Zuya Jewis, 18 tahun. Gadis manis berperawakan tomboy tapi penakut gelap dan manja. Zuya memiliki tiga sahabat cowok yang selalu siap siaga membantunya melakukan apa saja. Murni sahabatan. Alasan Zuya memilih bersahabat dengan para cowok-cowok itu adalah karena dia benci dengan persahabatan cewek yang ujung-ujungnya malah musuhan karena iri hati.
Kenapa dia bisa bilang begitu?
Tentu karena ia pernah mengalaminya sendiri. Di mana waktu SMP ada sahabat dekatnya cewek namun diam-diam iri berat sama dia dan melakukan banyak hal jahat di belakang dia. Bahkan sampai memfitnahnya. Karena pengalaman menyakitkan itu, Zuya tidak ingin menjalin hubungan persahabatan dengan yang namanya cewek. Kalau hanya sekadar pertemanan biasa saja bisa. Tapi kalau bersahabat untuk saling berbagi rahasia, tidak akan lagi. Dia sudah kapok, trauma pokoknya.
Keno, Igo dan Bowen adalah sahabat yang Zuya temukan waktu kelas satu SMA. Pertama kali bertemu di sekolah dulu mereka adalah kumpulan cowok-cowok populer. Bowen kapten basket, Keno pinter banget melukis dan calon seniman hebat, dan Igo selalu mendapatkan juara umum tingkat sekolah.
Awal mula Zuya ingin berteman dengan mereka adalah karena gadis itu merasa mereka sangat keren. Tapi ketiga cowok tersebut selalu menghindari dia saat pertama kali dia mendekati mereka.
Namun dengan berbagai cara yang Zuya lakukan, dia pun berhasil. Mereka berempat jadi sahabat dekat sampai sekarang. Akhirnya dengan segala drama dan kenakalan yang mereka lakukan sewaktu sekolah, ke ke-empat sahabat itu pun berhasil lulus dari SMA dan mendaftar ke universitas yang sama.
Far University. Salah satu universitas swasta terkenal di kota itu.
Zuya dan ketiga sahabat cowoknya mengambil jurusan yang beda-beda. Zuya memilih jurusan bisnis sesuai permintaan papanya, Bowen jurusan olahraga, Keno Desain komunikasi visual dan Igo jurusan kedokteran. Igo ingin jadi dokter, karena panutannya adalah Aerin. Setiap ada kesempatan mereka berempat selalu kumpul bareng.
"Zu, bukannya kamu ada kelas sekarang?" Keno mengingatkan. Seingat dia Zuya ada kelas manajemen bisnis siang ini. Ke-empatnya lagi santai di kantin kampus.
Zuya melirik jam tangannya dan melotot.
"Ya ampun bener, kok aku bisa lupa ya?"
"Udah nggak usah banyak omong. Cepet pergi sana!" timpal Bowen. Zuya pun berdiri, pergi dari situ meninggalkan ketiga sahabatnya.
"Bye gaees!" serunya.
"Lihat dia, santai sekali." ujar Keno menggeleng-geleng kepala.
"Kamu kayak nggak tahu dia aja." kata Bowen.
Zuya berjalan dengan santai menaiki tangga menuju lantai tiga, kelasnya hari ini berada di lantai tersebut. Tangannya sibuk membaca pesan grup kelas di hapenya sampai dia tidak lihat ada seseorang yang turun dari tangga itu dan menabraknya.
Kalau pria itu tidak cepat-cepat meraih pinggangnya, bisa dipastikan sekarang dia sudah jatuh. Untung hapenya doang yang terbang.
Mata Zuya mengikuti arah kemana hapenya jatuh. Ia sama sekali belum sadar badannya sudah menempel dengan seseorang didepannya yang posisinya memegang pinggang gadis itu. Laki-laki tersebut terus menatap gerak-geriknya lama. Pemilik wajah tampan itu juga cukup kaget melihat siapa gadis di depannya sekarang ini, yang menabraknya.
"Hape aku," gumam Zuya dengan wajah sedih. Ia ingin turun mengambil hapenya yang terjatuh tapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Jelaslah, orang ada yang tahan.
Gadis itu berbalik dan menatap ke laki-laki didepannya. Jarak mereka sangat dekat hingga ia bisa merasakan nafas laki-laki itu diwajahnya begitupun sebaliknya. Pandangan mereka bertemu, cowok didepannya itu awalnya menatapnya datar, lalu menyeringai.
Zuya jelas kenal siapa pemilik wajah tampan itu. Sudah hampir dua tahun ini mereka tidak pernah bertemu lagi.
Zuya ingat terakhir kali mereka bertemu di resepsi pernikahannya kak Anson dan kak Aerin. Benar. Siapa lagi coba kalau bukan Zhawn. Dua tahun tidak ketemu, wajahnya makin tampan saja. Zuya tidak menyangka mereka akan bertemu lagi dengan cara begini.
Mata Zuya berkedip-kedip karena gatal. Ia bisa merasakan tangan laki-laki itu di pinggangnya.
"Kalo jalan yang bener. Pake mata dedek." ujar Shawn pakai embel-embel dedek di belakangnya.
Gadis itu kini sudah terlihat lebih dewasa dari dua tahun lalu. Makin cantik juga. Entah kenapa Zhawn senang saja membuat gadis itu kesal. Tangan Shawn tetap setia berada di pinggang Zuya. Dan lagi-lagi gadis itu menatapnya penuh permusuhan seperti dulu.
"Dengar baik-baik ya om, dimana-mana kalo jalan itu pake kaki. Bukan pake mata. Dan jangan panggil aku dedek, aku bukan dedek om-om jelek kayak kamu!" balas Zuya dongkol.
Shawn didepannya mendengus pelan memperhatikan tingkah Zuya. Ia gondok mendengarnya. Tapi merasa lucu. Gadis ini belum berubah. Wajahnya mungkin bertambah dewasa, tapi sifatnya masih sama.
"Bisa lepasin aku nggak om?" ucap cewek itu. Sementara Shawn yang masih betah berlama-lama memeluk pinggang gadis itu pun melepaskan tangannya perlahan-lahan supaya Zuya tidak terjatuh.
Setelah dirinya bebas, Zuya cepat-cepat berlari turun tangga. Ia mengambil hapenya dan memeriksa kalau benda itu baik-baik saja atau nggak, sedang cowok yang tabrakan dengannya tadi masih setia memperhatikannya dari anak tangga.
Ia melihat Zuya tersenyum lebar sambil menatap hape miliknya. Artinya benda itu baik-baik saja tidak ada kerusakan. Cewek itu menatap Shawn lagi dari bawah dengan raut wajah memusuhi Shawn, lalu berjalan kembali menaiki tangga. Ia berhenti sebentar sebelum melewati pria itu, dan memeletkan lidah.
Shawn menyunggingkan bibirnya. Dan dengan cepat kembali meraih pinggang Zuya lagi. Gadis itu selalu berhasil membuatnya ingin menggodanya terus. Pokoknya mereka kalau bertemu, sudah seperti kucing dan tikus saja. Selalu saja ada yang diperdebatkan.
"Apa-apaan, lepas nggak?" Zuya menatap Shawn galak.
"Dua tahu tidak ketemu, kau tambah galak saja dedek." tangan laki-laki itu yang lain mencolek pipi tembem Zuya. Ia tidak pernah berinisiatif menyentuh wanita lain sebelumnya. Zuya gadis pertama yang sangat ingin dia goda.
Karena gadis ini menarik. Terbukti sampai sekarang Shawn masih mengingatnya. Apalagi pertemuan mereka yang terakhir menyimpan kenangan yang menyenangkan di hati seorang Shawn. Kadang saat pikirannya penuh dengan beban pekerjaan yang berat dan menumpuk, ia akan mengingat ekspresi Zuya yang makan kue di bawah kolong meja pesta keluarganya sendiri seperti seorang pencuri. Tingkah Zuya yang lucu dan konyol sungguh membuatnya merasa sangat terhibur.
"Aku bilang lepas!"
"Shawn, ternyata kau di sini."
Suara bas dari bawah tangga sontak membuat Shawn menoleh. Zuya memakai kesempatan itu menggigit lengan Shawn hingga mau tak mau laki-laki itu melepaskan dan Zuya kabur begitu saja menaiki anak tangga ke lantai atas.
"Om jelek... Kita pasti nggak akan ketemu lagi wleee!" serunya setelah mencapai anak tangga paling atas.
Shawn mendongak ke atas dan tertawa kecil, sementara laki-laki yang memanggilnya hanya menatap kebingungan.
"Siapa gadis itu?"
tanya laki-laki bersuara bas tadi. Namanya Adam. Sahabat Shawn yang menjabat sebagai direktur keuangan perusahaan keluarga Shawn. Dia juga akan yang akan menggantikan Shawn untuk sementara, mengambil alih posisi direktur utama. Karena mulai hari ini laki-laki itu akan bekerja di kampus ini sebagai profesor.
Tentu Shawn tidak akan memakai nama besarnya yang terkenal di kalangan orang-orang atas. Dia tidak mau pekerjaan di tempat ini terganggu kalau para jurnalis mengetahui keberadaannya dan ingin mewawancarainya. Apalagi maksudnya bekerja dikampus ini yaitu untuk melakukan pengembangan terhadap sebuah kasus yang sedang dia teliti, yang akan sangat berguna bagi perkembangan perusahaannya ke depan.
"Shawn?"
Adam memanggil Shawn lagi karena pandangan laki-laki itu masih tertuju ke anak tangga. Padahal Zuya sudah tidak menghilang dari pandangan mereka dari tadi.
"Ha? Kau tanya apa tadi?" Shawn balik bertanya. Ia tidak fokus tadi.
"Aku tanya siapa gadis kecil tadi, kau kenal?"
"Oh, namanya Zuya. Adik ipar dari wanita yang hampir menjadi tunanganku dua tahun lalu." jawab Shawn santai.
Adam mengernyitkan mata. Mencoba mengingat-ingat siapa wanita yang pernah dijodohkan dengan laki-laki itu. Tapi karena dia tidak ingat juga, dia memutuskan untuk cuek saja.
"Kenapa kau mencariku?" Shawn mengubah topik. Biasanya kalau Adam mencarinya pasti tentang urusan perusahaan.
"Kau lupa tanda tangani ini." Adam menyerahkan map ditangannya kepada Shawn.
"Urusan seperti ini kau saja yang tanda tangani mulai besok dan seterusnya. Kau lupa aku sudah menyerahkan posisiku padamu sampai urusanku di sini berakhir?"
Adam tahu. Namun rasanya aneh saja karena dia sudah terbiasa menjadi bawahan Shawn kalau dikantor. Jadi saat mengemban tugas sebagai pemimpin laki-laki itu masih cukup canggung.
"Mulai sekarang kau bertanggung jawab penuh atas perusahaan. Kau bisa meminta bantuanku hanya pada masalah yang tidak dapat kau selesaikan. Aku akan lebih fokus dikampus ini mulai besok dan seterusnya." kata Shawn. Adam tertawa. Laki-laki ini memang Shawn yang dia kenal. Selalu serius pada apa yang dia katakan dan kerjakan.
"Aku dengar kau disuruh mengajar hari ini, oleh profesor Sunan."
"Ya, aku akan ke kelas sekarang. Kau kembali saja."
"Baiklah, kalau ada apa-apa aku akan langsung menghubungimu."
Kedua laki-laki itu itu pun berpisah. Shawn berjalan ke arah aula jurusan bisnis, Adam sendiri keluar kampus.
Di tempat lain, ketika Zuya memasuki ruangan kelas manajemen bisnis, kelas tersebut sepi sekali. Hanya ada dua orang mahasiswi yang hendak keluar dari dalam kelas.
"Zuya?" salah satu dari dua mahasiswi itu menyapa Zuya. Namanya Warni. Mereka adalah teman sekelas Zuya, sama-sama jurusan bisnis.
"Yang lain kemana, kok nggak masuk kelas? Sekarang ada kelas management bisnis kan? Atau aku yang salah jadwal?" Zuya menatap kedua cewek itu bergantian. Masalahnya tidak ada teman-teman mereka yang lain, jelaslah dia tanya.
"Nggak Zu, kita yang salah kelas." sahut Warni.
"Salah kelas?"
"Iya, kelasnya dipindah ke aula. Aku dengar prof Sunan nggak akan mengajar kelas manejemen bisnis lagi semester ini. Sudah diganti ke dosen baru, yang lebih muda. Penasaran deh siapa tuh dosen." timpal Ayu, cewek yang satunya lagi.
"Ya udah yuk, ayo cepat ke sana. Nabila WhatsApp aku katanya semua mahasiswa yang datang terlambat kena hukum, dosen muda baru itu galak katanya."
Ayu dan Warni keluar dengan cepat. Mereka setengah berlari. Zuya pun mau tak mau berjalan cepat-cepat mengikuti dua cewek itu. Ketika mereka sampai, aula sudah hampir penuh. Ternyata ada banyak yang ambil kelas management bisnis juga.
Ada sekitar empat orang yang berdiri di depan, entah orang-orang tersebut sedang apa Zuya tidak peduli. Ia belum melihat penampakan sang dosen muda yang di sebut-sebut menggantikan prof Sunan. Dengan cueknya gadis itupun melangkah ke dalam. Padahal Warni dan Ayu tidak berani.
"Zuya, Zuya." Ayu bersuara pelan memanggil nama Zuya. Mungkin karena Zuya masuk paling belakang jadi ia tidak melihat bagaimana ekspresi laki-laki yang tengah berdiri di depan papan tulis besar.
Warni dan Ayu sudah berhenti, badan mereka panas dingin saking takutnya. Laki-laki yang diyakini mereka adalah dosen baru tersebut wajahnya memang sangat tampan, namun tatapan dinginnya begitu menusuk bak pedang bermata dua.
"Sekali lagi aku bilang, aku sangat tidak suka ada yang terlambat saat aku mengajar. Kau yang baru masuk, berhenti di sana!"
Nada suara itu rendah namun menggelegar. Semua orang dalam aula diam, mereka semua fokus pada Zuya. Gadis itu yang merasa suara besar dari belakang tertuju padanya, dia pun berbalik.
Ketika pandangannya bertemu dengan pemilik mata keabu-abuan yang meneriakinya tadi, mata Zuya melebar. Ternyata Shawn. Ia melihat dalam mata Shawn kalau pria itu juga kaget melihatnya.
Apes.
Mereka kembali bertemu. Lagi dan lagi. Padahal Zuya baru bilang selamat tinggal dengan senang hati karena tahu mereka tidak akan pernah bertemu lagi.
Laki-laki itu seorang dosen? Masa sih? Setahu Zuya bukan, dulu kak Aerin pernah bilang profesinya apa. Katanya laki-laki itu adalah seorang CEO di perusahaan milik keluarganya. Kok tiba-tiba jadi dosen sih?
"Kamu, maju ke sini!"
Shawn berseru galak.
Zuya mendengus dalam hati. Dasar tukang pura-pura. Mau tak mau dia pun maju. Ada banyak sekali orang dalam ruangan ini yang memperhatikannya. Walau Zuya sering sekali berbuat kacau, tapi dia juga punya urat malu.
"Lebih dekat." kata Shawn lagi. Zuya menatap dongkol pria itu. Si Shawn-Shawn itu sebenarnya mau apa sih? Kenapa cuma dia yang di suruh maju? Kan yang terlambat bukan dia doang.
"Kenapa terlambat?"
Zuya memutar bola matanya malas.
"Aku nggak tahu kalau kelasnya diganti, kalo tahu mana mungkin aku terlambat." sahutnya acuh tak acuh dan cukup ketus.
Ke-empat orang terlambat yang berdiri di dekat situ cukup tercengang karena melihat Zuya yang tidak ada takut-takutnya.
"Itu alasanmu saja. Semua yang ada di dalam sini sudah tahu kelasnya diganti. Kau lihat buktinya, mereka semua masuk kelas tepat waktu."
"Ih, kan aku nggak dapat kabarnya, ketua kelasnya nggak kabarin aku berarti. Jadi mana aku tahu om jelek!" balas Zuya refleks.
Suasana berubah riuh akibat suara Zuya yang bicara balik dengan beraninya pada Shawn, bahkan memanggilnya om. Ada embel-embel jeleknya pula.
"DIAM KALIAN SEMUA!"
Hening kembali.
Shawn menatap Zuya lagi dengan tatapan datar.
"Siapa namamu?"
Astaga. Pura-pura sekali. Padahal dia sudah tahu. Dasar laki-laki tukang akting.
"Zuya." jawabnya sebal.
"Berdiri di sana."
Shawn menunjuk ke arah kiri papan tulis. Zuya menanamkan matanya baik-baik kepada Shawn, bukti bahwa dia sangat dongkol pada laki-laki itu. Pasti Shawn sengaja ingin mengerjainya mentang-mentang laki-laki itu dosen dan dia adalah muridnya.
Jelaslah Zuya tidak bisa melawan lelaki tersebut di depan orang-orang. Posisinya tidak menguntungkan. Dia juga pasti akan mendapatkan peringatan dari pihak kampus kalau melawan dosen. Yang bisa Zuya lakukan sekarang adalah menurut saja karena kenyataannya dia memang datang terlambat.
Ujung bibir Shawn berkedut melihat ekspresi kesal Zuya. Lalu kembali datar lagi saat menatap ke depan.
"Mulai hari ini dan seterusnya, saya akan menggantikan profesor Sunan. Kalian pasti sudah dengar. Sekali lagi saya ingatkan, saya tidak akan memberikan toleransi bagi siapa saja yang terlambat masuk ke dalam kelas saya, apapun alasannya. Kalau kalian tahu sudah terlambat, lebih baik jangan masuk saja sekalian. Paham?"
Shawn pembawaannya memang galak dan ketus kalau sedang bekerja. Makanya dikantor yang dia pimpin sebelum melepaskan jabatannya kepada Adam, semua karyawan sangat takut padanya dan bekerja dengan tertib, jarang bergosip.
Memang ada gosip, tapi tidak mereka lakukan di waktu kerja. Biasanya para karyawan Shawn akan bergosip di jam istirahat. Bahan gosip mereka pun kebanyakan tentang Shawn. Katanya Shawn itu laki-laki idaman semua wanita, sayangnya terlalu galak bikin banyak wanita takut mendekatinya.
"Paham paak ..."
Semuanya menyahut kompak. Sementara Zuya mencak-mencak tidak jelas dengan pandangan menghadap papan tulis, membelakangi teman-temannya.
Warni dan Ayu di hukum berdiri bersama empat orang yang berdiri di awal mereka masuk. Hanya Zuya yang berdiri seorang diri paling depan. Sungguh, rasanya Zuya ingin mencakar om-om itu. Kenapa pake jadi dosen dikampus ini sih? Bikin kesal saja.
"Baiklah, sekarang kita lanjut." kata Shawn lagi kembali melanjutkan materi yang dia bawakan tadi.
Sementara laki-laki itu mengajar dengan serius, mata Zuya sesekali meliriknya. Diam-diam gadis itu memperhatikan Shawn.
Shawn memiliki tinggi badan yang kemungkinan ada di 188 cm, sama dengan abangnya Anson. Tubuh Shawn atletis dan proporsional, membuktikan bahwa laki-laki itu rajin berolahraga. Pasti tidak pernah absen. Abangnya saja yang sudah hampir tiga tahun menikah dan memiliki anak satu, badannya tetap proporsional karena tak pernah absen dari yang namanya olahraga. Tentu saja di dukung pula dengan makanan dan pola hidup sehat.
Kalau Zuya yang dipaksa olahraga sih mana mau dia. Mendingan tidur-tiduran lebih enak. Lagian tubuhnya terbilang enak dilihat. Tidak gemuk, tidak kurus pula. Dan bukannya sombong, parasnya pun cantik. Pokoknya dia sudah puas deh.
Balik ke Shawn. Zuya masih diam-diam memperhatikan laki-laki itu, ternyata om-om itu ganteng juga. Ganteng banget malah. Apalagi kalau sedang serius kayak sekarang. Kharismanya terpancar. Lihat para gadis di dalam sana, semuanya keliatan terpesona melihat Shawn.
Lantas kenapa Zuya menyebutnya om-om jelek? Padahal laki-laki itu sangat tampan dan wajahnya belum om-om. Kalau umur laki-laki itu sama dengan kak Aerin, berarti sekarang usianya dua puluh sembilan tahun dong?
Beda sebelas tahun sama Zuya. Cukup jauh dengan Zuya yang baru berusia delapan belas tahun. Pantas juga sih dipanggil om. Tapi kalau panggil tampang menawan seperti itu jelek ... Ah biar deh. Siapa suruh tiap ketemu laki-laki itu bikin dia kesal terus.
"Lima menit waktu kalian menjawab tiga soal yang saya berikan tadi. Kerjakanlah."
Semua mahasiswa yang duduk di depan sana kini fokus menulis, menjawab soal-soal yang diberikan Shawn. Padahal baru pertama kali masuk, eh sudah dikasih ujian mendadak saja. Zuya bernapas lega karena dia tidak termasuk dari teman-temannya disuruh mengerjakan soal. Ada untungnya juga dia datang terlambat dan di hukum.
"Kau juga akan aku beri soal untuk kau jawab, jangan senang dulu dedek. Di kelas, kau harus patuh padaku." bisikan kecil ditelinganya sontak menghilangkan senyuman di wajah Zuya.
Entah sejak kapan Shawn sudah berdiri di dekatnya dan seolah tahu apa yang dia pikirkan dalam hatinya, seperti cenayang. Semua orang di depan sana sedang fokus menjawab soal, teman-temannya yang lain yang dapat hukuman sama dengan dia pun berdiri membelakangi mereka, jadi mereka tidak perhatikan ketika Shawn mengambil kesempatan mendekati Zuya dan berbisik di telinga gadis itu.
Terjadi adu tatap antara keduanya. Tatapan Zuya seperti kucing garang yang ingin menyantap Shawn sampai habis tak bersisa. Shawn sendiri menikmatinya. Biasanya dia tidak suka pada orang yang memandanginya seperti ini, tapi beda cerita kalau gadis ini yang memberikannya tatapan garang seperti itu. Keliatan lucu saja. Membangkitkan semangat Shawn untuk terus menggodanya.
"Jangan jutek begitu, nanti wajahmu berubah jadi kodok."
Ih sebal sekali. Lebih sebal lagi karena Zuya tidak dapat melakukan apa-apa. Ini di kelas, ada banyak orang, dan laki-laki itu adalah dosennya. Huftt ... Apes sekali deh nasibnya pokoknya.
"Pak Shawn ..."
Seorang gadis seumuran Zuya mendatangi Shawn yang berdiri di dekat Zuya. Raut wajah laki-laki itu berubah datar lagi. Wibawanya sebagai seorang dosen harus terlihat agar tak ada yang menganggap remeh dirinya sebagai dosen baru yang masih muda.
"Sa ... Saya sudah selesai jawab semua soalnya pak." gadis itu memberikan buku ditangannya ke Shawn. Laki-laki itu melangkah ke mejanya, menjauh dari Zuya.
Zuya memperhatikan gadis yang mengekor di belakang si om jelek. Gadis itu malu-malu kucing pada Shawn. Zuya tidak tahu siapa namanya, kayaknya gadis itu dari kelas lain. Pokoknya nggak sekelas sama dia.
"Jawabanmu salah semua. Kalau kau tidak mau memperbaiki dan tetap mengumpulkan jawaban yang ini, jangan kaget dengan nilai yang akan kau terima." kata Shawn menatap gadis itu. Gadis itu menunduk malu.
Sedang dari belakang sana Zuya menertawainya. Sudah cepat-cepat kumpul, ternyata salah semua. Kasihan sekali.
"Aku tidak menyuruhmu tertawa, Zuya."
Shawn menyebut nama Zuya dari mejanya. Mengundang perhatian beberapa mahasiswa yang duduk dibagian depan. Senyuman di wajah Zuya pun menghilang seketika. Ia tidak menyangka sama sekali kalau pria itu akan menyebut namanya langsung. Malu juga sih ditegur di depan banyak orang.
"Dan kau,"
Dosen muda itu kembali melirik gadis di sebelahnya.
"Ambil ini dan kerjakan lagi. Perhatikan soalnya baik-baik sebelum menjawab." kata Shawn tegas. Gadis itu mengambil bukunya dari tangan lelaki itu dan kembali ke tempat duduknya dengan wajah tertunduk.
"Bapak dosen!"
Zuya tiba-tiba berseru kuat. Ia tak tahan lagi berdiri terus.
Shawn menoleh. Yang lain juga ikut mengangkat kepala penasaran apa yang ingin Zuya lakukan.
"Aku minta ijin mau berak!"
Dan teriakan kencang itu sontak membuat semua orang di dalam sana tercengang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!