NovelToon NovelToon

The Mask Painter

1. Tugas Pertama

     Suara rintik hujan yang berisik menabrak payung dan atap mobil dengan bunyi nyaring, di antara kerumunan orang yang berjalan terburu-buru pada malam hari, gadis itu dengan mudah berjalan sembari menunduk melewati kerumunan orang dan berbelok ke dalam gang yang sepi dan gelap.

Beberapa orang memperhatikan dengan heran ketika gadis itu berbelok masuk ke dalam gang, mereka mencoba untuk menghentikannya, namun sudah terlambat karena gadis itu telah menghilang dalam kegelapan.

"Kemana perginya gadis itu? Menghilang begitu saja!"

"Aku heran apakah gadis itu tidak melihat berita baru-baru ini bahwa banyak kejahatan yang terjadi di gang itu…"

"Aku harap gadis itu baik-baik saja, ayo pulang."

Dua tiga orang berkerumun di depan gang, namun tidak ada yang berani masuk ke dalam gang itu sama sekali. Sang gadis—Odessa, berjalan dengan santai di sepanjang lorong gang yang sepi, gelap, dan berkelok itu. Lampu senter ponselnya menyala untuk menerangi jalannya di depan, tidak ada orang lain selain dia yang berjalan di gang ini dan hanya suara hujan yang mengikuti kemana langkahnya pergi.

Odessa menatap garis kuning polisi yang sedikit rusak dan tampak kotor di tanah dekat dinding gang, tulisan itu menunjukkan kalimat "Dilarang Melintas". Dalam diam Odessa membuka catatan di ponselnya mengenai kejadian yang telah terjadi di tempat ini, matanya yang terkena oleh cahaya ponsel bergerak dengan cepat membaca informasi yang ia dapatkan.

"Pemerkosaan dan pembunuhan seorang wanita terjadi di Gang 13 wilayah pinggiran kota A. Konon seorang perempuan yang menjadi korban pada awalnya di perkosa oleh sekelompok gangster di daerah sekitar dan dibunuh menggunakan senjata tajam dengan dua puluh kali bacokan di sekujur tubuh pada malam hari sepulang dari kerja kelompok … identitas terlampir, yah."

Odessa menatap seorang foto gadis yang berambut coklat muda terurai yang dapat diperkirakan masih berusia sekitar 16 hingga 19 tahun dengan senyuman manis dan foto seragam sekolah putih.

Langkah kaki Odessa berhenti di kelokan yang ke-empat, ia menoleh dan mendongak menatap seorang perempuan yang menghadap ke arahnya dengan menunduk, rambut sang gadis terjulur menutupi seluruh wajahnya, pakaian putih yang dikenakan bersimbah darah dan di beberapa anggota tubuhnya terdapat lubang yang menunjukkan belatung dan daging yang dikoyak secara paksa.

Kakinya yang melayang dan tidak menapak pada tanah menunjukkan identitasnya sebagai hantu, lebih tepatnya hantu penuh dendam karena warna pakaiannya yang hampir penuh oleh merah darah.

"Korban pemerkosaan itu … kamu, kan?" Odessa menatap gadis itu yang akhirnya mendongak ke arahnya, ketika kepalanya terangkat dan rambutnya yang tergerai sedikit terkulai ke samping, terlihat wajah gadis itu yang hancur dengan parah karena bekas bacokan menyilang. Mata gadis itu sepenuhnya putih menatap penuh kebencian kearah Odessa.

Gadis hantu bersimbah darah itu menggeram dengan suara melengking dan kasar seolah tenggorokannya telah di amplas, kuku tajam yang diubah setelah menjadi hantu pendendam terus memanjang hingga hampir dua puluh Sentimeter, gadis itu melayang maju dan mencoba menusuk Odessa dengan kuku tajamnya!

Odessa sedikit kaget ketika gadis hantu itu mulai menyerang tanpa sebab, ia menghindar ke samping ketika kuku gadis itu mencoba menusuknya, segera di dinding tempatnya berada tadi seketika memiliki bekas seperti tusukan paku. Payung Odessa terjatuh karena ia mencoba menghindar, ia terpaksa harus basah kuyup karena hujan untuk melindungi dirinya.

"Sial! Tunggu sebentar!" Odessa menghindari setiap serangan gadis hantu itu di tempat sempit, meskipun tubuhnya tidak akan terluka ketika tertusuk oleh kuku gadis hantu itu, tapi jiwanya mungkin akan terluka jika tertusuk. Area di gang sempit sedikit menyulitkan Odessa untuk menghindar, ia menginjak dinding samping dan melakukan lompatan di udara ketika gadis hantu itu mencakar semakin ganas.

"Tunggu sebentar Linn! Aku di sini bermaksud menolongmu!" Odessa menjadi cemas ketika suara gerakan gadis hantu itu—Linn menjadi semakin marah. Odessa menepis serangan tangan kiri dari Linn, namun matanya hampir saja tertusuk oleh kuku di tangan kanan Linn yang menyerang ke arahnya ketika ia lengah, kini kedua tangan Linn tidak dapat lagi bergerak karena dalam posisi kunci oleh Odessa.

"Pembohong! Penipu! Kamu hanya ingin mempekerjakan jiwaku, kan?!!" Hantu Linn meraung marah dan mencoba melepaskan tangannya yang ditahan, namun Odessa segera mengencangkan cengkeramannya dan menahan pergerakan Linn dengan erat.

"Tidak, apakah kamu tidak tahu toko topeng?" Odessa mencoba berbicara baik-baik dengan hantu Linn, ia berharap gadis hantu ini tahu sesuatu tentang toko keluarganya.

"Aku adalah penerus pemilik toko topeng itu … tenang dulu!" bentak Odessa, tubuhnya yang menjadi semakin basah membuat Odessa menjadi sedikit tidak sabar. Mendengar ucapan Odessa, Linn seketika berhenti melawan dan tampak diam berpikir, gerakan memberontaknya perlahan melemah dan tangannya akhirnya turun.

"Apakah kamu Odessa yang dikatakan hantu lain?" Linn menatap Odessa dengan mata putihnya, suaranya yang serak terdengar mengerikan di malam yang gelap. Odessa akhirnya melepaskan cengkeramannya pada tangan Linn begitu gadis hantu itu menurunkan perlawanannya, ia mengangguk mengiyakan, "Ya, aku adalah Odessa. Sang pelukis topeng."

Linn tampak berdiam cukup lama, ia yang awalnya penuh kebencian perlahan berubah menjadi seperti gadis yang tersesat. Linn mendongak menatap Odessa dengan raut wajah sedih, "Apakah kamu ingin menangkapku?"

"Yah, terpaksa. Itu yang harus aku lakukan, aku mendengar tentang keresahan di sekitar gang, banyak hantu yang melapor bahwa kamu mencelakakan beberapa manusia yang lewat melalui gang ini," jawab Odessa, ia mengeluarkan salinan topengnya dan alat lukis yang ia punya. Linn tampak mundur dan menutupi wajahnya ketika melihat Odessa mengeluarkan sebuah topeng putih polos dan sebuah peralatan cat.

"Aku tidak ingin kembali ke dunia bawah, aku harus menemukan gangster yang memperkosaku dan membalaskan dendam terlebih dahulu, jika tidak aku tidak bisa menerimanya." Linn menggelengkan kepalanya, ia menggeram rendah penuh kebencian dan dendam ketika mengingat wajah-wajah para gangster yang telah melakukan kejahatan kepadanya hingga mati.

Odessa menghela nafas dan menurunkan tangannya yang sudah ingin melukis, "Linn, aku tahu kamu tidak bisa menerimanya kecuali membalaskan secara pribadi. Tapi kamu tidak bisa berlama-lama di dunia, atau kamu akan kehilangan ingatanmu dan menjadi arwah pendendam yang tidak tahu arah. Ketika itu terjadi, mungkin bahkan kamu tidak bisa lagi mengingat wajah pembunuhmu dan jiwamu sudah terlambat untuk memasuki dunia bawah."

Odessa menatap Linn yang masih tetap keras kepala, ia mengetuk topeng putih polos yang belum ia lukis dengan kuasnya, "Aku tidak bisa membebaskanmu berkeliaran tanpa izin di sini. Apa yang harus aku lakukan…" Odessa berhenti sejenak dan berpikir, ia sedikit kasihan juga pada Linn yang penuh dendam, lagi pula ia juga tidak akan terima jika menjadi gadis hantu itu.

"Begini saja, katakan padaku apa yang ingin kamu lakukan begitu melihat mereka? Jika apa yang ingin kamu lakukan masuk akal, maka aku akan membantumu menemukan gangster itu." Odessa akhirnya hanya dapat menyuarakan pilihan terakhirnya. Mata putih Linn yang mati menjadi sedikit hidup, Linn mengangguk, "Aku memiliki sesuatu yang ingin aku lakukan pada mereka."

"Apa itu?" Odessa bertanya dengan lembut.

"Membunuh mereka."

"Tidak." Odessa menolak, ia menggelengkan kepalanya, "Membunuh manusia tanpa tenggat waktu ajalnya tiba kecuali karena kecelakaan mendadak akan melanggar hukum dunia bawah, kamu bisa dimasukkan ke neraka padahal kamu jelas tidak bersalah bukan?"

Linn sedikit kecewa, namun ia memikirkan kata kuncinya … jangan mati. Linn seketika mendongak begitu ia menyadarinya, "Apakah selama aku memberikan pukulan fatal namun tidak membuat mereka mati, kamu akan mengizinkanku?"

Odessa tahu Linn sepertinya memahami maksud dari perkataannya, ia tersenyum dan memiringkan kepalanya, "Kamu pintar."

"Benarkah?" Linn seketika menjadi berapi-api, "Kalau begitu aku ingin mencabik-cabik kejantanan mereka, apakah boleh?"

Odessa hampir tersandung ketika ia mendengar jawaban gadis hantu itu, ia terbatuk mencoba tenang dan mengangguk, "Ya, tentu saja boleh. Selama mereka tidak terbunuh." Odessa menyadari bahwa mata Linn yang kembali menjadi normal dari keputihan menyeramkan, hal itu menandakan bahwa dendam gadis itu mulai berkurang, kerja bagus.

Odessa berhenti dan mengetuk topeng di tangannya sembari tersenyum, "Jadi, apakah kamu setuju untuk di lukis dan masuk ke dalam topeng setelah kamu mencabik-cabik pembunuhmu?" Linn mempertimbangkannya, "Aku ingin melakukan satu hal lagi sebelum mau dilukis."

"Apa itu?"

Linn menatap Odessa dengan lembut, matanya mulai berkaca-kaca dan aura ganasnya mulai menghilang, "Aku ingin meminta maaf dan mengucapkan selamat tinggal pada ibuku sebelum aku pergi."

Odessa seketika berdiri tegak ketika melihat Linn yang mulai menangis darah, ia sejenak merasa terdiam. Namun Odessa perlahan mengangguk dan tersenyum, "Baiklah, kamu bisa melakukannya sebelum pergi."

"Jadi, setuju untuk di lukis?" Odessa termenung, mungkin hal yang ia tanyakan hampir sama dengan pertanyaan; setuju untuk pulang?

Linn menatap Odessa sejenak sebelum akhirnya mengangguk, "Tentu."

2. Memori Linn

Semuanya berawal dari hari itu...

Tubuhku bersembunyi di balik pintu mendengarkan suara ibuku yang sedang menelpon di ruang tamu kontrakan kecil kami. Karena ruangan yang tidak terlalu besar dan ruang tamu terhubung dengan kamar hanya dengan beberapa langkah, suara pertengkaran ibu dengan orang di balik telpon dapat dengan mudah terdengar olehku yang sedang berada di dalam kamar.

"Maaf pak, saya berjanji tagihan air akan kami bayar … tidak, tolong jangan usir kami pak! Cukup beri saya seminggu, saya akan segera membayarnya!"

Aku dapat mendengar suara ibuku yang penuh Isak tangis dan permohonan dengan rasa lelah yang dalam mencoba berdiskusi dengan seseorang di balik telpon. Pasti pemilik kontrakan, pikirku. Tanganku terkepal erat di balik lengan baju yang tampak bagus dan trend akhir-akhir ini, aku menunduk dan merasa semua ini adalah salahku.

Ibuku selalu seperti ini, jelas aku sudah bilang padanya untuk tidak perlu membiarkanku memakai sesuatu yang dipakai oleh anak gadis lain, tapi ia tetap keras kepala. Katanya, "Ibu hanya ingin anak ibu tidak malu meskipun kita miskin, ibu percaya bisa membahagiakanmu nak."

Omong kosong.

Jelas cukup hanya dengan dapat membayar tagihan dan melihatnya tidak terlalu lelah bekerja sampingan yang begitu banyak dan berat itu, aku sudah bahagia. Tapi tetap saja, ibu memang orang yang sangat keras kepala. Aku menghela nafas, tubuhku perlahan merosot turun dan duduk di lantai sambil memeluk lutut dengan perasaan kacau dan bingung.

Semenjak ayah tiada di usiaku yang ke-tiga belas tahun, yang menghidupiku sejak saat itu hingga sekarang hanyalah ibu. Beliau adalah sosok yang hebat, dari terbit fajar hingga larut malam beliau terus bekerja tanpa henti seolah tanpa rasa lelah.

Ibuku sangat jarang sakit, bahkan hampir tidak pernah, ia selalu menjaga kesehatannya tidak peduli apakah itu dalam keadaan musim penyakit atau bahkan musim dingin dan hujan. Ibuku pernah bilang, jika dia sakit aku tidak akan bisa makan karena ia tidak berpenghasilan, oleh karena itu ibu tidak boleh sakit.

Aku tidak mengerti bagaimana cara berpikir ibu, seperti yang kubilang sebelumnya, beliau adalah sosok yang sangat keras kepala. Setelah setahun kepergian ayah, jelas aku tidak keberatan untuk membiarkannya menemukan seorang pria untuk menjadi suami barunya, setidaknya itu akan memudahkannya dalam menemukan uang.

Bahkan nenek juga menyuruh ibu untuk menikah lagi, namun ibu menolak. Katanya ia tidak membutuhkan seorang pria untuk menghidupi keluarganya, ia bisa melakukannya sendiri. Sungguh wanita yang mandiri, kan?

Tapi itu jelas kebohongan, aku tahu ibu telah jatuh cinta dengan seorang pria, pria itu sebenarnya cukup baik dan aku pernah melihatnya sebelumnya, tapi ibu tampak takut untuk menunjukkan cintanya, awalnya aku tidak tahu mengapa tapi aku kemudian setelah aku sedikit lebih dewasa, aku akhirnya mengerti.

Ibu takut aku tidak nyaman.

Padahal selama ibu bahagia aku akan bahagia juga, meskipun … mungkin nasibku akan sama seperti anak-anak lain yang ditinggalkan setelah orang tuanya menikah lagi.

Pria yang disukai ibu adalah tetangga kontrakan kami, sampai sekarang masih ada, tapi tetap saja ibu tidak mendekati pria itu karena aku. Aku hanya bisa pasrah dan tidak bisa memaksa ketika ibu tidak mau, lagi pula itu adalah keputusan untuk hidupnya, aku yang masih seorang anak saat itu tidak bisa ikut campur dalam kehidupan pribadi ibu.

Aku menghela nafas dan melihat ke arah jendela kamarku yang masih terbuka, aku menatap langit yang gelap tanpa sedikitpun bintang ataupun bulan. Pikiranku bergemuruh memikirkan apa yang harus aku lakukan agar bisa membantu ibu, meskipun ibu melarang untuk bekerja padahal aku sudah berumur 17 tahun sekitar seminggu lagi, tapi mau tidak mau aku terpikir tentang ibu yang selalu kelelahan dalam bekerja. Tapi aku tidak bisa membangkang terhadap perintah ibu, aku hanya ingin membantu keuangan keluarga.

"Apa yang harus aku lakukan?" Aku mengerang dan menarik rambutku dengan keras mencoba berpikir, mataku bergerak dengan gelisah, tidak bisa memikirkan ide sama sekali membuat kepalaku menjadi linglung, tatapanku dari yang menatap langit gelap beralih ke arah buku pelajaranku yang masih terbuka di atas meja belajar. Aku berdiri dan melangkah menatap buku, ketika aku kembali berpikir, mataku seketika melebar.

Aku pikir aku tahu apa yang harus aku lakukan!

Senyum manis mulai terbit di wajahku, mataku kini dipenuhi tekad yang kuat ketika tanganku mengepal bersemangat. Aku tertawa bahagia, "Kenapa aku bisa melupakannya? Aku selalu mendapat nilai tertinggi di semua pelajaran di sekolah, kenapa aku tidak menjadi guru bimbingan belajar saja? Itu ide yang bagus!"

Tapi seketika aku berhenti, aku menjadi ragu.

Dari mana aku bisa menemukan siswa yang perlu dibimbing? Pikirku bingung.

Aku menggelengkan kepalaku dan menyingkirkan pikiran itu, lebih baik aku menyiapkan semua materi yang mungkin aku bisa ajarkan dari sekarang. Aku hampir begadang semalaman untuk menyusun rangkuman dari tiga buku pelajaran, ketika pukul setengah tiga pagi, akhirnya aku menguap dan pergi tidur.

Keesokan paginya, aku pergi sekolah hanya dengan dua jam tidur, mataku tampak sedikit lelah namun aku berusaha menutupinya dari ibu, ketika aku berhasil lolos dari pandangan ibu dan sampai di sekolah. Aku duduk di kursiku dan termenung memikirkan kemana aku harus menawarkan jasa bimbel itu, ketika aku mulai putus asa, aku bercerita kepada sahabatku mengenai apa yang aku pikirkan semalam, aku berharap bisa menemukan jawaban dengan bertanya.

"Hmm… aku pikir ide bagus juga untuk menjadi guru bimbel. Kepada siapa menawarkan jasa … uh, bagaimana jika kamu mencoba berdiskusi dengan guru pembimbing lombamu yang waktu itu? Mungkin beliau ada kenalan siswa yang perlu dibimbing." Sahabatku itu menggaruk kepalanya bingung, namun aku tahu dia menyarankan ide yang sangat bagus. Aku merasa sedikit lega karena sahabatku itu satu frekuensi denganku.

Aku tersenyum manis kepadanya dan menepuk bahunya senang, "Ide bagus kawan! Terima kasih, aku tahu aku pasti bisa menemukan solusi ketika bertanya denganmu!"

Aku tertawa kecil ketika melihat pipinya memerah karena malu, "Haha … bukan apa-apa. Bukankah bagus menolong sahabat yang sedang kesulitan? Lagipula aku hanya membantu mengusulkan ide."

"Walaupun begitu, itu sangat berharga tahu!" Aku cemberut dan menggelengkan kepala tidak setuju, ia tampak tertawa sehingga aku juga ikut tertawa bersama-sama. Tidak lama bel masuk berbunyi dan dia kembali ke tempat duduknya, aku duduk tegak ketika guru mapel jam pelajaran pertama akhirnya masuk, kami menghabiskan waktu dengan belajar hingga jam pelajaran keempat akhirnya berakhir, ketika bel istirahat berbunyi akhirnya aku bangun dari tempat duduk dan berjalan keluar kelas.

Sahabatku yang melihat itu juga ikut berdiri dan berlari mengikutiku, "Hei! Mau kemana teman?" Aku tersentak dan menatapnya, "Aku ingin pergi mencari guru pembimbingku waktu itu." Sahabatku tampaknya menyadari apa tujuanku dan mengangguk, "Baiklah, apakah kamu mau diantar?" Aku mengangguk setuju sebagai balasan.

Akhirnya kami berdua bersama-sama pergi mencari ke ruang guru, tidak ada guru pembimbing itu di sana, setelah lelah diarahkan oleh berbagai guru hingga keliling sekolah, kami akhirnya menemukan guru pembimbingku itu di ruang lab komputer. Aku terengah-engah dan mengutuk di dalam hatiku, mengapa mereka harus begitu lelah mencari ketika guru pembimbing itu ternyata ada di ruang lab komputer bersebelahan dengan ruang guru?!

Menyusahkan saja.

Sahabatku sudah mengomel dengan nyaring hingga bahkan hampir terdengar suaranya ke ruang guru, ketika akhirnya kami semakin dekat dengan ruang lab, akhirnya dia berhenti mengomel, aku sedikit lega karena telingaku hampir menjadi tuli dan wajahku hilang karena mendengarnya terus mengomel dan diperhatikan heran oleh siswa lain yang lewat.

Aku mengetuk pintu ruang lab tiga kali dengan lembut, kepalaku menengok mencoba mengintip ke dalam, akhirnya aku melihat guru perempuan dengan penampilan yang sedikit tua dan memakai kacamata itu sedang mengetik di komputer, dia adalah guru pembimbingku ketika lomba di kelas 11.

"Guru, ini Linn. Bolehkah saya masuk? Ada yang ingin saya bicarakan dengan guru." Aku berkata dengan lembut ketika menyadari bahwa guru perempuan itu menoleh menatap ke arahku dengan mata menyipit sebelum tersenyum, "Oh? Linn! Masuklah nak, ada apa?"

Aku meminta izin masuk dengan senyum sopan, akhirnya aku berdiri di samping mejanya menatapnya yang memutar kursinya menghadap ke arahku. Aku dan sahabatku mendapati bahwa kami saling pandang, aku sedikit malu untuk mengatakannya namun sahabatku segera menyikut tanganku dari belakang.

Hampir saja aku tersandung jika tidak berdiri tegak karena sikutannya, aku menarik nafas tajam dan meliriknya tajam, namun akhirnya aku menatap kembali ke guru pembimbingku yang tampak bingung dengan keberadaan ku di sini.

"Begini guru … aku ingin membuka jasa bimbel." Aku menggaruk tengkuk leherku yang tidak gatal dengan canggung, guruku tampak heran dan bertanya, "Membuka jasa bimbel? Apakah kamu kekurangan uang nak?" Ia menatapku dengan khawatir, aku tahu mengapa ia begitu khawatir, karena ketika ia mengantarku pulang sebelumnya setelah aku memenangi juara satu lomba sastra antar distrik. Aku masih begitu ingat ekspresi wajahnya begitu mengetahui tentang sejarah singkat keluargaku, begitu sedih dan kasihan, namun tidak bisa berbuat apa-apa.

"Sedikit guru … sebenarnya ada yang terjadi sehingga aku ingin membuka jasa bimbel." Aku menatap ke arahnya dan akhirnya menjelaskan mengapa aku ingin membuka jasa tersebut. Setelah mendengarnya beliau tampak terkejut dan terdiam lama sekali sebelum akhirnya menghela nafas, "Baiklah jika keputusanmu begitu yakin, guru tidak bisa membantu mengenai keuangan ini. Namun guru harap guru masih bisa membantumu dalam bidang ini, baiklah … jika ada wali murid yang ingin meminta saran jasa bimbel, guru akan merekomendasikan kamu untuk anaknya."

Mataku seketika berbinar gembira begitu juga sahabatku, "Benarkah guru? Terima kasih banyak! Tolong mohon bantuannya guru!" Aku membungkuk 90 derajat untuk berterima kasih padanya dengan hormat, beliau tampak melambaikan tangannya dan menggelengkan kepala, ia membantuku untuk kembali berdiri tegak.

"Tidak apa-apa nak, lagipula kamu anak yang cerdas, sayang sekali jika tidak menyalurkan kemampuan belajarmu kepada siswa lain. Guru ikut bahagia jika kamu ingin memberikan tips belajar kepada yang lain." Beliau mengangguk dan ikut tersenyum, "Baiklah, lebih baik kalian cepat-cepat menikmati waktu istirahat sebelum bel masuk kembali berbunyi. Guru juga memiliki pekerjaan yang harus guru selesaikan di sini, sampai jumpa lagi Linn."

Aku mengangguk dan berpamitan dengan guru pembimbing itu, aku akhirnya menarik sahabatku untuk pergi beristirahat, namun belum lima menit kami membeli makanan dan bahkan belum sempat memakannya, bel masuk sudah kembali berbunyi untuk yang kedua kalinya sehingga kami terpaksa harus menyimpan makanan kami untuk istirahat kedua.

Tentu saja tidak untuk sahabatku, ketika aku tengah mendengarkan penjelasan guru mapel, aku meliriknya dan melihatnya diam-diam memakan makanan yang kami beli tadi!

Rahangku terjatuh dan menatapnya melotot, namun sahabatku itu hanya tertawa dan menyuruhku untuk diam agar tidak ketahuan oleh guru. Aku akhirnya diam dan tidak melaporkan, namun tentu saja mata guru mapel matematika kami sangat tajam, ia bisa melihat sahabatku yang melanggar kedisiplinan itu hanya dengan sekali lirik.

Aku tertawa terbahak-bahak dan menggelengkan kepalaku ketika melihatnya membawa makanannya keluar untuk dihukum menjewer telinga dan mengangkat kaki, hari ini benar-benar indah lainnya untuk masa-masa SMA.

3. Surat terakhir

Singkatnya setelah beberapa hari tanpa kabar, di hari keempat menunggu, akhirnya aku mendapat kabar dari guru pembimbingku bahwa ada seorang murid yang membutuhkan bimbingan belajar.

Aku cukup gembira mendengar itu dan bersemangat, katanya wali dari murid itu menjanjikan untuk memberikan uang sebesar tiga ratus ribu untuk satu sesi pembelajaran selama dua jam sehari.

Aku akhirnya datang ke rumah dari siswa pada sore hari dan mengajarkan terlebih dahulu les mata pelajaran yang anak itu paling sulit untuk dipelajari, sebagai contoh seperti matematika dan bahasa inggris. Apa yang dikatakan guruku benar, karena yang dipesan adalah dua sesi selama sehari, seperti sesi pertama matematika dua jam lalu sesi kedua bahasa inggris dua jam, sehingga aku mendapatkan uang yang lumayan banyak.

Karena aku takut ibuku akan marah mengira karena aku bekerja, aku memilih untuk menyembunyikan uang yang aku dapatkan di lemari, aku berniat memberikannya ketika waktu untuk membayar tagihan rumah tiba.

Anak yang aku ajar itu sebenarnya masih sekitar anak sekolah menengah awal. Mungkin karena pembawaanku yang santai dan menyenangkan dalam mengajar, anak itu merasa lebih dekat dan mudah mengerti sehingga senang diajar. Akhirnya jadwal yang awalnya ditetapkan untuk bimbel seminggu tiga hari, menjadi hampir setiap hari. Selama tiga hari berikutnya, aku masih mengajar dengan rutin namun dengan pergantian pelajaran yang berbeda.

Waktu berjalan jauh lebih mudah, setidaknya bagiku. Kupikir akan terus berjalan mulus seperti ini, namun hal yang tidak terduga terjadi. Pada malam hari setelah membimbing pembelajaran, ketika aku pulang melalui jalan yang biasa aku lewati menuju jalan rumahku, tidak seperti biasanya yang selalu ramai di lewati orang-orang hingga terjadi kemacetan di dalam gang, hari itu jalanan yang begitu sepi sampai tidak ada orang yang lewat selain aku.

Awalnya aku merasa gembira, sepertinya aku akan pulang lebih cepat, pikirku begitu. Namun tidak, aku di cegat di tengah perjalanan oleh sekelompok pria yang tampak seperti preman hingga kejadian mengenaskan itu terjadi. Benar-benar mengerikan rasanya, bahkan terlalu sulit untuk dideskripsikan.

Namun yang jelas, saat itu yang aku rasakan adalah patah hati terdalam seorang gadis perempuan. Tubuh yang diraba dengan sesuka hati, penghinaan dari sekelompok bajingan, dan kekerasan yang diterima, semuanya membuatku merasa seperti barang yang hanya sekali pakai lalu buang.

Bahkan setelah orang-orang itu merasa puas setelah melakukan hal jahat dan keji itu, mereka menarik resleting celana mereka dan berbincang dengan senyum puas, mendiskusikan bagaimana cara menyingkirkan aku yang sudah tergeletak tidak berdaya karena kelelahan dan mengalami trauma mental yang luar biasa.

Saat itu ketika mataku terpejam sayup-sayup aku mendengar mereka mengobrol tentang bagaimana membunuhku agar lebih menyenangkan sebelum membuang tubuhku. Aku merasa tidak berdaya pada saat itu dan mengasihani nasibku yang begitu naas.

Setelah lama terpejam, aku mendengar suara lambaian angin sebelum akhirnya perutku di bacok oleh mereka dengan celurit, darahku membasahi pakaian seragam putihku, hingga beberapa bacokan lagi dan nyawaku melayang di gang sempit itu oleh sekelompok manusia berhati binatang buas.

Mayatku akhirnya diseret menjauh dan dikuburkan di hutan pinggir kota tidak jauh, darahku mungkin disiram dengan air, namun dendamku tidak bisa disiram dengan darah mereka. Saat itu yang aku rasakan sebagai arwah adalah ingin membalaskan dendam atas perbuatan keji mereka terhadapku, mencabik-cabik mereka dan mengakhiri hidup orang-orang itu dengan siksaan yang aku alami.

Saat itu arwahku yang tidak tahu arwah terus berkeliling mencari orang-orang itu, namun karena memakan terlalu banyak waktu dalam mencari, sudah terlambat karena mereka sudah bubar dan berpisah tempat. Rohku yang tidak bisa terlalu lama lagi menahan di dunia menjadi semakin seperti arwah linglung karena ingatanku yang mulai menjadi semakin samar.

Dendamku yang tidak terbalaskan semakin menumpuk sehingga aku mengganggu siapa saja yang melakukan hal tidak senonoh atau berniatan jahat di tempat ini aku ganggu bahkan aku cabik-cabik mereka dengan kuku tajam milikku, energi gelapku yang semakin meningkat karena rasa dendam yang tidak terbalas membuat cabikan yang awalnya menembus menjadi nyata dan dapat mencabik orang hingga mati.

Aku berkeliaran mencari orang-orang tanpa henti dan selalu kembali ke tempat aku mati untuk menakuti orang, aku selalu melakukan hal itu sehingga gadis yang mengaku sebagai penangkap hantu resmi salah satu penjaga kota datang dan berniat untuk menangkapku, katanya apa yang aku lakukan selama ini telah meresahkan orang lain dan harus diamankan.

Sebelumnya banyak sekali penangkap hantu abal-abal yang datang untuk menangkapku, namun mereka sama sekali tidak mau mendengarkan dendam di balik itu, sehingga menimbulkan amarahku.

Awalnya aku pikir gadis yang bernama Odessa yang sering dibicarakan banyak hantu yang lewat akan sama seperti penangkap hantu abal-abal itu, namun aku tidak menyangka bahwa dia berbeda. Bahkan dia mendengarkan ceritaku sampai saat ini, ia juga berniat membiarkanku balas dendam meskipun dengan syarat.

Kini aku sedang dalam perjalanan menuju rumah pria-pria brengsek yang menjadi dalang semua ini, ditemani oleh Odessa, aku pergi ke rumah mereka satu persatu dan mencabik-cabik kejantanan mereka agar menyesal.

Melihat orang-orang brengsek itu yang berguling-guling sembari memegang kejantanan mereka yang hancur sedikit melegakan hatiku, bahkan sosok mengerikan ku menjadi sedikit berubah saat ini.

"Linn, apakah sekarang kamu sudah puas?"

Aku menoleh menatap Odessa yang berdiri di sampingku, aku melihat ekspresi wajahnya serius dan sedang memegang topeng serta alat lukis, aku tahu apa yang ia maksud. Dengan lembut aku duduk di kursi beton dengan patuh, menunggu untuk dilukis.

Odessa menatap wajahku dengan serius dan tampak seolah sedang mencari titik identik dari arwahku, aku berkedip dan berkata dengan lembut, "Odessa, jadikan saja luka bacokan menyilang di wajahku sebagai topeng, aku tidak ingin kejadian semacam ini terjadi lagi."

"Baiklah."

Odessa menatap wajah Linn dan mulai melukis, pada awalnya ia membuat semacam luka bacokan besar di topeng seperti yang dimiliki oleh Linn sebelum akhirnya mulai melukis. Wajah mengerikan yang dimiliki oleh Linn kini terdapat pada topeng yang Odessa lukis, peletakkan luka yang sama hingga bekas luka yang sama, itu membuat dendam Linn secara perlahan menghilang. Sosok Linn yang tampak mengerikan secara bertahap berubah kembali menjadi sosoknya yang cantik sebelum kematiannya dan kejadian mengerikan itu terjadi.

Odessa menatap Linn terdiam yang terlihat begitu cantik dengan kepolosan seorang remaja berusia 17 tahun. Ya, saat itu pada malam Linn mengalami kejadian mengerikan itu, setelah tepat pergantian malam pada pukul dua belas malam, itulah hari ulang tahunnya yang ke-17 tahun.

Namun tidak ada perayaan sama sekali, jasad Linn dikuburkan dengan dingin pada malam ulang tahunnya, dan ibunya yang telah menunggu di rumah dengan sebuah kue kecil untuk merayakan ulang tahun bersama juga tidak pernah menemukan sosok gadis kecilnya itu pulang ke rumah hingga beberapa hari kemudian yang ia temui bukanlah sosok Linn yang hidup, tapi jasad penuh luka yang sulit diidentifikasi dan mengenaskan yang tersisa.

"Ayo, kembali ke rumah dan temui ibumu yang terakhir kalinya sebelum pergi." Odessa merangkul arwah Linn dengan lembut dan mengantarnya ke rumah kontrakan kecil yang di tinggali oleh ibu Linn. Linn masuk ke dalam rumahnya dan menatap ibunya yang telah tertidur lelap penuh kelelahan, ia melihat bahwa wanita paruh baya itu telah mengumpulkan kantung mata baru yang lebih tebal di bawah matanya.

Linn tersenyum kecil, ia menulis sebuah surat dan meletakkan uang yang sebelumnya ia peroleh dan belum ia berikan di samping ibunya yang sedang tertidur. Arwah Linn naik ke tempat tidur dan memeluk ibunya dengan lembut, untuk terakhir kalinya ia merasakan kehangatan ibunya sebelum ia harus pergi bersama Odessa. Air mata Linn menetes, namun kini Linn tersenyum, ia berbisik dengan lembut ke telinga ibunya, "Selamat tidur ibu, selamat tinggal."

Linn mencium pipi kasar ibunya dengan lembut sebelum akhirnya ia melepaskan pelukannya, Linn berdiri di samping tempat tidur dan hendak berjalan keluar, namun suara yang terdengar dari kasur itu menghentikan langkahnya.

Ibu Linn, entah sejak kapan terbangun dari tidurnya dan menangis sembari memeluk surat yang telah ditinggalkan untuknya, Ibu Linn yang tidak bisa melihat arwah namun memiliki ikatan batin dapat merasakan bahwa itu adalah anaknya Linn yang datang kepadanya untuk mengucapkan perpisahan.

"Selamat tinggal juga anakku, Linn tersayang."

Mata Linn terbelalak, ia tampak membeku terkejut di tempatnya, ia tersenyum di tempatnya dan tertawa terbahak-bahak puas. Linn akhirnya dapat dengan tenang dan hati ringan berjalan keluar dari rumah kontrakan kecil itu dan menghampiri Odessa yang menunggu di luar, "Mari pergi, kita sudah selesai di sini." Linn menatap Odessa dengan senyuman lebar di wajah cantiknya yang polos, Odessa tampak tersenyum kecil, "Baiklah, ayo."

Ibu Linn menatap kosong ke arah seorang gadis yang berjalan menjauh dari rumahnya di luar melalui jendela, ia menatap surat yang ditinggalkan secara misterius di sampingnya ketika tidur, Ibu Linn membukanya dengan lembut, air matanya mengalir semakin deras ketika ia melihat bahwa tulisan tangan itu adalah tulisan anak perempuannya yang telah tiada sekitar dua bulan yang lalu.

"Linn ... itu benar-benar kamu." Ibu Linn tersenyum sedih, ia mulai membaca surat yang diberikan oleh anaknya itu, cukup lama sebelum akhirnya ibu Linn mulai menghapus air matanya dan menatap uang yang berjumlah satu juta delapan ratus ribu itu dengan tegas, "Baiklah nak, ibu akan terus hidup sesuai yang ibu inginkan." Ibu Linn kembali tidur, meninggalkan surat kertas putih yang terbuka dengan tulisan penuh darah di atas laci di samping tempat tidur. Tulisan kertas itu bertahan sejenak sebelum akhirnya secara perlahan menghilang seolah telah melebur entah kemana.

Odessa berjalan melewati gang sempit terpencil dengan memegang sebuah kertas putih penuh goresan darah di tangannya, ia tersenyum kecil membaca surat itu sembari memegang topeng yang berisi arwah Linn di dalamnya, ia telah memasukkan arwah Linn ke dalam topeng itu sebelumnya.

Surat itu tertulis:

[Selamat malam ibu, ini aku Linn.

Saya disini ingin meminta maaf dan berterima kasih banyak kepada ibu yang telah mau merawat Linn meskipun ayah tidak lagi ada di sisi kita, Linn ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya karena telah meninggalkan ibu di malam ulang tahunku yang ke 17 tahun.

Ibu, uang itu adalah uang yang aku kumpulkan selama membimbing seorang murid, tenang ibu aku tidak bekerja dan lelah, cukup menyenangkan sebenarnya. Aku harap uang ini cukup untuk membayar tagihan rumah kecil kita.

Aku akan pergi ibu, entah kemana namun aku harap aku akan kembali ke pelukan yang maha esa. Ibu, aku memiliki satu pesan sebelum pergi, tolong jaga diri ibu dan tetap hidup, pilihlah jalan yang ibu suka dan lakukan sebagaimana ibu mau, jangan menyusulku. Kini ibu tidak lagi perlu mengkhawatirkan aku, aku dengar paman di sebelah juga menyukai ibu, aku harap kalian dapat bahagia.

Selamat tinggal ibuku tersayang, sang pejuang wanita hebat.]

Odessa menutup surat itu dan melihat kalimat "Untuk ibuku, dari Linn", ia terkekeh dan menatap topeng itu yang tampak berubah memerah seolah tersipu malu, "Kata-kata yang indah Linn."

Odessa akhirnya sampai di tokonya, ia membuka pintu dan melangkah masuk, dering bell yang berada di atas pintu berdering dua kali sebelum akhirnya pintu toko tertutup kembali. Odessa berjalan dengan topeng Linn di tangannya dan pergi ke gudang untuk mengambil paku, ia memaku di dinding toko dan menggantungkan tali kecil yang ada pada topeng ke paku, Odessa memajang topeng Linn di tokonya bersamaan dengan topeng-topeng lainnya yang berisi arwah juga.

Ketika Odessa berkacak pinggang menatap hasil karyanya yang 'indah', bell pada pintu berdering dan pintu toko terbuka. Odessa berbalik dengan heran dan tersenyum manis, ia menyambut tamu yang baru datang itu.

"Selamat datang di toko topeng Lagareth!" ucap Odessa sembari menatap orang yang baru saja masuk ke dalam tokonya dengan senyum manis.

"Ini adalah Odessa, ada yang bisa saya bantu?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!