Bruk
Senyum tipis penuh kelicikan terlihat dari wajah cantik seorang gadis, ia mengulurkan tangannya untuk membantu seorang gadis yang terduduk tepat di hadapannya. Dan itu tentu saja karena ulahnya barusan.
Tepat saat tangan gadis tersebut terulur untuk meraih tangannya, ia dengan sengaja menjauhkan tangannya lalu kembali tersenyum licik.
"Sorry gue sengaja," ujarnya meremehkan.
"Makanya kalau jalan liat-liat," lanjutnya lagi berlalu pergi.
Terdengar helaan napas dari seorang gadis melihat kepergian gadis cantik tadi.
"Tumben langsung pergi," ujar Narina kepada Elnada. Namun tidak dipungkiri Narina juga merasa lega dan aman.
Elnada ialah gadis yang baru saja menabrak Narina.
Elnada Zevinta merupakan gadis cantik yang cukup populer di sekolah. Bisa dikatakan Elnada ialah primadona sekolah, namun karena sifatnya yang agak ketus juga badung atau bandel. Banyak juga di antara teman-teman sekolahnya yang tidak menyukai gadis itu.
Namun tidak sedikit juga yang tetap meratukan atau memuja gadis cantik itu.
Baik Narina ataupun Elnada sering terlibat dengan pertengkaran, hal itu dilakukan dengan sengaja oleh Elnada, sering kali keduanya berakhir di ruang BK atau mendapat hukuman.
Berurusan dengan Elnada sering kali Narina coba hindari, tetapi itu dulu. Karena untuk sekarang ini Narina cukup menikmati ditindas oleh Elnada. Ada alasan dibalik itu semua, tentu saja karena seseorang akan berusaha melindunginya juga membela untuknya.
Sesampainya di depan kelas. Elnada dengan santai mengetuk pintu kelas dan ijin untuk kembali masuk. Pelajaran sudah dimulai saat itu, ia memang baru saja dari toilet sekolah dan tidak sengaja bertemu dengan Narina, gadis yang tidak ia sukai karena sebuah alasan.
"Dari mana?" bisik Gladis, teman sebangku Elnada juga merupakan sahabat dekatnya.
"Toilet," balasnya singkat yang kemudian diangguki oleh Gladis mengerti.
Sampai pelajaran akhirnya selesai. Elnada tidak berniat beranjak dari duduknya. Gadis itu hari ini sedang dilanda virus malas untuk melakukan segala sesuatunya, terkecuali menindas Narina seperti yang tadi ia lakukan.
Melihat sikap aneh Elnada hari ini membuat Gladis menaruh curiga. Namun setiap kali ia menanyakan langsung kepada yang bersangkutan atau Elnada sendiri gadis itu terus saja hindari.
Hal itu membuat Gladis gemas sendiri rasanya.
"Dira cepetan!" seru Gladis melihat kedatangan Nadira.
Nadira merupakan sahabat mereka. Hanya saja berbeda kelas dengan Elnada juga Gladis. Ketiganya sudah saling mengenal sejak duduk dibangku kelas 5 sd, sudah lama bukan? ketika itu Elnada baru saja pindah dari kota kelahirannya. Dan langsung disambut baik oleh Nadira juga Gladis.
"Kantin yuk!" ajak Nadira kepada mereka.
"Lo ngga liat Elnad lagi cacingan gitu," balas Gladis membuat Nadira mengernyit ke arah Elnada.
"Sumpeh El?" tanya Nadira dengan polosnya.
"Bege! percaya aja lo sama dia?" sungut Elnada membuat Nadira terkekeh.
"Ya terus apa kalau nggak cacingan? bisulan lo?" tanya Gladis lagi.
Pasalnya tidak biasanya Elnada murung seperti hari ini. Bahkan biasanya Elnada paling semangat mengajak ke kantin. Ia juga sering mentraktir kedua sahabatnya.
"Gue lagi malas, udah sana kalian kalau mau pergi!" usir Elnada tampak tidak semangat.
"Nitip apa lo?" tanya Nadira pada akhirnya.
"Salam aja buat kak Enggar," ujar Elnada membuat kedua sahabatnya menggeleng.
"Cih, masih aja ngejar, udah tahu lo bukan tipe dia," ledek Gladis seraya menarik tangan Nadira untuk segera pergi.
Sebelum Elnada mengamuk pastinya.
"Ck, bocah! ngeselin banget," decih Elnada melihat kepergian kedua sahabatnya. Namun ia enggan untuk melanjutkan. Biarkan saja kedua mahluk yang selalu berada di dekatnya mendapat kebebasan dulu sekarang.
Kepalanya kembali ia sandarkan di bangkunya. Elnada kembali mengingat kata-kata dari maminya tadi pagi.
Sejak tadi pagi ia tidak bisa fokus karena hal itu. Kini nasibnya seperti berada di ujung tanduk.
"Gue harus apa?" gumamnya dengan mata terpejam memikirkan kata-kata mami Inta tadi pagi.
"Minta maaf sama Narina," suara itu seketika membuka mata Elnada yang baru saja terpejam.
Suara yang tak asing baginya, dan sebenarnya mampu menggetarkan hati Elnada hanya dengan mendengarnya saja.
Cowok tampan dan tinggi itu kini berdiri tepat di hadapannya. Elnada langsung menormalkan posisi duduknya.
"Ogah," tolaknya langsung.
Ah... Sungguh ia selalu suka jika cowok di depannya ini menemuinya, tetapi perasaan kesal langsung datang setiap kali nama perempuan lain disebutkan, terlebih itu gadis yang paling tidak Elnada sukai.
"Minta maaf atau-"
"Gue bilang ogah ya ogah! lo napa si maksa banget? itu bukan salah gue, dianya aja yang jalan nggak liat-liat," potong Elnada.
"Lagian jadi cewe ngaduan banget, lemah," gumamnya lagi. Namun masih dapat didengar oleh cowok di depannya itu.
"Nada cukup! nggak seharusnya lo kaya gitu, kaya anak kecil," ujar cowok tersebut membuat Elnada semakin tidak terima.
Nada ialah panggilan dari cowok tersebut. Namun tidak dipermasalahkan oleh Elnada sendiri, justru ia seperti mendapat perhatian khusus dari cowok tampan di depannya hanya dengan sebutan yang berbeda.
Meski tetap saja sikap cowok tersebut selalu menjengkelkan karena tetap membela gadis yang tidak Elnada sukai.
"Bela aja terus! lagian emang dia lemah, baru kesenggol dikit aja jatuh, gimana kalau gue sengaja nabrak? apa nggak langsung mampus tuh anak," ujar Elnada semakin menggebu.
Sungguh kata-kata itu sebenarnya tidak ingin dia ucapkan di depan cowok tersebut. Namun setiap kali cowok tersebut mencoba membela gadis yang bernama Narina membuat hati Elnada terbakar, ia tidak bisa untuk mengontrol ucapannya. Sekalipun akhirnya seperti bumerang sendiri baginya.
Cowok yang sebenarnya ia sukai semakin jauh dari gapaiannya. Semakin menganggap ia bukan gadis yang baik.
Biarkan saja itu terjadi, karena hati dan telinga Elnada terlalu panas untuk mendengar pembelaan dari cowok tersebut untuk gadis yang bernama Narina.
"Dia teman gue, pantas kalau gue bela, dan lo udah keterlaluan banget," ujar cowok tersebut kemudian membalikan tubuhnya.
Sejenak langkah cowok tersebut terhenti. Ia menoleh ke arah Elnada yang masih anteng di tempat duduknya.
Seulas senyum terlihat dari wajah cantik Elnada, gadis itu mengira jika cowok tersebut akan meminta maaf dan menyesali apa yang sudah dikatakan kepadanya, juga apa yang sudah diperbuat dengan membela gadis yang bernama Narina.
Elnada menunggu hal itu, dan mungkin saja akan terjadi sebentar lagi.
"Oh ya? minta maaf atau berhenti cari masalah sama Narina," lanjutnya lagi sebelum kepergiannya.
Wajah Elnada seketia berubah pias. Apa yang baru saja didengarnya meruntuhkan segalanya. Satu kalimat yang mampu membuat keinginan Elnada sirna. Sangat sakit, namun ia juga tidak bisa berharap lebih, karena apa yang selalu ia tunjukan kepada cowok tesebut berbanding terbalik dengan keinginan hatinya. Sangat naif.
Dengan helaan napas yang sangat dalam Elnada sengaja berteriak sekencang mungkin.
"Enggaraksa Abigani, banci lo!" teriaknya cukup kencang.
Setelah menemui Elnada tadi. Enggar kini sudah berada di perpustakan. Ia tidak sendiri, melainkan bersama dengan seorang gadis. Sedari tadi gadis itu memperhatikan Enggar dengan sedikit melengkungkan sudut bibirnya yang sangat tipis. Rasanya ia akan selalu aman bila di dekat cowok di depannya itu, juga dengan keadaan hati yang begitu senang dan tenang.
Enggaraksa merupakan teman sedari kecil Narina, mereka bertetangga, dan itu yang membuat mereka cukup dekat sampai sekarang.
Bukan hanya teman kecil Narina, tetapi Enggar juga telah mengambil hati Narina, cowok populer di sekolahnya itu selain karena otaknya yang pintar, Enggar juga memiliki paras yang sangat tampan, tidak sedikit yang menginginkan untuk bisa dekat dengan cowok populer akan sikap dinginnya tersebut, salah satunya ialah rival dari Narina sendiri, dan itu membuat Narina merasa beruntung bisa dekat dengan teman masa kecilnya hingga sekarang.
Disaat semua teman sekolahnya ingin menjadi sepertinya. Narina justru dengan mudahnya bisa masuk ke dalam kehidupan Enggaraksa.
"Lo nggak belajar?" suara Enggar seketika membuyarkan lamunan Narina tentang cowok tersebut.
Dengan sangat gugup Narina menggeleng. "Aku sudah hapal semua rumus ini," balasnya yang diangguki oleh Enggar dengan sedikit senyum.
Sebenarnya ia tadi sadar ketika Narina terus memperhatikannya. Dan itu menimbulkan rasa tidak nyaman akan dirinya, hanya saja Enggar tidak enak hati untuk menegur Narina secara langsung.
Buku yang sedang dipegang olehnya seketika ia tutup. Senyum tampan terlihat dari wajah Enggaraksa.
"Sudah gue duga, lo emang serajin itu, tapi ingat harus jaga kesehatan juga, kasian bunda lo Na," ujar Enggar yang langsung diangguki Narina dengan patuh.
"Gue nggak yakin tuh cewek mau minta maaf apa nggak sama lo, tapi setidaknya dia tidak berani lagi buat cari masalah sama lo," lanjutnya lagi yang langsung membuat Narina tersenyum tipis.
"Maksud kamu Elnad?" tanya Narina.
Enggaraksa menganggukan kepalanya. "Siapa lagi memang?" tanyanya yang diangguki oleh Narina setuju.
"Makasih ya Egar, kamu selalu nolongin aku," ujarnya yang dibalas Enggaraksa dengan senyum dan mengelus puncuk kepala Narina sekilas.
"Gue ke anak-anak dulu," pamitnya yang dibalas Narina dengan anggukan.
"Hati-hati!" teriak Narina yang kembali hanya dibalas oleh senyuman dari Enggaraksa.
"Egar, kamu selalu baik sama aku," ujarnya melihat kepergian Enggaraksa.
Sesampainya di tempat tongkrongan. Enggar langsung dibanjiri pertanyaan oleh teman-temannya.
"Wuih si pak ketua, pasti baru saja dari calon ibu ketua nih," ledek Oki salah satu teman Enggaraksa.
Mendapat tatapan tajam dari Enggaraksa seketika membuat nyali Oki menciut, niat hati ingin memuji malah mendapat tatapan yang tidak seharusnya, cowok tersebut tidak berani lagi untuk meneruskan ucapannya.
"San aja kali Gar, Oki becanda." Raja ikut menimpali dengan tangan menepuk pundak Enggar.
"Tapi kalau beneran juga nggak papa, kita setuju kok, secara Narina kan cakep, lemah lembut lagi. Bisa tu membimbing lo ke jalan yang benar," timpal Oki lagi yang langsung mendapatkan buku terbang dari Enggar.
Bisa-bisanya Oki merubah pikirannya untuk menutup mulut, ia kembali berceloteh lagi yang sudah jelas membuat Enggar tidak bisa untuk berdiam diri.
"Buset deh ni mulut nggak ada remnya." Oki menepuk-nepuk kecil bibirnya yang baru saja lancang mengomentari kehidupan Enggar.
"Ya elah beraninya ngelempar buku lo! duit sih Ga kali-kali," ledek Raja yang tidak sepenakut Oki.
Kali ini giliran Raja yang mendapat tatapan tajam dari Enggaraksa, bahkan tatapannya kali ini jauh lebih mematikan dibanding tatapan tajam tadi untuk Oki.
"Mampus lo!" cibir Oki ditujukan untuk Raja. Namun tetap saja Oki tidak berani bersuara ketika mengatakannya.
"Iya-iya gue diem," ujar Raja mengalah.
"Gue nggak ngerti maunya tuh cewek?" ujar Enggar secara tiba-tiba.
Baik Raja ataupun Oki sama-sama saling melempar pandang mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Enggar. Sebelum akhirnnya keduanya paham siapa yang dimaksud oleh Enggar.
"Maksud lo si Elnad? ngapain lagi tuh anak?" tanya Raja penasaran.
"Caper kayaknya, tapi nggak papa si orang cakep gitu tuh cewek," timpal Oki seraya membayangkan bagaimana wajah cantik Elnada.
"bod*h!" cibir Enggar.
"Cakep aja diotak lo, dasar udang," lanjut Raja ikut mencibir Oki.
"Tapi emang doi cakep banget buset, gue jadi pengen nafkahin" lanjut Oki masih tetap kekeuh pada pendiriannya.
"Setuju Ki, dia juga berani, nggak lemah," ujar salah satu cowok yang baru saja datang.
Seketika semua teralihkan ke arah cowok yang baru saja ikut bergabung bersama mereka. Apa yang baru saja dikatakan olehnya cukup mengejutkan, terdengar seperti sebuah pujian untuk gadis yang sering membuat onar di sekolah.
"Lo kesambet Ren?" tanya Oki dengan wajah bingungnya.
Melihat gelengan kepala dari Daren seketika membuat mereka semua tahu jawabannya.
"Woah... parah si lo!" ujar Raja tidak habis pikir dengan apa yang dikatakan oleh Daren.
"Tapi gue nggak munafik, doi emang cantik dan tipe gue banget," ujar Daren lagi.
Mendengar apa yang Daren katakan tidak begitu Enggaraksa pedulikan. Karena kini fokus cowok tersebut teralihkan oleh pesan yang baru saja bundanya kirimkan.
Tanpa berniat membalas, Enggar mematikan ponselnya. "Gue ke kelas," pamitnya kepada teman-temannya.
"Lah si bocah, malah pergi padahal kan gue belum selesai kasih penerangan buat dia," ujar Oki membuat Raja dan Daren terkekeh.
"Udah, buru samperin Enggar!" ajak Daren kepada mereka.
Berbeda dengan kedua sahabatnya. Elnad semakin murung setelah mendapat serangan dari Enggar tadi. Sebenarnya bukan hal besar sih, bahkan terkesan sepele dan seperti biasanya. Tetapi terus menerus dipatahkan oleh sikap dan tindakan Enggar yang selalu rela membela Narina dan tega menyerangnya membuat Elnada berkeinginan untuk mundur secara perlahan.
Ia juga yakin tidak akan mungkin dirinya dan Enggar bisa bersama, sementara apa yang dilakukan oleh Elnada sendiri di depan Enggaraksa sangatlah bertolak belakang dengan perasaannya.
"Udah lah gue nyerah, capek juga diginiin mulu," ujar Elnad pasrah.
"Nah gitu dong, kan nggak bikin lo loyo lagi," suara Gladis seketika membuat Elnada mengernyit dengan wajah kebingungannya.
"Sejak kapan lo di sini?" tanya Elnada heran.
"Sejak lo ngelamun tadi, gue tau ka Enggar baru aja marahin lo lagi kan?" tebak Gladis seketika membuat Elnada mencebik.
"Dih siapa juga yang dimarahin? gue malah udah pasang bendera peperangan ini?" balas Elnada diangguki oleh Gladis mengerti.
"Dengan lo uncrush ka Enggar? mantab El," ujar Gladis sangat mendukung.
"Tapi gue ngga yakin Dis," balas Elnada rendah.
"Cih lemah, sama aja lo kayak si pick me girl," sungut Gladis seketika membuat Elnada tidak terima.
"Enak aja lo, jauh ya?" sangkal Elnada membuat Gladis terkekeh.
"Nih dari Dira. Dia nggak sempet ke sini, mau ulangan doi." Gladis menyodorkan bingkisan makan yang dibelinya tadi di kantin untuk Elnada.
Dengan senyun semanis mungkin Elnada berkata. "Makaci Nadira," ujarnya membuat Gladis ingin muntah rasanya.
Setelah mengemasi buku dan tempat pensil miliknya. Elnada segera bergegas dari kelasnya. Gadis itu keluar dan bahkan tidak sempat pamit dengan kedua sahabatnya. Biasanya mereka akan pulang bersama dengan menggunakan salah satu mobil dari mereka. Namun Elnada terlihat sangat buru-buru sekali siang hari ini. kedua sahabatnya pun dibuat bingung melihat tingkah aneh dari Elnada hari ini.
Dari ketika pagi hari yang terlihat tidak mood seperti biasa. Lalu sekarang ini gadis cantik itu pergi begitu saja tanpa basa-basi terlebih dahulu.
Biasanya Elnada palinh gencar mengajak ke mall atau sekedar nongkrong di kafe dekat sekolah. Tetapi tidak berlaku untuk hari ini.
"Elnad! buru-buru banget?" tanya Nadira yang langsung ditanggapi anggukan kepala oleh Elnada.
"Gue duluan.. mami nyuruh cepet pulang, katanyanya bokap gue balik," beritahu Elnada yang diangguki balik oleh Nadira.
Keduanya tadi papasan di lorong kelas.
"Napa tuh anak?" Gladis menghampiri Nadira yang sudah menunggu di depan kelas.
"Bokapnya balik," beritahu Nadira diangguki oleh Gladis mengerti.
"Pantes main kabur aja," komentar Gladis seraya berjalan bersama dengan Nadira untuk segera pulang.
Sesampainya di rumah. Elnada dibuat menghela napas melihat mobil mewah milik papinya yang sudah terparkir di depan rumah. Meski ia hidup dengan bergelimang harta, nyatanya tidak membuat Elnada hidup bahagia begitu saja, terlebih orang tua Elnada yang sering pergi untuk waktu yang cukup lama dan jarang berada di rumah.
"Aku pulang," ujarnya setelah masuk ke dalam rumah.
Tidak lama kemudian, datang wanita yang masih cukup muda menghampirinya. Wanita cantik yang mempunyai wajah mirip dengannya.
"Kamu udah pulang sayang? ganti pakaian kamu dan pergi ke taman belakang ya? papimu ada di sana," ujarnya seraya memberitahu Elnada.
Menganggukan kepalanya pelan. Elnada langsung bergegas menuju ke kamarnya untuk mengganti pakaian terlebih dahulu.
"El ke kamar dulu mi," pamitnya diangguki oleh wanita muda yang merupakan mami dari Elnada.
Ia adalah Inta, wanita yang masih cukup muda, bisa dikatakan untuk usianya dan sudah memiliki anak gadis seperti Elnada mami Inta bisa dikatakan masih sangat muda. Bahkan Elnada berpikir maminya mungkin menikah dengan Papinya yang memiliki jarak usia cukup jauh diantara keduanya karena sebuah perjodohan. Namun agaknya itu hanyalah pikiran konyol dari Elnada sendiri yang terlalu berlebihan. Nyatanya keduanya menikah karena rasa cinta yang dimiliki cukup besar, membuat jarak usia yang terpaut cukup jauh tidak menghalangi keduanya.
"Duduk di sebelah papi nak," ujar lelaki paruh baya yang terlihat sudah tidak mengenakan pakaian kerjanya.
"Papi lama di rumah?" tanya Elnada seraya menuruti papinya, duduk di sebelah lelaki itu.
Pertanyaan itu ia lontarkan karena melihat pakaian papinya yang begitu santai. Biasanya laki-laki itu pulang untuk waktu yang sangat singkat, bahkan untuk menginap satu malam saja sangatlah jarang.
"Kamu senang El?"
tanya beliau yang langsung diangguki oleh Elnada dengan semangat.
"Kapan lagi papi bisa kumpul bareng aku sama mami," balas Elnada seketika membuat sudut bibir laki-laki di depannya tertarik ke atas.
"Maaf untuk itu nak, papi sangat sibuk," balas papi Bara merangkul Elnada dengan penuh kasih.
"Ngomong-ngomong apa mamimu sudah memberitahu tentang-"
"Sudah pi,mami sangat keterlaluan kalau itu benar, itu hanya becanda kan pi?" tanya Elnada seketika membuat papinya mengamati wajah cantik anaknya dengan diam. Sebelum akhirnya terdengar helaan napas yang cukup panjang dari beliau.
Melihat hal itu langsung membuat Elnada menunduk, ia sudah tahu jawabannya.
"Hei, kamu nggak boleh murung, anak papi biasanya semangat dan manja," goda papi Bara yang tetap tidak merubah suasana hati Elnada saat ini.
"Papi tahu tentang El?" tanyanya dengan tawa kecil meremehkan. "Papi jarang di rumah, nggak akan tahu gimana El," lanjutnya lagi menjelaskan.
"Maaf untuk itu nak, papi kerja untuk kamu dan mami kamu," balas papi Bara diangguki oleh Elnada.
"Tapi itu berlebihan pi, orang tua temen-temen El juga kerja, tetapi tidak segila papi dengan pekerjaannya," ujarnya mengungkapkan isi hati yang selama ini sudah lama dipendamnya.
Mendengar hal itu membuat hati papi Bara tersentil. Andai semudah itu untuk menjelaskan dengan putri cantiknya di depan, tetapi saat ini bukanlah waktu yang tepat. Usia Elnada masih sangat rentan untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga mereka.
"El ke kamar. Terserah saja kalau menurut papi itu benar," ujarnya beranjak dan segera pergi meninggalkan papinya.
Niatnya tadi untuk melepas rindu, namun lagi-lagi berakhir dengan sebuah perdebatan diantara mereka.
Malam harinya. Tepat pukul setengah 7 malam. Pintu kamar Elnada diketuk dari luar. Elnada sebenarnya enggan untuk menjawab. Namun maminya tidak berhenti begitu saja untuk bisa masuk.
"El! sayang! mami boleh masuk ya?" entah sudah kesekian kalinya mami Inta meminta untuk diperbolehkan masuk ke kamar anaknya.
"Elnad! ada yang harus mami katakan sayang!" lanjut beliau lagi masih tetap berusaha.
Dengan menghela napas yang cukup berat. Akhirnya Elnada bersuara. "Masuk aja mi!"
Tidak lama kemudian pintu terbuka dengan menampilkan mami Inta yang mengumbar senyum untuknya. Melihat itu membuat Elnada merasa sedikit risih, namun juga tidak tega.
"Nggak usah senyum gitu deh mi, keliatan banget lagi bujuk akunya," ujar Elnada seketika membuat mami Inta tertawa.
"Oh ya? sangat kentara ya sayang?" godanya diangguki oleh Elnada.
"Maaf ya mami maksa kamu buat bukain pintu," ujar beliau lalu duduk di pinggir ranjang Elnada.
Menggenggam tangan Elnada mami Inta memperhatikan wajah cantik dari putrinya di depannya. Jauh dari lubuk hatinya ia tidak tega dengan Elnada, merampas hidup anaknya yang bahagia, merampas masa remaja anaknya yang 17 tahun saja belumlah genap, setidaknya itu yang mami Inta rasakan.
Namun tetap saja. Beliau harus melakukannya, setidaknya itu pilihan yang terbaik untuk Elnada saat ini. Untuk kehidupan mereka.
"Maaf El, maafin mami," ujar beliau dengan sendu. Tetapi tetap beliau berusaha untuk kuat di depan anaknya.
"Kamu-"
"Ya sudah kalau itu keinginan mami, El siap-siap," potongnya membuat mami Inta terkejut.
"Kamu yakin nak?" tanya mami Inta dibalas Elnada dengan diam.
"Nggak tahu mi," ujarnya dengan hampa.
Sebenarnya mami Inta tahu dengan jawaban putrinya. Namun beliau tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang langka itu, sebelum Elnada berubah pikiran. Beliau segera pergi untuk memberi waktu kepada Elnada dan juga bersiap-siap. Terkesan egois memang, tetapi apa boleh buat, beliau sendiri juga sangat yakin jika Elnada dapat kebahagiaan nantinya setelah ini.
"Ya sudah kamu siap-siap ya sayang. Mami sama papi nanti tunggu di depan," ujar beliau mengecup kening Elnada terlebih dahulu sebelum kepergiannya.
"Kisah perjodohan mereka nurun ke gue? ck. Miris banget," ujar Elnada setelah kepergian maminya dari kamar.
Sementara di lain tempat. Wanita paruh baya yang tadi sedang membaca majalah langsung tersenyum senang setelah mendapat pesan dari temannya.
Ia segera bergegas untuk memberitahu suami dan anaknya.
"Kenapa bunda senyum gitu? tadi murung?" tanya suaminya melihat kedatangan istrinya yang mengumbar senyum bahagianya.
"Mereka setuju untuk segera pertemuan yah, bunda ke kamar Enggar dulu," beritahu beliau dengan sangat semangat.
Melihat hal itu membuat ayah Enggaraksa, yakni pak Wijaya menggeleng dengan senyum.
"Semangat sekali bund mau ketemu calon mantu," ujar beliau ikut bergegas untuk segera bersiap-siap.
"Enggar bunda boleh masuk?" tanya beliau seketika membuat Enggar mengecilkan volume musik yang sedang didengar olehnya.
"Masuk saja bund!" balasnya dan langsung membuat pintu kamarnya terbuka.
"Kamu sedang sibuk nak?" tanya bunda Arlin melihat beberapa buku di meja belajar anaknya.
"Enggak," balas Enggar seadanya.
"Yang bunda katakan tadi siang itu, kamu sudah pikirkan bukan? sekarang temen mama minta untuk bertemu terlebih dahulu, kamu tidak keberatan kan sayang? hanya pertemuan biasa," jelas bunda Arlin cukup hati-hati.
Anaknya ini tidak pernah membantah, tetapi beliau sangat tahu jika Enggaraksa juga tidak suka diatur apa lagi dikekang.
"Enggar akan siap-siap," jawab Enggaraksa yang langsung membuat bunda Arlin terperangah kaget, namun juga tidak menyangka dengan jawaban dari anaknya yang membuat beliau sangat bahagia.
"Baiklah sayang, bunda tunggu di bawah ya?" pamit beliau keluar dari kamar anaknya.
"Oh ya, terimakasih ya sayang," lanjut beliau lagi dengan senyum mengembang setelah mengatakan itu.
Beliau benar-benar tidak menyangka dengan jawaban anaknya yang akan semudah itu untuk menyetujuinya. Entah itu karena keterpaksaan atau kepatuhannya, yang terpenting niatnya dengan salah satu sahabatnya akan segera terlaksana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!