NovelToon NovelToon

SAY 'I Love You'

BAGIAN I - Sekar Ningrum

PRAK!!

Aku tidak sakit hati, saat kau melempar bukuku. Mungkin kau merasa jijik. Atau mungkin kau merasa takut padaku?

[Maaf. Aku salah.] Kau pasti malu. Aku ingin menghilang, aku malu menunjukkan wajahku di hadapanmu. Dihadapan teman-temanmu.

Aku tidak menangis karena sedih, ataupun takut. Aku hanya malu pada diriku sendiri. Aku marah pada diriku sendiri. Tapi, sungguh. Aku...

"Sadar diri! Kau itu bisu"

Aku tidak marah padamu. Sungguh. [Tolong berhentilah menginjak buku itu. Aku sungguh mengangumimu, Galih.]

"Berhenti berbicara dengan jarimu! Dasar aneh!"

Aku tidak sakit hati. Ini memang kondisiku. Galih, aku tau kau orang yang baik. Kau hanya takut bagaimana cara dunia memandangmu.

"BRAKKK!"

Mungkin karena tubuhku lemah dan lebih kecil darimu. Aku terhempas hanya karena dorongan kecil darimu. Sikutku menghantam pinggiran meja kelas. Terasa perih. Kau mengambil buku itu dan melemparkannya ke arahku.

Apa kau merasa bersalah?

[Tenanglah, aku tidak marah. Kau hanya takut pada teman-temanmu kan?]

"Cih! Harusnya kau tidak sekolah disini! Sekolah ini, bukan tempat untukmu! Cuh!"

Kau meludahiku. Apa aku terlihat kotor?

Aku melirik ke arah cermin besar dari lemari kelas.

Eh? Aku berantakan sekali. Seragam sekolahku. Tidak, besok aku harus pakai ini lagi. Bagaimana ini? Ah, iya... aku bisa mencucinya nanti.

Aku kembali bangkit. Mengambil bukuku yang lecek. Aku melihat sekitar kelas yang ramai. Semua melihat ke arahku dengan raut mereka yang aneh. Apa mereka mengkhawatirkanku?

Aku menunjukkan senyumanku. [Kalian tau, aku baik-baik saja.]

"Menjijikan"

Eh? Siapa yang baru mengatakan hal itu? Sudahlah, mungkin aku salah dengar.

...----------------●●●----------------...

Sekar adalah namaku. Usiaku saat ini mengijak 17 tahun. Aku memang bisu sejak kecil. Ibuku pernah bercerita. Aku bisu tidaklah dari lahir. Bisuku karena trauma yang pernah ku alami saat masih TK. Dimana, mobil kami mengalami kecelakaan besar. Aku harus kehilangan Ayahku dan suaraku sejak saat itu.

Meski begitu, tidak ada seorang pun yang boleh menjadi penghalang kesuksesanku sebagai penulis cilik. Aku sudah pernah menerbitkan satu karya di salah satu penerbit khusus buku fantasi anak-anak saat aku berusia 12 tahun. Ini karena dukungan Ibuku. Dia tidak pernah menyerah karena kondisiku.

"Nak, apa kamu sudah makan?"

Ibuku selalu memberikan kecupan dan pelukan saat aku menunggunya pulang kerja.

Aku mengangguk. Aku sungguh menyayangi Ibuku melebihi siapapun. Dia satu-satunya keluargaku.

"Bagaimana di sekolah? Apa kamu sudah belajar dengan baik? Dua minggu lagi kamu ujian akhir semester" Ibuku selalu mengingatkanku dengan hal-hal kecil seperti tugas sekolah.

Aku mengangguk lagi.

"Baguslah. Sekarang tidur ya..."

[Apa Ibu tidak lelah hari ini? Mau ku pijat punggung Ibu?] Aku mengerakkan jari-jariku dan sesekali aku mengeluarkan suara yang sangat kaku dan keras sekali untuk ku keluarkan.

"Ahahaha astaga, anak ibu.... Sudah tidur ya. Besok masih sekolah. Ibu tidak lelah hari ini-"

Itu adalah ucapan terakhir ibuku sebelum dia meninggal keesokan harinya di pabrik tempat Ibuku kerja. Jantungku seolah berhenti berdetak.

"Aaaaak....bbbuug"

Kulit Ibuku begitu pucat dan dingin. Wajah yang selalu tersenyum itu, untuk pertama kalinya aku memperhatikannya dengan jelas. Ibuku sudah memiliki kerutan di garis matanya. Ibuku sudah tua. Harusnya dia istirahat di rumah.

Satu persatu orang asing yang berkunjung sebelum ibuku di kebumikan. Beberapa dari mereka ada yang menepuk bahuku. Aku harus tabah. Tapi, bagaimana ini? Ibuku satu-satunya keluargaku yang tersisa.

Malam hari begitu sunyi. Tak ada yang mengobrol denganku. Aku sungguh kesepian. Berulang kali aku bermimpi bertemu Ibuku. Ku harap kesedihan ini cepat berlalu.

...----------------●●●----------------...

Hubungi Aku

Galih adalah seseorang yang kukagumi. Hampir di setiap karyaku ada dirinya. Meski aku tak pernah memberi namanya dalam karyaku. Itu mungkin terdengar aneh. Sungguh, kau menjadi motivasiku dalam menulis.

Kau sungguh baik saat tak ada temanmu. Kau sering mengulurkan tanganmu, saat mereka tak ada. Aku selalu melihat punggungmu. Tengkukmu yang terdapat anak rambut disana, aku dapat mengenalimu dari jarak jauh. Cara jalanmu begitu khas. Jari-jari lentikmu, terlihat cantik saat kau memainkan gitar sekolah di kelas musik.

Aku selalu memperhatikanmu dari jauh.

Kamu memang tidak setampan idola kelas, entah mengapa pandangan pertamaku jatuh padamu. Aku tidak menyangka akan satu sekolah lagi denganmu.

Kau sungguh baik saat masih SMP, pertemanan SMA memang agak menakutkan. Kau menjauhiku. Mungkin karena teman-temanmu adalah kumpulan anak-anak keren di sekolah.

Sesekali, aku membayangkan diriku berada di geng yang sama denganmu. Hehe, itu menyenangkan saat hal itu menjadi ide cerita yang ku tuliskan sekarang. Aku tidak menggunakan namamu, tapi aku menggunakan ilustrasi fisikmu yang selalu menjadi motivasiku selama ini.

Aku ketahuan. Mungkin, dari sana kau merasa buruk saat melihatku. Kau selalu menghindari sapaanku. Sesekali, kau melemparkan ucapan yang menyakitkan hati. Aku tidak pernah sakit hati. Aku tetap menulis tentangmu.

Kisah romansa sekolah, tentang konflik Osis dan Siswa biasa namun selalu menjadi nomor 1 di sekolah. Kemudian, keduanya dari benci menjadi rasa suka. Aku menulis Novel itu dengan dirimu sebagai tokoh utamanya. Aku tidak pernah menempatkan diriku sebagai tokoh utama. Aku hanya senang menjadi seorang penulis yang bisa merasakan perasaan tokoh-tokohku dari berbagai sudut pandang.

Aku menulis banyak karangan di binderku. Ada ilustrasi tentang karaktermu di sana. Temanmu melihatnya. Menunjukkannya padamu saat aku berusaha merebutnya. Aku malu. Kau terlihat marah.

[Maaf, bisakah kamu mengembalikan binderku?] Aku menuliskannya di buku note kecil yang selalu ku bawa untuk memudahkan komunikasi. Aku menunjukkan itu padanya.

Alis tebalnya, terlihat naik ke atas. Dia menepis note kecilku.

"Menyeramkan sekali, kau membuatku takut. PRAK!" Dia melemparkan bukuku ke arah jendela. Beruntung buku itu tidak melayang keluar. Hanya terhantam pinggiran jendela dan jatuh di dekat kaki temannya.

[Maaf. Aku salah]

Aku mengerakkan tanganku. Mempertemukan kedua telapak tanganku. Dia pasti paham maksud gerakan ini.

Bibirnya bergerak. "Sadarlah. Kau itu bisu. Berbicara aja sulit, apalagi menjalin sesuatu seperti yang kau tulis" Ucapnya tanpa menoleh ke arahku.

Aku tidak sakit hati, ucapan itu memanglah faktanya. Saat aku akan meraih binderku, temannya menginjak binder itu dengan sepatu pantofelnya. Aku melihatnya, kalau tidak salah perempuan itu kabarnya dekat dengan Galih. Clara adalah namanya. Dia dari kelas 2-2.

Aku mengambil note kecilku itu dengan cepat. [Tolong, berhenti menginjak bukuku. Kembalikan] Tulisku disana.

"Hah?!" Dia tertawa. Aku tidak tau dimana letak lucunya. Dia semakin menginjak binderku dan menendangnya ke arah Galih. Aku melihat Galih. Berharap dia mengembalikannya. Aku tidak sadar mengerakkan jariku untuk berbicara dengannya.

"Berhenti berbicara dengan jarimu! Dasar aneh!"

Mungkin kau marah karena tak mengerti ucapanku.

"BRAKKK!"

Mungkin karena tubuhku lemah dan lebih kecil darimu. Aku terhempas hanya karena dorongan kecil darimu. Sikutku menghantam pinggiran meja kelas. Terasa perih. Kau mengambil buku itu dan melemparkannya ke arahku.

"TAK!"

Pinggiran binder itu menghantam keningku. Aku memegang keningku. Terasa peyok ke dalam. Ah, ini tanda-tanda akan benjol.

Galih dan Clara pergi dari hadapanku. Meninggalkan ku di keramaian yang Clara perbuat. Hingga, seseorang tiba-tiba datang ke arahku. "Kau baik-baik saja?" Suara laki-laki yang halus. Aku mendongakkan kepalaku untuk melihatnya.

Dia melihat ke arah anak-anak lain yang berkumpul. "APA YANG KALIAN LIHAT?!" Dia membuat anak-anak yang berkumpul jadi pergi.

Aku tidak tau dia siapa. Bet kelasnya, menunjukkan dia kelas 1-3. Dia adik kelas. Pantas saja seragam batiknya masih berwarna pekat. Aku menuliskan [Aku baik-baik saja. Terima kasih] di note kecilku.

Dia memanyunkan bibirnya dan mengambil note, serta bolpoin mawarku.

Dia terlihat memenuliskan sesuatu disana. Dan segera memberikannya padaku. [Namaku Khanza. 08*81772**** ini nomorku. Mari kita berteman] Dia membuatku syok. Aku tidak akan menyimpan nomor itu. Dia mencurigakan. Aku refleks melihatnya.

"Kalau mereka menganggumu, hubungi aku. Siapa namamu?" Apa dia sungguh anak baik?

Aku menunjukkan namaku di sampul note kecilku. "Oh, Se~kar... Dari kelas mana?" Dia berdiri dan mengulurkan tangannya.

Penampilannya, terlihat kalau dia anak yang berantakan. Yang lain juga terlihat ketakutan saat dia menyuruh mereka bubar. Di pergelangan tangannya, dia menggunakan gelang kayu kokka hitam yang bulat-bulat kecil. Mungkin, bulatan itu berjumlah 32-34 biji. Aku menerima uluran tangannya dan memberi kode kelasku [2-1].

"UWEHH! KAU... KAKEL?!" Dia menarik lengan kananku untuk melihat bet kelasku.

Aku mengangguk.

"Astaga, ku kira masih kelas satu. Haha, padahal wajahmu kek wajah anak SMP" Ucapnya. "Tinggimu juga kek sepupuku yang kelas 5 SD" Dia menepuk bahuku yang kotor.

Aku ingin sekali menunjukkan cermin padanya. Dianya saja yang tingginya kelebihan. Tinggiku normal 151 cm.

"Yah... Baiklah Kak Sekar. Simpan nomorku ya. Oh, atau aku saja yang menyimpan nomormu. Aku bisa membaca wajahmu kalau kau gak bakal nyimpen tuh nomer"

Eh? Kenapa dia benar?

Dia mengeluarkan ponselnya. Ponselnya bagus. Itu adalah ponsel mahal. Mungkin, dia anak orang kaya. "Dah yok, ketik nomornya" Ucapnya mengulurkan ponselnya.

Berat ponselnya berbeda dengan ponselku. Mungkin karena ponselnya ponsel bagus. Aku segera mengetikkan nomorku. Dan memberikannya padanya.

Dia mengirimiku pesan. Ponselku berdering. "Mana ponselmu" Ucapnya mengulurkan telapak tangan kanannya. Dia membuatku takut. Aku menahan ponselku dengan erat.

"Haishh, mana" Dia merebutnya dan membuka layar ponselku.

"Hei, kenapa tidak ada pengaman di ponselmu? Minimal kasih sandi angka lah" Ucapnya sambil berjongkok di sebelahku.

Kenapa dia yang heboh? Itu ponsel-ponselku. Aku mengintip apa yang dia lakukan di ponselku. Dia memberi kunci sandi angka disana. "Berapa tanggal lahirmu?" Tanyanya.

Aku menulis di note ku. [Untuk sandiku?]

Dia mengangguk.

[090404] tulisku.

"Bulan empat 2004?" Tanyanya sekali lagi.

Aku mengangguk.

"Tua-an aku dong?" Tanyanya.

Eh? Mungkin karena aku hanya TK satu tahun.

[Kamu tanggal berapa, Kanza?]

"Umm, 21 Januari 2004. Jadi, panggil aku Kak ya~" Ucapnya sambil menepuk ubun-ubunku.

[Hei! Kita hanya selisih bulan saja] Tulisku.

"Ahahaha, yaudah-yaudah. Kita panggil nama masing-masing aja ya? Lihat ini sudah ku kasih sandi. Entar kalo mau di ganti, gantiin aja. Gpp"

Dia sungguh ngomong G-P-P. Dia menyenangkan. Aku mengangguk dan mengintip apa yang dia lakukan lagi di ponselku. Dia mengetikkan namanya. [Kanza♡].

[Eh? Apa-apaan dengan emoticon itu?]

"Biar kelihatan kita berteman lama. Lagian, kontakmu cuma ada 3 orang saja sama aku. Kasihan sekali" Ucapnya blak-blakan.

Aku hanya bisa tersenyum padanya. Kalau boleh jujur, aku ingin memukul wajahnya yang cukup tampan itu dengan binderku.

Ongkos

Ku kira sosok bernama Khanza ini hanya bermain-main dengan ucapannya. Dia sungguh menemaniku selama hampir seminggu ini. Karena dia, kelompok Clara tidak terlalu mengangguku. Meski begitu, dia membuatku bertanya-tanya.

[Kenapa kau mau berteman denganku?] Tulisku di noteku.

"Eung,.. karena kau tak punya teman"

Aku segera mengalihkan pandanganku. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Dia mengambil noteku. Aku melihatnya. "Sekar, ajari aku bahasamu. Aku cape membaca terus" Dia selalu membuatku terkejut.

Aku tertawa kecil. Kembali menulis di noteku yang ku ambil balik. [Enakan ditulis. Kau akan sulit memahami kalau menggunakan bahasa isyarat] Tunjukku padanya.

Matanya menyipit melihatku. "Tulisanku jelek. Aku hanya ingin memahamimu. Kan kalau kita di sebrang jalan, masa kau harus menulis di baliho agar aku bisa membacanya" Ucapnya.

"Ekh, ahahaha" Aku tertawa karena leluconnya itu.

...----------------●●●----------------...

Kanza mulai belajar beberapa gerakan isyarat; mau kemana, ada apa, mau ke toilet, terima kasih, hati-hati, Ayah, Ibu, maaf, dan beberapa kata lainnya yang mudah. Meski terkadang, dia masih kurang tepat dalam peletakannya. Tapi, aku mengerti karena gerak bibirnya.

Dia mulai berani masuk kelasku saat kelasnya jam kosong dan kelasku tak ada guru. Dia melihat tulisan tanganku di binderku. Sesekali dia bertanya tentang apa yang ku tulis.

Jawabanku masih sama. [Aku menulis karangan novel] Jawabku di buku note.

Bibir Kanza terlihat membulat [O] "Kenapa tidak di ketik saja? Daripada dua kali kerja" Tanyanya membaca karanganku.

[Iya, nanti waktu di ketik, itu sudah revisian. Aku sering sekali tidak konsisten dengan alur novelku] Tulisku dan memberikan note ku padanya.

"Ya, ya. Itu bagus. Daripada tidak punya hobi sepertiku" Ucapnya dan terkekeh.

Aku kembali mengambil noteku. [Tidak ada yang tidak punya hobi. Mungkin, kau setiap harinya sibuk dan belum sempat melakukan hal yang kau sukai] Tunjukku padanya.

Dia mengangguk. Apa ucapanku benar?

"Hahhh..." Dia meletakkan kepalanya di mejaku dan melihat ke arahku.

[Kau kenapa?]

"Aku ingin jalan-jalan. Tapi, tidak ada teman yang mau denganku" Dia mengeluarkan suara layaknya tengah merajuk.

[Haha, tentu saja. Mereka semua takut dengan penampilanmu. Meski kau tampan, kau itu sedikit menakutkan.]

"Huh? Aku tampan?"

Aku mengangguk.

"Haha, memang aku ini tampan. Mereka yang menjauhiku hanya takut dengan penampilanku kan?" Dia mengulangi tulisanku.

[Ya, kau terlihat seperti pembully] Tulisku.

Dia hanya tersenyum dan mengambil noteku. Dia menulis disana. Tulisan tangannya tidak bagus. Tapi, aku bisa membacanya.

[Mau jalan-jalan denganku Minggu ini?] Tulisnya.

Aku melihatnya dan menulis lagi.

[Kemana? Dan mau ngapain?]

[Bioskop. Aku yang bayarin] Tulisnya.

Tak ada alasan bagiku menolaknya. Lagi pula, menonton bioskop tidak akan lama. Mungkin, mentok cuma 3 jam. Itulah yang ku kira.

Tapi, apa yang terjadi?

Hujan.

Hujan sungguh turun di panas-panasnya hari Minggu.

Aku melihat Kanza yang menggunakan Neckturtlenya, tengah mengosok rambutnya yang rapi. "Ah, aku tidak mengira hari ini akan hujan. Apa rumahmu jauh?" Tanyanya.

Aku mengeleng. [Aku bisa memesan taksi. Bagaimana denganmu?] Aku mengirimnya chating.

Dia segera membacanya.

"Taksi ya? Jangan sudah, mungkin hujannya akan redah sebentar lagi. Duduklah dulu. Aku pesankan minuman hangat" Dia memegang kedua bahuku dan mengarahkanku ke kursi terdekat. Dan menyuruhku duduk menunggunya disana.

Padahal dia tak perlu repot-repot begini, batinku saat melihatnya berlari ke sebrang jalan tempat cafe berada.

Aku melihat layar ponselku. Hampir jam 3 sore. Pakaianku terlalu tipis untuk hawa dingin. Aku sungguh tidak mengira akan turun hujan. Aku melihat Kanza yang baru keluar dari cafe itu. Dia menunggu jalan sepi kemudian menyebrang.

"Maaf, apa kamu menunggu terlalu lama?" Tanyanya.

Rambutnya terlihat berembun karena rintikan hujan yang menainya. Aroma parfumnya yang soft, tercium menyegarkan karena hujan ini.

Aku mengeleng. Dan menerima Cappucino panas yang baru dia beli. Aku membuka penutup cupnya. Aroma wangi, sungguh mengiyurkan. Aku menyeruputnya perlahan.

Perlahan, aku melihat ke arah Kanza. Ingin tau apa yang tengah dia lakukan sekarang. Mata kami bertemu. Ini membuatku kaget. Dia sejak kapan melihatku?

Aku menganggukkan daguku, bertanya [Apa?]. Dia hanya cengegesan sambil mengosok tengkuknya. Apa dia malu karena ketahuan?

"Apa kau tidak dingin?" Tanyanya dengan pelan.

Ah, dia mengkhawatirkanku?

Aku hanya mengeleng.

"Sebenarnya, kos-anku dekat dari sini. Mungkin hujannya tidak akan reda selama beberapa jam ke depan. Barusan aku melihat beritanya di cafe itu. Kalau kau mau, aku akan meminjamkanmu pakaianku. Bagaimana?"

Aku segera membuka ponselku. Kembali mengetik. [Di kos-anmu, apa ada orang?] Kirimku padanya.

[Tidak. Aku tinggal sendiri] Jawabnya.

Aku tidak bisa menerimanya.

Dia laki-laki dan aku perempuan. Tidak etis bagiku apabila berkunjung di rumahnya tanpa ada orang lain. Aku kembali melihatnya. Aku bisa membaca raut itu. Dia memang khawatir. Tapi, aku belum bisa mempercayainya begitu saja.

"Aku tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh. Daripada menunggu lama disini, dan kau bisa sakit karena kedinginan" Ucapnya mengengam kedua tanganku.

Aku menepuk pergelangan untuk melepaskan tanganku. Kembali mengetik. [Aku bisa pulang dengan taksi] kirimku lagi.

Dia tidak boleh memaksaku. Dia mengangguk. Aku senang dia mengerti.

"Baiklah, aku pesenin taksinya" Ucapnya sambil membuka ponselnya.

"EH??! A..ang, ida'ak pekh-luuh" [Jangan! Tidak perlu!] Aku menggunakan bahasa isyrat dan tanpa sadar aku mengeluarkan suaraku.

Aku langsung membekap mulutku. Dia menatapku. Tidak, apa dia akan menjauhiku, sama seperti yang lain?! Aku langsung menundukkan kepalaku. Aku tidak berani melihatnya.

"Eeh?? Aku tidak tau kau ternyata memiliki suara. Ku kira kau hanya bisa bersuara 'eh', 'akh,' dan tertawa. Itu bagus dong" Dia selalu membuatku terkejut.

Aku hampir menangis karena takut. Bibirku tiba-tiba manyun dengan sendirinya. Tak bisa ku kendalikan. Aku hampir menangis karena mendengar ucapannya. Dia yang pertama kalinya menjadi orang yang memujiku, selain Ibuku.

"Ee? Apa kau mau menangis, Sekar? Maaf, aku sungguh tidak tau. Apa ucapanku barusan menyakitimu? Maaf..." Dia langsung berdiri di sebelahku.

Aku meremas bibirku yang tak bisa ku kontrol. Aku kembali membuka layar ponselku. Kembali mengetik dan dia segera mengambil ponselnya diatas meja.

[Terima kasih. Aku sungguh senang memiliki teman sepertimu] Kirimku sambil melihatnya.

Dia tersenyum lebar. Kemudian menghela ringan. "Astaga, ku kira kau marah padaku. Tak perlu berterima kasih. Lagi-pula aku yang mengajakmu keluar. Jadi, aku yang akan membayar ongkos pulangmu" Ucapnya.

Tunggu, bukan taksinya yang ku maksud. Ah, sudahlah. Nanti juga dia akan paham. Pekanya Kanza memang lama. Lebih lama dari siapapun yang ku kenal.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!