"Kau dan aku mungkin ditakdirkan, hanya saja kita masih berpijak di tempat yang berbeda." ~Cassandra Aglenia.
.
.
.
Hujan baru saja mengguyur Jakarta pagi itu, ketika Cassandra turun dari bus dan berlari kecil menuju halte. Dia bergabung dengan barisan orang-orang yang juga sedang berlindung dari hujan, ikut pada deretan mereka yang mendekap barang-barang berharganya. Tampak di sana anak sekolah, pengemudi ojek online, pekerja kantoran dan juga mahasiswi, yang sepertinya sama-sama berdoa agar hujan cepat mereda. Agar mereka tidak tertahan lebih lama lagi di sana, agar mereka dapat segera melanjutkan lagi aktivitas yang tertunda.
Hujan memang sedang memberikan dekapannya pada sang bumi, memberikan kesempatan bagi manusia untuk merenungi diri dan bersyukur. Bagaimanapun, setiap tetes hujan yang mengalir ke bumi pertiwi, sungguh merupakan salah satu berkah dan rahmat dari sang Ilahi. Setidaknya seperti itulah yang difikirkan oleh Cassandra, saat maniknya lekat menatap ke arah jalan yang kini basah dan tergenang air.
Dia adalah Cassandra Aglenia, seorang mahasiswi di Universitas Indonesia, jurusan Teknik Elekro. Tahun ini dia genap memasuki semester keempat dari total delapan semester yang harus dia tempuh untuk mendapatkan gelar sarjana tekniknya.
Keluarganya tidak kaya, apalagi harmonis. Syukurnya dia punya wajah yang indah dengan rambut hitam sebahu yang semakin menambah pesonanya. Umurnya baru memasuki dua puluh tahun, dan dewi fortuna memang berpihak padanya ketika dia akhirnya mendapatkan beasiswa penuh untuk kuliah di kampus yang telah diimpikannya bahkan sejak dia masih duduk di bangku sekolah menegah pertama.
Perlahan-lahan Cassandra mengibaskan sisa-sisa air hujan yang mengenai lengannya. Memindahkan tas ransel yang tadinya berada di punggung, kini sudah berubah posisi dengan mendekapnya erat di depan dada. Dia memeluk tas itu, berusaha agar tidak terkena air hujan sedikit pun, bahkan percikannya. Sebab ada laporan dan tugas penting di dalam sana, sungguh tidak berniat untuk mengulangi pengerjaan tugasnya yang semalam suntuk jika benar-benar basah. Hujan tampaknya masih senang berada di bumi.
Sudah hampir dua puluh menit berlalu namun belum ada tanda-tanda hujan akan mereda. Malah angin kencang turut ikut serta menambah dinginnya cuaca pagi itu. Sedang sendu sekarang.
Cassandra melirik jam tangan murahan yang terpasang di pergelangan tangannya, menunjukkan sudah hampir pukul sembilan pagi. Dia akan terlambat masuk kelas jika masih menunggu hujan yang entah kapan akan reda.
Gadis itu mengambil ancang-ancang. Dia akan berlari saja menuju kampusnya yang tidak terlalu jauh dari halte tempatnya berdiri.
Cassandra benci hujan, tapi dia lebih benci jika beasiswanya dicabut karena dia bolos bahkan di satu mata kuliahnya. Ah, menyusahkan sekali, gerutunya dalam hati.
Di tengah hujan deras, Cassandra berlari. Menerobos hujan yang langsung membasahi dirinya tanpa ampun. Meski merasakan guyuran hujan yang menembus baju dan kulitnya, Cassandra tidak mundur. Dia berlari sekencang mungkin, melangkahkan kakinya dengan cepat saat pijakannya membelah genangan air. Dia tidak peduli. Dia hanya harus masuk kelas secepat mungkin, meski kelak dia harus basah kuyup.
Jakarta masih sendu pagi itu.
***
Xavier duduk di ruang tunggu kelas bisnis di Changi International Airport, Singapura. Pria berusia dua puluh dua tahun itu melirik ponselnya sesekali, seperti sedang menunggu sebuah pesan atau panggilan masuk. Memegangi benda pipih itu di tangan kanan, lelaki itu tampak menyimpan rasa cemas dalam hatinya.
Dia menarik napas panjang, saat menggesekkan sepatu mengkilapnya berulang kali pada karpet yang terlihat mahal. Banyak hal yang beterbangan dalam fikirannya. Dia sebenarnya tidak ingin pulang sekarang. Masih banyak yang harus dia lakukan di negeri singa itu, setelah setahun belakangan menetap di sana untuk melarikan diri. Hanya membuang-buang saldo tabungannya yang tidak pernah kosong.
Opa tidak akan pernah berhenti menggerutu tentang pendidikannya. Setelah menyelesaikan gelar sarjana hanya dalam waktu tiga tahun, Xavier tidak ingin belajar lagi. Dia sudah mumet, sepertinya otaknya tidak mau lagi diajak kerjasama untuk memikirkan tugas dan seabrek laporan.
Dia ingin bersenang-senang saja sekarang. Tetapi telepon dari Pak Budi kemarin sore mau tidak mau membuatnya harus menginjakkan kaki lagi ke Indonesia. Dia harus kembali secepat mungkin.
Kesehatan Opa menurun. Bahkan Opa telah menelepon semua anaknya untuk berkumpul di Jakarta. Xavier melemah. Mungkin memang ini saatnya untuk pulang, fikirnya. Kembali ke kehidupan nyata dan kembali menjadi dirinya. Xavier benci memikirkan itu.
Xavier tersadar dari lamunannya ketika suara seorang staff bandara mempersilakan penumpang kelas bisnis untuk masuk ke pesawat lebih dulu. Beberapa orang bangkit dari kursi mereka dan langsung berjalan ke arah di mana petugas maskapai dengan senyumnya yang ramah, menunjukkan arah untuk menuju pesawat.
Setelah tidak ada orang lagi selain dirinya dan melihat si petugas telah menunggunya, lelaki itu akhirnya bangkit. Xavier memperlambat jalannya, sebab dia benci keramaian. Dia benci berdesakan, dan dia benci pulang ke Jakarta.
.
.
.
🌾Bersambung🌾
~Terimakasih sudah mampir diceritaku, ya Kak.. Support Like, Vote dan Komennya ya, salam kenal :) ~
"Alasan mengapa aku tidak ingin datang, karena aku tidak siap berbagi udara yang sama." ~Xavier Forzano.
.
.
.
Armada besi yang ditumpangi Xavier mendarat dengan mulus di tanah Indonesia, yang diikuti Xavier dengan segera melangkahkan kakinya menuju konter imigrasi. Setelah mendapat cap di paspornya, dia menghela napas panjang. Akhirnya, udara ini lagi. Xavier sungguh berusaha keras untuk tidak membuka luka lama yang masih bersemayam di dalam hatinya. Luka mengenai gadis itu, Gracia. Yang sekarang entah dimana, setelah pergi jauh meninggalkan Xavier saat cintanya begitu membuncah.
Keluar dari pintu kedatangan, Xavier langsung melihat Kang Salim sudah berada tepat di antara barisan orang-orang yang menunggu. Kang Salim membungkuk dan melempar senyumnya ke arah Xavier. Xavier hanya melengos sambil menghampiri pria paruh baya itu.
"Selamat kembali, Tuan," ujar Kang Salim sambil berjalan beriringan di samping Xavier.
"Bagaimana Opa?" tanya Xavier langsung.
"Nanti silakan Tuan lihat sendiri. Bapak melarang saya menjelaskan kondisinya, Tuan," jawab Kang Salim lagi.
Xavier memicingkan mata.
Dasar Opa. Dia pasti sudah menduga aku akan bertanya pada Kang Salim. Opa memang juara kalau soal beginian.
Mobil yang dikemudikan Kang Salim membelah wilayah ibukota, berkutat dengan kemacetan dan mendungnya cuaca. Hujan yang tadi mengguyur kota ini, telah berhenti dan menyisakan angin yang berhembus sepoi-sepoi.
Tidak berapa lama kemudian, Xavier dan Kang Salim sudah tiba di kediaman keluarga Abraham Forzano. Rumah dimana Xavier dibesarkan, sekaligus menjadi saksi untuk duka kehilangan Xavier.
"Opaaaa!" teriak Xavier sambil membuka pintu. Rumah terasa kosong. Bi Imah langsung berlari kecil dari arah dapur, menghampiri tuan mudanya yang baru saja tiba.
"Bapak di kamarnya, Tuan," ujarnya memberikan arahan. Xavier tidak menjawab, dia langsung melangkahkan kaki menaiki tangga dan menuju kamar Opa.
Dia berhenti sejenak di depan pintu kamar Opa dan mendengar sayup-sayup batukan Opa dari dalam. Cepat, dia meraih gagang pintu dan mendorong pintu itu. Opa sedang duduk di ranjangnya, berselonjor kaki sembari memegang sebuah buku.
Opa melirik ke arah pintu dan sudah menduga siapa yang datang. Dia langsung tersenyum.
"Xavier, akhirnya kau datang cucuku!" ujarnya senang. Xavier masih berdiri di ambang pintu, matanya lekat melihat Opa yang perlahan turun dari ranjangnya sambil menenteng buku bacaannya, menuju tempat Xavier berdiri.
Xavier memicingkan mata. Opa tidak sakit. Opa baik-baik saja. Bahkan kakek tua itu mengenakan piyama bermotif nenas, astaga! Xavier merasa Opa telah menipunya mentah-mentah.
"Aku akan kembali saja ke Singapura! Opa baik-baik saja!" katanya kesal.
Opa yang berjalan mendekati Xavier langsung melayangkan buku tebalnya ke arah cucu tampannya itu, memukul kepala Xavier dengan bukunya hingga menyebabkan pria itu meringis.
"Opa, sakit!" serunya sambil mengusap puncak kepalanya yang terkena hantaman buku Opa.
"Begitu caramu menyapa Opamu ini, hah bocah? Mau kupukul lagi?" balas Opa yang kembali mengarahkan bukunya pada kepala Xavier.
Xavier refleks melindungi kepalanya dengan tangan, tidak ingin lagi meringis akibat buku tebal yang menghantam kepalanya. Kali ini Xavier berhasil menghindari pukulan Opa, membuat Opa kemudian terkekeh dan mendekat untuk memeluk Xavier.
"Kemarilah, bocah kecil. Opamu ini sudah sangat merindukanmu," ujar Opa di sela-sela dekapannya yang erat.
Xavier juga merindukan Opa. Merindukan sosok kakek yang selalu membelanya, menyayanginya, memberikan hal-hal terbaik dalam hidupnya sejak dia masih kecil hingga beranjak dewasa. Sejak dia punya segalanya hingga menjadi sebatang kara. Sejak dia dipenuhi cinta hingga dia tenggelam dalam cinta yang tak terbalaskan, Opa selalu ada.
Bahkan ketika Xavier memutuskan untuk hijrah ke Singapura karena luka mendalamnya, Opa tidak melarang. Justru Opa rutin mengisi saldo di rekening lelaki itu, memberikan apartemen terbaik hingga mobil keluaran terbaru. Berharap Xavier cepat pulih dan kembali lagi menemaninya di rumah besar ini.
Opa melepas pelukannya. Memandangi Xavier lekat dan mengangguk perlahan.
"Kau sudah menjadi sedikit lebih gemuk," komentar Opa sembari masih memperhatikan Xavier lekat.
"Tentu saja. Hidup di Singapura sangat menyenangkan. Sebentar lagi aku akan kembali ke sana," balas Xavier yang tampaknya masih sedikit kesal.
Opa memelototi Xavier. Seolah ingin mengatakan bahwa alasannya berbohong adalah sebab dia hanya ingin Xavier kembali. Setidaknya kakek tua itu berhasil membujuk cucunya untuk pulang, meski harus sedikit mengarang cerita. Toh, Opa memang sering kali batuk sekarang, jadi perkataannya tentang kesehatan yang menurun tidak sepenuhnya kebohongan.
Menyimpan senyuman, Opa masih memandang Xavier yang menunjukkan raut wajah kesal. Menepuk pundak Xavier, kakek tua itu mendesah pelan.
"Tidak untuk saat ini!" balasnya bernada serius.
.
.
.
🌾Bersambung🌾
~Terimakasih sudah mampir diceritaku, ya Kak.. Support Like, Vote dan Komennya ya, salam kenal :) ~
"Kurasa ini bukan cinta. Hanya sebuah rasa ketertarikan yang mendalam." ~Cassandra Aglenia.
.
.
.
Cassandra memasukkan buku ke dalam tasnya. Baru saja buku terakhir masuk, seseorang sudah berdiri tepat di samping kursinya. Dia menghela napas. Lelaki ini lagi, fikirnya. Dia tidak menoleh dan tidak memberikan reaksi apapun.
"Cass, please dong jangan hindarin gue gini," rengek lelaki itu. Cassandra memalingkan wajah menatapnya, matanya tajam.
"Duh, lo itu bisa gak sih gak usah gitu ke gue," sungutnya.
"Manja amat!" lanjutnya lagi. Lelaki itu terkekeh.
"Oke. Gue janji enggak lupa buat tugas lagi, oke?"
Cassandra bangkit dan menepuk bahu lelaki itu. Dia tersenyum licik.
"Oke. Ayo ke kantin. Lo traktir gue makan!" todongnya sambil menyeret sang lelaki pergi keluar kelas.
Yoyo mengikuti langkah Cassandra dengan cepat. Lelaki itu bernama lengkap Yovie Anuarman, namun lebih senang jika dipanggil Yoyo, biar agak centil gitu katanya.
Dia adalah teman dekat Cassandra di kampus, yang juga bekerja di cabang kafe yang sama dengan kafe dimana Cassandra bekerja paruh waktu.
Yoyo memiliki tubuh yang sedikit gempal, tentunya dengan gaya bicara manja khas kewanitaan. Cassandra menyayangi Yoyo, karena mereka sudah lama bersahabat dan Yoyo juga loyal kepada Cassandra.
"Cass, ada Mas Juna!" bisik Yoyo pada Cassandra yang sedang sibuk menyantap nasi gorengnya.
Cassandra tersentak sekejap.
"Mana?!" tanyanya cepat, mencari-cari keberadaan Arjuna di sekitar mereka. Tetapi niihil, tak tampak Arjuna di sekeliling.
Cassandra masih celingukan.
"Nyari siapa? Nyari aku ya?" Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan Cassandra. Arjuna telah berdiri tepat di belakangnya, disambut dengan senyuman Yoyo yang melebar.
"Eh, ada Mas Juna," sambut Cassandra salah tingkah. Dia hanya mesem-mesem.
Arjuna mengambil posisi duduk di depan Cassandra, menatap gadis itu dengan piringnya yang masih berisi setengah porsi nasi goreng.
"Kamu kerja hari ini, Cass?" tanya Arjuna lagi. Membuat Cassandra menjadi semakin salah tingkah.
Yoyo menyenggol Cassandra yang masih terdiam.
"Eh, iya Mas. Hari ini kerja sore," jawabnya cepat.
Arjuna tersenyum.
"Ya sudah. Kapan kamu libur nanti temenin Mas ke toko buku yang kamu bilang dulu itu, ya," ujar lelaki yang bernama Arjuna itu sembari merekahkan senyuman tampannya.
"Oke Mas, siap!" jawab Cassandra cepat, masih terbata.
Arjuna kembali tersenyum dan pamit meninggalkan Cassandra dan Yoyo yang masih duduk di kantin, melanjutkan makan mereka yang belum selesai.
Cassandra tertegun melihat kepergian Arjuna, berusaha menetralkan kembali detak jantungnya yang berpacu cepat pada getaran normal. Rasanya dia mau terbang saja.
"Jangan terlalu ketauan banget lo nge-fans kenapa sih Cass!" komentar Yoyo sambil menyeruput es tehnya.
"Ha? Terlalu terlihat, ya?" tanya Cassandra malu.
"Iya, muka lo memerah setiap ada Mas Juna. Awas lo nanti sakit hati kalo berharap lebih," lanjut Yoyo. Cassandra terdiam, merengut.
"Elo itu dukung gue kek kenapa sih!" sungutnya. Yoyo menjauhkan gelasnya, lalu menggeleng pelan.
"No. Ini memang kenyataan. Seantero kampus udah denger kalo Mas Juna punya hubungan khusus sama Vercia. Elo jangan berharap banyak," jelas Yoyo mengingatkan.
Dia tahu Arjuna memang punya banyak pesona. Sekaligus dia juga tahu temannya ini juga tersihir atas pesona Arjuna. Yoyo hanya tidak ingin Cassandra terluka. Gadis itu masih murni, masih polos.
Cassandra hanya bungkam. Dia juga sudah mendengar soal itu. Namun pesona Arjuna Radeya sangat sulit untuk ditepisnya.
Berawal dari pertemuannya dengan Arjuna di kafe tempatnya bekerja paruh waktu, Cassandra sudah tertarik pada senyum pria itu. Terkesan maskulin, dan dewasa di satu sisi. Percakapan pertama mereka di meja kasir tempo lalu, meninggalkan kesan mendalam untuk Cassandra. Ditambah lagi beberapa hari kemudian Cassandra melihat sosok Arjuna di kampusnya dan tidak sengaja berpapasan dengan lelaki itu. Yang membuatnya lebih senang lagi, ternyata Arjuna mengingatnya. Cassandra masih ingat jelas bagaimana Arjuna tersenyum lebar saat tahu bahwa mereka berada di bawah almamater yang sama.
Arjuna sedang mengenyam pendidikan pasca sarjana di kampus ini, dimana Cassandra juga sedang berjuang untuk gelar sarjananya. Dia dan Cassandra hanya terpaut beberapa tahun, dan Cassandra merasa Arjuna tampak sangat berwibawa, sangat cocok untuk dijadikan kepala keluarga.
Cassandra meraih botol yang berisi air mineralnya, berfikir sejenak tentang kata-kata Yoyo baru saja. Sahabatnya itu benar. Dia tahu Arjuna tidak memiliki sikap atau perilaku khusus padanya, apalagi lelaki itu sedang dekat dengan teman seangkatannya, Vercia, yang terkenal dengan kecantikan dan kepintarannya.
Cassandra berdehem pelan, menatap pada Yoyo yang masih mengunyah kue bawang.
"Ini mungkin bukan cinta, Yo. Cuma ketertarikan sementara," katanya pelan.
.
.
.
🌾Bersambung🌾
~Terimakasih sudah mampir diceritaku, ya Kak.. Support Like, Vote dan Komennya ya, salam kenal :) ~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!