Wajah gadis itu memucat. Tangannya terasa dingin meremas bajunya. Seolah informasi yang baru ia dengar adalah mimpi buruk siang bolong.
"Ini beneran Dokter?" tanyanya tak percaya.
"Ya benar, usia kehamilan Anda kurang lebih tiga bulan," tegas Dokter wanita tiga puluhan itu. Ia sudah sering mendapati kejadian seperti ini dalam sejarah pekerjaannya. Tak perlu pengamatan menyeluruh ia langsung paham apa yang dialami gadis itu.
"Baik, Dokter. Terima kasih," sahut gadis lain di sebelahnya. "Clara, ayo pulang."
Ia menarik lengan gadis bernama Clara yang masih mematung. Keduanya pun keluar dari ruangan dokter kandungan dengan perasaan tak karuan.
"Aku harus gimana, Gin?" lirih Clara tak percaya menyentuh perutnya. Bagaimana mungkin dalam rahim ini terisi janin tiga bulan.
"Kita pikirin pas kita udah di kosan aja ya."
...****************...
"Aku harus bilang apa ke orang tuaku? Mereka akan membunuhku jika tahu," isak Clara saat keduanya sudah tiba di kosan mereka.
"Tidak akan ada yang membunuhmu Clara," ucap Gina menenangkan sahabat sekaligus teman satu kamarnya itu. Ia menyodorkan segelas air pada Clara yang masih sangat syok.
"Aku tahu. Tapi tetap saja, bagaimana aku akan menghadapi mereka? Aku mengecewakan mereka Gin." Tangis Clara semakin menjadi. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Kita cari cara dulu, Ra." Gina mengelus lembut punggung sahabatnya itu.
"Apa..." Gina ragu-ragu, menunggu reaksi Clara. "Apa menurutmu kita hubungi Dean saja?"
Clara mengangkat wajahnya yang sembab memandang gadis berambut pendek itu. Ingatannya berputar kembali ke tiga bulan lalu. Saat ia dan Gina berada di kelab malam.
"Benar. Ini salahmu Gin. Kalau kamu tidak mengenalkannya padaku, semua ini tidak akan terjadi." Wajah Clara memerah karena marah. Ia menatap tajam sahabatnya itu. Gina-lah yang harus disalahkan atas kesialannya ini.
"Salahku? Aku tidak memaksamu tidur dengan Dean." Gina tak terima dengan perkataan itu.
"Jika kau tidak mengenalkannya padaku..."
"Aku hanya membantumu berkenalan dengannya. Selebihnya itu salahmu!" potong Gina tak terima.
Clara yang bengis pun melunak dan kembali menangis. "Aku tahu Gin, aku tahu."
...****************...
flashback
Tiga bulan yang lalu, ia dan Gina ke kelab malam seperti biasa dengan teman-teman mereka yang lain. Ia sudah sering ke kelab malam, hanya untuk minum miras sedikit dan menikmati musik.
"Ayo ke sana," ajak Nindy menunjuk ke kerumunan orang yang sedang menari.
"Kalian aja," tolak Gina.
"Kalian mana bisa dapat cowok kalo disini aja," paksa Nindy lagi.
"Udah buruan sana." Zira mendorong Nindy dan kekasihnya. "Dasar cerewet."
Clara dan Gina tertawa kecil. Zira baru saja putus dengan kekasihnya seminggu yang lalu. Itulah alasan mereka berada disini. Well, sebenarnya itu sekedar alasan kecil mereka untuk menjadi 'nakal'. Seolah jika datang ke kelab malam tanpa alasan membuat mereka lebih berdosa.
Hanya sebentar bagi Zira untuk mendapati mangsa baru di antara pengunjung kelab. "Yang itu ganteng," seringai Zira dan tanpa basa basi ia menghampiri pria yang sedang menari di lantai pesta.
"Kamu harus banyak belajar dari Zira, Ra." Mata keduanya mengekor mengekor ke arah Zira yang sudah berpelukan dengan laki-laki tak dikenal.
"Dia cocok banget jadi guru masalah percintaan," ucap Clara setuju. Matanya memutar mencari laki-laki tampan yang mungkin bisa meluluhkan hatinya, seperti kata Zira "Mangsa".
Banyak pria tampan di sana tapi entah bagaimana mereka terlihat norak dengan tarian tidak jelas itu. Tidak ada yang sesuai dengan keinginannnya. Karena itulah Gina menyebut Clara punya standar terlalu tinggi.
"Hai, mau menari denganku?" seorang pria mendatangi meja Clara dan Gina.
"Maaf, aku tidak menari," tolak Clara dengan sopan.
"Sebentar saja," paksanya tak peduli dengan penolakan Clara.
Clara menggeleng kepalanya.
"Dia kan udah bilang tidak," seloroh Gina kesal.
"Lalu, apa kau mau menari denganku?" tawar laki-laki itu pada Gina yang membuat Gina semakin kesal.
Gina bangkit dari tempat duduknya siap menampar. "Kau sangat baik membuat orang emosi."
"Wanita keras kepala sepertimu semakin menarik," seringai pria itu membuat Gina semakin mendidih marah.
Tanpa mereka sadari, seseorang memukul kepala pria itu sampai ia menunduk. "Cepat minta maaf." Ia menahan kepala pria tak sopan itu tetap menunduk.
"Hei sakit, lepaskan aku Dean," ia menangkis tangan Dean dari kepalanya, tapi tenaga Dean lebih kuat dibandingkan dirinya.
"Baiklah, aku minta maaf. Maafkan aku semuanya."
Barulah Dean melepaskan tangannya dari pria itu. "Gina?" tanyanya memastikan saat matanya bertemu dengan Gina.
"Jadi kau memang Pak Dekan, ya? Aku kira cuma mirip."
"Berhenti memanggilku Pak Dekan."
"Iya, iya. Kau masih temperamen sama seperti dulu. Anyway, ngapain kamu di sini? Kamu kan alim."
Sekilas tentang Gina dan Dean. Mereka dulu satu kelas saat SMA. Dean di panggil pak Dekan oleh teman sekelas karena ia adalah ketua kelas dan juga Dean itu berarti Dekan dalam bahasa Inggris.
"Ini pertama kali," ucap Dean malu-malu.
"Jadi kau dari dulu memang alim, ya. Hai Gina, namaku Abad. Namamu siapa?" tanyanya berbalik pada Clara yang hanya mematung melihat kejadian itu.
Tak senang dengan sikap Abad, Gina langsung menghempas tangan Abad yang hampir Clara salami.
"Dean, ini teman aku Clara. Clara, ini teman SMA aku Dean."
Begitulah awal mereka berkenalan. Dean pun akhirnya bergabung dengan Gina dan Clara di meja mereka sementara Abad sudah menemukan wanita lain. Mereka mengobrol seadanya dibarengi lantunan musik yang menyakitkan telinga.
Entah karena mabuk atau memang pesona Dean yang begitu kuat, Clara terus saja melirik ke arah Dean. Mata mereka yang bertemu membuat pipi Clara memanas. Gina yang terlalu asyik reuni dengan Dean sampai tak sadar dengan tingkah sahabatnya.
Pukul tiga pagi lebih, Gina sudah sangat mabuk sampai-sampai tak sadar diri. Nindy dan Zira juga entah dimana sekarang.
"Aku akan mengantar kalian pulang," ajak Dean membopong Gina yang sudah tepar.
Clara sebenarnya juga lumayan mabuk. Ia bahkan terhuyung saat berjalan.
"Hei, hati-hati," Dean menangkap Clara yang hampir terjatuh.
Genggaman tangan itu membuat jantung Clara berpacu cepat. Pesona Dean sungguh tak bisa ditolak.
Dean memesan taksi untuk mereka bertiga hingga sampai di kosan keduanya. Dean menggendong Gina masuk ke dalam. Ia benar-benar tak sadarkan diri. Padahal biasanya ia dan Clara bisa pulang tanpa harus tepar.
Saat Dean hendak pulang, Clara yang sudah diselimuti hawa nafsu menghadangnya. Ini adalah pertama kalinya ia menginginkan seseorang sehasrat ini. Mungkin ia memang sudah terlalu mabuk.
Tanpa aba-aba Clara mencium bibir Dean dengan panas. Dean tak mendorongnya, hanya membiarkan Clara bertindak semaunya.
Di samping Gina yang tak sadar diri, mereka menghabiskan waktu subuh itu dengan sangat panas. Itu adalah pengalaman yang tak akan bisa Clara lupakan. Ia menyerahkan dirinya yang hanya dalam hitungan jam ia kenal.
Gina tidak tahu apa pun sampai saat seminggu yang lalu Clara mengaku pada Gina. Ia tidak menstruasi dalam dua bulan terakhir, dan akhirnya mengajak Gina ke dokter kandungan. Seperti yang ia takutkan, hal itu memang terjadi.
Ditemani oleh Gina, Clara menunggu di sebuah cafe. Dadanya terasa akan meledak dengan rasa gugup yang kuat. Kepalanya terasa akan pecah oleh skenario-skenario liar di otaknya.
Hari ini ia akan menemui Dean untuk pertama kali semenjak kejadian itu. Itu sudah cukup lama bagi mereka bertemu. Jika ia mengaku pada Gina lebih dulu, mungkin saja mereka akan bertemu satu dua kali.
Ia terus menoleh ke arah pintu setiap kali ada pengunjung yang masuk. Saat yang datang bukan Dean, ia merasa entah lega atau ketakutan.
"Bagaimana kalau dia tidak datang Gin?" suara Clara tercekat akan kemungkinan buruk itu.
"Dia akan datang, Ra," Gina menenangkan sahabatnya meskipun ia sama takutnya dengan Clara.
Ia memang tak menyebutkan apapun dalam pesan singkatnya pada Dean, tapi Dean pastinya cukup pintar untuk tahu mengapa Gina memintanya datang.
"Itu dia!" Gina melambai ke arah pintu masuk.
Clara meneguk salivanya kemudian menoleh dengan pelan. Perasaannya semakin berkecamuk saat mata keduanya bertemu.
Entah bagaimana, Dean terlihat lebih tampan daripada saat mereka pertama bertemu. Atau memang pertemuan terdahulu mereka terlalu singkat bagi Clara untuk mengingatnya dengan jelas.
"Kau mau pesan apa?" tanya Gina saat Dean mengambil tempat di salah satu kursi di depan keduanya.
"Americano," jawabnya singkat.
Gina pun bangkit berdiri untuk memesan pesanan Dean, meninggalkan Clara dan Dean dalam suasana yang sangat canggung. Tak ada yang memulai percakapan.
"Ada apa?" tanya Dean saat Gina kembali ke kursi.
"Kamu apa kabar?" tanya Gina basa basi, memaksakan senyum yang terkesan tidak tulus.
"Baik." Lagi-lagi Dean hanya menjawab singkat.
"Eh begini... Ada yang ingin Clara sampaikan." Gina melirik sahabatnya, memberinya kode untuk bicara.
Dean mengalihkan pandangannya pada Clara yang tertunduk lesu. "Ya? Ada apa?" Ia menyeruput kopi americano-nya yang pahit.
Dean menunggu dengan tenang sampai Clara memulai pembicaraan.
"Kau ingat aku kan?" tanya Clara dengan hati-hati.
Setelah jeda singkat, Dean mengangguk. "Ya."
"Kau tahu kan apa yang kita lakukan saat itu? Aku rasa kau masih mengingatnya," kata Clara dengan nada berbisik, takut jika ada yang menguping.
"Mm."
"Karena kejadian itu, aku...aku..." suara Clara tercekat di tenggorokannya. Ia mengepalkan tangannya, menguatkan dirinya sekali lagi. Kata itu sangat sulit untuk diucapkan.
"Kau hamil?" tebakan Dean membuat Clara tercekat. Dean memang sudah mengira dari awal arah pembicaraan ini. Ia sudah curiga saat menerima pesan teks Gina yang mendadak.
Clara mengangguk pelan.
"Apa itu milikku?"
Pertanyaan itu membuat Clara yang terus menunduk menatap Dean yang memandangnya dengan tatapan datar, tanpa ekspresi yang dapat Clara tafsir.
"Apa maksudmu?" sergah Gina yang sedari tadi membiarkan keduanya berbicara.
"Aku tidak menyangkal apa yang kita lakukan saat itu, tapi aku juga ragu bahwa itu memang milikku."
"Kau menyebutku tidur dengan orang lain? Kau kira aku menipumu?" Clara tak mengira dengan tuduhan langsung Dean yang menyakitkan itu.
"Apa kau bisa membuktikan bahwa itu milikku?" tanya Dean tanpa basa basi.
"Clara bukan wanita seperti itu," bantah Gina tak terima. Ia menghabiskan waktunya dengan Clara, ia tahu Clara luar dan dalam.Satu-satunya hal yang ia tidak ketahui hanyalah hubungan Dean dan Clara saat itu. Itupun karena ia terlalu mabuk untuk tahu.
"Itu bukan kali pertama kalian ke klub kan? Itu tidak menutup kemungkinan bahwa kalian tidak berhubungan denganku saja," terang Dean yang tak bisa dibantah keduanya.
"Bagaimana bila ini memang anakmu? Apa kau akan bertanggung jawab sepenuhnya?" Clara menatap Dean dengan sorotan tajam. Ini sama saja Dean menuduhnya perempuan sembarangan. Ia memang sering ke klub malam tapi bukan berarti ia akan tidur dengan sembarang orang. Clara tak terima dengan tuduhan itu.
"Gugurkan saja bayi itu."
"Apa?!" Gina setengah berteriak. "Dean kenapa kau bre*sek begini? Apa maksudmu?"
"Kau tidak mau bertanggung jawab?" tuduh Clara.
"Kau mau kita menikah?"
"Memang ada solusi lain?" tanya Clara balik.
"Jika memang itu yang kau inginkan, berarti sama saja kau merusak masa depan kita," tegas Dean tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. Seolah membunuh janin bukanlah sebuah dosa.
"Bayi ini tidak salah." Suara Clara meninggi. Rasa-rasanya ia ingin menampar pria itu. Clara merasa jijik selama ini terus memikirkannya.
"Aku tahu." Dean tetap dengan ekspresi tenangnya. "Seperti yang kukatakan, dengan pernikahan ini sama saja merusak masa depan kita. Kita masih terlalu muda untuk menghidupi diri kita sendiri. Kita tidak punya penghasilan dan aku tidak yakin orang tua kita akan mau menghidupi kita. Lalu bayi itu, dengan apa kita besarkan?"
Penjelasan rinci Dean seolah menampar Clara. Ia sudah memikirkan skenario ini, tapi tetap saja bagaimana mungkin Dean mengatakannya seperti itu seolah itu bukan hal besar.
"Jadi... itu maumu?"
"Aku hanya mengatakan apa yang akan terjadi nantinya. Terserah jika kau tetap ingin menikah, aku akan melakukannya. Tapi, jangan harap aku bisa memenuhi segala kebutuhanmu. Kita mungkin akan hidup dalam situasi di bawah pas-pasan."
Gina menggenggam tangan Clara, mengerti apa yang Dean maksud. Hal itu ada benarnya. Ini akan berat bagi keduanya.
"Bayi ini tidak salah," ucap Clara sekali lagi menahan air mata yang sudah hampir melampaui batas kekuatannya.
Dean menarik napas berat. "Ya, kita lah yang salah. Apa kau ingin ia menanggung kesalahan kita saat lahir nanti?"
Tak terasa air mata Clara berjatuhan di pipinya. Dalam hati ia paham betul apa yang diucapkan Dean. Ia menyentuh bagian perutnya, tak sanggup bila harus membunuh kehidupan kecil di rahimnya ini.
Tapi bagaimanapun Dean benar. Keadaan orang tuanya pas-pasan, tidak akan mampu mendukung mereka secara finansial. Orang tua Dean pun mungkin di posisi yang sama.
"Aku akan memikirkannya," ucap Clara final. Menyeka air matanya.
"Bicaralah dengan orang tuamu, dan aku akan menghadap orang tuaku setelahnya," ujar Dean menyarankan.
"Baiklah. Aku akan memberi tahu orang tuaku terlebih dahulu."
"Apa ada hal lain lagi?" tanya Dean memastikan.
"Tidak. Kau boleh pergi," jawab Clara sudah tak peduli dengan Dean.
Setelah kepergian Dean, Clara tak mampu menahan air matanya. Ia terisak dengan perih. "Aku harus gimana Gin?" rintihnya putus asa. Situasi ini semakin memburuk.
"Sebaiknya kita ikut saran Dean untuk membicarakannya dengan orang tuamu dulu. Mungkin sebaiknya orang tua yang mendiskusikannya," ucap Gina menyarankan.
Mereka benar. Ia harus membicarakannya pada orang tuanya terlebih dahulu. Entah bagaimana nasib janin ini selanjutnya. Apakah ia akan lahir ke dunia yang menyakitkan ini? Atau selamat dari orang tua yang tidak berguna ini.
Clara kini berada tepat di depan rumahnya di kampung. Perutnya terasa mual hendak muntah, mungkin karena mabuk perjalanan dan juga bawaan bayi ini. Ia melangkahkan kakinya menuju rumah yang sudah sangat ia rindukan itu.
"Clara!"
Clara menoleh pada sumber suara. Seorang wanita tua dengan pakaian lusuh setengah berlari ke arahnya.
"Kok tidak bilang ndo kalau pulang?" Ia memukul lengan Clara, sangat ingin memeluk putri bungsunya itu tapi sadar bahwa ia masih belum membasuh diri, pakaiannya masih bercampur lumpur dan keringat.
"Kalau bilang yo ndak surprise Bu," ucap Clara yang merasa seolah bebannya terangkat semua dengan keberadaan ibunya.
"Ayo cepat masuk, istirahat. Bapakmu sebentar lagi pulang." Ibu Clara mendahuluinya masuk ke rumah sederhana bercat hijau yang sudah memudar.
Clara adalah putri bungsu dari dua bersaudara. Kakaknya, Lidya, yang terpaut tiga tahun sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak umur dua tahun. Ia dan suaminya berada di perantauan di pulau lain. Pulang ke rumah hanya setahun sekali.
Suasana rumah yang Clara rindukan membuat segala gundah gulananya menepis. Ruangan familiar membuat hatinya sejuk seolah segala beban di pundaknya menghilang.
Dalam kamar kecil miliknya dan kakaknya, berjejer photo-photo mereka. Ibunya menempelkan semua itu saking rindunya pada kedua putrinya.
Jarak tempat Clara bersekolah dengan kampungnya sekitar empat jam perjalanan. Hal itu membuat ibunya melarang Clara pulang terlalu sering, kecuali bila ada libur panjang.
"Clara, mandi dulu ndo."
Suara ibunya membuyarkan segala kenangan manis di rumah itu.
"Iya, Bu."
Clara melangkah keluar membawa handuknya. Di dapur ibunya sudah selesai membasuh diri dan siap-siap memasak untuk makan malam. Clara ingin membantu tapi ibunya memaksanya mandi.
"Cepat mandi sana, Bapakmu sebentar lagi pulang."
"Iya, Ibu," ucap Clara masih memeluk ibunya dari belakang.
Selesai Clara mandi ayahnya sudah pulang dan menikmati kopi di dapur sambil berbicara pada istrinya.
"Pulang kok ndak kasih kabar ndo?"
"Niatnya bikin surprise Pak," ucap Clara sambil menyalami ayahnya.
"Yo tetap harus kabarin ndo. Gimana kalo ada apa-apa di jalan?" omel ayah Clara tak terima dengan alasan Clara itu.
"Iya, Bapak. Clara janji deh ndak gitu lagi." Omelan orang tuanya yang biasanya membuatnya kesal kali ini terasa sangat melegakan.
"Ya sudah, istirahat sana ndo. Kita makan tunggu Bapakmu selesai mandi. Ayo Pak, buruan mandi."
Mereka bertiga makan malam dengan penuh percakapan. Orang tuanya terus menanyakan kuliahnya dan apa kabar sahabat-sahabatnya, terutama Gina yang dekat dengan keluarganya.
"Apa kamu sudah punya pacar?" tanya ayahnya mendadak yang membuat Clara tersedak.
"Kamu ndak papa ndo?"
"Ndak apa-apa, Bu." Clara menenangkan ibunya.
"Jadi udah punya toh?" desak ayahnya.
"Hush, nanya gitu."
"Sudah Bapak," ucap Clara berbohong. Ia mau mengatakan tidak ada tapi sebentar lagi ia akan membuat pengakuan mengejutkan. Jadi mau tak mau ia harus berbohong.
"Siapa namanya? Satu kampus sama kamu?" Ibunya yang sama penasarannya terus bertanya.
"Namanya Dean, Bu. Tidak satu kampus sama Clara."
"Kok bisa kenal? Kenal di mana?" cecar ibunya. Ayah Clara hanya bisa geleng-geleng melihat kelakuan istrinya. Ia sangat tahu bahwa istrinya seingin itu menanyakan tentang hal itu, makanya ia yang memulai pembicaraan.
"Kenal dari Gina. Teman satu SMA-nya dulu."
"Oalah. Sudah berapa lama kalian pacaran?"
"Ibu, tanyanya pelan-pelan. Ndak usah segitunya," seloroh ayahnya sambil menghabiskan makanannya.
"Masih baru beberapa bulan Bu." Dada Clara terasa sesak karena kebohongan-kebohongan yang terus ia katakan. Tapi pilihan apa yang ia punya.
Malamnya Clara tidak bisa tidur. Sudah pukul dua belas malam dan rasa kantuk tak kunjung datang.
Ia seharusnya berbicara malam itu tentang masalahnya tapi nyalinya menciut. Tak sanggup rasanya menghancurkan hati kedua orang tuanya itu.
Ia menuju dapur untuk mengambil segelas air lalu duduk merenung di salah satu kursi kayu yang dibuat ayahnya. Ia terlalu hanyut dalam pikirannya sendiri sampai tak menyadari kehadiran ibunya.
"Kok nda tidur?" suara lembut ibunya mengejutkannya. Ibunya duduk di sebelahnya. "Ada masalah apa? Bilang saja sama Ibu."
"Ndak ada masalah apa-apa Bu," ucap Clara menunduk, menghindar dari tatapan ibunya. Sudah tak sanggup rasanya ia terus berbohong seperti itu.
"Kamu sakit ndo?" tanya Ibu Clara yang tahu betul bahwa putrinya itu berbohong. Pasti ada sesuatu yang sulit untuk dibicarakan.
Clara menggeleng. "Clara baik-baik aja Bu."
"Cerita saja sama Ibu." Ibu Clara menepuk lembut tangan Clara, memberikannya sentuhan yang menghangatkan hati Clara.
Sebab itulah, air mata Clara yang tertahan mengalir deras. Ia langsung memeluk ibunya saat rasa bersalah itu meluap. "Ibu... Maafin Clara," isaknya.
"Cerita saja Ndo." Ibunya dengan lembut membelai rambut Clara.
"Clara... Clara hamil Bu," isak Clara. Ia sudah pasrah.
"Dean yang hamilin kamu?" tanya ibunya tanpa nada marah. Membuat Clara yang ketakutan merasa lebih tenang.
"Iya Bu."
"Ayah Ibunya Dean sudah tahu?"
"Belum Bu."
"Dean-nya mau tanggung jawab? Kalau dia tidak mau nanti Ibu sama Bapak datangin orang tuanya." Suara Ibu Clara yang lemah lembut mengeras.
Clara melepas pelukannya. Wajahnya basah karena air mata. "Dia mau Bu. Dean mau tanggung jawab. Tapi..."
Clara menelan salivanya. Sangat sulit mengatakan hal yang sebenarnya.
"Tapi apa?" Suara berat ayahnya mengejutkan keduanya. Ia sedari tadi menguping pembicaraan anak dan istrinya. Ia juga sama tahunya bahwa putrinya sedang dalam masalah. "Ayo kita ke kota, Bapak mau ketemu sama pacarmu itu."
"Pak. Dengerin Clara dulu," ucap Ibu Clara menenangkan suaminya yang sudah naik darah.
"Dean mau tanggung jawab Pak."
"Terus? Orang tuanya yang tidak setuju?" desak ayah Clara.
"Bukan begitu Pak. Dean bilang jika kami menikah maka kehidupan kami akan di bawah pas-pasan. Karena itu..."
"Jangan berpikir untuk membuang anak itu ndo. Anak itu anugerah dari Tuhan. Mau kalian hidup miskin kah, melarat kah, itu tanggung jawab kalian. Tapi jangan pernah berpikir untuk membuang anak itu. Kalau Dean memaksa nanti Bapak yang bicara. Masalah uang, Bapak masih bisa bantu walau sedikit."
Clara merasa pikirannya semakin semrawut. Apa yang harus ia katakan pada Dean? Semuanya terasa semakin berat. Seandainya ada cara untuk mengulang waktu, berapapun harganya akan ia bayar.
"Ndo, saran ibu, kalian pertahankan anak ini. Kalau kalian menikah, ibu bantu sebisanya." Perlakuan ibu Clara kembali menenangkan pikiran Clara yang semrawut. Ayahnya kembali ke kamar dengan marah, memaksa untuk bertemu dengan Dean. Untung ibunya memberi pengertian agar ayahnya lebih tenang.
"Minggu depan Ibu sama Bapak ketemu sama Dean ya. Kalau bisa sama orang tuanya juga."
"Iya Bu."
Entah bagaimana selanjutnya. Ia bahkan tak berani membayangkan bagaimana orang tua Dean akan bertindak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!