NovelToon NovelToon

Kau Curi Suamiku, Ku Curi Suamimu

Bab 1

Aku Niken, seorang ibu rumah tangga. Rumah tanggaku adem ayem, tidak pernah ada pertengkaran sedikit pun. Suamiku sangat baik, pengertian, memanjakanku, ia sehari-harinya bekerja di tempat usahanya sendiri. Ia memiliki bengkel mobil, yang ia urus sendiri bersama tiga anak buahnya. Hari-harinya ia habiskan di bengkel. Kadang ia pulang tengah malam, kadang juga tidak pulang, karena harus lembur memperbaiki mobil yang sudah harus segera di ambil.

Aku percaya saja dia lembur karena banyak pekerjaan. Aku tidak masalah, toh dia bekerja untukku, sedangkan aku hanya ibu rumah tangga biasa yang memiliki kesibukan seperti seorang ibu rumah tangga pada umumnya. Cuci-cuci, nyapu, ngepel, masak, dan pekeraan ibu rumah tangga yang lain. Tapi, bedanya aku sambil mencari uang dengan cara menulis cerpen atau novel. Ya meskipun hanya seberapa hasilnya, yang penting bisa buat beli jajan, tanpa minta pada suami. Padahal tanpa minta pun aku sudah diberi lebih oleh suamiku, tapi untuk mengisi kejenuhan, aku memilih untuk menghalu, menuangkan ide dalam cerita.

Malam ini, aku tidak sengaja lewat depan bengkel mobil suamiku. Katanya malam ini dia lembur, aku baru saja keluar menjenguk teman sakit di rumah sakit. Aku berniat untuk mampir untuk mengantarkan cemilan untuk suamiku. Sebelumnya aku sudah chat dia, kalau aku mau mampir, sekalian pulang dari rumah sakit menjenguk teman. Mungkin, karena dia sibuk, chat ku belum dibaca. Aku langsung saja ke bengkel untuk mengantarkan beberapa macam makanan dan cemilan. Namun, ternyata bengkel tutup, tapi mobil suamiku masih ada di depan bengkel. Aku matikan mesin sepeda motorku, lalu aku masuk mengendap-endap, mungkin suamiku sedang menggarap komponen mesin yang agak sulit, jadi dia masih belum pulang. Aku tahu kebiasaannya kalau sedang menemui masalah dalam pekerjaannya dia butuh sendiri.

Aku masuk perlahan, tanpa mengucapkan salam. Aku mendengar rintihan dan erangan dua manusia yang sedang melakukan kegiatan panas.

Terdengar suara laknat dari dalam, serta bunyi penyatuan milik dua manusia yang sedang bercinta. Mas Reyfan meracau menyebut nama perempuan dalam kegiatan panasnya itu, dan si perempuan itu pun dengan keenakan menyebut nama Mas Reyfan. Apa mereka benar sedang melakukannya?

Mas Reyfan melakukannya dengan siapa? Zahra? Siapa Zahra? Apa mungkin Zahra tetangga Ibunya Mas Reyfan? Ah dia kan sudah tua? Sudah berumur, jauh sekali umurnya dengan mas Rey? Legit Mas Rey bilang? Meski sudah memiliki tiga anak? Aku yakin dia Zahra tetangga mertuaku, yang tak lain kakak dari teman akrab Mas Rey.

Rumah Zahra dan orang tua Mas Rey berdekatan.  Memang kalau Mas Rey lembur, pasti mampirnya ke rumah ibunya. Ya, mertuaku lebih tepatnya. Aku beranikan diri untuk masuk ke dalam, mendekati sumber suara itu. Mataku membeliak, tubuhku lemas, melihat punggung Mas Rey yang telanjang, di bawahnya ada perempuan yang tubuhnya diapit oleh Mas Rey. Mereka melakukan penyatuan panas yang membuat darahku mendidih. Ingin aku hentikan kegiatan mereka, tapi aku berpikir lagi. Biar saja mereka asik melakukannya. Aku tahu suami Mbak Zahra, dia juga tak kalah tampan dari suamiku. Dia kaya raya, dia punya segalanya, tapi kenapa Mbak Zahra mau dengan suamiku yang dekil, bau oli, dan itunya pendek, tidak panjang? Tapi berurat dan besar sih, juga tahan lama.

Padahal suami Mbak Zahra pengusaha, tampan, bersih, wangi, dadanya bidang, sangat sempurna. Namanya Hans, aku memanggilnya Om Hans, dia ramah, dia juga humoris, dan tidak sombong dengan tetangga. Dulu saat aku tinggal bersama mertua, Om Hans sering menyapaku, ramah sekali orangnya. Tampan pula? Entahlah Mbak Zahra terhipnotis apa, sampai dia mau dengan suamiku yang dekil. Mungkin Om Hans kurang kuat, tidak seperti Mas Rey.

Aku rekam semua kejadian di depanku. Mereka bercinta cukup lama dengan berbagai gaya. Hatiku sakit dan hancur, tapi aku tidak boleh lemah. Apa yang aku rugikan jika dia selingkuh? Gak ada ruginya, paling aku rugi sakit hati, itu saja. Aku gak punya anak dari Mas Rey, lebih tepatnya belum dikasih keturunan. Kami baik-baik saja, hubungan seks ku dengan Mas Rey juga baik, meski dia tidak pernah bisa memuaskan aku, atau sebaliknya aku yang tidak bisa membuatnya puas. Entah kenapa, mungkin dia yang gak puas denganku, karena aku ini sedikit gendut, sedang Zahra tubuhnya seksi, meski sudah beranak tiga, dan sudah empat puluh lima tahun. Aku masih tiga puluh tiga tahun, tapi seperti ibu-ibu. Umur suamiku tiga puluh lima tahun. Tapi, dia doyan dengan tante-tente, dan bilang milik Zahra legit sekali. Benar-benar dia tidak punya otak. Harusnya aku yang belum melahirkan yang sempit dan legit.

Aku pulang setelah mendapatkan video panas mereka. Biar aku simpan video ini untuk bukti perselingkuhan mereka. Akan aku balas dengan apik perbuatan mereka. Selama ini aku diam, meski banyak sekali laki-laki yang mendekatiku, secara langsung atau menyapa di jejaring sosial. Tapi, aku masih waras, aku punya suami. Bahkan Om Hans suami Zahra pun sering mengirim pesan di jejaring sosialku, kadang dia mengikuti setiap tulisanku di aplikasi kepenulisan. Entahlah, dia suka dengan tulisanku, atau dia memang ingin tahu soal aku. Karena dia berkali-kali mengirim Direct Message padaku. Dia tanya nomor telefonku juga. Tapi, aku tidak pernah meresponnya lebih, hanya membalas sekadarnya saja.

Aku tenang, tapi sepanjang jalan aku menangis, mengingat pengkhianatan suamiku dengan Zahra. Mereka juga sudah bermain gila di hadapanku. Aku melihat dengan jelas, mereka bermain dengan penuh gairah. Suara erangan dan desahan panas mereka masih terngiang di telingaku. Ini sungguh menyiksaku. Ingin aku teriak, tapi aku tidak mau disangka seperti orang gila. Aku mengemudikan sepeda motorku dengan pelan, sambil kunikmati tangisanku sendiri.

Aku tidak langsung pulang ke rumah, aku tenangkan diriku dulu. Aku belok ke cafe yang dekat dengan rumahku. Aku pesan minuman, lalu aku buka iPad ku. Aku ceritakan semua yang ada dalam pikiranku, karena itu yang bisa membuatku lega. Aku tidak mau membuang ide tulisanku saat sedang seperti ini. Aku tuangkan semua ideku ke dalam tulisan. Entah kenapa aku jadi ingin menuliskan kisahku sendiri. Entahlah ini tulisan omong kosong saja, curahan hati seorang istri yang baru saja melihat suaminya bersama perempuan lain, bermain panas, hingga bermandi peluh kenikmatan. Sungguh Mas Reyfan kejam sekali, sudah menyia-nyiakan kepercayaanku.

Aku nikmati espresso yang aku pesan tadi, dengan roti bakar dan pisang keju. Aku terus menulis, mencurahkan segala yang ada di dalam pikiranku. Tak lama aku menulis, aku dikagetkan dengan seorang pria yang sudah duduk di depanku, entah kapan datangnya aku saja gak tahu. Aku tersentak, kaget, tiba-tiba ada sosok laki-laki yang tampan dan gagah, memakai stelan jas yang rapi berada di depanku.

“Om Hans?” ucapku.

“Ya! Kamu itu sedang nulis apa, Niken? Serius sekali, sampai kamu gak sadar Om dari tadi di sini? Apa ada cerita baru? Om lama tidak melihat ceritamu update?” tanya Om Hans.

“Nanti Niken update, Om. Tapi di aplikasi lainnya lagi. Yang mungkin cuannya agak banyak,” jawabku.

“Kamu dari mana, jam segini masih di luar? Apa Rey gak nyariin kamu?” tanya Om Hans.

“Dia lembur, katanya tidak pulang. Ya sudah, aku dari rumah sakit jenguk teman, mampir ke sini buat nulis. Cari suasana baru,” jelasku.

“Temanmu sakit?” tanya Om Hans.

“Ish ... udah tahu di rumah sakit, ya sakit dong? Masa di rawat di rumah sakit itu karena numpang tidur saja?” jawabku.

“Ya kirain,” ucapnya.

“Om boleh di sini? Biar ada temannya juga, om harus selesaikan pekerjaan om, biar ada temannya yang sibuk.”

“Iya silakan,” jawabku santai.

Aku lanjutkan menulis. Om Hans juga berkutat dengan laptopnya. Sesekali aku pandang wajahnya yang rupawan. Kenapa Zahra malah selingkuh dengan suamiku yang dekil, tidak punya apa-apa, hanya sebagai mekanik biasa, bau oli, dan begitulah! Sedangkan Om Hans? Wow ... dia tampan, senyumnya manis? Aku saja sampai terpesona.

“Niken ... jangan lihatin terus, lanjut nulisnya. Nanti kamu jatuh hati padaku,” ucapnya yang membuatku gugup.

Hai ... para readers ... semoga kalian semua sehat, ya? Author punya cerita baru nih? Yuk ramaikan! Kasih ulasan bintang limanya, ya? Like, komentar, dan jangan lupa subcribe. Terima kasih ....

Bab 2

Aku tercengang mendengar ucapan Om Hans, bisa-bisanya dia tahu dari tadi aku melihat wajahnya, mengagumi ketampanannya. Ya wajar aku kagum, dia benar-benar tampan sekali kok? Lihat saja di sekelilingku, banyak gadis-gadis yang melirik Om Hans, padahal Om Hans sudah tua sih umurnya. Tapi vibesnya seperti sugar daddy, apalagi dia kan tajir melintir, rumah gedong, bisnisnya oke, sayangnya sih dengar-dengar dia juga menjalani bisnis gelap. Ya biar saja, yang penting tampan. Bagiku mengagumi tidak masalah. Toh aku setiap hari mengagumi aktor korea, karena hobiku nonton drakor.

Cletak!!!

“Ahww ...!” pekikku.

Om Hans menjentikkan jarinya ke keningku sampai aku meringis kesakitan dan terjingkat.

“Hei, jangan lihat aku begitu? Nanti naksir loh?” ucapnya.

“Ih apaan sih, orang gak lihat. Aku lagi mikir nih, idenya habis!” jawabku.

“Om suka cerita kamu, kamu pintar ya bikin cerita yang kadang agak panas sedikit?” ucap Om Hans.

“Ya gak tahu sih, orang itu yang keluar dari pikiranku?” jawabku.

“Ini lagi nulis genre apa?” tanya Om Hans.

Aku menjelaskan sekarang aku sedang menuliskan cerita bergenre apa. Ceritaku banyak yang mangkrak, karena mungkin aku yang terlalu ambisi untuk membuat cerita begitu banyak. Tapi, santai saja lah, perlahan pasti akan aku selesaikan. Om Hans terlihat serius memangdangiku menceritakan apa yang sedang aku tulis. Dia juga bertanya-tanya aku dengan siapa ke cafe. Sudah jelas aku sendirian, tapi malah tanya dengan siapa kan lucu? Aku lebih suka ke mana-mana sendiri, lebih nyaman, dan bebas. Paling sama teman yang sangat mengerti karakterku ini.

"Nulis drama perselingkuhan juga?" tanya Om Hans.

"Pasti dong?" jawabku.

“Pengalaman pribadi kah?”

“Rey gak pernah selingkuh sih sejauh ini,” ucapku  bohong.

“Bagus dong? Aku juga setia, tapi gak tahu Zahra,” ucapnya.

“Semoga saja Mbak Zahra setia ya, Om? Masa gak setia sih? Punya Om yang bening begini, mapan, rumah gedong, apa-apa serba ada, masa selingkuh dan gak setia?” ujarku.

“Ya gak tahu dia setia atau enggak, mudah-mudahan setia, diera perempuan yang makin marak bersosialita seperti ini, sudah susah menemukan istri setia, tapi mungkin adanya pada dirimu, Nik,” ucapnya.

“Kok aku jadi dibawa-bawa, Om?” ucapku.

Benar sekali, istrimu sedang selingkuh, Om! Dengan suamiku. Istrimu kan sekarang tambah liar? Heran saja kelakuan asli dengan postingan di sosmed yang serba religius ternyata malah seperti itu kelakuannnya. Entah dari sejak kapan istrimu dan suamiku selingkuh.

“Kamu itu berbeda, Nik. Kamu sukanya sendiri, gak suka kumpul-kumpul sama teman, kayak kebanyakan para istri yang lainnya, yang sering kumpul arisan, kegiatan sosialita yang gak berfaedah. Pamerin ini dan iu, sampai tubuhnya dipamerin ke publik. Banyak sekarang perempuan begitu, sedangkan kamu? Dari dulu Om ikuti beberapa akun jejaring sosialmu gak pernah kamu post foto kamu sendiri, jangankan sendiri, bareng sama teman juga jarang? Sekali ada foto bareng sama teman, wajahmu dikasih stiker?” paparnya sedetail itu. “Seintrovert itu kah kamu? Sampai ngafe saja sendirian?” imbuhnya.

“Ih suka ngintipin dan kepo sama akun medsosku, ya? Aku gak introvert banget, ah. Aku masih punya teman, tapi memang jarang ngumpul, sekali ngumpul paling makan-makan dan ghibah saja sih,” jelasku.

“Jarang ada perempuan yang seperti itu, Nik,” ucapnya.

“Perempuan kan memang harus setia, harus bisa menjaga marwahnya sebagai seorang istri? Ya aku memang penampilannya begini, masih jauh dari wanita sholehah, tapi aku tahu adabnya menjadi seorang istri harus bagaimana. Memang Mbak Zahra gak seperti itu?” tanyaku.

“Ya kamu bisa menilah lah, dari sosial medianya bagaimana? Aku sih memang gak melarangnya, tapi harusnya ya tidak seperti itu, tapi biarin, kalau aku tegur pasti ngambek, padahal ya negurnya lembut?” jelasnya.

“Kalau mau negur istri itu dielus-elus manja, Om? Apalagi ngelusnya pakai lembaran merah cap Soekarno-Hatta? Jadi, pasti nurut?” ucapku terkekeh. Om Hans hanya menyimpulkan senyum manisnya saja, sambil menatapku dalam. “Mbak Zahra awet muda ya, Om? Masih seksi saja badannya, padahal sudah punya anak tiga? Eh aku malah begini?” ucapku memuji Zahra.

“Malah begini gimana, Nik? Kamu ini cantik kok? Kamu mungkin gak pede saja dengan kamu yang begini? Makanya jangan di balik layar terus, Niken?” ujarnya.

“Cantik bagaimana? Orang gendut begini? Kalau istri Om udah berumur juga sepertinya masih seksi sekali, padahal anaknya sudah tiga, suka senam aerobic sih ya, Om? Jadi kenceng?” ucapku.

“Iya sih, biarlah, biar dia happy. Om gak mau ganggu hidupnya,” ucap Om Hans.

“Kamu juga ikut aerobic, kan?” tanya Om Hans.

“Iya, sering sih dulu, tapi sekarang jarang setelah menulis. Aku rasa ikut begitu malah buang-buang waktu, jadi aku ganti olahraga di rumah saja biar lebih hemat waktu. Kalau di sanggar senam kan ditambah ngobrol ini itu, belum lainnya, jadi kebuang waktu. Aku kan harus masak, harus beberes, belum nulis?” jelasku.

Iya, istrimu itu senam mulu kerjaannya! Sampai gak ada kerjaan, Video senamnya diumbar di sosmed. Padahal berhijab, tapi sedang senam saja divideo, sudah begitu aku pernah melihat istrimu kirim video senam ke Mas Rey lagi? Buat apa coba? Apa senamnya istrimu bekal untuk memuaskan laki orang? Sok syar’i tapi kelakuan Dajjal!

Aku melihat arloji di tangan kiriku, sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku lihat ponselku, dan ada pesan dari Mas Rey.

[Niken sayang, aku belum selesai kerja, mungkin aku menginap di bengkel. Besok ada mobil yang harus diambil soalnya]

Aku mendengkus kesal setelah membaca pesan dari Mas Rey. Aku tahu dia pasti akan melanjutkan aksinya dengan Mbak Zahra. Aku yakin itu.

“Aku pulang ya, Om? Sudah jam sepuluh malam,” pamitku. Padahal aku ingin sekali memergoki mereka lagi.

“Oh ya sudah, kamu hati-hati. Kamu pakai mobil atau sepeda motor?” tanya Om Hans.

“Aku gak bisa setir mobil, Om. Gak boleh Mas Rey belajar nyetir. Jadi ya pakai sepeda motor,” jawabku.

“Kok begitu, belajar dong? Rayu Rey biar mau ajari kamu?” ucapnya.

“Sepertinya gak perlu juga sih om? Ribet, enak pakai sepeda motor,” ucapku. “Sudah ya, Om? Aku pulang,” pamitku lagi.

Aku memasukkan iPad ku,  ke dalam tas, juga ponselku. Aku segera pergi untuk pulang. Aku harus lihat lagi di bengkel, apa masih ada Zahra di dalam sana. Aku lajukan sepeda motorku ke arah bengkel. Padahal dari cafe ke rumah sudah dekat, tapi aku putar balik ke bengkelnya Mas Rey.

Aku masih melihat mobil Mas Rey di sana. Ada mobil milik Zahra masih di situ juga. Aku mengendap masuk, dan aku lihat pintu sebelah terbuka sedikit. Masih sama seperti tadi saat aku ke sana untuk membawakan makanan untuk Mas Rey. Aku mengendap masuk, dan terdengar lagi bunyi erangan orang yang sedang bercinta. Menjijikan sekali, aku melihat Mas Rey menikmati milik Zahra, menyesapnya dengan rakus hingga Zahra mengelijang hebat.

Aku lemas menyaksikan seperti itu. Aku keluar, aku menangis sejadi-jadinya, dan aku baru sadar ada Om Hans di sana yang juga menyaksikan istrinya seperti itu. Aku duduk tersungkur di pelataran bengkel, Om Hans mendekatinya, memelukku yang sedang menangis hancur melihat suamiku seperti itu lagi.

“Ayo pulang, biar mereka seperti itu.”

Bab 3

Aku mendorong tubuh Om Hans yang memelukku. Aku bangun, dan aku langsung pergi.

“Niken, tunggu!” Om Hans menghentikan langkahku.

“Apa, Om?” tanyaku.

“Maafkan istriku,” ucapnya.

Aku mendekati Om Hans yang meminta maaf padaku atas nama istrinya. “Kamu itu laki-laki, tapi kamu bodoh! Istrimu yang salah, kamu yang minta maaf!” geramku.

Aku tidak peduli, aku ingin masuk ke dalam lagi, menggrebek mereka di dalam, dan bila perlu aku panggil warga sekitar, biar saja ramai. Apalagi semua orang tahu Zahra. Dia adalah wanita yang taat dengan agama. Muslim yang baik, pakaiannya syar’i tapi begitu kelakukannya.

“Mau ke mana, Niken?” tanya Om Hans.

“Mau grebek mereka! Biar, biar semua tahu kelakuan bejat mereka!” jawabku.

“Kamu salah, Niken. Biar saja mereka begitu. Bukan sekarang saatnya menggrebek mereka. Aku juga sama sakitnya, sama seperti yang kamu rasakan. Sudah biarkan saja, biar mereka senang-senang. Kita pulang, jangan buang waktu kita untuk mengurusi mereka,” tutur Om Hans.

“Dua kali aku lihat seperti ini, rasanya aku ini jijik sekali, ingin aku maki suamiku, ingin aku hancurkan mereka!” erangku.

“Bukan begini cara membalasnya, Nik. Yang ada kamu juga malu sendiri. Terlebih aku, aku berkali-kali melihat Zahra selingkuh! Bukan dengan suamimu saja, dan ini yang terlama, dengan suamimu!” tutur Om Hans.

Aku mengendikkan bahuku, mengernyitkan keningku. Sedikit tidak percaya, Zahra sudah menyelingkuhi Om Hans berkali-kali. “Apa? Istri om selingkuh berkali-kali?” tanyaku terheran-heran.

“Iya. Makanya sudah, biarkan mereka. Kamu diam saja, nanti kalau sudah saatnya juga akan terbongkar sendiri kok. Ayo pulang, jangan buang waktumu untuk orang yang tidak berguna seperti mereka!” ajak Om Hans.

Benar kata Om Hans, aku tidak boleh membuang waktuku untuk mengurusi orang seperti mereka. Lebih baik aku pulang, lalu aku bersikap biasa saja terhadap Mas Reyfan.

Aku pulang ke rumah, dan di belakangnya Om Hans mengikutiku menggunakan mobil. Aku tahu dia khawatir denganku, apalagi melihat aku menangis histeris seperti tadi. Padahal aku cukup keras menangis, tapi Mas Rey sedikit pun tidak mendengar tangisanku di luar.

Sampai di rumah, aku langsung mandi, mengganti pakaianku, dan mencoba untuk tidur melupakan semuanya. Masih jelas terbayang apa yang dilakukan suamiku dengan Zahra. Benar-benar menjijikan sekali perbuatan mereka. Aku tidak menyangka, di balik sikap Mas Reyfan yang diam, dan perhatian, ternyata dia melakukan hal yang membuat hatiku sakit.

Aku semakin insecure dengan diriku sendiri, aku bertanya-tanya, apa salahku? Kenapa aku dikhianati seperti ini? Padahal aku selalu menuruti apa yang Mas Rey inginkan. Aku juga tidak pernah neko-neko ini dan itu? Meskipun aku bekerja, aku punya penghasilan dari menulis, aku tetap menghargai suamiku, kalau menerima honor menulis saja aku terbuka dengan Mas Rey, kami tidak pernah berdebat soal keuangan, soal apa pun juga jarang sekali berdebat. Tapi, diamnya Mas Reyfan ternyata seperti ini.

Aku mendengar notifikasi pesan, aku lihat siapa yang mengirim pesan padaku, ternyata Mas Reyfan yang mengirim pesan.

[Sudah tidur, Sayang? Mas pulang, ya? Mas gak jadi tidur di bengkel. Sudah selesai pekerjaan mas.]

Aku hanya tersenyum, iya tahu pekerjaanmu dengan Zahra sudah selesai. Sudah puas juga pastinya.

[Iya, pulang saja. Aku baru mau tidur.]

Aku harus terlihat biasa saja. Biar saja, aku pendam marahku dulu, aku gak mau gegabah langsung bicara dan marah-marah sama suamiku. Aku malah takut kalau mood dia sedang tidak baik, lalu aku membicarakan soal apa yang aku lihat, pasti ujungnya bertengkar hebat. Aku tidak mau ribut saja. Biar saja, lihat nanti bagaimana.

Aku membukakan pintu, Mas Reyfan sudah sampai rumah. Badannya sudah bersih dan wangi, padahal biasanya pulang masih dengan pakaian kotornya. Malam ini sudah wangi sekali, dan baunya bukan bau parfum miliknya.

“Aku langsung tidur ya, Nik? Capek sekali,” pamitnya.

“Iya, Mas. Mandi dulu dong, Mas?” ucapku.

“Sudah tadi di bengkel,” jawabnya sambil berjalan mendahuluiku.

Aku menutup pintu lagi, lalu langsung menyusul Mas Reyfan di kamar. Aku lihat dia sedang senyum-senyum sendiri dengan ponselnya. Paling dia sedang chat dengan Zahra? Mau dengan siapa lagi kalau tidak dengan dia?

Aku rebahkan tubuhku di samping Mas Reyfan, tak kusangka dia langsung menyingkir, berpindah ke sofa.

“Kok pindah, Mas?” tanyaku.

“Biar kamu gak kesempitan, aku di sofa saja. Kamu kan gede badannya?” jawabnya.

Jleb!

Ucapannya tajam sekali, mana tidak sambil bercanda lagi? Dia bilang serius sekali. “Memang segede apa sih badanku, Mas? Masa tempat tidur ukuran king size gak muat untuk aku dan kamu?” ucapku kesal.

“Muat, tapi sempit!” tukasnya.

“Oh ya sudah,” ucapku.

Biar saja dia sedang asik dengan dunianya bersama Zahra. Aku akan buat kamu menyesal sudah seperti ini padaku!

^^^

Aku mendengar ponselku bergetar. Ada notifikasi dari Instagram. Seseorang mengirimkan DM padaku. Aku tahu paling itu Om Hans. Benar, nama Hans Alexandra muncul di layar ponselku.

[Niken, sedang apa? Sudah tidur?]

[Belum.]

Aku jawab DM dari Om Hans. Biar saja, buat hiburan, toh suamiku sibuk juga dengan ponselnya.

Om Hans mengirimkan foto Zahra juga yang sedang duduk di sofa sambil bermain ponselnya dengan tersenyum. Aku pun tak kalah mengirimkan foto Mas Reyfan pada Om Hans.

[Orang-orang penuh dusta, Nik.]

Komentar Om Hans saat aku mengirimkan foto suamiku.

[Biarlah, biar mereka bahagia.]

[Besok bisa ketemu, Nik? Aku pengin bicara denganmu.]

[Mau bicara apa? Apa di sini gak bisa? Lewat DM saja, Om. Gak usah ketemu. Nanti malah jadi omongan gak baik.]

[Nik, kalau kita balas perbuatan mereka bagaimana? Kita selingkuh misalnya?]

Aku tercengang membaca pesan dari Om Hans. Aku juga sempat berpikir nakal seperti itu, tapi aku juga memikirnya nantinya. Masa kejahatan dibalas kejahatan juga? Tapi kalau aku sabar juga sakit hati sih dapatnya.

[Nik? Bagaimana?]

[Besok ketemu saja, Om]

[Oke, besok orang om yang jemput kamu.]

Iya juga, benar kata Om Hans, aku turuti saja permainan ini, mungkin kalau aku cuek dengan Mas Rey juga Mas Rey akan kebingungan sendiri? Salahnya sendiri memulai main api di belakangku.

Aku akhiri chat lewat DM dengan Om Hans. Sungguh dadaku berdegup kencang, mengingat percakapan tadi dengan Om Hans, apalagi dia mengajakku membalas perbuatan pasangan kita. Jujur aku takut, karena baru kali ini aku seperti ini.

Entah kenapa aku ini mau-mau saja mendapat tawaran seperti itu dari Om Hans. Apa karena aku kasihan juga dengan dia yang diselingkuhi Zahra? Atau karena aku memang ingin membalas perbuatan bejat suamiku? Ah entahlah, aku ikuti saja alurnya, daripada aku sakit hati terus seperti ini? Lebih baik aku juga melakukannya, biar saja, biar sama-sama impas!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!