NovelToon NovelToon

Cinta Demi Tuhan

Prolog

Merdu alunan kidung gereja selalu sukses membawa Renata tenggelam dalam khusyuk doanya kepada Tuhan. Hari Minggu tak pernah Renata lewatkan untuk berkunjung ke tempat peribadatan paling damai menurutnya. Dari kecil hingga dewasa, Renata beserta keluarganya selalu rutin ke gereja untuk ibadah.

"Ma, Rena pulangnya jalan aja ya, mau mampir ke pasar. Jajan," kata Renata sambil nyengir, karena memang letak gereja tak jauh dari pasar.

"Kamu ini jajan terus! Mau beli apa sih? Ntar aja nggak bisa?" tanya mama Renata dengan nada sedikit jengkel.

"Keburu abangnya pindah tempat, Ma, kalo ntar ntar. Rena pengen beli penthol mercon yang kalo tiap hari Minggu abangnya selalu stay di deket lampu merah deket pasar," kata Renata merajuk.

"Ya udah, Rena ikut naik mobil aja, ntar papa turunin Rena deket lampu merah," kata papa Renata.

"Terus ditinggal?" tanya Renata memastikan.

"Kamu itu mau jajan atau mau ngapain?" tanya mama penuh curiga.

"Jajan mamaaa," kata Renata meyakinkan. Dia tidak mau acaranya melirik cowok tampan anak penjual baju di kios pasar deket abang penthol jadi terusik karena harus buru-buru karena ditunggu papa mamanya.

"Palingan kakak mau ngelayap, Ma," kata Theressa, adik Renata.

"Hush!" kata mama dan Renata bersamaan.

"Cuma jajan, Ma. Yaaa sambil liat-liat pasar sebentar," kata Renata.

"Kaaan..."

"Kamu itu hampir tiap hari Minggu jajan penthol sama jalan-jalan di pasar. Mama curiga,"

"Papa juga,"

"There juga,"

"Iiiih kalian iniii... Ya udah nggak jadi jajan," Renata ngambek lalu masuk ke mobil. Papa mama dan Theresa tersenyum sambil menaikkan bahu mereka bersamaan.

Renata memang tidak bisa mengelak kalau gelagatnya mengundang curiga. Pasalnya seperti yang mamanya katakan, hampir tiap Minggu Renata ijin untuk pulang jalan kaki untuk membeli jajanan penthol. Meski tidak selalu mendapat ijin, seperti saat ini. Renata hanya bisa manyun di dalam mobil, sambil membayangkan cowok tampan yang menjadi vitamin A nya tak bisa dia nikmati hari Minggu ini.

"Kalo kamu pengen banget makan penthol, nanti papa berhenti deket lampu merah," kata papa Renata, masih berusaha membuat putrinya tersenyum kembali.

"Nggak usah, Pa. Rena udah nggak pengen," kata Renata datar. Papa Renata melihat isterinya yang memberi isyarat untuk tidak mengganggu putrinya.

Mobil perlahan keluar meninggalkan pelataran gereja. Menyusuri jalanan yang cukup padat di hari Minggu karena lebih banyak orang pergi ke pasar di hari Minggu. Mobil berhenti karena lampu sedang merah. Mata Renata menangkap sosok yang ingin dilihatnya saat itu.

'Tuhan, betapa sempurna ciptaan-Mu,'

***

"Neng yang biasanya nggak kemari, Bang?" tanya Gilang pada abang tukang penthol.

"Yang biasanya yang mana, Lang?" tanya abang tukang penthol sambil mengambil beberapa biji penthol dan dimasukkan ke dalam plastik kecil.

"Halaaah yang hampir tiap hari Minggu beli. Yang abang bilang mirip Cinta Laura," kata Gilang mencoba memberikan ciri-ciri yang abang tukang penthol itu ingat.

"Ini mau dikasih kecap, apa sambal kacang?" tanya abang tukang penthol.

"Mmm... Dua-duanya deh,"

"Yang mirip Cinta Laura ya? Kan kalo ada yang beli cantik emang suka saya bilangin mirip Cinta Laura," kata abang tukang penthol sambil memasukkan sambal kacang dan kecap.

"Yaelah baaang,"

"Emang kalo beli di saya cuma hari Minggu aja?" tanya abang tukang penthol sambil memberikan penthol pesanan Gilang.

"Iya. Keknya sih tiap abis dari gereja," kata Gilang.

"Belum pulang kali, Lang,"

"Tuh, udah pada pulang," tunjuk Gilang ke beberapa pengemudi motor yang terlihat seperti jemaat gereja.

"Mungkin nggak berangkat," kata abang tukang penthol.

"Bisa jadi, Bang,"

"Lagian ngapain nyariin? Kan beda, rumit ntar," tanya abang tukang penthol sambil melirik ibu Gilang yang sedang sibuk menata dagangan di kiosnya. Abang tukang penthol tahu kalau ibu Gilang seorang muslim yang kolot.

"Cuma temen, Bang," kata Gilang.

"Ati- ati. Cowok cewek nggak bisa cuma temen," kata abang tukang penthol.

"Tau darimana, Bang?" tanya Gilang sambil menyuapkan satu butir penthol ke mulutnya.

"Pengalama pribadi. Langsung ditimpuk sama sandal sama isteri aku ketauan temenan sama cewek," kata abang tukang penthol dengan sedikit bumbu curhat. Gilang tertawa.

"Kalo itu mah, Abang yang keganjenan," kata Gilang, masih sambil tertawa.

"Padahal cuma temen lho. Kek kamu itu," kata abang penthol mencoba membela diri.

"Temen apa temen, Bang?" goda Gilang.

"Temen. Sumpah demi Allah!"

"Jangan asal sumpah demi Allah, Bang. Beraaaat," kata Gilang kembali menyuapkan penthol ke mulutnya.

"Trus sumpah apa dong? Sumpah pocong?" tanya abang tukang penthol yang malah membuat tawa Gilang lebih riuh.

"Lang, sini bentar," panggil ibu Gilang.

"Udah ya, Bang," pamit Gilang pada abang tukang penthol. Si abang hanya mengangguk.

"Ya, Buk?" tanya Gilang.

"Nanti akan ada reseller datang. Mbak Ainun namanya,"

"Wuih keren namanya kek isterinya Pak Habibi," komentar Gilang. Ibunya langsung menimpuk bahu Gilang.

"Ini udah ibu siapin barang yang mau diambil sama notanya. Terus katanya dia juga mau tuker dua gamis. Jangan lupa gamis yang mau dituker diminta ya," jelas ibu Gilang.

"Siap, Buk. Ibuk, mau kemana?" tanya Gilang.

"Ibuk mau ke warung Mang Mamat sebentar. Kamu dibeliin yang biasa nggak?" tanya ibu pada Gilang.

"Mmm... Boleh deh, Buk. Udah laper," kata Gilang.

"Lha itu penthol?"

"Buat ganjel aja, Buk," kata Gilang meringis.

"Ya udah. Itu jangan lupa,"

"Siap, juragan!" kata Gilang sambil memberi sikap hormat pada ibunya.

Gilang masuk ke dalam kios, duduk sambil meneruskan makan penthol yang sempat terganggu dengan sederet instruksi dari ibunya.

"Assalamu'alaikum..." sebuah suara lembut menyapa telinga Gilang.

"Wa'alaikumsalam..." jawab Gilang sambil menghentikan acara makan pentholnya.

"Eh, Mas, Bu Siti ada?" tanya seorang wanita muda, berhijab dan berwajah teduh.

"Mbak Ainun ya?" tanya Gilang menebak.

"Eh? Iya, Mas," jawab Ainun.

"Ini pesenannya. Tadi ibuk udah pesen. Terus katanya, Mbak mau tuker gamis?" tanya Gilang sopan.

"Iya, Mas. Ini gamis yang mau dituker. Bisa dicek dulu," kata Ainun sambil menyerahkan kantong plastik berisi dua gamis.

"Masih utuh, Mbak," kata Gilang setelah seksama meneliti gamis yang dikembalikan Ainun.

"Ini uangnya, Mas," kata Ainun sambil menyerahkan uang. Gilang menerima uang dari Ainun dan mengecek jumlahnya.

"Pas ya, Mbak. Makasih," kata Gilang.

"Sama-sama, Mas. Salam buat Bu Siti, ya," kata Ainun.

"Oh iya, Mbak nanti disampaikan salamnya,"

"Mari, Mas. Assalamu'alaikum," pamit Ainun.

"Wa'alaikumsalam..." jawab Gilang sambil tersenyum ramah.

"Nah... Kalo sama yang itu cocok, Lang," tanpa Gilang sadari, abang tukang penthol sudah berdiri di sampingnya.

"Ngagetin aja, Bang," kata Gilang terkejut.

"Ibu mu pasti juga suka yang model begituan," kata abang tukang penthol lagi.

"Langsung, Bang,"

"Ya kan?"

"Iya, Bang,"

Kemudian abang tukang penthol kembali ke tempatnya. Gilang menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah si penjual penthol langganannya. Pandangan Gilang berpindah ke wanita berhijab yang sibuk menata barang-barang dagangannya di motor matic yang sepertinya sudah tak sanggup lagi menampung barang-barangnya.

'Ainun... Cantik,'

***

Pertemuan Tak Terduga

Renata dengan gontai berjalan menyusuri kampus, menuju fakultasnya, Fakultas Seni Rupa dan Desain. Renata mengambil jurusan desain komunikasi visual, yang sudah menarik minatnya sedari SMA.

Tak biasanya Renata tak bersemangat ke kampus. Mungkin karena sudah dua kali hari Minggu ia lewatkan tanpa menikmati cowok tampan anak penjual baju di pasar. Terakhir Renata hanya melihat cowok itu dari dalam mobil papanya, sedang membeli penthol langganannya. Wajah tertawanya, menambah pesona yang membuat jantung Renata riuh bahagia.

'Hhh... Kalo saja aku tau namanya. Kan bisa stalking di media sosial,' pikir Renata.

Renata lalu mengambil ponsel dari sakunya. Menyelami media sosial sambil berjalan menuju fakultasnya yang memang cukup jauh dari gerbang utama kampus. Fokus Renata hanya pada ponselnya. Selain untuk mengalihkan perhatiannya dari memikirkan cowok gebetannya, Renata juga sibuk mencari ide untuk proposal skripsinya.

Ya, meskipun berbadan dan berwajah imut, Renata adalah mahasiswa tingkat akhir yang disibukkan dengan segala macam yang berkaitan dengan skripsi. Tak sedikit yang menyangka Renata masih duduk di bangku SMA.

"Nebeng dek?" tanya sebuah suara yang mengalihkan fokus Renata.

"Hih! Iko!!!" teriak Renata sebal, ketika mengetahui teman satu kelasnya, Iko meledeknya. Iko hanya nyengir.

"Aku kira om-om ganjen," kata Renata yang sudah melemparkan pantatnya di jok motor matic Iko.

"Sial! Cakep kek Vino G. Bastian gini dibilang om-om ganjen," kata Iko sambil melajukan motornya.

"Eh, Vino G. Bastian itu udah bapak-bapak. Kalo dibandingin sama umur kita, jadinya dia om-om," kata Renata.

"Iye iye. Terserah lo aja, yang penting lo bahagia. Biar seisi dunia ikut bahagia," kata Iko.

"Harusnya kamu masuk sastra, Ko," kata Renata yang selalu kagum dengan bahasa Iko yang menurutnya selalu indah dan puitis.

"Ogah. Gue nggak mau mikir berat-berat," kata Iko asal.

"Heh, kuliah kita juga berat kalik," kata Renata.

"Tapi kan enak. Banyak gambar-gambarnya," kilah Iko.

"Kenapa nggak masuk seni rupa aja dulu?"

"Nggak keterima cuy. Sedih," kata Iko sambil membelokkan motornya ke fakultas mereka.

"Jadi dulu sempet milih seni rupa?" tanya Renata sambil turun dari motor Iko yang sudah terparkir rapih.

"Iya. Pilihan pertama seni rupa, pilihan kedua DKV. Keterimanya di DKV. Ya udah. Nasib. Takdir. Apalah daya manusia melawan kuasa Tuhan," kata Iko sambil melepas helm dan menggantungkannya di spion kanan.

"Mulai deh..." kata Renata.

"Cocok ya jadi pujangga?" tanya Iko sambil cengar cengir.

"Salah jurusan sih,"

"Nyari yang salah-salah, biar anti mainstream,"

"Susah ngomong sama kamu,"

"Lah dari tadi ngapain? Kumur-kumur?"

"Nggak. Nyanyi,"

"Pantesan suaramu terdengar merdu di telinga ku,"

"Ikooo!!!"

Tanpa Renata sadari, ada sepasang mata yang sedang mengamati gerak geriknya. Senyum terkembang melihat tingkah Renata dan kawannya, atau pacarnya?

'Lucu,'

***

"Eh, btw rame banget tadi di depan?" tanya Renata pada Lala yang sudah nongkrong di dekat tangga menuju lantai dua.

"Mahasiswa dari kampus sebelah," jawab Lala sambil sibuk dengan ponselnya.

"Kampus sebelah? Kampus mana? Ngapain? Ada acara apa?" tanya Renata, lalu duduk di samping Lala.

"Universitas Muhammadiyah. Acara galang dana untuk Palestina," jawab Lala masih sibuk dengan ponselnya.

"Itu bukan kampus sebelah namanya," protes Iko.

"Hehe... Itu mereka mau bantu jualin karya seni mahasiswa kita di acara kampus mereka. Naaah, yang pada kesini tuh mau angkutin karya-karya seni yang udah disetujui sama dosen dan senimannya," kata Lala yang sudah fokus pada kedua temannya.

"Oooo~" Iko dan Renata menanggapi bersamaan.

"Karya kita nggak ada yang ikut?" tanya Renata.

"Nggak tau sih. Kita kan jarang ngelukis. Paling poster-poster. Mana laku dijual?" kata Lala sambil tersenyum kecut.

"Nggak bisa ikutan galang dana dong," kata Renata dengan nada sedih.

"Kalo lo mau, dateng aja ke acara di kampus mereka. Beli sesuatu disana. Katanya hasil dari penjualan disalurkan ke Palestina langsung," kata Lala.

"Abis kuliah kesana?" tanya Iko pada Renata.

"Kamu mau kesana?"

"Kemana angin kan membawa hati mu, aku akan kesana," kata Iko sambil tersenyum.

"Iya iya, Abang Pujangga," kata Renata yang mulai risih dengan segala macam kalimat puitis dari Iko. Iko terkekeh.

Ketiga mahasiswa tingkat akhir itupun menuju kelas mereka, mengikuti masa-masa akhir perkuliahan dengan pikiran bercabang yang sulit ditata. Meski begitu, mereka sukses melewati hari dengan lancar.

"Jadi kita pergi?" tanya Iko pada Renata dan Lala.

"Gue skip. Nyokap barusan chat, suruh nemenin ke acara temennya," kata Lala.

"Lo gimana, Dek?" tanya Iko pada Renata dengan wajah cengar cengirnya yang khas.

"Ayo ah. Tapi helm gimana?" tanya Renata bingung, karena dia biasa naik bus ke kampus.

"Gampaaang... Cus," ajak Iko. Tanpa bertanya, Renata segera naik ke motor Iko.

"Ati-ati," pesan Lala kepada sahabatnya itu.

Iko melajukan motornya menyusuri jalanan kampus yang ramai karena memang ini jam-jam perkuliahan selesai. Motor Iko dengan gesit melaju menuju gerbang belakang kampus. Meski bingung, Renata tak menanyakan apapun pada Iko. Motor Iko berhenti di sebuah rumah kos yang Renata tahu itu adalah kos Iko.

"Gue ambilin helm dulu," kata Iko. Renata mengangguk.

Tak lama, Iko sudah keluar membawa helm boogie warna hitam dan menyerahkannya pada Renata.

"Siap melaju?" tanya Iko memastikan Renata sudah siap.

"Yup!"

Motor Iko kembali melaju menuju kampus tujuan yang membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit dari kampus mereka.

"Berarti gue anter pulang lo sekalian ya? Nanggung udah sampe tengah-tengah," kata Iko di tengah perjalanan mereka.

"Ntar kamu kejauhan baliknya," kata Renata.

"Halah. Cowok juga, biasa motoran jauh-jauh," kata Iko. Renata hanya diam.

"Sekalian sungkem sama camer," kata Iko dengan nada becanda. Satu timpukan kemudian mendarat di bahu Iko.

"Mungkin ada malaikat lewat lalu membawa serta doa ku untuk dikabulkan Tuhan," kata Iko, mulai puitis.

"Mulai..." kata Renata, jengah.

Tak terasa motor Iko sudah sampai ke kampus tujuan. Suasana cukup ramai dengan banyak hiasan berbau Palestina. Banyak pengunjung yang didominasi orang-orang berhijab, yang mungkin mahasiswa dari kampus tersebut.

"Kita salah masuk nggak sih?" tanya Iko melihat ke sekitar.

"Bener. Udah, yuk. Keburu kesorean," ajak Renata sambil bergegas masuk menuju tempat acara.

Banyak booth-booth yang berjajar disana. Mulai dari kuliner, pakaian, hingga karya seni dan kerajinan. Renata dan Iko sibuk mencari booth kampus mereka, sambil sesekali mampir ke booth makanan dan minuman untuk membeli camilan dan minuman untuk dimakan sambil jalan.

Akhirnya mereka menemukan booth kampus mereka yang bertajuk "Karya Seni Anak Bangsa untuk Palestina". Renata dan Iko bergegas menuju kesana. Renata berjalan sedikit tergesa-gesa karena harus segera pulang. Sampai akhirnya...

"Bruuuk..." Renata menabrak seseorang.

"Duh," Renata mengaduh karena terjatuh.

"Maaf," kata seseorang yang bertabrakan dengan Renata sambil mengulurkan tangan, hendak membantu Renata berdiri.

"Eh, iya. Nggak apa-apa, saya yang salah juga, nggal liat-liat," kata Renata sambil mengelap tangannya yang terkena sedikit serpihan pasir.

Betapa terkejutnya Renata ketika menengadah dan melihat sosok cowok yang sangat dikenalnya, yang coba dia nikmati setiap hari Minggu.

'Terimakasih, Tuhan,'

***

Dari Mata Turun ke Hati

"Eh, kamu?" kata Gilang ketika melihat Renata menengadah. Renata tersenyum.

'Hah? Dia tau aku?' batin Renata berbunga-bunga.

"Lo nggak apa-apa, Ren?" tanya Iko yang kemudian membantu Renata bangun.

"Nggak apa-apa, Ko. Buru-buru, sampe nggak liat jalan," kata Renata sambil nyengir.

"Alhamdulillah kalo nggak apa-apa. Sekali lagi maaf ya," kata Gilang mendengar Renata baik-baik saja.

"Eh, iya. Aku juga salah kok," kata Renata tersenyum. Iko melihat ada sesuatu di mata Renata yang tak biasa.

"Temennya Rena?" tanya Iko pada Gilang.

"Eh? Temen bukan ya, ehehe. Udah sering liat, cuma belum kenal aja," kata Gilang sambil menggaruk-garuk kepalanya. Iko melihat Renata tersipu.

"Sering liat? Dimana? Sejak kapan lo jadi artis?" tanya Iko pada Gilang dan Renata bergantian.

"Hih! Artis apaan?" kata Renata gemas.

"Jadi, saya sering liat si mbak jajan penthol deket kios baju ibu saya di pasar, gitu Mas," jelas Gilang sambil tersenyum ramah.

"Iko," kata Iko memperkenalkan diri.

"Oh, Gilang, Mas," kata Gilang.

"Kan tadi gue udah bilang Iko, masih panggil Mas aja," kata Iko protes.

"Eh, iya, maaf," ucap Gilang sambil meringis.

"Jangan panggil dia mbak, Lang. Dia ini adek-adek yang salah raga aja," kata Iko meledek Renata. Renata manyun.

"Hehe... Jadi manggilnya apa nih? Mbak? Adek? Atau...?"

"Renata. Panggil Rena aja," jawab Renata cepat.

"Imut-imut gini umurnya udah tua," ledek Iko lagi.

"Ngatain tua, kek kamu lebih muda aja," kata Renata sebal.

"Lhoh kan gue memang lebih muda dari lo," kata Iko.

"Cuma sehari doang,"

"Kan tetep lebih muda,"

Gilang tertawa kecil melihat tingkah kenalan barunya.

"Heh, kita disini bukan lawak ya," protes Iko melihat Gilang yang tertawa.

"Maaf, maaf. Kalian lucu," kata Gilang jujur. Renata lagi-lagi tersipu.

"Lo mahasiswa sini, Lang?" tanya Iko, sambil melihat jas almamater yang dipake Gilang.

"Tingkat akhir," jawab Gilang.

"Sama. Jurusan apa?" tanya Iko.

"Psikologi,"

"Wuiiih beraaaat..."

"Jadi anak seni lebih berat bukannya?" tanya Gilang yang sukses membuat Renata dan Iko terkejut.

"Kok kamu tau?" tanya Renata cepat.

"Anak psikologi bisa jadi cenayang ya?" tanya Iko.

"Bukaaan... Tadi pagi sempet ke kampus kalian ambil karya seni. Terus sempet liat kalian berdua," kata Gilang santai.

'Liat aku sama Iko di kampus? Atau boncengan? Dia nggak ngira aku sama Iko pacaran kan?' batin Renata kacau.

"Ooo~ jadi rombongan tadi pagi ada elo juga. Sempet liat kita juga? Wah, wah, benar-benar takdir yang lucu," kata Iko.

"Itu yang orang sering bilang jodoh," kata Gilang, lalu melirik Renata yang terdiam. Renata yang mendengar kata-kata Gilang jadi salah tingkah.

"Omong-omong, booth karya seni anak Sebelas Maret ada disebelah sana. Itu keliatan," tunjuk Gilang pada booth yang hendak dituju Renata tadi.

"Oh, oke. Makasih ya, Lang," ucap Iko.

"Sama-sama. Saya balik nugas dulu ya. Makasih udah dateng," kata Gilang lalu berlalu menuju segerombolan mahasiswa yang juga menggunakan jaket almamater yang sama.

"Lo suka sama dia?" tanya Iko pada Renata to the point.

"Hah? Apaan sih?" tanya Renata salah tingkah.

"Mending jangan," kata Iko.

"Kenapa?" tanya Renata mengerutkan alis.

"Berat. Beda," kata Iko sambil menatap punggung Gilang. Renata ikut menatap punggung Gilang.

"Nggak. Cuma sebatas vitamin A untuk cuci mata," kata Renata kemudian.

"Yakin?" tanya Iko memastikan. Renata mengangguk.

"Hati-hati. Dari mata turun ke hati," kata Iko, lalu berlalu menuju booth yang menggelar karya seni dari kampus mereka.

'Dari mata turun ke hati? Belum kan?'

***

Sepanjang jalan menuju rumah Renata hanya ada diam diantara Iko dan Renata. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Renata masih memikirkan kata-kata Iko bahwa jangan sampai dia jatuh hati pada Gilang. Ya. Mereka berbeda. Dan meski bukan masalah yang rumit bagi sebagian orang, hal itu menjadi rumit bagi Renata yang besar di keluarga katholik yang taat.

Iko mencoba memberi ruang bagi Renata untuk berpikir. Menelaah perasaannya. Karena Iko tahu, bahwa cara Renata menatap Gilang tidak seperti cara Renata menatap dirinya. Ada suatu yang Iko tahu itu apa.

'Jangan, Ren. Please,'

Motor Iko sudah memasuki halaman rumah Renata yang cukup luas. Rumah model lawas yang selalu mengingatkan Iko pada rumah neneknya dulu.

"Tumbenan dianter supir," celetuk Theressa yang melihat Iko mengantar Renata pulang.

"Mampir di kampus Muhammadiyah dulu tadi," kata Renata santai.

"Hah? Ngapain?" tanya Theressa kaget.

"Santai, Re. Kita cuma beli karya seni temen yang dipajang disana buat bantu galang dana Palestina," jelas Iko.

"Oooh~ beli apaan?" tanya Theressa sambil mengintip tas plastik yang dibawa Iko.

"Ada craft sama lukisan mini. Liat aja noh. Yang beli kakak lo semua," kata Iko sambil menyodorkan tas plastik yang dibawanya.

"Iiih... Lucu..." komentar Theressa ketika meng-unboxing tas plastik yang diberikan Iko.

"Buat kamu semua kalo mau," kata Renata sambil sibuk mengusap-usap layar ponselnya.

"Serius, Kak?"

"Hmmm,"

"Thankiss," kata Theressa sambil mencium pipi Renata.

"Kepoin siapa sih?" tanya Theressa ketika matanya mampir melirik ke layar ponsel kakaknya.

"Apaan sih? Kepo!" kata Renata yang sadar adiknya tengah ikut memonitor sosial media milik seseorang yang sedang dipantaunya.

"Awas lho. Jangan jadi stalker!" kata Theressa sambil menjauh dari Renata.

"Sabar ya, Bang Ko, dicuekin," kata Theressa sambil menepuk-nepuk bahu Iko.

"Udah biasa, Re. Udah kebal. Untung Tuhan selalu restock kesabaran gue, Re," kata Iko dengan nada memelas.

"Tau tuh. Woy, Kak Rena. Cowoknya jangan dianggurin!" teriak Theressa sambil masuk ke rumah.

"Cowok?" gumam Renata sambil melirik Iko yang duduk di hadapannya.

"Eh, sorry. Lupa," kata Renata, lalu menyimpan ponselnya.

"Aku bikinin minum dulu. Mau minum apa?" tanya Renata pada Iko.

"Apa aja yang penting manis kek kamu," kata Iko sambil tersenyum lebar.

"Kamu itu ya. Bisa nggak sebentar aja nggak nyebelin?" kata Renata sambil berlalu masuk ke dalam rumah.

"Kalo gue nggak nyebelin, lo nggak suka!!" kata Iko setengah berteriak. Iko melihat Renata yang berjalan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Iko tersenyum.

Iko tak pernah berharap perasaannya pada Renata selama ini berbalas. Cukup melihat Renata tersenyum dan tertawa setiap hari membuat Iko merasa perasaannya sudah bersambut, meski bukan menjadi sebuah hubungan kasih. Namun, melihat Renata yang seperti menaruh hati pada Gilang membuat Iko membulatkan tekadnya. Meski tak akan mudah, Iko akan berusaha membuat Renata melihat ke arahnya.

'Tunggu, Ren. Cinta ku akan menyelamatkan mu. Tunggu, Ren,'

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!