Malam itu langit tampak mendung, dan suara petir yang keras menggema, tetapi hujan tak kunjung turun. Haris tiba-tiba pulang ke rumah setelah tiga hari menghilang dengan alasan ada pekerjaan di luar kota. Anisa, istri yang setia menemani Haris selama 15 tahun dalam pernikahan mereka, merasa lega melihat suaminya kembali. Mereka telah dikaruniai tiga orang anak yang menjadi buah hati mereka.
Namun, kebahagiaan Anisa sirna saat Haris mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya. Raut wajah Haris terlihat tegang dan serius, membuat Anisa merasa ada yang tidak beres. Anisa membaca kertas yang diberikan Haris, dan ternyata itu adalah surat perceraian. Hatinya hancur, matanya berkaca-kaca. Tidak ada yang bisa diucapkan, perasaan syok dan kecewa bercampur aduk dalam dadanya.
"Mas Haris, mengapa ini? Apa yang terjadi?" tanya Anisa dengan suara bergetar. Haris hanya diam, tak mampu menjawab pertanyaan istrinya. Anisa mencoba menahan tangis, dia menatap tajam Haris yang kini menghindari tatapannya.
"Kamu tidak bisa begitu saja menceraikan aku tanpa alasan yang jelas. Kita punya tiga orang anak, Mas Haris. Apa mereka tidak berarti apa-apa bagimu?" seru Anisa dengan suara yang semakin lirih.
Haris terdiam, wajahnya penuh penyesalan. Namun, dia tetap tidak memberi jawaban pada Anisa. Anisa merasa tak mampu lagi berbicara, dia menangis tersedu-sedu sambil memegangi surat perceraian tersebut. Malam itu, hatinya hancur, dunianya runtuh, dan kebahagiaan yang telah dia bangun bersama Haris seakan sirna ditelan malam.
"Baiklah,"jawab Anisa kemudian, setelah melihat Haris lama terdiam.
"Tetapi, aku punya satu permintaan sama kamu, Mas."Lanjut, Anisa.
"Apa? Katakan! Jika kamu menginginkan rumah ini. Kafe dan seluruh aset lain yang kita punya, aku akan memberikannya padamu dan anak-anak, Anisa. Tetapi, untuk mempertahankan hubungan ini aku sudah tidak bisa,"Haris berkata pelan diakhir ucapannya yang terdengar cukup lirih. Pria yang dikenal sangat menyayanginya dan memberikan seluruh hidupnya pada pernikahan mereka, kini mencoba meninggalkan semua kebahagiaan itu dengan alasan yang Anisa sendiri tak tahu.
Anisa menatap pria yang pernah mencintainya begitu dalam dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Tak sanggup menahan lagi air bening itu pun berhasil lolos dan membasahi pipi mulus Anisa.
"Jangan pernah katakan pada anak-anak soal perceraian ini. Meskipun kita bukan suami istri lagi, aku tak masalah. Aku ikhlas dan menerimanya. Tetapi, tolong biarkan anak-anak tetap menganggap kita adalah orang tua yang baik untuk mereka,"ujar Anisa. Hari mengangguk dan menyetujui semua permintaan Anisa. Seluruh aset yang selama ini mereka dapat bersama sudah Haris berikan kepada ketiga anak-anaknya. Bahkan, sebuah kafe penghasilan sampingan keduanya juga Haris berikan kepada Anisa, agar mereka dapat hidup dengan kayak dan tak berkurang apapun.
Anisa merasa berat untuk menerima surat itu, tapi dia sadar bahwa ini adalah keputusan terbaik bagi mereka berdua. Dengan tangan gemetar, Anisa menandatangani surat perceraian tersebut. Setelah selesai, dia menyerahkan kembali surat itu pada Haris. Haris mengambil surat tersebut, menatap Anisa untuk yang terakhir kalinya, dan berjalan keluar dari rumah itu. Hujan turun begitu lebat, menyelimuti langkah Haris yang pergi meninggalkan Anisa dan ketiga anak mereka yang sudah tertidur pulas. Anisa menangis sejadi-jadinya, meratapi keputusan yang telah diambilnya. Namun, dia tahu bahwa ini adalah langkah terbaik untuk mereka semua. Terlebih untuk ketiga anak yang masih kecil, yang belum mengerti tentang dunia dan perasaan orang dewasa.
Keesokan paginya, di ruang makan.
Anisa bangun lebih awal dari biasanya untuk menyiapkan sarapan bagi ketiga anaknya. Anak pertamanya, Alvin, adalah seorang siswa kelas 5 yang selalu bersemangat untuk pergi ke sekolah.
Sementara itu, anak keduanya, Salsa, yang berusia 6 tahun, baru saja memulai petualangan barunya di TK. Dan yang terakhir, si bungsu Rayhan, baru berusia 3 tahun dan masih menghabiskan waktu di rumah bersama ibunya. Anisa menyajikan nasi goreng, telur ceplok, dan sosis di meja makan. Ketiganya duduk bersama, siap menikmati sarapan yang telah disiapkan oleh Anisa dengan penuh cinta.
Namun, suasana pagi yang ceria itu tiba-tiba dikejutkan dengan suara pintu depan yang terbuka.
"Pa...Papa?" Alvin terkejut melihat sosok yang sudah lama tidak mereka lihat. Haris, sang ayah, menggantungkan jaketnya di gantungan dan tersenyum kepada keluarganya.
"Hai, anak-anak. Papa pulang untuk menemani kalian sarapan pagi ini," ucap Haris dengan senyum yang lebar. Anisa menatap Haris dengan senyuman kecut. Meskipun mereka telah resmi bercerai, Haris menepati janjinya untuk tetap hadir dalam kehidupan anak-anak mereka.
Anak-anak mereka belum mengetahui tentang perceraian itu, dan Anisa ingin menjaga rahasia itu sebisa mungkin. Sarapan pagi itu berlangsung dengan suasana yang cukup canggung. Namun, di balik kecanggungan tersebut, ada rasa bahagia yang tidak bisa disembunyikan oleh anak-anak. Mereka merasa senang bisa bersama dengan kedua orang tua mereka, meski hanya dalam waktu yang singkat. Setelah sarapan, Haris berpamitan untuk kembali bekerja. Dia mencium kening ketiga anaknya dan berjanji akan datang lagi nanti sore.
Ketika pintu tertutup, Anisa menghela napas lega dan memandangi ketiga anaknya yang kembali ke kamar masing-masing untuk mengambil tas sekolah. Di tengah kesendirian, Anisa berdoa agar anak-anaknya tetap bahagia meski harus merasakan keadaan rumah tangga yang tidak utuh. Dan dengan tekad yang kuat, dia berjanji akan terus menjaga kebahagiaan anak-anaknya, meski harus melawan rasa sakit yang mendalam akibat perceraian dengan Haris.
"Bunda, kami sudah siap. Ayo, ke sekolah!"ajak Alvin, Anisa mengangguk. Lalu, menggendong Rayhan dan menggandeng tangan Salsa menuju mobil yang ada di depan rumah mereka. Kehidupan Anisa dan Haris tergolong kehidupan yang harmonis dan berkecukupan. Tidak pernah di terpa oleh masalah apapun. Tetapi, tiba-tiba Haris menggugat cerai Anisa tentu saja hal itu masih Anisa pikirkan hingga saat ini.
Anisa menyetir dengan tatapan yang kosong. Terdengar suara canda tawa anak-anaknya yang duduk di kursi penumpang.
"Bunda,"
"Bunda, awas!"pekik Alvin dan Anisa tersadar dan langsung membanting setir mobil untuk menghindari mobil lain yang hampir tertabrak dengan mereka.
"Kalian nggak apa-apa?"tanya Anisa yang panik dan cemas, memeriksa keadaan anak-anaknya. Rayhan, menangis dan Anisa langsung menggendong Rayhan dan menenangkannya. Sedangkan, Alvin menenangkan Salsa yang ikut menangis karena rasa takut. Beberapa saat kemudian setelah anak-anaknya tenang. Anisa pun melanjutkan perjalanannya mengantar Alvin dan Salsa ke sekolah mereka.
_____
Hallo, Guys! Ini adalah novel dengan Tema Kreatif, Slice Of Life🙏🏿 mohon dukungannya ya. Novel ini menceritakan tentang seorang ibu tunggal yang membesarkan ketiga anaknya serta melawan penyakit yang mematikan!
Please! Baca jangan skip-skip oke ♥️
Anisa duduk di salah satu kursi kafe miliknya, raut wajahnya menunjukkan kecemasan yang mendalam. Pelayan-pelayan di kafe itu sibuk mempersiapkan segala sesuatu dan membersihkan tempat sebelum para pelanggan mulai berdatangan. Tak lama kemudian, Mira, sahabat Anisa, datang menghampirinya.
Anisa sendiri yang meminta Mira untuk bertemu dengannya di kafe pagi itu. Begitu melihat wajah Anisa, Mira segera menyadari bahwa mata Anisa memerah, tanda baru saja menangis.
"Mira, aku harus cerita sesuatu ke kamu," ucap Anisa dengan suara parau. Mira duduk di seberang Anisa, menunjukkan rasa empati dan siap mendengarkan.
"Apa yang terjadi, Anisa?" tanya Mira dengan perasaan khawatir. Anisa menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menceritakan kisahnya.
"Haris dan aku ... kami memutuskan untuk bercerai," ungkap Anisa dengan suara bergetar. Mira terkejut mendengar pengakuan sahabatnya itu.
"Oh, Anisa ... aku tidak menyangka. Apa yang terjadi? Apakah ada masalah yang tidak bisa kalian selesaikan bersama?" tanya Mira dengan nada suara yang lembut. Anisa menggelengkan kepalanya perlahan, matanya berlinang air mata.
"Bukan begitu, Mira. Aku juga tidak tahu apa penyebabnya. Dia memilih untuk berpisah dan semalam dia pulang ke rumah setelah tiga hari bekerja di luar kota. Kamu tahu, di dalam hubungan itu pasti ada titik jenuh, mungkin Mas Haris sudah jenuh dengan hubungan kami ini," jelas Anisa, mencoba menahan tangis. Mira meraih tangan Anisa, mencoba memberikan dukungan.
"Anisa, jika itu keputusan terbaik untukmu dan Haris, aku akan selalu mendukungmu. Tapi, Anisa bagaimana dengan anak-anak kalian? Mereka masih kecil dan masih butuh sosok seorang Ayah," ujar Mira dengan tulus. Anisa tersenyum tipis, mengapresiasi kehadiran Mira di saat-saat sulit seperti ini. Meskipun hatinya hancur, Anisa tahu bahwa dia masih memiliki sahabat yang bisa diandalkan.
"Aku dan Mas Haris berjanji untuk merahasiakan ini semua dari anak-anak sampai mereka semuanya bisa mengerti dengan keadaan kami orang tuanya. Lagian, aku tak bisa menahan Mas Haris di sisi ku, Mira. Kamu tahu kan?"tak terasa air mata Anisa kembali menetes.
"Apa Haris tahu kamu mengidap penyakit kanker paru-paru?"tanya Mira, dengan raut wajah yang semakin cemas memikirkan kondisi sahabatnya itu.
"Tidak,"Anisa tersenyum kecut.
"Selama ini aku tak pernah memberitahunya tentang kesehatanku. Setiap kali Mas Haris merokok aku selalu berjauhan jika di rumah dan aku juga sering menjaga jarak darinya. Sehingga, Mas Haris tak pernah berpikir jika aku mengidap penyakit yang mematikan itu, Mira."Anisa tertunduk dengan tangan yang terkepal. Wanita itu kembali menangis, sehingga membuat Mira berdiri dari tempat duduknya dan berdiri di samping tempat duduk Anisa.
"Sabar, An ... aku mengerti apa yang kamu rasakan. Aku akan selalu ada untuk mu meskipun cinta mu telah meninggalkan mu,"ujar Mira yang kini memeluk Anisa, wanita itu memeluk pinggang Mira sembari menangis dengan suara yang benar-benar sulit untuk dijelaskan. Anisa benar-benar begitu merasakan sakit atas keputusan yang Haris ambil semalam. Di saat, dirinya membutuhkan dukungan dari suaminya, justru Haris lah orang yang membuatnya semakin menyerah untuk bertahan hidup.
Jam 10 pagi, Anisa pergi menjemput Salsa dan kini Anisa sudah berdiri di depan sekolah TK Salsa, putrinya yang masih berusia 6 tahun dan lulus tahun ini. Meski batuknya semakin parah, Anisa menahan rasa sakit yang terasa di dadanya sambil tersenyum pada Salsa yang berlari ke arahnya. Anisa tak ingin menunjukkan kelemahan di depan anaknya.
"Bun, hari ini aku membuat lukisan baru untuk Bunda!" cerita Salsa antusias saat masuk ke mobil. Anisa mengelus kepala Salsa dan memuji hasil karya putrinya itu dengan tulus. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju sekolah Alvin, anak laki-laki Anisa yang berusia 10 tahun. Jam menunjukkan pukul 12 siang, tepat waktu untuk menjemput Alvin.
Anisa memarkirkan mobilnya dan melambaikan tangan pada Alvin yang sedang berbicara dengan teman-temannya. Alvin tersenyum lebar dan berlari menuju mobil.
Kembali ke rumah, Anisa menyiapkan makan siang untuk anak-anaknya. Meski sesekali terbatuk dan merasa lemas, Anisa tidak pernah mengeluh. Dia selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, meskipun kanker paru-paru yang dideritanya kian menggerogoti tubuhnya.
Sore hari, Anisa duduk di teras sambil memandangi anak-anaknya yang sedang bermain di halaman. Sejenak, Anisa merasa putus asa dan kehilangan semangat hidup. Namun, ketika melihat wajah bahagia anak-anaknya, Anisa menemukan alasan untuk terus bertahan. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan terus berjuang demi anak-anak yang sangat dia cintai. Anisa tak dapat menahan tangis ketika melihat tawa canda mereka. Terlebih anaknya yang paling kecil, Rayhan. Bocah itu masih sangat membutuhkan sosok ibu dalam hidupnya. Anisa menyeka air mata ketika melihat sebuah mobil masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Seperti yang dijanjikan Haris, tadi pagi. Pria itu pulang lagi sore itu untuk menjenguk anak-anaknya. Tetapi, kali ini Haris membawakan banyak mainan untuk mereka bertiga.
"Maaf, aku datang tak mengabarinya,"ucap Haris, masih berbicara begitu sopan pada Anisa. Wanita ini hanya mengangguk. Haris masih bisa bersikap seperti biasa kepada Anisa, berbicara lembut dan bersikap sopan di depan anak-anak mereka. Sehingga, ketiga anak mereka tak pernah tahu jika orang tua mereka telah bercerai. Demi kebahagian anak-anaknya, Anisa dapat menahan segala rasa sakit saat melihat wajah pria yang mencampakkannya pada malam itu, tanpa memberi alasan yang pasti. Anisa masih menerima kehadiran Haris di dalam rumahnya, semua itu demi anak-anak yang sangat Anisa sayangi.
Seperti biasa, Anisa menyiapkan makan malam untuk keluarganya. Seolah-olah Anisa menunjukkan pada anak-anaknya jika hubungan orang tua mereka masih sama seperti dulu lagi.
"Besok adalah hari weekend. Ayo, Pa kita pergi ke Ancol,"saran Alvin, anak yang paling tua.
"Maaf, Sayang. Besok papa ada janji sama teman. Bagaimana kalau Minggu berikutnya?"tanya Haris, meskipun nampak raut wajah Alvin yang penuh kekecewaan. Alvin tetap menyetujui saran Haris.
"Besok pergi sama Bunda saja ya,"sambung Anisa, tak ingin membuat anak-anaknya bersedih dan kecewa.
"Hore...."teriak Alvin dengan antusias begitu juga dengan Salsa yang nampak senang. Rayhan bocah tiga tahun yang nggak ngerti apa-apa juga ikut tertawa bahagia di meja makan.
"Terima kasih, Anisa. Kamu selalu menjadi Ibu yang baik untuk anak-anak,"ucap Haris, Anisa hanya membalas dengan anggukan dan senyuman kecut.
'Apa aku tak pernah menjadi istri yang baik untuk mu Mas? Sehingga kamu dengan tega membuang ku begini?'batin Anisa masih menatap Haris dengan senyuman kecut di wajahnya.
Malam itu Haris memutuskan untuk menginap dan tidur bersama dengan Alvin anak tertua mereka. Demi menutupi kebohongan yang sedang Haris dan Anisa sembunyikan dari anak-anaknya. Haris terpaksa menuruti semua keinginan Alvin termasuk tidur bersama dengannya pada malam itu.
Meskipun sakit hati, setidaknya Haris masih bisa menjaga perasaan anak-anaknya sehingga membuat Anisa sedikit merasa lega.
Minggu pagi, matahari bersinar cerah, namun hati Anisa terasa berat. Biasanya, setiap Minggu pagi seperti ini, dia begitu bersemangat bangun pagi untuk mengurus rumah dan anak-anaknya. Karena nanti Haris akan membawa mereka untuk menikmati hari libur, pergi ke tempat hiburan, atau makan di restoran kesukaan mereka.
Namun, itu kini hanya menjadi kenangan yang tersimpan dalam benak Anisa. Semalam, Haris menginap di rumah untuk pertama kalinya setelah mereka memutuskan untuk berpisah. Anisa merasa ada harapan untuk bisa sarapan bersama seperti dulu, namun ternyata itu hanyalah harapan kosong belaka.
Pagi ini, dia terbangun mendapati Haris sudah tidak ada di rumah. Pria itu ternyata berangkat pagi-pagi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Anisa menatap kosong ke arah pintu yang terbuka, tak mampu menahan kesedihan yang menghujam hatinya. Ia bisa merasakan rasa sakit yang semakin dalam, seperti luka yang tak kunjung sembuh.
Anak-anaknya masih terlelap di kamar mereka, belum menyadari bahwa ayahnya telah pergi lagi. Dengan perasaan berkecamuk, Anisa mengambil langkah untuk memulai hari Minggu ini. Ia berusaha menyembunyikan air matanya saat memasak sarapan untuk anak-anaknya. Di meja makan, ia tersenyum pahit saat anak-anaknya bertanya tentang keberadaan Haris. Anisa hanya bisa menjawab dengan nada yang berusaha tenang.
"Papa sudah pergi bekerja, Nak. Kita sarapan dulu, ya?" Hari Minggu itu berlalu tanpa kehadiran Haris, seakan menjadi pengingat bagi Anisa bahwa kini ia harus belajar hidup tanpa pria yang pernah menjadi suami dan teman hidupnya. Mungkin suatu saat nanti, Anisa akan bisa menerima kenyataan ini dan kembali menemukan kebahagiaan bersama anak-anaknya.
Namun, untuk saat ini, hari Minggu pertama setelah berpisah dengan Haris masih terasa seperti mimpi buruk yang sulit untuk dihadapi.
"Bunda, ini hari libur. Bagaimana papa pergi bekerja?"tanya Alvin, anak tertua Anisa. Wanita itu tertegun dan mengingat setiap hari Minggu Haris pasti akan memilih cuti dan tinggal di rumah bersama dengan anak-anaknya. Anisa, jarang ke kantor Haris. Dia tak pernah menganggu pekerjaan atau urusan suaminya di luar. Anisa adalah tipe istri yang memberi kepercayaan penuh pada suaminya, Haris.
"Papa kan bilang hari ini ingin bertemu dengan teman. Siapa tahu, ada hal penting buka? Bukan kah kalian ingin jalan-jalan hari ini? Ayo, siap-siap! Bunda akan membawa kalian pergi berenang,"ucap Anisa dengan senyuman yang menghiasi wajah cantiknya yang mulai pucat.
"Bunda kenapa?"tanya Salsa, anak keduanya. Ketika melihat Anisa memegang kepalanya yang terasa pusing.
"Bunda, nggak apa-apa. Kita ajak Tante Mira ya biar seru!"antusias Anisa, anak-anaknya langsung bersorak kesenangan dan berlari ke kamar untuk bersiap-siap. Sedangkan yang paling kecil, baru saja bangun di bantu oleh seorang pelayan rumah.
"Bu, Anda sakit?"tanya Bi Nan.
"Tidak, Bi. Hanya kurang sehat saja,"Aisyah berkata dengah sudah yang pelan sembari tersenyum dan menatap Rayhan dalam gendongan Bi Nan. Bocah itu tersenyum pada ibunya. Bi Nan, meletakkan Rayhan di kursi meja makan dan mengambil sarapan untuk bocah usia tiga tahun itu.
Alvin, Salsa, dan Rayhan telah bersiap-siap dengan semangat untuk berangkat ke Ancol bersama ibu mereka, Anisa. Mereka saling mengejek satu sama lain sambil menunggu Anisa mengambil kunci mobil. Setelah semua siap, mereka berempat memasuki mobil dengan ceria. Anisa mengendarai mobil dengan hati-hati sambil sesekali melihat senyuman anak-anaknya melalui spion depan. Melihat kebahagiaan itu, hatinya hangat dan berjanji akan terus melawan penyakit yang mengancam hidupnya.
Tak lama kemudian, Anisa menerima pesan dari Mira, sahabatnya yang ingin bergabung dalam liburan singkat ini. Ia pun segera mengganti arah mobil dan menuju ke rumah Mira. Ketika Anisa tiba di rumah Mira, sahabatnya itu langsung berlari keluar dengan tasnya dan menaiki mobil.
"Terima kasih sudah menjemput, An!" ujar Mira sambil menghembuskan napas lega. Mereka melanjutkan perjalanan ke Ancol dengan penuh semangat, Alvin, Salsa, dan Rayhan tak sabar ingin segera bermain di pantai. Di dalam mobil, Mira menggenggam tangan Anisa erat-erat.
"Kamu harus tetap kuat, An. Aku tahu penyakitmu itu berat, tapi jangan biarkan itu mengambil kebahagiaanmu bersama anak-anak," ucap Mira dengan mata berkaca-kaca. Anisa mengangguk sambil tersenyum, menatap Mira dan anak-anaknya.
"Aku akan terus berjuang, Mir. Demi mereka dan masa depan kami bersama." Ujar Anisa dengan tekad bulat di matanya. Mereka pun melanjutkan perjalanan ke Ancol, bersiap untuk menciptakan kenangan indah bersama keluarga dan sahabat tercinta.
Tak lama setelah tiba di Ancol, Alvin dan Salsa langsung berlarian menuju wahana yang ingin mereka coba. Mata mereka bersinar penuh semangat, sudah tak sabar untuk menikmati keseruan liburan ini.
Sementara itu, Rayhan masih berada dalam gendongan Mira, tersenyum manis melihat kakak-kakaknya yang bersemangat. Anisa sibuk mengeluarkan barang-barang dari dalam mobil, memastikan tidak ada yang tertinggal. Setelah semuanya siap, mereka mulai melangkah memasuki kawasan Ancol.
Suara tawa anak-anak terdengar riang, semakin menambah kebahagiaan Anisa. Namun, kebahagiaan itu seketika sirna saat Anisa tak sengaja melihat sosok yang sangat familiar di antara kerumunan. Ternyata, itu adalah Haris, mantan suaminya yang pernah menyakiti hatinya. Sosok Haris yang kini telah berubah, terlihat lebih tampan dan berdiri di samping seorang wanita cantik yang lebih muda daripada Anisa.
Wanita itu berambut panjang lurus, berkulit putih mulus, dan tubuhnya ramping. Tampaknya mereka sangat mesra, sesekali Haris mencubit pipi wanita itu, membuat Anisa terenyuh. Hatinya terasa seperti ditusuk, melihat mantan suaminya bersama wanita lain. Namun, Anisa mencoba untuk menahan emosinya demi anak-anaknya yang sedang menikmati liburan. Ia mengepalkan tangannya, menahan rasa sakit yang mulai meluap.
Anisa berusaha mengalihkan perhatiannya dari sosok Haris dan wanita itu, lalu memusatkan perhatian pada anak-anaknya yang sedang bermain dengan riang. Anisa menghela nafas panjang, mencoba menguatkan diri. Ia tidak ingin liburan ini terganggu oleh kehadiran Haris dan wanita itu. Dengan tekad yang bulat, Anisa memutuskan untuk tetap menikmati liburan bersama keluarganya dan melupakan mantan suaminya itu.
Akan tetapi, Mira yang sejak tadi melihat Anisa melamun pun mencoba mengikuti ke mana arah penglihatan sahabatnya itu. Mira terkejut melihat Haris bersama dengan wanita lain.
"Haris?"gumam Mira. Anisa memalingkan wajahnya dan melihat Mira. Wanita itu menatap Anisa dengan ekspresi campur aduk.
"Ayo, Mir kita pergi! Sebelum anak-anak menyadari kehadiran Papa nya di sini!" Anisa menarik tangan Mira dan membawanya pergi dari tempat itu.
"Apa ini alasan dia ingin bercerai?!"tanya Mira dengan nada kesal yang sudah siap ingin menjambak rambut wanita yang berdiri mesra di samping Haris.
_____
Baca nya jangan di skip ya🙏🏿
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!