NovelToon NovelToon

Suamiku Tak Mau Menyentuhku Lagi

Bab 1

"Apa ini Mas?" tanya Nada kepada suaminya.

Nada menaruh kertas bukti kiriman uang suaminya atas nama ibu mertua yang baru dia temukan di tasnya.

Pandu, suami Nada yang baru satu tahun menikahinya itu buru-buru mengambil bukti kertas pengiriman uang serta mengambil tas kerjanya.

"Kenapa kamu mengotak-atik barangku," katanya dengan wajah kesal.

Pandu mengembalikan tasnya ke meja kerja yang masih satu ruangan dengan kamar tidurnya.

"Mas, kamu kenapa memberi uang ibu tidak ngomong sama aku?" tanya Nada masih dengan suara normal.

"Memangnya kenapa? Ini kan uangku, aku bebas memberikan uang kepada siapa pun," ketusnya dengan mengusap rambutnya yang basah.

"Tapi, Mas, uangmu kan harusnya menjadi uangku," katanya dengan mengikuti langkah suaminya pergi.

Lelaki itu merasa jengah dengan istrinya yang tidak berhenti mengomel. Dia menikahi Nada Almahira karena perempuan itu sangat ceria, sopan, dan baik.

Namun, setelah satu tahun menikah rasanya pusing dengar cerocosan istrinya. Perempuan yang penuh semangat ini membuatnya bosan.

"Baiklah, aku minta maaf. Nanti aku akan bilang sama kamu," katanya enteng sembari masuk ke dalam selimut.

Nada memandang suaminya dengan kecewa, dia tidak mempermasalahkan dia memberikan uang untuk ibunya. Dia hanya ingin kejujuran dari sang suami.

Nada mengusap perutnya, "Aku harus sabar, mungkin mama memang sedang membutuhkan uang."

Nada ikut masuk ke selimut, Pandu langsung memiringkan tidurnya. Dia malas melihat sang istri.

"Mas," panggil Nada pelan.

"Ada apa lagi? Kamu ini semakin lama kenapa semakin bawel?" ketusnya. "Aku sudah minta maaf kamu mau apa lagi?" imbuh Pandu dengan dengusan keras.

"Kenapa kamu jadi marah-marah, aku hanya mau kamu tidur memelukku," pinta Nada dengan suara tak kalah ketus.

Selama menikah mereka berdua itu sangat romantis. Membuat semua orang yang melihatnya iri. Pernikahan mewah bak negeri dongeng membuat teman dan semua tamu undangan iri.

Meraka yang bak ratu dan raja waktu itu, kini rumah tangganya tidak seindah pagelaran pernikahannya.

Nada memiringkan tubuhnya sehingga saling membelakangi. Rasa sakit dari ketidakjujurannya belum hilang, kini ditambah lagi dengan sikapnya yang dingin.

"Maafkan aku," bisiknya di telinga Nada sembari mengeratkan pelukannya ditubuh Nada.

Nada masih belum bergeming, matanya yang terasa panas kini sudah menjadi buliran-buliran panas yang membasahi pipi.

Pandu memutar tubuh Nada sehingga mereka saling berhadapan.

"Kamu kenapa menangis?" tanya Pandu tidak peka.

"Tidak apa," kata Nada hendak memutar tubuhnya, tapi ditahan oleh Pandu.

"Aku menyakitimu?" tanya Pandu dengan mengusap air mata Nada.

"Menurut kamu? Apakah perkataanmu tadi menyakitiku atau tidak?" Nada membalikan pertanyaan kepada sang suami.

Pandu menatap Nada dengan wajah bersalah, "Maafkan aku, karena kelehan kerja aku jadi tidak bisa kontrol emosi," ujarnya sembari mengusap air mata Nada kembali.

"Kamu tidak mau memaafkan suamimu ini?" ucapnya dengan suara memelas.

"Aku maafkan, tapi kamu jangan mengulangi lagi," kata Nada.

"Baiklah, aku janji." Pandu menarik sang istri ke dalam pelukannya.

Menjelang pagi, Nada bergegas bangun ketika rumahnya sangat berisik.

"Baru bangun?" tanya perempuan paruh baya yang sedang mengepel lantai dengan tatapan sinis.

"Ibu, kapan datang? Kenapa tidak bilang-bilang?" tanya Nada sembari menutup pintu kamarnya perlahan agar suaminya tidak terbangun.

"Memangnya ibu harus laporan dulu kalau ke sini, kamu sepertinya tidak suka ibu datang ke sini!" kata Wina sembari membanting pelnya.

"Bukan begitu, Buk, kalau Nada tahu pasti akan menyiapkan semuanya," kata Nada. Ia menarik napas panjang, mengatur diri agar tidak emosi di pagi hari dengan mertuanya.

"Ada apa sih pagi-pagi sudah ribut?" Pandu keluar dari kamar sembari mengacak-acak rambutnya.

"Ibu, ibu, kapan datang?" tanya Pandu langsung mencium tangan sang ibu. Kedua matanya langsung berbinar saat ibunya datang ke rumahnya.

"Ibu baru saja sampai, tapi istrimu ini sepertinya tidak suka dengan kehadiran ibu," adu Wina kepada Pandu.

Pandu langsung melirik ke arah istrinya, Nada menggelengkan kepala pelan.

"Ibu, ayo duduk. Bik, tolong buatkan teh hangat," seru Pandu meminta pembantunya membuatkan minum.

Nada mendengus keras, ibu mertuanya senang membuat kegaduhan di rumahnya. Datang-datang marah-marah tidak jelas.

"Pagi buta datang ke rumah, ngepel lantai juga, apa sebenarnya yang ibu cari?" tanya Nada kepada dirinya sendiri.

Nada mengembalikan pel ke tempatnya lalu bergabung dengan suami dan mertuanya.

"Ibu, harusnya kalau mau ke sini bilang. Biar Pandu jemput," ujar Pandu.

Wina menaruh cangkir teh panas setelah menyesapnya sedikit.

"Kalau ibu bilang mau datang ke sini, tidak akan melihat istrimu yang pemalas ini," cibir Wina dengan menatap Nada sinis.

Wina bisa berbicara lembut dengan Pandu, tapi selalu ketus saat berbicara dengan Nada. Dia seakan tidak senang dengan menantunya itu.

"Buk, ini masih pagi buta," dalih Nada. Biasanya dia bangun pagi untuk salat malam lalu mengaji menunggu subuh.

Namun, hari ini dia sangat capek sehingga memilih bangun setelah kumandang adzan subuh.

"Alasan kau, jangan mentang-mentang hamil bisa malas-malasan," ujar mertua Nada, ia tidak percaya dengan Nada.

Nada memandang Pandu, dia meminta pembelaan dari sang suami. Namun, Pandu hanya diam saja.

"Buk, jangan marah-marah terus. Ibu datang ke sini ada apa?" tanya Pandu dengan lembut sembari mengusap punggung tangan ibunya agar dia lebih tenang.

"Pandu, Ayu adikmu sebentar lagi kan lulus. Biarkan dia tinggal di sini ya," katanya dengan enteng. Wina juga mengimbuhkan agar Pandu membiayai kuliah adiknya nanti.

"Iya Buk, ajak saja Ayu ke mari. Rumah ini masih ada kamar yang kosong kok," katanya sengan senyuman manis yang langsung disambut pelukan oleh ibunya.

Nada hanya bisa menghembuskan napas panjang, dia sama sekali tidak dianggap oleh suami dan mertuanya.

Nada beranjak meninggalkan ruang tamu menuju ke kamarnya.

"Apa-apaan Mas Pandu, main terima adiknya tinggal di sini," katanya sambil melipat kedua tangan di dadanya.

Tak selang lama Pandu menyusul Nada masuk ke kamarnya. "Kamu ini kenapa? Tidak sopan main pergi kita sedang bicara," omel Pandu.

"Kita? Kamu sama ibumu saja tidak denganku," ketusnya, dada Nada bergemuruh mendengar ucapan suaminya.

"Kamu ini kenapa? Sejak kemarin marah-marah terus." kesal Pandu.

"Kamu tanya kenapa?" kata Nada sembari tertawa. "Coba kamu pikir, ini rumah kita, kenapa ibumu hanya minta persetujuan kamu?" tanya perempuan berhijab oblong dengan mengerucutkan bibirnya.

"Nada, kenapa selalu mempermasalahkan hal-hal sepele macam ini?" dengus Pandu sembari duduk di samping Nada.

"Mas, kamu bilang ini masalah sepele. Kamu membawa adikmu ke rumah ini tanpa persetujuanku lho." Nada geregetan masalah seperti ini dianggap sepele.

Pandu selalu saja menganggap apa yang berhubungan dengan keluarganya hanya masalah biasa yang tak perlu berunding dengan sang istri.

Pandu beranjak dari duduknya, "Jangan bilang kamu tidak setuju?"

Bab 2

"Kamu mau berangkat kerja?" tanya Wina saat melihat Nada hendak duduk bergabung untuk sarapan.

"Iya Buk, Nada mau berangkat kerja," katanya sembari duduk setelah Pandu membantu menarikkan kursinya untuk Nada.

Wina berdesis melihat putranya begitu perhatian kepada menantunya. Perlakuan manis Pandu kepada Nada disalahartikan. Justru Wina mengangap anaknya itu lemah karena mau disuruh-suruh oleh menantunya.

"Kamu dandan cantik seperti itu mau menggaet siapa?" cibir Wina sembari menyuapkan nasi ke mulutnya.

Nada menoleh ke arah Pandu, tapi sang suami pura-pura tidak melihat. Dia lebih asyik dengan sarapannya.

"Nada kan dari dulu dandan seperti ini, Buk." Nada membela diri sendiri setelah tidak mendapatkan pembelaan.

"Itu kan dulu sebelum kamu menikah, kamu sengaja mau menggoda laki-laki lain?" tuduh wanita paruh baya itu kepada Nada.

"Astaghfirullah, Buk, kenapa ibu bisa berpikiran seperti itu?" Nada menggelengkan kepalanya pelan.

Dia tidak menyangka ibu mertuanya berpikiran jelek tentangnya. Padahal selama ini dia kerja tidak pernah macam-macam.

"Ya, siapa tahu," katanya dengan memainkan bola matanya. "Perempuan yang sudah menikah itu baiknya di rumah. Merawat anak dan suami tak perlu kerja," cibirnya.

Dia tidak suka melihat menantunya bekerja, ia lebih senang dengan menantun yang menuruti semua kemauan dirinya.

"Memangnya gaji suamimu kurang? Atau kau sengaja ingin lebih unggul dari suamimu?" cibirnya Wina. Dia terus mendesak menantunya itu.

Nada beranjak dari kursinya, dia langsung pergi tanpa pamit kepada suami dan mertuanya.

"Dikasih tahu malah kabur, lihat itu istrimu!" kesal Wina merasa tidak dihargai oleh menantunya.

Pandu menghembuskan napas kasar, dia menaruh sendok. "Buk, jangan terus mengomel. Nada memang selalu dandan seperti itu."

"Pandu, kamu jangan mau kalah sama perempuan. Kalau Nada terus dandan seperti itu, uangmu akan habis buat make upnya," cerocos Wina tidak mau kalah.

Ketentraman rumah Nada mulai menghilang dengan kedatangan ibu mertuanya.

"Kamu harus tahu pengeluaran apa saja dari istrimu, jangan mau dirugikan," ujar ibunya kembali.

Pandu beranjak meninggalkan meja makan menyusul Nada.

"Nada, tunggu." Pandu mengetuk-ketuk kaca mobil yang ditumpangi Nada.

"Ada apa? Aku sudah buru-buru Mas," kata Nada sembari menurunkan kaca mobilnya.

"Maafkan ibu, dia tidak bermaksud seperti itu," kata Pandu, dia merasa bersalah kepada sang istri karena perkataan ibunya yang menyakitinya.

Nada mematikan mesin mobil, lalu keluar. "Iya, mungkin ibu belum terbiasa dengan penampilanku saat kerja."

Nada masih berpikir positif tentang ibunya yang terus nyinyir kepadanya. Dia masih berusaha menjadikan ibu mertuanya seperti ibu kandungnya.

"Kamu jangan ambil hati omongan ibu, tapi omongan ibu jangan diabaikan juga. Kamu tidak boleh merayu laki-laki," katanya dengan mengusap kepala Nada.

Nada orang yang ramah, temannya tak hanya perempuan. Sehingga Pandu menjadi was-was, takut istrinya tergoda kepada lelaki yang lebih kaya daripada dirinya.

"Iya aku mengerti batasanya, aku berangkat dahulu," katanya kembali masuk ke mobilnya.

...----------------...

Sepulang kerja Nada tidak langsung pulang ke rumah, dia memilih untuk mampir ke rumah orang tuanya.

"Assalamualaikum," sapa Nada sembari berjalan menuju ibunya yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

"Waalaikumsalam, Nada, tumben sore-sore ke sini sama siapa?" tanya Ranti ibunya.

"Sendiri Buk, mampir aja dari kantor," katanya sembari mencium punggung tangan ibunya.

Nada malas cepat-cepat pulang ke rumah karena ada ibu mertuanya. Rumah yang adem ayem berubah menjadi panas.

Nada tidur di pangkuan ibunya, setelah menikah dia jarang datang ke rumah. Dia sibuk dengan pekerjaan dan suaminya.

"Kamu ada masalah?" tanya Ranti sembari mengelus kepala Nada.

"Tidak Buk, aku hanya kangen saja sama ibu," katanya sembari memejamkan matanya. Nada hanya ingin terlelap dengan tenang saja dipangkuan ibunya.

Ranti menatap putrinya lekat, insting seorang ibu jarang meleset. Dia merasa saat ini putrinya sedang ada masalah. Namun, sebagai orang tua dia tidak mau bertanya lebih banyak jika putrinya tidak menceritakannya.

Sudah hampir satu jam Nada terlelap di pangkuan ibunya, ia menggeliat pelan-pelan membuka matanya.

Ranti tersenyum, "Kamu mau pulang atau tidak?" tanya Ranti.

Ranti mengatakan jika dia ingin menginap segera menghubungi suaminya.

"Pulang Buk," jawabnya sembari duduk.

Kalau dia tidak pulang pasti ibu mertuanya akan mengatakan hal yang tidak-tidak.

Nada mencium tangan Ranti saat hendak pulang, Ranti mengusap kepala Nada.

"Jika ada masalah sama suamimu, obrolkan baik-baik ya," kata perempuan tua berparas manis.

Nada mengangkat kepalanya, ia keget ibunya mendadak mengatakan hal seperti itu.

"Aku sama Mas Pandu baik-baik saja kok," kayanya dengan senyuman hambar.

"Syukurlah kalau baik-baik saja," kata Ranti dengan mengusap punggung anaknya.

Dia mengantar Nada sampai ke mobil, rasanya kali ini dia berat melepas putrinya pulang ke rumahnya.

"Kamu hati-hati ya," ucap ibunya sembari melambaikan tangan.

"Ibu jangan jaga kesehatan, ya," pesan Nada sembari menjalankan mobilnya.

Sepanjang perjalanan ke rumah Nada terus berpikir, dari mana ibunya tahu kalau dia sedang bermasalah dengan suaminya.

Dia bahkan belum bercerita kepada siap pun, dia masih menyimpan masalah keluarga kecilnya.

"Assalamualaikum," sapa Nada saat memasuki rumahnya.

Tak ada jawaban dari salam Nada, dia langsung berjalan menuju ke kamarnya. Dia pikir suaminya belum pulang bekerja.

"Bagus, ya, jam segini baru pulang," kata Wina sembari berkacak pinggang.

"Biasanya juga pulang jam segini Buk, " ucapnya pelan, ia sudah sangat capek jika harus berdebat dengan ibu mertuanya.

"Makanya jangan dibiasakan, kamu sekarang sudah punya suami. Urusi dia, nanti ada orang lain yang mengurus kamu marah," cibirnya dengan menarik salah satu ujung bibirnya.

"Maksud ibu apa?!" Kedua mata Nada melebar mendengar ucapan mertuanya.

"Tidak perlu kau bersuara keras, kenyataanya kau tidak bisa mengurus suamimu!" Wina melotot ke arah Nada.

Nada meninggalkan ibu mertuanya yang terus bicara melantur.

"Ada apa? Kok pulang-pulang kerja manyun?" tanya Pandu yang baru selesai salat magrib.

Nada mendengus lalu duduk di tepi ranjang, "Ibu, ngomong aneh-aneh terus sama aku."

Wajah Nada terlihat capek, ia merebahkan tubuhnya lalu memejamkan matanya.

"Aneh-aneh bagaimana?" tanya Pandu naik ke ranjang di sebelah Nada. Ia memijat kaki istrinya karena tampak lesu.

"Ibu bilang kalau kamu akan diurus orang lain, kalau aku bekerja," ujaranya dengan dengusan keras.

"Maksud ibu bukan seperti itu, mungkin ibu mau, kamu lebih banyak di rumah. Kandungan mau juga sudah besar," kata Pandu sembari mengusap perut Nada yang sudah membesar. Hanya beberapa bulan lagi akan lahiran.

Nada menepis tangan Pandu, dan berlalu pergi "Kamu selalu saja membela ibumu, ibumu, ibumu, capek aku."

Bab 3

"Ibu mau pulang?" kata Wina saat mereka sarapan.

"Kapan Buk, biar Nada pesankan taksi," kata Nada sembari mengeluarkan ponselnya.

Wina berdesis dengan respon Nada yang sangat cepat. Wajahnya langsung di tekuk.

"Kamu kelihatanya sangat senang ibu mau pulang," ujarnya dengan melirik ke arah Nada. "Kamu tidak senang ibu di sini?" tuduhnya.

"Tidak Buk, aku kan cuma memesankan taksi. Memangnya salahnya di mana?" Nada bingung, dia tidak mengerti apa yang salah dengan perhatian kepada mertuanya.

"Sudahlah, ibu pulang sekarang saja. Pandu antarkan ibu pulang," katanya dengan bergegas menuju ke kamar untuk mengambil tasnya.

"Nada, kamu bisa tidak jangan buat masalah dengan ibu," keluahnya.

Pagi hari yang harusnya semangat dia berubah tidak mood, perseteruan istri dan ibunya membuat dia kesal.

"Memangnya aku salah apa? Aku cuma menawarkan bantuan," kata Nada agar ibu mertuanya tidak kesusahan. Tapi, ternyata dia salah, perbuatanya membuat mertuanya tersinggung.

"Kamu sih buru-buru pesankan taksi, kesannya kamu mau usir ibu," omel Pandu. "Kamu bilang saja kalau tidak suka ibu menginap di sini." Pandu menaruh sendoknya keras lalu pergi menemui ibunya.

Nada hanya bisa melongo mendengar jawaban dari suaminya. Bisa-bisanya dia menuduh dirinya mengusir ibunya. Nada mengusap perutnya, agar bayinya nanti saat keluar tidak seperti neneknya.

Sebagai rasa sopan, Nada ikut mengantarkan sang mertua pulang sampai di mobil. Meskipun, dia sangat kesal tapi sebagai istri yang berbakti dia tetap harus menghormati mertuanya.

Nada hendak mencium tangan Wina, tapi langsung di tepisnya. Wina seakan jijik jika tanganya dicium oleh menantunya itu.

"Hati-hati Buk," kata Nada saat ibunya sudah naik dalam mobil.

Wina sangat angkuh, dia hanya diam tidak mengatakan apa-apa. Justru, menyuruh Pandu segera menjalankan mobilnya.

"Mau ibu sebenarnya apa?" kata Nada sampai pusing dengan sikap ibunya itu. Dia sering banget menjatuhkan martabat Nada.

Dulu, waktu pertama kali ketemu Wina sangat ramah. Dia terlihat sangat menyayangi Nada. Tapi, setelah menikah Wina berubah sangat drastis. Nada menjadi selalu selalu salau di matanya, apa pun itu.

Sepanjang perjalanan Wina terus mengoceh, menjelekkan Nada kepada Pandu. Dan Pandu mendengarkan omelan ibunya seperti musik.

"Kau ini, mau sampai kapan diatur perempuan?" omel Wina sepanjang perjalanan.

"Diatur bagaimana sih, Buk?" tanya Pandu dengan masih fokus melihat jalan.

Wajah Wina tampak kesal ia menyipitkan matanya ke arah anak laki-lakinya karena tidak paham-paham dengan masalah yang sering dibicarakan.

"Kamu biarkan istrimu kerja, dia pasti akan menghina kamu kalau gajinya lebih besar," ujarnya penuh dengan kebencian.

"Nada sudah bekerja sebelum kita menikah, Buk, lagian dengan dia punya uang sendiri, gaji Pandu aman," paparnya.

Menjadi wanita karir itu sangat hebat, membuat Wina takut menantunya akan kurang ajar terhadap anak laki-lakinya. Terlebih lagi dia seorang bos, yang gajinya lebih besar daripada anak laki-lakinya. Sedangakan Pandu, hanya karyawan salah satu perusahaan.

Namun, pemikiran Pandu berbeda dengan ibunya. Dengan Nada bekerja, dia tidak perlu memberikan uang bulanan kepadanya. Dia bisa menabung, atau menggunakan uang sesuka hatinya.

"Kamu tidak takut dihina sama istrimu?" tanya Wina.

"Kalau Ayu mau dibiayai Pandu, ibu jangan mempermasalahkan Nada yang berkarir," ujar Pandu.

Pandu tahu kalau istrinya itu sangat taat sama suami, dia juga sangat menyayanginya. Walau sering terjadi cek cok kecil.

...----------------...

Pandu mendorong pintu kamarnya pelan, ia langsung berlari menghampiri Nada yang meringis kesakitan sembari mengusap perutnya.

"Sayang, kamu kenapa?" tanya Pandu ikut mengusap perut Nada.

"Adik bayi, menendang terlalu keras sampai sakit rasanya," adu Nada manja.

"Adik, jangan kencang-kecang mainnya. Kasihan mamanya." Pandu mengusap lembut perut Nada lembut.

Tendangan di perut Nada mulai menghilang, Nada tersenyum seakan bayinya menurut kepada sang papa.

"Bagaimana?" tanya Pandu lagi sembari melihat istrinya yang masih meringis sedikit.

"Sudah baikan," katanya sembari mengusap perutnya.

"Kamu kapan cuti?" tanya Pandu sembari menarik selimut sampai di dada Nada.

"Aku kan tidak kerja berat, lagian aku bisa bebas datang atau tidak," katanya dengan tersenyum.

Nada tidak perlu cuti atau izin jika hendak libur, bos bebas mau datang dan pergi dengan semaunya.

"Benar, kamu kan bos," ujarnya dengan tidak senang, ia merebahkan tubuhnya di samping Nada. Tatapanya lekat ke arah langit-langit.

Pandu jadi kepikiran ucapan ibunya, dengan gaji istri yang lebih besar pasti dia akan besar kepala. Dan menganggap suaminya tidak berguna.

"Kamu ada masalah apa? kayak tidak senang?" Nada penasaran dengan perubahan ekspresi wajah suaminya.

"Nada, kalau kamu berhenti bekerja bagaimana?" Pandu mengikuti saran ibunya. Benar adanya jika harga dirinya akan diinjak-injak oleh Nada.

"Kenapa mendadak?" Nada heran, dia memiringkan tubuhnya untuk memandang wajah Pandu.

"Sayang, apa kamu tidak pernah berpikir kata orang-orang?" tanya Pandu sembari memiringkan wajahnya.

"Mereka pasti bilang kalau aku yang numpang hidup sama kamu," imbuhnya.

Pandu sadar jika dia datang tidak membawa apa-apa, rumah yang dia tempati saat ini milik Nada. Pandu memang sudah memiliki jabatan tinggi diperusahaanya.

Namun, pendapatan perbulannya masih kalah dengan Nada yang seorang bos.

"Kamu kenapa mendengarkan orang lain," ujarnya sembari mengusap wajah Pandu.

"Aku malu Nada, selalu saja mereka memandang sebelah mata karena jabatanmu lebih tinggi." Pandu dengan wajah kecut karena istrinya seperti tidak menanggapi sarannya.

"Kita sama-sama memiliki jabatan tinggi, kenapa kamu perlu malu? Aku juga tidak mungkin keluar dari perusahaanku sendiri," ujarnya dengan keyakinan.

Perusahaan yang sudah diperjuangkan semenjak dia selesai kulian. Sebelum berjaya, Nada pernah magang di sebuah perusahaan mewah. Setelah mendapatkan ilmunya, ia resign dan membuka perusahaan sendiri.

"Kamu memang tidak pernah mengerti perasaanku," ujarnya dengan wajah masam. Dia yang awalnya enjoy Nada bekerja menjadi goyah karena ceramah dari ibunya. Di mulai sependapat jika perempuan itu harusnya di rumah.

Nada serba dibuat bingung, "Lalu aku harus berbuat apa, Mas?" tanya Nada lembut.

Itu perusahannya dia sendiri, bagaimana bisa dia keluar, lalu siapa yang menjalankan perusahaan?

"Ya kamu berhenti, jadi ibu rumah tangga," katanya bersikeras agar Nada di rumah mengurus rumah tangganya.

"Kita sudah bicarakan masalah ini, Mas, kamu tidak keberatan aku bekerja," kata Nada, mengingatkan perjanjian sebelum menikah.

Pandu sudah menyetujui semua permintaan Nada, termasuk setelah menikah tinggal di rumah yang telah dia tempati sejak lama.

"Ibu benar, kau memang sangat keras kepala. Pantas saja dia tidak cocok denganmu," cemoohnya.

Pandu mencoba menyimpulkan hal apa yang membuat ibunya tidak suka dengan Nada.

Nada mulai tersulut emosi, dia menarik diri sehingga terduduk. "Jadi, kau lebih mendengarkan ibumu?!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!