"Mana nih uang belanja? udah gajian kan?" tanya ibu mertua sambil menadahkan tangannya padaku.
Aku menatap nanar pada telapak tangan yang setiap bulan selalu memoroti uang gaji ku. Tangan yang selalu menunjuk ku untuk bertanggungjawab dengan seisi rumah ini. Pelit? Ah! Uang bukan hal yang besar untukku, tapi masalahnya ... menghidupi keluarga ini bukan kewajibanku yang hanya sebagai seorang menantu perempuan. Apalagi untuk sikap mereka yang selalu memperlakukan aku dengan buruk. Apa mereka tidak punya malu menadahkan tangannya padaku?
Setahun aku menikah dengan Mas Ibnu, hanya dua bulan saja dia menafkahi ku. Sisanya? Aku lah yang menafkahi nya beserta keluarganya. Uang gajinya? Dia selalu beralasan uang itu ditabung untuk masa depan, akan tetapi aku tak pernah di beri akses untuk mengecek sudah berapa nominal yang terkumpul untuk masa depan kami.
"Bulan ini minta sama Mas Ibnu ya, Bu. Uang gajiku bulan ini tak bersisa." jawabku beralasan.
"Enak aja minta sama anakku! Ya, kamu usaha lah sana cari pinjaman. Gimana sih!" ibu mertua ku mulai meninggikan suaranya.
"Gimana ceritanya gajimu bisa tak bersisa, Ryl?" tanya Mas Ibnu heran.
"Ketipu investasi bodong, Mas," jawabku asal-asalan.
"Haduh, dasar menantu bodoh! buat apa lah kamu ikut-ikutan begituan. Kaya enggak, melarat iya!" sahut ibu mertuaku sengit.
"Tau tuh, sok-sokan investasi investasian. Kayak ngerti aja." timpal Nela yang menatapku sinis. Pasti dia sangat kesal padaku karena tak mendapatkan uang untuk memenuhi gaya hedon nya.
"Menantu bodoh? Sepertinya memang benar aku menantu yang bodoh, Bu. Jika pintar, aku pasti tidak akan sudi uang ku selalu di rongrong oleh mertua dan ipar yang selalu nyinyir terhadapku. lagipula, gak ada salahnya Berryl mencoba kan, Bu? Kalau berhasil, lumayan tuh buat menghidupi keluarga ini," jawab ku sinis. Jujur saja, kesabaran sudah mulai hilang saat ini.
Plak!
"Jaga ucapanmu, Berryl! Jangan bicara sembarangan pada ibu. Ibu ku kan ibu mu juga ....!" Bentak Mas Ibnu setelah menampar wajah ku. Mas Ibnu menatapku tajam, ini pertama kalinya dia berani melakukan aksi kekerasan seperti ini. Tampaknya ia benar-benar berang karena harus mengeluarkan uangnya untuk keperluan keluarga bulan ini.
"Ibu ku? Maaf, Mas. Ibu ku tidak pernah sedikitpun menghina fisik ku," jawab ku dengan suara yang bergetar.
Aku benar-benar ingin menangis mendapatkan perlakuan seperti ini. Tapi harga diri ku begitu tinggi. Aku menyilangkan kedua tanganku di dada, diam-diam aku mencubit tanganku agar air mataku tetap di dalam sana. Aku segera meninggalkan mereka yang semakin kesal melihatku.
"Dasar menantu gak berguna!" jerit ibu mertua di saat aku menutup pintu kamar.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aku terjaga dari tidur ku. Pelan ku usap mata yang masih terasa berat, ku lirik jam yang menggantung di dinding. Ternyata masih dini hari. Aku mengernyitkan dahiku saat tak menemukan Mas Ibnu di sampingku. Di mana dia?
Sayup-sayup aku mendengar suara tawa dari kamar mandi, suara yang aku hafal betul siapa pemiliknya. Aku mengendap-endap mendekati kamar mandi, ku lekatkan indra pendengaran ku di pintu.
"Oh, Baby! Terus buka sampai bawah! Akh! Mas mau keluar, Sayang!" suara desahan Mas Ibnu terdengar dari balik pintu.
Jantungku berdebar kencang, sekali lagi aku memastikan bahwa pendengaran ku sedang tidak bermasalah.
Dia sedang VCS? Dengan siapa? Aku tak dapat mendengar suara wanita yang melakukan VCS dengannya. Pasti dia menggunakan earphone nya. Tapi aku bisa menebak siapa wanita itu, Mirna!
Jadi mereka berdua benar-benar selingkuh? Luar biasa, Mas Ibnu begitu hebat akting di depanku. Seolah hanya Mirna lah yang menggodanya, ternyata ... diam-diam mereka berdua sudah main belakang!
Pantas saja selama ini Mirna selalu sinis padaku, ternyata aku rival dalam urusan asmara nya! Atau lebih tepat ranjangnya?
Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa dan tak tahu harus bagaimana. Jika di sinetron ikan terbang, pasti sang istri sudah menangis atau mengamuk pada suami. Tapi aku? Aku juga bingung, kenapa aku tak dapat mengeluarkan air mataku saat ini. Sakit? Tentu saja aku sakit, kecewa? Tentu saja. Tapi saat ini aku begitu tegar, seolah sudah tahu suatu saat akan berada di situasi seperti ini.
Marah ... Ya, hanya amarah yang aku rasakan saat ini. Amarah karena waktuku yang berharga sudah ku habiskan satu tahun dengan pria brengsek seperti Mas Ibnu.
Aku mengepalkan kedua tanganku. "Mulai hari ini, kalian semua harus membayar perlakuan kalian terhadapku!" desisku pelan dengan rahang yang mengeras.
Aku bergegas menuju tempat tidur kami berdua dan kembali berbaring seperti posisi awal saat aku terjaga.
Derit pintu kamar mandi mulai terdengar. Aku memejamkan mata ku dan berpura-pura tertidur pulas.
Hembusan nafas menerpa wajahku, sudah bisa di pastikan saat ini wajah Mas Ibnu pasti tepat di depan wajahku. Membuat bulu tengkuk ku berdiri, serasa sedang di tatap psikopat yang ingin membunuhku.
"Kamu tidur kan, Ryl?" bisik Mas Ibnu di telinga ku.
Tahan Berryl, tahan! jangan sampai ketahuan. Kamu gak akan pernah tau apa isi pikiran suami brengsek sepertinya. Batinku dengan jantung yang berdetak kencang.
*
*
*
HALLO, SELAMAT MEMBACA DI KARYA BARU AUTHOR🥰
SEMOGA PEMBACA SUKA YA🤩
JANGAN LUPA DUKUNG AUTHOR DENGAN CARA KLIK SUKA, KLIK SUBSCRIBE, KLIK VOTE, DAN BERI RATE ⭐⭐⭐⭐⭐
JANGAN LUPA KRITIK DAN SARAN KALIAN LEWAT KOLOM KOMENTAR 😍
"Mas Ibnu selingkuh, Ren." ucapku yang membuat Renata tersedak beer nya.
Gadis berambut ikal itu lekas membersihkan bibirnya dengan sebuah tissue. Tak lupa juga dia membersihkan tumpahan beer nya yang berserakan di meja bar. Renata kemudian menatapku, seolah memberi kode agar aku melanjutkan cerita ku.
Aku menghembuskan pelan nafasku, "Sepertinya sama Mirna. Aku mendengar Mas Ibnu VCS di kamar mandi. Benar-benar menjijikkan."
"Brengsek!" umpat Renata dengan rahang yang mengeras.
"Ssst!" telunjuk di bibirku memberi kode pada Renata untuk diam. Karena sepertinya pria di sebelah meja kami merasa terganggu. Pria itu tak hentinya melayangkan tatapan tajam padaku.
Renata menoleh pada pria yang menatap tajam padaku.
"Gila! Tampan banget! kayaknya dia naksir sama lo, Ryl." bisik Renata di telinga ku.
"Sontoloyo! Dia itu lagi marah sama kita karena kita berisik." jawabku berbisik di telinga Renata.
Aku menatap kembali pria yang menatap tajam padaku. Dia masih menatapku dengan mata elangnya. Ku akui, dia memang sangat tampan. Dari pakaian mahal yang di kenakan nya, bisa ku tebak jika pria ini bukan orang sembarangan.
"Dih! yang namanya Club, ya berisik lah! Ngarep tenang? Sana dalam aer!" omel Renata kesal yang membuatku terkekeh.
"Jadi sekarang, rencana lo apa? Cerai?" tanya Renata sambil meneguk habis segelas beer nya.
"Belum tau, Ren. Yang pasti, gue bakal balas mereka satu persatu. Gila aja kalo gue diem, rugi dong." jawabku begitu semangat, mungkin karena pengaruh alkohol.
"Ya iyalah! Sekelas Berryl di permainkan sama keong racun. Eh, tapi lo udah cerita sama siapa aja masalah ini?" tanya Renata.
"Baru sama lo doang." jawabku jujur.
"Good! cukup sama gue, jangan lo ceritain masalah ini sama siapapun lagi. Gue bakal cari tau apa yang sebenarnya terjadi. Paham?" pinta Renata yang langsung aku setujui detik itu juga.
Renata adalah sahabat baikku selain Kanaya. Dia juga bekerja di perusahaan yang sama denganku. Posisinya hanya sebagai cleaning servis, tapi aku tidak mempermasalahkan apapun jabatan orang yang menjalin persahabatan denganku. Bagiku, dia gadis yang baik, cantik dan sangat fashionable. Berbeda dengan penampilanku yang tak lebih seperti kutu buku.
"Cabut yuk, Ryl. Kepala gue udah oleng." ajak Renata dengan wajahnya yang sudah merona. Entah sudah berapa banyak dia menenggak minuman keras.
"Lo duluan aja, Ren. Gue masih mau di sini. Udah order taksi online?" tanya ku memastikan.
"Udah, aman aman. Gue cabut yak! " jawab Renata sambil mengacungkan jempolnya padaku.
Sepeninggalan Renata, aku masih terus menikmati suasana malam di Bar ini sambil beradu tatap dengan pria tampan tadi.
Entah berapa banyak aku melampiaskan kekesalan ku pada minuman keras di tempat ini. Perasaanku saat ini bercampur aduk. Aku teringat semua perlakuan tidak menyenangkan dari semua orang tentang berat badanku. Hati ku sakit, tapi entah kenapa aku malah tertawa saat ini. Sepertinya aku sudah dalam pengaruh alkohol.
Aku beranjak dari tempat duduk ku. Tubuhku mulai bergoyang mengikuti irama, aku tak dapat menghentikan langkah kaki ku yang mulai menuruni anak tangga dan segera berbaur dengan kerumunan orang yang tengah berjingkrak mengikuti dentuman musik.
Ah Berryl! hentikan langkah kaki mu! kau akan menyebabkan masalah di sini! pekik batinku.
Seolah tak peduli pada batinku yang terus menjerit, aku tetap bergoyang tak tentu arah. Aku tak peduli akan semua mata yang memandang ku. Pasti mereka begitu aneh melihat wanita gemuk berpenampilan cupu dan sangat sok asik berbaur dengan mereka.
BUM!
"Akh! Lantai ini tadi seperti bergetar," gumamku pelan.
Aku menatap sekitar ku, kenapa dunia seperti sedang terbalik?
"Eh ada apa sih? Gempa?"
Sayup-sayup ku dengar pertanyaan salah satu dari kerumunan orang di sana.
"Ada gajah jatuh!" jawab orang lainnya yang di sambut gelak tawa.
Aku menatap lagi sekitar ku, kenapa banyak sekali kaki manusia bertengger di sampingku?
Gajah jatuh? Dimana? Apa gajah itu aku? Aku jatuh di kerumunan orang? Oh shit! jerit ku dalam hati.
Aku menutup wajah ku dengan kedua tanganku. Aku malu! Akh! Siapapun! Tolong aku!
Tawa mereka semakin hingar, tapi itu hanya sebentar. Setelah itu mereka bungkam seolah ada predator yang akan memangsa mereka.
Aku mengerutkan keningku saat merasa seseorang mengangkat tubuhku yang besar ini. Tapi aku tak berani untuk membuka wajahku hanya untuk sekedar melihat.
Apa aku akan dibuang ke sungai?
Setelah itu, aku tak sadar lagi apa yang terjadi padaku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Perlahan aku membuka mata ku, pandanganku begitu kabur. Aku mengusap pelan mata yang masih terasa berat. Masih dalam posisi berbaring, ku tatap ruangan sekitar yang dapat terjangkau oleh indra penglihatan ku.
Sebuah ruangan luas dengan dinding merah gelap yang di penuhi dengan fasilitas mewah seperti kamar hotel bintang lima.
Hotel? Aku di kamar hotel? batinku panik.
Bergegas aku bangkit dari tidurku.
"Waaaakh!"
Aku menjerit histeris saat melihat pria tampan sedang menatap ku dengan sinis. Dia tengah duduk santai pada sofa tepat di depan ranjang aku berbaring kini.
Ini kan pria yang semalam. Pikirku dalam hati.
Aku segera memastikan keutuhan pakaianku. Omo omo omo! Ternyata korset di perutku terbuka, sehingga lemak di perutku pun bergelayutan.
Apa dia yang membukanya? Apa dia memperkosa ku? Aku segera menarik selimut dan menutupi tubuh buntal ku.
Pria itu tersenyum sinis. "Apa kau kira aku memperkosa mu?"
Aku tercengang saat pria itu menebak isi pikiran ku dengan benar. Ah, iya juga. Kenapa juga aku berpikir dia memperkosa ku. Mana mungkin juga dia berselera dengan wanita yang memiliki lemak berlebihan di seluruh tubuhnya.
"Apa kau kira, aku seperti penjahat kelamin? Aku melepas korset mu. Kau mabuk berat, kau akan kesulitan bernafas jika tidur menggunakan benda itu di perutmu." Pria tampan itu menaikan satu alisnya.
"Apa kau bisu? Padahal tadi malam suara mu begitu berisik!" sindir pria itu tajam.
"Semalam kau pingsan, lalu aku membawamu ke hotel. Aku bisa saja mengantarmu pulang sesuai dengan alamat di kartu Identitas mu. Tapi aku tidak mau jika kau yang malah dituduh berselingkuh," ucap pria itu dingin.
Aku memberanikan diri untuk kembali menatap pria itu, apa dia mendengar curhatku pada Renata semalam?
"Hey! Bukankah kau harus berterimakasih?" sindirnya.
"Ah iya! Terimakasih," jawabku gugup.
Aku dapat melihat, pria itu diam-diam tersenyum selama dua detik lalu kembali pada wajah juteknya.
"Ummh, apa kamu yang menggendong ku semalam?" tanyaku memastikan.
"Angin yang menggendong mu, berputar-putar dan membawamu kemari. Tentu saja aku! Pertanyaan macam apa itu?!" Jawab pria itu seolah ingin menerkam ku.
Gak sekalian aja lo bilang pakai karpet Aladin! rutuk ku dalam hati.
"Apa kamu Hulk?" tanyaku tak masuk akal yang membuat pria itu terkekeh.
"Maksud ku, tubuhku kan begitu berat. Bagaimana bisa kamu sanggup menggendong ku. Apa menggunakan trolley?" tanya ku lagi.
"Berisik!" jawab pria itu ketus, pria itu menatap langit-langit. Aku menangkap sekilas ada senyum tipis di bibirnya.
Pria itu berjalan mendekatiku, menatapku tajam lalu menyodorkan sebuah kartu nama.
"Jika kau ingin balas dendam, tentu saja menurunkan berat badan harus masuk dalam rencana mu. Dan kau akan membutuhkan aku," jelas pria itu dengan smirk di bibirnya.
Aku menatap kartu nama pemberian dari pria itu. Tertulis jelas bahwa dia seorang personal trainer di CX gym.
"Calix?" Aku memastikan namanya.
"Yes! I'm here!" jawab pria itu dengan senyum di bibirnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Kamu dari mana aja sih, Ryl? Ponsel gak aktif!" tanya Mas Ibnu saat aku baru sampai di rumah.
"Aku nginep di tempat Renata, Mas." bohong ku.
Aku berjalan menuju dapur dengan Mas Ibnu yang mengekor di belakang ku. Aku membuka kulkas dan ku teguk segelas air dingin.
"Ya terus kenapa harus matiin ponsel? Terus kenapa sih kamu masih mau main bareng sama Renata? Dia itu cuma cleaning servis, Ryl. Mau mau aja kamu di manfaatkan sama perempuan kayak dia." cemooh Mas Ibnu sengit.
"Pergi malam pulang pagi, udah kayak wanita gak bener!" Hardik ibu mertua yang sedang mengunyah roti dengan secangkir teh di hadapannya.
"Baterai ponselku habis, lupa bawa charger. Charger punya Renata beda dengan milikku. Dan, aku tau kok siapa yang selama ini memanfaatkan kebaikan ku, Mas," jawabku ketus, sengaja aku tidak meladeni Ibu mertua.
"Alasan, selingkuh kamu kan? Terus maksudmu apa? Kamu nyindir aku dan Nela?" tuduh ibu mertua padaku, beliau tak hentinya menyela pembicaraan ku dan Mas Ibnu.
"Halah, Bu. Siapa juga yang mau sama gentong air. Cuma Mas Ibnu yang mau, itu pun paling di pelet." tuduh Nela yang membuat Ibu dan Mas Ibnu tertawa.
Tuhan! Ingin sekali aku menombak mulut mereka dengan tombak Umar bin Khattab!
Aku meletakkan gelas ku di wastafel dan bergegas ingin menuju ke kamar. Tubuhku lelah sekali hari ini, untung saja ini weekend. Jadi aku bisa beristirahat.
"Hey, Sapi gembrot! mau kemana kamu?" entah sudah berapa kali ibu mertua memanggilku dengan beragam jenis nama hewan.
"Tidur," jawabku.
"Enak bener! Habis pulang m*lacur terus mau tidur? Terus yang mau masak untuk kita makan hari ini siapa?" Ibu mertua mulai meninggikan suaranya.
Ah, sumpah. Aku sudah lelah dengan situasi ini.
"Anak gadis ibu, tangannya belum patah kan? Hari ini dia aja yang masak. Masa hari-harinya ngejar cowok kayak perempuan gak bener aja bisa, tapi masak gak bisa? Toh kalian juga gak pernah suka masakanku." Aku menatap sinis Nela dan melenggang pergi ke kamar.
"Berryl ....!" jerit Mas Ibnu yang ku abaikan.
"Hey! Hey ...! Dasar menantu sinting ....!" jerit Ibu mertua.
Aku tak peduli dengan sumpah serapah yang mereka lontarkan padaku. Aku benar-benar butuh istirahat.
Tubuhku benar-benar lelah, setiap hari aku bangun dari jam empat pagi. Mencuci piring, mencuci pakaian dan menyetrika pakaian suami, ibu mertua dan adik ipar. Belum lagi memasak untuk mereka semua, meskipun jarang. Mereka tidak suka hasil masakanku, karena masakanku tidak pernah enak. Ah! aku bisa gila jika mengingat semua pekerjaan ku di rumah ini. Jika di dalam keluargaku aku di perlakukan seperti ratu, namun tidak di sini. Di sini aku benar-benar seperti pembantu. Bahkan lebih enak jadi pembantu, di gaji. Sementara aku? Tidak perlu upah, ucapan terimakasih yang tulus saja tidak pernah. Malah hanya hinaan hinaan yang terus aku dapatkan.
Aku menyeka air mataku yang hampir tumpah. Kenapa mereka kejam sekali menghina fisik ku? Aku bahkan tidak pernah menyakiti mereka. Dan apa salahnya juga kalau gendut? Aku memang gendut, tapi, apa aku pernah membunuh orang? Apa aku pernah memakan hak orang? Apa aku pernah menipu orang? Apa aku pernah membicarakan orang lain dari belakang?
Bukankah aku tidak pantas di perlakukan seperti ini? Ah sial, air mata ku tumpah!
Aku mengeluarkan kartu nama yang di berikan Calix. Segera aku menyimpan kontaknya di ponselku dan mengirimnya sebuah pesan.
Aku : Namaku Berryl.
Hanya sekian detik ponselku sudah bergetar, cepat juga dia merespon.
Calix : Aku tau!
What? Dia tau namaku?!
*
*
*
Jangan lupa subscribe ya 🤩
*
*
*
Cukup lama aku tidur hari ini, sampai tak terasa hari sudah gelap sejak tadi. Pasti mertua dan ipar ku sudah siap-siap untuk menunjuk taring mereka jika aku keluar dari kamar ini.
Perutku terasa pedih. Sejak pulang pagi sampai sekarang, hanya air putih yang masuk ke perutku ini. Bergegas ku raih ponsel yang ada di bawah bantal dan ku pesan makanan melalui ojek online. Sengaja aku memesan makanan via online, karena aku sangat yakin tidak akan mendapatkan apapun untuk mengganjal perutku yang pedih ini.
Ku lirik GPS yang menginfokan kang ojol akan tiba di depan rumahku dalam kurun waktu lima belas menit lagi, aku bergegas membasuh wajah dan segera menunggu di halaman rumah untuk menyambut kang ojol yang akan menyelamatkan perutku dari kelaparan yang fana ini.
Ku lihat ibu mertua dan iparku muncul dari halaman rumah kami dengan menenteng sebuah kantong kresek yang bisa ku tebak itu adalah ayam penyet menu favorit mereka.
"Enak ya jam segini baru bangun?" nyinyir ibu mertua begitu sampai di teras.
"Enak dong, Bu. Soalnya sudah setahun ini aku selalu bangun dari jam empat subuh, laksana babu yang menyiapkan ini dan itu untuk kalian. Gak masalah jika satu kali saja aku tidur seharian kan, Bu?" sindir ku.
Ibu menatap ku dengan wajah masam. "Jangan harap kamu bisa dapat makanan malam ini. Apalagi, bulan ini kamu tidak menyetor uang gaji."
"Kalau lapar makan rumput aja ya, Mbak. Soalnya aku gak bisa bedain antara Mbak Berryl sama sapi, Ha ... Ha ...!" hina Nela.
"Ayo kita masuk, Nel. Ibu sudah lapar banget ini. Kita nikmati makanan ini bertiga sama mas mu," ajak Ibu mertua.
Aku bernafas lega saat mereka berlalu dari hadapan ku. Wajahku seketika sumringah melihat motor kang ojol memasuki perkarangan rumah.
Aku mengulas senyum tipis sambil menyodorkan tiga lembar uang lima puluh ribuan untuk uang tips kang ojol karena ketepatan waktu dalam mengantarkan pesanan ku. Kang ojol meraih uang tersebut dengan wajah yang sumringah.
"Terimakasih ya, Bu. Rezeki buat anak istri emang gak kemana." Kang ojol tersenyum haru.
Setelah pria paruh baya itu pergi, aku lekas duduk di ruang tamu dan menyantap nikmat sekotak pizza yang masih hangat. Di tambah lagi sebotol minuman bersoda yang semakin membuat lezat.
"Enak bener, makan makanan enak sendirian! Pantesan aja badan mu melar seperti itu," ejek ibu mertua yang berdiri di pintu dapur.
"Tau tuh, jadi orang kok pelit amat. Minimal tawarin kek ke orang rumah ini." Nela menatapku dengan wajah masam. Aku tau betul, dia sangat menyukai pizza.
"Tadi kata Ibu, aku tidak akan mendapatkan makan karena tidak menyetor uang gaji kan? Lalu sekarang, kenapa kalian harus ribut dengan apa yang aku makan? Aku beli semua ini menggunakan uang pribadi ku dan memang sengaja akan ku makan sendirian. Seperti ibu yang sengaja membeli menu makan malam hanya khusus untuk kalian bertiga saja. Tak ada yang salah kan dengan cara berpikir ku, Bu? Aku hanya meniru cara kalian memperlakukan ku."
"Kamu jangan semakin menjadi-jadi ya, Ryl. Hormati ibuku!" bentak Mas Ibnu sambil membersihkan celah-celah giginya dengan tusukan gigi.
"Simple, hormati aku juga," jawabku.
"Wah, Nu. Bisa-bisanya kamu dapat istri model begini. Sudah mandul, hobby nya membangkang pula," ejek Ibu Mertua.
Aku menatap mereka dengan jengah dan bergegas meninggalkan mereka yang masih semangat menghinaku. Di ladenin juga tidak akan ada habisnya, jadi lebih baik aku abaikan dan memilih tidur.
Mandul? Ha ... Ha ....
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Ini sih kartu nama exclusive CX Gym, gak sembarangan orang bisa jadi member di sana. Aksesnya susah ...!" Renata menatap takjub pada sebuah kartu nama yang aku sodorkan padanya.
"Masa sih?" tanya ku tak percaya. Padahal berita apapun yang selalu Renata sampaikan padaku selalu terbukti benar.
"Mulai lagi deh lo, Ryl!" Renata mencebikkan bibirnya.
Aku hanya terkekeh melihat wajahnya yang masam dan memintanya melanjutkan kembali ucapannya.
"CX Gym ini, isinya ... para konglomerat semua anjir! Lo beruntung banget bisa dapat akses kesana. Gue yang upik abu begini, jangankan main treadmill nya ... sekedar lari karung di sana aja bakal menghabiskan keberuntungan gue selama setahun deh kayaknya ...!" ucap Renata yang kembali menyodorkan kartu nama itu padaku.
Aku mengangguk pelan kepalaku, "Tapi, kok dia bisa tau nama gue ya, Ren?"
"Kan lo sendiri yang bilang kalau dia lihat kartu identitas lo, gimana sih?" sahut Renata gemas.
"Ah! Iya juga!" Aku menepuk jidatku saat menyadari betapa bodohnya aku.
Renata tertawa terbahak-bahak, gadis itu segera melahap suapan terakhir nasi gorengnya.
"Eh iya, Ryl! gue butuh izin lo nih buat menyelidiki ponselnya Ibnu. Tapi, butuh cuan banyak. Gue udah ketemu sama yang ahli. Gimana?" tanya Renata.
"Kerjain aja," jawab ku mantap.
"Minimal tanya dulu lah keluarin duit berapa!" protes Renata
"Ah iya! Berapa duit?" tanyaku sekedar formalitas.
"Hampir dua digit!" sahut Renata.
"Oke gas!" Kami berdua beradu tos sambil tertawa.
Renata yang sedari tadi wajahnya ceria, tiba-tiba air muka nya berubah drastis saat menatap pintu cafe.
"Gue cabut ya, Ryl. Sahabat baik lo udah datang tuh. Bye." pamit Renata sambil berjalan meninggalkan ku sendirian.
Aku memalingkan wajahku pada orang yang di maksud Renata.
Ah Kanaya rupanya. batinku.
"Ok bye! ntar info ya, Ren!" Aku melambaikan tangan.
Kanaya menarik kursi di hadapanku, gantian dia yang duduk di sana. Wanita dengan kulit putih bak porselen itu menatapku dengan wajah masam.
"Kenapa, Nay?" tanya ku dengan senyum tipis.
"Lo tuh yang kenapa, Ryl? Kenapa sih masih mau juga berteman sama cleaning servis itu? Gue udah berapa kali ingetin lo, tuh anak gak beres. Gue yakin banget dia itu ngincer duit lo, Ryl. Sudah banyak loh yang kena." jawab Kanaya ketus.
Kanaya dan Renata sejak dulu memang tidak pernah akur. Kanaya beranggapan bahwa Renata hanya ingin memanfaatkan ku saja. Sedangkan Renata tidak pernah memberitahu ku alasan kenapa dia tidak menyukai Kanaya.
Aku menghela nafas panjang, "Renata. Namanya Renata, Nay." Aku menarik pergelangan kemeja ku, "Kalian berdua itu kenapa sih?"
Alih-alih menjawab, Kanaya memilih meneguk habis air mineral yang sejak tadi di tangannya. Wajahnya kini benar-benar kesal. Apa dia mengetahui sisi buruk Renata, tapi segan membicarakannya denganku?
"Malam jangan lupa, Ryl. Kita ada jadwal injeksi," peringat Kanaya.
"Besok aja gimana? Badan gue capek banget, Nay." Aku menolak halus.
"Enggak enggak enggak! Lo mesti suntik vitamin malam ini. Kita udah telat tiga hari, makanya badan lo jadi kecapean," protes Kanaya dengan raut wajah khawatir.
Kanaya memang selalu khawatir padaku. Dia selalu khawatir jika aku sudah merasa lelah. Mau dimana lagi aku mencari sahabat seperti dirinya.
Aku dan Kanaya punya jadwal rutin setiap bulannya. Kanaya injeksi whitening, sedangkan aku injeksi vit c. Itu karena aku terlalu sering overtime dalam bekerja, tubuhku sangat lelah dan kekurangan vitamin. Jadi Kanaya menyarankan aku untuk memilih di suntik vitamin saja ketimbang suntik putih yang menjadi trend belakangan ini.
"Oke lah. Tapi ontime ya, Nay," pinta ku.
"Sip," jawab Kanaya dengan wajah yang ceria.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sudah hampir satu jam aku menunggu Kanaya di salon kecantikan langganan kami berdua, akan tetapi batang hidungnya pun tak muncul juga. Padahal malam ini aku juga memiliki janji untuk bertemu Renata.
Berulang kali aku mencoba menelponnya, tak ada satu pun yang di respon olehnya. Aku tak henti melirik arloji yang melingkar di tanganku. Sudah hampir jam delapan malam.
Ku lirik ponselku yang bergetar, ada sebuah pesan masuk dari Kanaya.
Kanaya : Berryl, I'm so sorry. Gue gak bisa datang. Papi dan Mami bertengkar lagi. Sekarang mereka sedang merayu gue dengan segudang harta mereka demi mendapat hak asuh. Ini benar-benar menyebalkan. Lo suntik aja duluan ya, Ryl. Besok kalau ada waktu, temenin gue suntik ya.
Aku sangat iba melihat Kanaya, hidup bergelimang harta. Namun, sangat sulit mendapatkan kedamaian di keluarganya. Untung saja keluarga ku tidak seperti itu. Ah, aku jadi semakin rindu pada Mama dan Papa.
Aku : Ok, Nay.
Aku segera menyimpan ponselku, tapi ponsel itu kembali bergetar.
Renata : Kita ketemuan sekarang di rumah gue. Urgent!
Aku lekas menyimpan ponsel dan beranjak dari duduk ku. Bergegas aku menemui pemilik salon yang biasanya menyuntikkan vitamin untukku.
"Mbak, aku gak jadi suntik hari ini ya. Aku ada keperluan mendadak. Kanaya juga gak bisa datang," jelas ku.
"Wah sayang loh, Mbak Berryl. Ntar jadi gak efektif. Sebentar aja kok, yuk," bujuk Mbak Rani pemilik salon.
"Beneran gak sempat mbak. Gini aja deh, Ampoule Vit C dan satu set peralatan suntiknya kasih ke aku aja. Biar aku yg proses sendiri di rumah, aku bisa kok," jawabku
"Duh, gimana ya. Nanti saya dimarahin sama Mbak Kanaya," ucapnya ragu.
"Loh, kenapa Kanaya harus marah?" tanyaku heran.
"Ayo buruan, mbak. Kalau gak bisa, aku cabut sekarang nih," sambungku sedikit kesal karena aku sudah tidak sabar ingin mengetahui info yang di dapatkan Renata.
"Ya sudah ... tunggu sebentar ya, Mbak Berryl." jawab Mbak Rani.
Lima menit kemudian, Mbak Rani memberikan apa yang aku minta. Setelah selesai menerima nota pembayaran, aku lekas berpamitan dan menuju ke rumah Renata.
Aku begitu gugup, info apa yang akan Renata berikan padaku. Memikirkannya membuat jantungku berdetak tak karuan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Benar yang lo bilang, Ryl. Ibnu selingkuh." Renata menyerahkan sebuah USB padaku.
Aku mengelus pelan dadaku saat merasa ada yang nyeri di dalam sana. Aku menyandarkan tubuhku pada sofa yang aku duduki saat ini. Perasaanku hancur dan berantakan, bibirku bak terkunci rapat. Hanya lirih nafasku yang terdengar.
Renata segera memeluk tubuhku yang tengah terpaku. Gadis itu menepuk-nepuk pelan pundak ku. Matanya lebih dulu berkaca-kaca.
"Gue yang diselingkuhin, kenapa lo yang nangis, Ren?" ledek ku.
Gadis itu menyeka air matanya, "Aaaa~~." tangannya meraih sehelai tisu di meja dan membersihkan eyeliner nya yang mulai luntur. "Kenapa orang sebaik lo harus ngalamin ini sih, Ryl?"
Aku mengangkat kedua bahu ku, tak tau lagi harus berkata apa.
"Pinjam laptop lo dong, Ren. Gak sabar gue ngeliat bukti pengkhianatan Mas Ibnu sama si j*lang Mirna." ucapku.
Renata menatapku dengan penuh iba, wajahnya seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun, gadis itu menundanya dan segera bertiak memanggil adiknya untuk membawa laptop di kamarnya.
"Nih." Amella adik Renata meletakkan laptop di meja.
Amella meraih punggung tanganku dan memberi salam dengan sopan.
"Amella gak piket?" tanya ku.
"Libur, mbak." jawab Amella.
"Oh ya, boleh gak mbak minta tolong Amella untuk suntikin mbak vitamin c? Kan Amella apoteker." Pinta ku sambil menyalakan laptop di hadapanku.
Amella menganggukkan kepalanya. "Nanti kalau sudah mau di suntik, panggil aja ya, Mbak. Amella mau ke kamar dulu."
Aku mengacungkan kedua ibu jariku, lalu kembali fokus pada laptop.
Mas Ibnu, Mirna. Aku akan menghancurkan kalian berdua. Pikirku.
Aku begitu bersemangat dengan bukti dalam genggamanku. Aku segera meng-klik folder yang berjudul Ibnu-CX.
Aku memperhatikan satu persatu isi folder yang membuatku terhenyak. Cukup lama aku terdiam, seperti tak percaya dengan apa yang ku lihat saat ini. Semua bukti lengkap. Chat mesra, foto tak senonoh, transaksi pembayaran di hotel, transaksi belanja barang-barang mahal, transaksi pembelian k*ndom di pusat belanja Indoapril dan masih banyak lagi.
Aku terpaku, kali ini ku biarkan air mata membasahi kedua pipiku. Padahal aku sudah mempersiapkan mental untuk melihat semua ini. Namun, aku tak kuasa bersikap sesuai rencanaku ketika melihat sesuatu di luar dugaanku.
Aku terisak dalam pelukan Renata, dadaku terasa sesak saat ini. Renata mempererat pelukannya, gadis itu pun sampai tak menyadari akan air matanya yang juga ikut menetes. Kami berdua pun larut dalam emosi masing-masing.
"Ternyata wanita murahan itu bukan Mirna, melainkan kau ... Kanaya?!" lirih ku dengan dada yang bergemuruh dan suara yang bergetar.
*
*
*
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!