NovelToon NovelToon

Hijrah Cinta Sang Pendosa

BAB 01 - Namanya Azkara

Demi menghindari kejaran para musuhnya, Azkara nekat bersembunyi di sebuah rumah warga. Tanpa terduga hal itu justru membuatnya berakhir sebagai pengantin setelah dituduh berzina dengan seorang wanita yang bahkan tidak pernah dia lihat sebelumnya.

Shanum Qoruta Ayun, gadis malang itu seketika dianggap hina lantaran seorang pemuda asing masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan bersimbah darah. Tidak peduli sekuat apapun Shanum membela diri, orang-orang di sana tidak ada satu pun yang mempercayainya.

Mungkinkah pernikahan itu akan berakhir Samawa sebagaimana doa Shanum yang melangit sejak lama? Atau justru menjadi malapetaka sebagaimana keyakinan Azkara yang sudah terlalu sering patah dan lelah dengan takdirnya?

•••••

"Pergilah, jangan buang-buang waktumu untuk laki-laki pendosa sepertiku, Shanum." - Azka Wilantara

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

"Iz naadaa robbahuu nidaaa-an khofiyyaa ... qoola robbi innii wahanal-'azhmu minnii wasyta'alar-ro-su syaibaw wa lam akum bidu'aaa-ika robbi syaqiyyaa."

Lantunan ayat suci yang lolos dari bibirnya terdengar begitu meneduhkan nan indah. Tidak salah jika abinya memberikan nama yang tak kalah indah, Shanum Qoruta Ayun.

Bertepatan dengan malam lailatul qadar, Shanum yang penurut diperintahkan untuk tetap di rumah sementara anggota keluarga lainnya berada di Masjid yang berada di tengah desa.

Sudah cukup lama Shanum membaca ayat demi ayat demi mengisi kesendiriannya. Semua berawal baik-baik saja, Shanum masih begitu fokus dengan kalamullah yang dia baca. Akan tetapi, di tengah kegiatannya Shanum mendengar pintu rumahnya seperti hendak dibuka.

Ceklek ... Ceklek ... Ceklek

Lagi dan lagi, usahanya semakin terdengar jelas hingga Shanum mengakhiri kegiatannya. Dari suara yang terdengar agaknya begitu kasar.

"Siapa sebenarnya?" gumam Shanum sembari terus melangkah meninggalkan kamarnya.

Masih dengan mukena yang membalut tubuhnya, Shanum sedikit tergesah lantaran khawatir jika yang berada di depan adalah kedua orang tuanya. Walau memang belum waktunya pulang, tapi bukan tidak mungkin ada sesuatu alasan yang memaksa mereka cepat pulang.

Semakin cepat langkah Shanum, semakin keras pula ketukan pintunya terdengar. Alhasil, Shanum yang panik lebih dulu tidak bisa berpikir dengan jernih hingga tanpa pikir panjang membuka pintu dan saat itu juga matanya dibuat membola.

"Siapa kam_"

Belum sempat berteriak untuk meminta pertolongan, seorang pria yang sejak tadi sudah menunggu pintunya terbuka mendorong tubuh Shanum hingga membentur tembok dan mengancamnya dengan sebilah bellati yang tiba-tiba menempel di wajah ayunya.

"Diam atau mati di tanganku!!" Dua pilihan itu sukses membuat Shanum mengangguk pelan.

Dia memejamkan mata dan tidak lagi berani menatap mata tajam pria yang berjarak beberapa centi di depannya. Tangan Shanum sampai dingin, tubuhnya gemetar dan berharap akan ada pertolongan segera.

Aroma alkohol dan bau anyir dari darah yang ada di tubuh pria itu masih sangat terasa, Shanum tahu sekalipun dia tidak pernah merasakannya.

Beberapa saat bertahan dengan posisinya, mata Shanum terbuka tatkala mendengar suara motor beramai-ramai di depan rumahnya. Berharap dengan berteriak sekali saja bisa menarik perhatian mereka dan melepaskan diri dari ancaman pria asing yang tidak dia ketahui namanya ini.

Tanpa terduga, belum sempat Shanum berteriak meminta bantuan pria itu justru menariknya ke kamar yang berada paling jauh dari ruang keluarga, dan itu ialah kamar Shanum sendiri. Tidak hanya sekedar memaksa ikut, tapi pria itu juga mengunci pintu kamar dan memeluk tubuh Shanum begitu eratnya.

Degub jantung pria itu terdengar sangat cepat, tidak berbeda jauh dengan degub jantungnya. Akan tetapi, hal itu berganti tatkala Shanum melihat dengan jelas pria itu mengeluarkan pistol dan sudah bersiap untuk menarik pelatuknya.

Dalam keadaan itu, tidak ada yang bisa Shanum lakukan kecuali menangis. Dia hendak berontak dan melepaskan diri, terbiasa dengan dunia yang baik-baik seketika didatangi iblis yang tidak diketahui dari mana asalnya jelas saja membuatnya ketakutan.

"Shuut, aku tidak akan menyakitimu. Selama kamu di sisiku, umurmu akan panjang ... understand, Honey?"

Alih-alih tenang, mendengar suara berat pria itu Shanum semakin ketakutan. Tapi takutnya kali ini sudah berbeda, selain karena takut diapa-apakan, dia juga takut mendengar suara gerombolan pemuda di luar sana.

"Cari sampai ketemu!!"

"Dia belum jauh!!"

"Kakinya sudah terluka, Azkara tidak akan mampu berlari lebih lama."

Azkara, namanya Azkara. Tanpa berkenalan, Shanum tahu siapa nama pria yang kini memeluknya begitu erat sembari menatap sekelilingnya dengan was-was.

Namanya yang indah, sesekali Shanum memberanikan diri untuk menatap wajah pria jangkung itu. Setelah sebelumnya selalu takut, tapi detik ini melihatnya menggigit bibir seperti meringis, ada rasa kasihan juga.

Terlebih lagi, setelah tadi sempat medengar suara dari luar sana bahwa kaki pria itu terluka. Di saat bersamaan, tatapan Shanum berbalas hingga secepat mungkin dia menundukan pandangan.

Tak berselang lama dari terdengar kericuhan itu, Shanum meminta Azkara melepasnya. "Mereka sudah pergi, kamu bisa meninggalkan tempat ini," ucap Shanum lagi dengan maksud agar Azkara mengerti dan segera melepaskannya.

Namun, alih-alih keluar sebagaimana perintah Shanum, pria itu justru memejamkan mata kemudian perlahan terduduk sembari menekan perutnya.

Naluri Shanum yang dulunya sempat mejadi seorang relawan tergerak untuk menolong walau tahu pria ini bahkan sudah megancam hidupnya.

"Kamu terluka, dan seperti par_" Secepat mungkin Azkara mencekal pergelangan tangannya.

Tidak begitu kasar, tapi bukan berarti lembut juga. Dia menggeleng, berusaha menolak uluran tangan Shanum yang hendak membantunya berdiri.

"Izinkan aku di sini, mereka belum jauh dan aku bisa mati," ucapnya menatap Shanum penuh permohonan.

Cara bicaranya terdengar berbeda, tidak lagi semenyeramkan pertama dan kedua. Mungkin karena energinya sudah habis, jujur Shanum tidak tahu juga.

Shanum mengangguk, dia berpikir setelah ayahnya datang semua akan baik-baik saja dan hal ini tidak akan menjadi masalah. Siapa sangka, dari balik jendela kamar ada seseorang yang salah sangka hanya karena melihat mereka di balik celah gorden kamar Shanum.

.

.

"Dasar perempuan siallan!! Tidak kusangka anak Kiyai Habsyi berbuat sehina itu!!"

Bermodalkan keyakinan dari dugaanya sendiri, seorang wanita paruh baya yang merupakan tetangga dekat rumah Shanum mendatangi masjid demi menyampaikan apa yang dia lihat dengan mata kepalanya.

Sontak hal itu seketika gempar dan sukses membuat Kiyai Habsyi kebingungan. Walau wanita yang mengaku sebagai saksi itu sudah bersumpah, tapi sebagI ayah dia yakin putrinya tidak akan berbuat hina.

Terlebih lagi, sang putri baru saja menyelesaikan pendidikannya di Yaman dan sebentar lagi akan dipinang Gus Faaz yang merupakan putra sahabatnya. Rasanya sangat mustahil putrinya mengenal istilah pacaran.

"Saya tidak bohong Pak Kiyai, kalau tidak percaya silahkan lihat sendiri," ajak wanita itu yang membuat Kiyai Habsyi mau tidak mau mengikuti apa kata wanita itu.

Tidak sendiri, tapi dia juga didampingi sang istri dan putri bungsunya. Di belakang mereka juga ada beberapa orang yang turut serta, ada yang simpati dan jelas ada yang hanya ingin tahu kejadiannya.

Begitu tiba di rumah, pintu utama memang terbuka. Hati Kiyai Habsyi mulai tak karu-karuan, langkahnya menatap lurus ke depan hingga tujuannya berakhir di kamar tidur sang putri.

Sama halnya seperti pintu depan, pintunya juga tampak terbuka dan betapa terkejutnya mereka begitu masuk di kamar tersebut memang ada seorang pria asing tengah duduk dengan gelas kosong di tangannya.

"Astaghfirullahaladzim, Shanum!!" teriak pria itu dengan wajah yang merah padam lantaran menahan amarah.

"Abi ... Shanum bisa jelaskan, dia_"

Plak!!

.

.

- To Be Continued -

......Assalamualaikum, sesuai janji edisi Ramadhan Author bawain Azkara🤗 Semoga masih dinanti, dan kebetulan hari senin vote langsung lempar ke Azkara ya ... semoga tidak ditumpuk walau menjelang lebaran pada sibuk 🤧 Love you penduduk bumi.......

...Follow ig Author untuk mantau visual (desh_puspita)...

BAB 02 - Mahar Tak Biasa

Satu tamparan mendarat tepat di wajah Shanum. Bukan dari Kiyai Habsyi, melainkan Umi Martika, ibu tirinya. Saking kuatnya, Shanum sampai terhuyung dan kepalanya terasa sedikit pening. Dan hal itu tertangkap jelas oleh Azkara yang berada tak jauh darinya.

"Penjelasan kamu bilang? Penjelasan apa?!!"

"Dia terluka, sejak tadi Shanum juga langsung keluar dan baru masuk untuk memberinya minum ... Shanum cuma menunggu Abi pulang, dan_"

Plak!!

Tamparan kedua mendarat tak kalah sempurna. Kiyai Habsyi juga sudah diam saja tatkala sang istri menyakiti putrinya. Dia tidak lagi bisa berkata-kata, untuk melindungi Shanum juga tidak bisa.

Merasa suaminya tidak membela Shanum, saat itulah wanita itu kembali bermaksud mendaratkan tamparan untuk ketiga kalinya. Namun, yang kali ini gagal lantaran tangan Umi Martika dicekal dengan begitu kuat oleh pria asing yang diduga menjadi malapetaka di dalam rumahnya.

"Berhenti menyakitinya, dia tidak bersalah dan yang dia katakan memang benar benar adanya!!" tegas Azkara sebagai bentuk pembelaan dirinya sekaligus.

Namun, alih-alih berhasil, sikapnya yang spontan melindungi Shanum membuat mereka semakin curiga. Terlebih lagi, adik tiri Shanum yang sejak tadi menikmati penyiksaan di hadapannya.

"Abi lihat, laki-laki itu membela Kak Shanum, ini sudah pertanda jika mereka memang berzina!!" tuduh Sabila, wanita cantik yang usianya tak begitu jauh dari Shanum.

Mendengar ucapan adik tirinya, Shanum jelas tak terima dan maju demi mengklarifikasi kekeliruan yang terjadi. Dalam keadaan ini, Shanum memang yakin jika dia terpojok, mana mungkin adik serta ibu tirinya akan berada di pihaknya.

Bertahun-tahun menjatuhkan Shanum, tapi selalu gagal dan mungkin mereka pikir ini adalah saatnya. "Demi Allah, Abi ... Shanum tidak melakukan hal-hal yang mereka tuduhkan!!"

Saat ini hanya abinya yang bisa diharapkan. Shanum mencoba meyakinkan hati abinya, tapi sayang karena mungkin telanjur malu, pria itu kini hanya bisa terdiam membisu.

"Halah, yang namanya maling mana mau ngaku!!" tandas Umi Martika bersedekap dada dan terus melayangkan tatapan tajam ke arah Shanum.

"Benar, Abi, aku yakin mereka memang sudah mengenal sejak lama ... alasannya saja di Yaman kuliah, bisa jadi kerjaannya menghabiskan waktu dengan pacarnya ini," ungkap Sabila turut membenarkan.

Shanum yang dituduh sedemikian rupa jelas tidak terima-terima saja. Dia berusaha membela diri, tidak hanya sendiri melainkan Azka juga ikut memberikan penjelasan berdasarkan versinya.

Namun, tidak peduli sekuat apapun mereka membela diri, perbuatannya telanjur mencoreng nama baik keluarga dan warga kampung yang tidak ingin sial mendesak Kiyai Habsyi untuk menikahkan putrinya dengan pria yang mereka yakini sebagai kekasih Shanum.

"Maafkan Abi, Shanum ... ini semua pilihanmu, dan Abi anggap ini adalah akhir dari pinangan Gus Faaz." Tentang percaya atau tidaknya, dari hati kecil Kiyai Habsyi dia percaya jika putrinya tidak sehina itu.

Akan tetapi, demi menghargai tradisi orang-orang di sini dimana akan mendapat kesialan jika sampai tidak dinikahkan, terpaksa dengan berat hati dia mengambil keputusan tersebut.

"Apa?" Mata Shanun membulat begitu mendengar keputusan abinya.

"Abi rasa kamu tidak tuli, renungi kesalahanmu dan kau!! Malam ini juga pertanggung jawabkan perbuatanmu." Suara Kiyai Habsyi beralih pada Azkara yang sejak tadi tengah memahami keadaan.

Dalam keramaian Azkara berpikir, agaknya dia telah membuat kesalahan besar. Walau memang tidak secara nyata menyakiti fisik, tapi yang dia lakukan telah merusak mental dan impian seseorang.

Sebelum berlalu pergi meninggalkan Shanum yang ada di sana, Azkara sempat menghela napas panjang dan melontarkan kata maaf yang begitu pelan, nyaris tidak terdengar.

"Apa yang kau lakukan, Azkara ... dia calon istri orang, Bodoh."

Azkara terus menerus mengutuk dirinya. Dalam sekejab, dunia Azkara dibuat jungkir balik. Siang ke Yogya untuk memenuhi ajakan Erlangga, salah-satu teman dekat yang ternyata menjadi pengkhianat untuk untuk duel di lapangan terbuka pada malam harinya.

Siapa sangka, setelah Azkara datang nyatanya Erlangga membawa banyak pasukan dan rata-rata orang terdekat Azkara di masa lalu.

Terlalu gila sewaktu remaja, Azkara mendapat pengkhianatan seiring dengan dirinya yang kian dewasa. Kesibukan Azkara sebagai CEO Kv Corp yang merupakan perusahaan sang papa membuatnya terpaksa membagi waktu hingga tidak bisa terlalu banyak bersenang-senang.

Naas, hal itu dianggap sebagai pelanggaran oleh beberapa anggotanya yang lain dan pertemanan Azka mulai terpecah belah.

Puncaknya malam ini, Azkara berakhir di hadapan orang banyak yang tidak bisa dia lawan. Sebenarnya bisa saja jika Azkara ingin melakukan kekerasan, akan tetapi dia khawatir setelah kepergiannya Shanum akan terus dipandang hina dan diperlakukan buruk oleh anggota keluarganya.

.

.

Tanpa diberikan kesempatan untuk menghubungi orangtua lebih dulu, Azkara benar-benar dipaksa harus tunduk. Dia hanya diizinkan ganti baju, Kiyai Habsyi masih baik dan meminjamkan pakaian untuk calon menantunya itu.

"Maharnya ada?" tanya seorang pria berwajah lebih teduh yang membuat Azka tidak setakut itu.

"Mahar?"

Matilah Azkara, saat ini dompetnya tidak ada begitu juga ponsel karena kemungkinan besar hilang sewaktu dia berusaha melarikan diri. Azkara menatap ke arah Shanum dan wanita itu sepertinya tidak ada solusi.

"Semampumu saja," ucapnya kemudian.

Semampunya? Jujur saja jika diizinkan membawa Shanum baik-baik dan pernikahan direncanakan dengan sedikit waras, berapapun yang Shanum minta Azkara mampu berikan.

Akan tetapi, berhubung saat ini keadaan terdesak jelas tidak bisa. Azkara masih berusaha, dia merogoh saku celana dan mata pria itu berbinar begitu merasakan ada sesuatu di sakunya.

"Adanya segini," ucap Azkara memperlihatkan beberapa lembar uang kertas yang membuat beberapa orang di sana tak kuasa menahan tawa, sudah pasti tawa menghina.

Dua lembar pecahan dua puluh ribu, selembar sepuluh ribu dan 5 lembar pecahan lima ribu, pas 75.000 rupiah.

Situasi sedang serius-seriusnya, tapi melihat mahar yang mampu diberikan pengantin pria bahkan tidak cukup untuk sekali ke pasar. Jelas saja hal itu sukses membuat cibiran semakin membabi-buta untuk Shanum.

Kendati demikian, Shanum sama sekali tidak mempermasalahkan itu. Sewaktu ditanya, apa bersedia diberikan mahar dengan jumlah tersebut, dengan tegas Shanum menjawab. "Ikhlas, Ustad."

Begitu kata ikhlas terlontar dari bibir Shanum, maka detik itu juga prosesi akad nikah berlangsung. Jujur saja rasa gugup Azkara telah berkurang, mungkin karena sudah terbiasa mendengar teman dekat ataupun keluarganya menjalani prosesi akad nikah, maka dari itu dia berusaha santai saja agar tidak belibet kalau kata mamanya.

Melihat calon mertuanya menarik napas, Azka spontan melakukannya. Tangannya semakin erat, sebentar lagi dia akan menerima tugas yang luar biasa berat.

"Ankahtuka wa zawwajtuka makhtubataka binti Shanum Qoruta Ayun alal mahri 75.000,- hallan."

Deg

"Abi sebentar!!"

"Hem? Ada apa, Shanum?" Azkara yang panas dingin pasca mendengar sighat akad dengan bagasa Arab tersebut, tapi justru Shanum yang menyela.

"Sebentar, izinkan aku bertanya padanya."

"Silakan."

Shanum menoleh, menatap ke arah Azkara yang tampak bingung karenanya.

"Maaf, apa kamu bisa menjawabnya?" tanya Shanum masih terus menatap ragu ke arah Azkara, tapi dengan tegas pria itu menjawab.

"Mampu!! Silakan ulangi, Pak Kiyai," pinta Azkara dengan penuh keyakinan walau sebenarnya lupa-lupa ingat.

.

.

- To Be Continued -

BAB 03 - Suami Sungguhan?

Hanya karena Shanum meragukan dirinya, Azkara dengan gengsi selangit mengatakan mampu. Memang siapapun yang melihat Azkara secara sekilas akan berpikir sama.

Terlebih lagi, yang pertama kali bertemu Azkara adalah Shanum. Dia hanya mencoba menyelamatkan Azkara sebenarnya, agar pria itu tidak lebih malu lagi. Akan tetapi, tebakan Shanum agaknya salah kali ini.

Dia tertipu dengan cover Azka yang memang patut dijuluki preman pasar. Setelah percobaan pertama terhenti lantaran Shanum menyela, yang kedua agaknya sukses tanpa hambatan.

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq."

Dalam satu tarikan napas dan tatapan fokus pada pria yang menjadi wali istrinya sighat qabul itu Azkara loloskan layaknya seorang ahli di bidangnya. Jangankan salah ucap, semulus itu dia menyelesaikannya hingga Shanum mengerjap tak percaya.

Tak hanya Shanum, tapi beberapa orang yang lain juga sama terkejutnya. Walau ya, masih saja ada yang menggampangkan hal itu, toh pendek dan semua juga pasti bisa.

Jelas saja pernyataan semacam itu ada. Kendati demikian, keberanian Azka dan kemampuannya untuk meloloskan kalimat itu benar-benar sukses mengubah cara pandang beberapa orang padanya.

Prosesi akad nikah berlangsung cukup singkat, walau demikian bagi Kiyai Habsyi tetap saja sakral dan tidak main-main. Tidak peduli bagaimana caranya, yang namanya pernikahan tetap pernikahan.

Sekalipun memang masih pernikahan di bawah tangan, tapi di mata Tuhan sama saja. Pasca akad nikah Azkara juga tetap diperlakukan dengan baik, Kiyai Habsyi masih terus memberikan nasihat pada pria yang kini telah menjadi menantunya.

Bahkan, Azkara tidak diperkenankan segera ke kamar. Kiyai Habsyi memintanya untuk bicara empat mata, dari hati ke hati demi saling mengenal tentu saja.

Dia tidak mengenal Azkara sebelumnya, tapi entah kenapa rasanya ada sesuatu yang tidak bisa diutarakan setiap kali melihat wajah tampan pria itu.

"Kau masih muda, darahmu sepertinya sangat dingin ... kau suka berkelahi?" tanya Kiyai Habsyi yang secepat mungkin Azka tanggapi demgan gelengan pelan.

"Tidak, Abi," jawab Azkara hati-hati.

Tidak ingin salah bicara, dia takut hati mertua yang perlahan mulai menghangat kembali dingin seperti semula.

"Oh iya? Tapi firasat Abi mengatakan begitu ... wajah, sorot mata, alis bahkan melihat sangat jelas sekali, Azkara, apa kau tidak merasa?"

Azkara bingung apa maksud mertuanya. Cara bicara dan tatapannya tak terbaca hingga Azkara tidak bisa menyimpulkan apa yang dipikirkan pria itu sebenarnya.

Lama terdiam, pembicaraan mereka diakhiri dengan suara nguap Kiyai Habsyi yang ternyata menular pada Azkara. Maklum saja, mereka sudah berbincang cukup lama, dan sebelum datang ke rumah ini Azkara sudah berlari cukup lama bahkan mungkin lukanya kini perlahan mengering.

"Tidurlah, hari sudah malam ... besok puasa, jangan sampai kesiangan sahurnya."

"Sahur?"

Azkara menggangguk, tidak hanya di rumah, ternyata di sini dia juga mendengar ucapan yang sama sebelum tidur. Salah-satu ujian terberat dalam diri Azkara hingga detik ini sebenarnya bangun sahur.

Jika ditanya kuat atau tidak tanpa makan ataupun minum, jelas Azkara kuat. Akan tetapi, yang menjadi jika harus mengorbankan waktu tidur, mata Azkara seolah benar-benar tersiksa.

.

.

Kendati demikian, mana mungkin dia akan mengatakan hal itu sejujurnya pada sang mertua. Azkara yang diperintahkan masuk ke kamar menurut saja.

Hingga saat ini, pintu kamar masih terbuka dan Shanum sengaja tidak menutupnya. Setelah sempat mengancam dengan sebilah bellati satu jam lalu, Azkara tertunduk malu tatkala memasuki kamar istrinya.

"Ehem!!"

Bingung lantaran tidak ada tawaran atau semacamnya dari yang punya kamar, Azkara berdehem hingga membuat Shanum yang sejak tadi berbaring membelakanginya menoleh seketika.

Atas kesadaran diri, Azkara meraih bantal dan bermaksud tidur di lantai. Keberaniannya yang tadi asal masuk bak preman seketika ciut, takut diusir atau istrinya berontak hingga memilih tidur di bawah sebelum dilempar kepalanya.

"Kenapa dibawah? Tempat ini masih luas." Suara Shanum memecah keheningan.

Azkara sampai terperanjat kaget dan dibuat terkejut dengan suara Shanum yang begitu tiba-tiba.

"Apa tidak masalah?" tanya Azka menatap ragu Shanum yang malah makin dibuat bingung.

Sama sekali Shanum tidak lupa bagaimana Azkara yang masuk layaknya perampok sampai menodongkan senjata agar dirinya diam. Akan tetapi, kini semua itu seolah musnah, entah karena malam terlalu larut atau kenapa, tapi di mata Shanum sang suami terlihat seperti dua orang yang berbeda.

"Yang jadi masalah sudah kita lewati tadi ... tidurlah, aku harus menyiapkan sahur dua jam lagi," jelas Shanum kembali membelakangi Azkara yang perlahan naik ke atas ranjang itu.

Tidak seempuk tempat tidur di rumahnya, tapi lumayan untuk sekadar beristirahat. Azkara merebahkan tubuhnya di pinggir, sengaja menjaga jarak agar tidak terjadi yang tidak-tidak.

Setelah beberapa saat bertahan dengan posisi membelakangi Shanum, kali ini Azkara menyerah dan kembali berbalik.

Di luar dugaan, posisi sang istri kini juga sama-sama menghadapnya. Melihat wanita itu tidur meringkuk memeluk guling entah kenapa hati Azkara kembali merasa bersalah.

Terlebih lagi tatkala mengingat kesan pertama mereka bertemu, persis seorang begal dan korbannya.

"Maaf, kita harus bertemu dengan cara yang seburuk ini," ungkap Azkara perlahan mendekat, rasa sakit di kaki yang sempat dia balut dengan ikat kepala beberapa jam lalu kembali menimbulkan rasa sakit.

Namun, hal itu tidak membuat Azkara menyerah dan dia fokus saja lebih dekat. Entah atas dasar apa kini keberanian itu justru hadir kembali.

Cukup lama Azkara bertahan, tapi ternyata semesta tidak mengizinkan dia tenang. Di saat mulai mendapat posisi nyaman dan rasa kantuk mulai menyerang, seekor kucing yang tidak diketahui dari mana asalnya itu tiba-tiba mendarat tepat di bagian kaki Azkara yang sakit hingga membuat pria itu memekik seketika.

Saat itulah, Shanum terjaga dan dibuat panik setengah mati begitu melihat Azkara sudah meringis sembari memegangi kakinya.

"Mas? Kenapa?"

"Heuh?" Nanti dulu menjawab pertanyaan, Azkara salah fokus mendengar panggilan yang lolos dari bibir Shanum. Bahkan dia sampai melamun dan memandangi wajah ngantuk sang istri.

"Kakimu berdarah, sebentar." Begitu sigap Shanum bertindak, seolah tidak peduli dengan rasa kantuknya, Shanum mengutamakan keadaan pria itu lebih dulu.

"Maaf, aku buka boleh ya?"

Azkara mengangguk, kakinya memang sempat terluka akibat serangan Erlangga sewaktu adu kekuatan. Dan untuk bentuk pastinya Azkara tidak tahu karena dia juga asal menutupnya terpenting darahnya tidak keluar.

"Aaaawwwhh ... sakit, Say_" Azka sontak menutup mulutnya, hampir saja lolos panggilan Sayang karena terbawa suasana dan mungkin efek terlalu merindukan sang kekasih yang belum juga ada kabar pasca kecelakaan maut yang menimpanya tepat tiga bulan lalu.

"Lukanya parah, kita ke rumah sakit besok ... sepertinya perlu dijahit."

"Ehm, terima kasih," jawab Azkara seadanya, wajah pria itu sampai merah padahal tidak ada yang istimewa.

Akan tetapi, ada satu hal yang ingin Azkara tanyakan. "Shanum, boleh aku tanya sesuatu?"

"Boleh, tanya apa?"

"Kamu kenapa baik pada penjahat sepertiku?" tanya Azkara langsung pada intinya.

"Kewajiban," pungkas Shanum yang membuat Azkara tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. "Apa maksudnya? Dia menganggapku suami sungguhan?"

.

.

- To Be Continued -

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!