NovelToon NovelToon

Di Tepi Senja

Episode 1

Kunaikkan kaki kiriku dengan perlahan, sambil mengangkat beban yang ku pikul di atas pundak. Cuaca mendung di luar membuat suasana sekolah sangat sepi. Aku berhenti di tangga terakhir menuju ruang kelasku. Ku pegang jendela kecil yang berada di sampingku, aku menghela napas. Hari ini angin sangat kencang, aku terpaksa harus mengenakan sweater berwarna biru muda yang diberikan oleh Mama sebelum aku berangkat kesekolah. Mama itu orang yang pengertian, Mama selalu ada buatku. Walaupun aku keras kepala, Mama tetap sabar dan memperlakukan aku dengan baik.

Sebuah tepukan mendarat di pundakku, tepukan itu tidak kuat, tetapi tidak lembut juga. Setiap hari, pundakku seenaknya saja ditepuk oleh anak perempuan sekelas ku (bisa dibilang dia adalah teman ku), saat hari pertama pundakku ditepuk, aku kaget, lalu memarahi nya, saat itu dia tidak merasa bersalah, dia masih saja bercanda dan menertawakanku. Hari setelah aku menasehatinya, dia tetap saja melakukan hal yang sama berulang kali, dia tidak pernah peduli jika aku marah padanya, ketika aku benar-benar sedang marah padanya, dia akan meminta maaf, dan berjanji tidak mengulanginya lagi, tetapi janji itu diingkari olehnya. Lama-kelamaan aku pun jadi terbiasa dengan tepukan itu setiap hari, aku menganggap tepukan itu sebagai cara menyapa orang dengan gaya yang baru.

"Pagi Tar," suara indah yang menyapa ku pagi ini membuat suasana hatiku menjadi lebih tenang. Sahabatku, Kezia, akhirnya tiba di sekolah. Aku pikir dia tidak akan datang karena cuaca tidak bagus. Biasanya Kezia pergi kesekolah dengan angkutan umum, Ayah nya selalu sibuk. Oleh karena itu, dia pun tidak pernah diantar oleh Ayahnya kesekolah.

Ketika cuaca sedang tidak bagus, biasanya akan sulit menemukan angkutan umum. Kezia biasanya terlambat datang kesekolah dengan cuaca yang begini. Semenjak di perjalanan menuju sekolah, aku tidak melihat angkutan umum lewat. Pikiran ku dipenuhi pertanyaan tentang Kezia, bagaimana dia bisa sampai kesekolah tepat waktu.

"Ada apa Tar? Kamu kelihatan bingung."

"Oh," aku menggaruk kepalaku. "Tumben cepat."

"Haha, kamu tahu, tadi Papa ku mengantar aku kesekolah lho, aku sangat senang! Ini pertama kalinya aku diantar kesekolah semenjak SMA!" Raut wajah bahagia terpapar jelas di wajah Kezia.

"Papa kamu tidak bekerja?"

"Kerja, tapi papa pindah tempat, setiap hari aku akan diantar oleh papa, soalnya arah kesekolah dan tempat kerja papa kebetulan sama."

"Oh begitu."

Beban yang aku pikul kini aku letakkan dengan pelan di atas kursi berlengan ku. Aku duduk berhadapan langsung dengan guru. Aku tidak takut duduk di depan, yang aku takutkan aku dipindahkan kebelakang oleh wali kelas ku. Katanya aku terlalu rajin untuk duduk di depan, seharusnya yang duduk di depan adalah orang-orang yang malas mengerjakan tugas. Namun, Kezia duduk paling pojok. Dia tidak suka duduk di depan, meskipun Kezia duduk paling belakang, dia tetap aktif di kelas, mengerti semua pelajaran, rajin, dan mendapat ranking.

Akhirnya bel kematian berbunyi. Semua siswa kelas X-4 masuk kedalam kelas, kemudian duduk di tempat nya masing-masing. Tidak perlu diragukan lagi, kelas X-4 adalah kelas terbaik, maksud ku, kelas terbaik dengan disiplin waktu. Tidak teman, kelas ku bukan kelas terpintar, tetapi para guru tetap menyukai kelas kami. Semua siswa memiliki sopan santun yang sangat kuat, ketika guru sedang menerangkan, semua mulut akan terkunci (kecuali bertanya hal penting kepada guru), tugas-tugas yang diberikan guru selalu selesai di rumah, tidak pernah dikerjakan di sekolah, lalu semua siswa tidak ada yang merendahkan satu sama lain, semua mau saling mengajari, aku suka berada di kelas ini, aku suka pertemanan nya.

"Buka buku mandirinya halaman 123, kerjakan nomor 1 bagian c,d,e, nomor 2, dan nomor 7 bagian h,i,j. Jika ada yang kurang paham, silahkan ditanya ya anak-anak."

"Baik Ibu."

Ibu Seli memberikan tugas setelah dia selesai menerangkan. Ibu Seli membawa pelajaran matematika di kelas kami. Aku adalah salah satu penggemar Ibu Seli, Ibu Seli selalu bagus saat mengajari kami matematika. Ibu Seli tidak pernah membuat kami bingung memahami rumus yang diberikannya.

Kebanyakan orang berpikir bahwa matematika itu mematikan, matematika itu memiliki banyak rumus yang tidak tahu untuk apa fungsi nya, setiap belajar matematika harus menghitung, harus bisa perkalian desimal, dan lain sebagainya. Aku dulu juga berpikir kalau matematika itu sulit, tetapi setelah aku mulai mendalaminya dan belajar dengan Ibu Seli, matematika terasa mudah. Semenjak kelas X ini, aku mulai menyukai matematika. Sangat suka.

Ketukan pintu membuat aku menoleh keluar. Sosok seorang pria yang tinggi dan tampan membuat jantungku berdetak kencang. Baru pertama kalinya aku merasakan detakan jantungku begitu cepat ketika melihat pria. Dia berbicara dengan Ibu Seli. Ibu Seli mengangguk, lalu pergi keluar dari kelas. Aku tidak tahu apa yang membuat Ibu Seli pergi, aku menunggu jawaban dari pria yang sedang berdiri di tengah-tengah kelas.

"Selamat siang adik-adik," ucapnya yang diikuti dengan suara beratnya.

"Siang, bang."

"Hari ini kita ada kegiatan organisasi menyanyi, jika kalian berminat silahkan datang ya adik-adik, kami berharap kalian bisa datang."

Keheningan mulai memenuhi ruangan kelas, suasana menjadi terasa canggung. Berbeda dengan detak jantung ku, selalu maju-mundur dengan cepat.

"Bang, saya mau bertanya, guru pelatih nya galak kah?"

Reza si pelawak membuka mulutnya untuk mewakili kami sekelas. Aku akui Reza memiliki suara yang bagus, guru-guru dan teman-temanku juga suka ketika Reza bernyanyi. Suara nya sangat lembut, sejauh ini ketika dia sedang bernyanyi, aku selalu merasa tenang.

"Oh, guru pelatih nya baik kok dek, tidak perlu takut ya, kita nanti sama-sama belajar."

Sekitar 10 menit akhirnya abang itu selesai memberikan pengumuman dan arahan. Aku sedikit melirik Reza, dia kelihatan senang dengan ekskul yang akan diikutinya. Aku juga baru tahu kalau di sekolah ini ada ekskul vocal. Mungkin karena aku tidak mau tahu atau memang ekskul nya kurang diminati.

Sebelum abang itu keluar dari kelasku, dia mengalihkan pandangannya kearahku. Detak jantungku kini tak terkendali, aku tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya aku memberikan senyum kepadanya dan dia membalas senyum ku. Abang itu pamit dan pergi keluar.

Otakku kini dipenuhi dengan Abang itu, aku ingin tahu nama nya, kelas berapa dia, lalu kenapa dia bisa membuat jantung ku tidak stabil. Aku tidak fokus lagi dengan soal yang diberikan oleh Ibu Seli. Wajah ku memerah, teman ku bilang begitu. Aku sangat malu, aku tidak biasanya seperti ini.

Episode 2

"Serius? Kamu tidak bercanda, kan?"

Setelah 3 hari berturut-turut, akhirnya aku mengetahui nama abang itu. Aku meminta bantuan Kezia untuk mencari informasi tentang abang itu. Untungnya Kezia mau (walaupun kemarin dia sedikit kesal karena aku selalu menyuruhnya mencari hal yang susah diketahui). Kezia memiliki banyak kenalan di sekolah itu, tentu saja permintaanku kemarin merupakan hal yang gampang. Tapi sayangnya aku belum mengetahui kelas berapa abang itu. Aku selalu berharap kalau dia masih kelas XI.

"Lihat nih wajah aku, bercanda dari mana?" Kezia menunjuk wajahnya yang be-raut serius itu. Aku menghela napas dan mencoba percaya.

"Baiklah aku percaya kepadamu."

Lembaran putih di depanku mencoba menutup kedua mataku yang sedang terbuka lebar. Rasa lapar menghantami perutku dan menimbulkan sebuah suara yang membuat aku malu. Cuaca sangat panas, membuat aku teringat kalau aku belum menjemur pakaian olahragaku. Detik-detik di jam dinding rasanya sangat lama berputar. Pulang, di benak ku sekarang hanya ingin pulang. Aku tidak sanggup lagi mengerjakan soal kimia dengan perut yang kosong dan mataku sedikit tertarik untuk terlelap. Aneh sekali, aku lapar tapi masih bisa mengantuk.

Aku menyandarkan kepalaku ke atas meja, aku melirik kawan sebangkuku yang sedang mengerjakan tugas kimia. Dia sangat bersemangat, tidak ada rasa ngantuk, tidak ada rasa lelah, dan dia sepertinya tidak kelaparan. Dia terlihat tampan ketika sedang belajar. Bulu matanya yang lentik membuat aku iri, jika dia adalah seorang perempuan, mungkin dia akan menjadi perempuan yang cantik.

"Ada apa, Tar?"

Pertanyaan dari lelaki itu membuat aku membuka mataku sedikit demi sedikit. Kevin ternyata menyadari kalau aku tadi melirik dirinya. Aku pikir dia tidak akan tahu atau tidak peduli ketika aku meliriknya, apalagi dia sedang belajar. Biasanya dia tidak mempedulikan orang yang mengganggu dia ketika dia sedang belajar. Bisa dibilang Kevin seperti cowo dingin.

"Tidak, aku hanya merasa dirimu sangat tampan." Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku lanjut menutup kedua mataku tanpa mengganti arah posisi tidurku (aku bisa melihat Kevin dengan sebelah mata).

"Oh." Jelas sekali terpapar di wajah Kevin kalau wajahnya memerah. Aku pikir itu karena efek cuaca, jadi aku tidak mempedulikannya. Aku sedikit tertawa ketika wajah Kevin memerah, sangat lucu. Terkadang aku ingin menyentuh pipi Kevin juga, memegang tangannya, bersandar di pundaknya, dan masih banyak lagi. Dia sangat cocok dijadikan kriteria cowo yang aku suka.

...***...

"Tar, udah bel, susun buku kamu." Kevin membangunkan aku yang hampir tertidur lelap. Dia masih sama seperti dulu. Ketika aku tidur, dia hanya akan memanggil namaku untuk membanguniku, dia tidak pernah menyentuhku, bahkan berkata kasar pun tidak. Ketika aku marah, dia tidak pernah membalas dengan rasa marah, dia selalu sabar. Ketika aku membentak, dia tidak pernah membentak aku kembali. Mungkin dia lelaki penyabar.

Aku memasukkan buku-buku ke dalam tasku dengan rasa malas. Kevin sudah selesai memasukkan peralatannya, dia mengambil pulpen, pensil, penghapus, stipo, yang berserakan di atas meja kami lalu memasukkannya kedalam tempat pensilku. Sebelum aku berbalik untuk menyusun barang-barangku yang telah disusun oleh Kevin, dia terlebih dahulu memberikannya kepadaku. "Terima kasih," ucapku dengan senang.

Aku dan Kezia keluar dari kelas secara bersamaan. Kami menuruni anak tangga satu-persatu. Kami mengobrol tentang pelajaran di kelas tadi, lalu ada hal-hal lucu yang dilakukan teman sebangku Kezia, cerita horor, ada yang patah hati, dan sebagainya. Sedangkan aku, aku hanya menceritakan Kevin yang membantuku merapikan barang-barangku.

Kezia sedikit terkejut mendengar apa yang aku katakan kepadanya. Di mata Kezia dan teman-teman yang lain, Kevin adalah anak laki-laki yang dingin. Dia sangat jarang berinteraksi dengan orang lain, bukan di dunia nyata saja, di dunia maya pun Kevin sangat slow respon. Kata Kezia dia pernah bertanya kepada Kevin melalui chat, lalu Kevin sangat lama membalas chat Kezia, dan balasannya pun hanya "?". Besoknya Kezia bercerita kepadaku di sekolah tentang anak laki-laki yang dianggapnya dingin itu. Aku tertawa, aku tidak mempercayai Kezia, soalnya Kevin selalu mengechat aku untuk menanyai tugas ataupun pr, dan balasannya selalu bagus, tidak ada hanya simbol tanda tanya.

"Jangan-jangan Kevin suka sama kamu, Tar? Dari perlakuannya kepada kamu aja udah beda. Dia selalu baik sama kamu, sementara sama kami dia selalu menunjukkan sikap dinginnya. Atau kalian punya hubungan spesial? Lalu kamu sembunyikan dari aku?"

Aku memutar kedua bola mataku. Jelas-jelas aku sama Kevin teman sebangku, tidak mungkin kami tidak dekat. "Suka dari mana coba? Aku setiap hari cerita sama dia tentang crushku. Dia tidak pernah marah, bahkan dia selalu mendengarkan dan memberi saran. Memangnya ada cowo yang bersedia mendengarkan cewe yang disukainya menceritakan cowo lain?"

"Tar, kamu ngerti ngga sih? Dia bersedia mendengarkan cerita kamu karena dia suka sama kamu, Tar. Dia ingin kamu bahagia walaupun kamu menyakiti dia. Jelas-jelas cuma dia teman kamu untuk bercerita. Kamu kan lebih milih Kevin sebagai teman cerita daripada aku."

"Kamu gila ya Kezia? Maksud kamu kalau cowo bersedia mendengarkan cerita cewe yang gitu-gitu aja, terus dia memberi saran, disimpulkan kalau cowo itu suka sama si cewe? Engga juga kan. Mana tahu si cowo hanya mau menjadi pendengar yang baik. Walaupun Kevin selalu baik kepadaku, bukan berarti dia suka sama aku Kezia. Aku juga baik kepada anak laki-laki lain, tapi aku tidak suka mereka."

Kezia menghela napasnya. Dia sepertinya sudah kehabisan kata-kata untuk menjawab setiap kalimatku. "Terserah kamu deh Tar, pokoknya Kevin itu suka sama kamu! Kamu mau percaya atau tidak, terserah kamu."

Akhirnya aku dan Kezia naik ke dalam angkutan umum. Kami sudah menghentikan percakapan gila itu. Bagiku hal tersebut benar-benar tidak masuk logika. Tapi ya terserah saja. Aku tidak akan percaya kalau bukan Kevin sendiri yang mengatakan langsung kepadaku.

Kezia lagi-lagi menepuk pundakku. Aku hendak mencubit tangannya, tetapi tidak jadi. Sosok pria yang telah aku tahu namanya duduk di samping kananku. Jantungku langsung berdetak dengan kencang. Jiwa feminim dalam diriku tiba-tiba keluar begitu saja. Beberapa orang naik lagi kedalam angkutan umum yang aku naiki. Mau tidak mau aku harus bergeser ke sebelah kanan. Akibat banyak orang yang masuk, kini kaki kananku dan kaki kiri abang itu saling bersentuhan.

Episode 3

Mengganti pakaian adalah hal yang paling aku benci. Aku tidak peduli jika seragam sekolah ini akan dikenakan lagi besok. Aku meletakkan tasku dengan baik, lalu aku meraih handphoneku yang aku letakkan di atas meja belajar. Aku membuka Instagram dan hendak mencari akun instagram abang itu.

Mama sudah meneriakiku untuk segera makan siang, aku sangat malas untuk turun kebawah, jadi aku hanya menjawab "iya ma, bentar."

Sekitar 15 menit berada di instagram, aku menemukan akun abang itu. Akunnya privat, membuat aku tidak bisa melihat isi akunnya. Dengan memberanikan diri, aku meminta izin untuk mengikuti instagramnya. Di dalam hati aku meminta semoga dia mem-followback aku.

Aku meletakkan handphoneku di atas kasur, lalu aku membuka seragamku. Aku mengambil celana pendek dan kaos tipis dari dalam lemari, kemudian aku mengenakannya.

Terdengar lagi teriakan Mama dari bawah sana. Mama selalu saja khawatir kalau aku telat makan. "Iya ma, sebentar." Aku menggantungkan seragam sekolahku sebelum turun kebawah.

"Ngapain aja sih kak? Keburu dingin nasi sama lauknya nanti. Kamu makan dulu, mama mau menjemur."

"Iya Mama."

Aku tidak perlu lagi menyendok nasiku ke piring, Mama sudah melakukan itu untukku. Aku tidak menyangka Mama memasak sayur berbagai macam, aku sangat senang, aku mengambil sayur yang berbagai macam itu dan menuangkan mereka ke piringku. Aku sangat suka sayur, apalagi sayurnya buatan mama. Aku hampir menghabiskan sayur yang ada di mangkok, aku hanya menyisakan sedikit. Mama tidak akan marah jika aku menghabiskan sayur itu, tapi kupikir mama belum memakan sayurnya, soalnya mereka masih panas.

Tidak ada piring kotor di wastafel, aku terpaksa mencuci piring yang barusan aku gunakan untuk makan. Aku tidak suka mencuci piring, segala jenis pekerjaan yang menyentuh air aku benar-benar tidak suka. "Kenapa ya aku tidak punya adik? Padahal dia kan bisa aku suruh untuk mencuci piring. Kesal banget deh."

"Bilang apa tadi, hayo? Kakak bilang apa tadi, hm?"

Aku menoleh kearah suara yang bertanya kepadaku. Alis kiriku kuangkat serasa memberi kode. Mama tidak akan marah jika aku bicara sendiri dan mengeluh seperti tadi. "Tarasya tidak suka cuci piring ma."

"Tar, mama tidak memaksa kamu untuk mencuci piring, tapi setidaknya kamu tahu cara mencuci piring dengan bersih. Lihat, walaupun yang kamu cuci hanya sedikit, tanpa kamu sadari kamu sudah mempelajari mencuci piring dengan baik. Lihat piring yang kamu cuci, mereka bersih tanpa noda. Sama seperti sebelumnya, mama juga membiarkan kamu mencuci pakaian kamu sendiri, dan mama puas dengan kamu, kamu bisa membuat mereka bersih. Kamu tidak suka pekerjaan yang bersangkutan dengan air, tapi di balik itu hasil pekerjaan kamu yang bersangkutan dengan air selalu bagus."

"Iya Ma, tapi Tarasya tetap tidak suka dan pekerjaan yang bersangkutan dengan air adalah tugas Mama."

Mama hanya menggeleng mendengar jawabanku. Aku menyusun piring yang sudah selesai aku cuci ke rak piring. Aku membersihkan wastafel, kemudian mencuci tanganku hingga bersih. Mama menyuruhku tidur siang, katanya anak-anak seperti aku harus tidur siang, setidaknya 30 menit. Aku mendengarkan perintah Mama, aku pergi ke kamarku, dan menguncinya. Kuletakkan badanku di atas kasur yang empuk dan sesaat kemudian aku tertidur nyenyak.

"Tar." Suara berat yang memanggilku terasa bergema. Ketika membuka mata, aku berada di.atas rerumputan yang hijau. Semua tanah penuh dengan rumput. Aku melihat sekelilingku, oh betapa indahnya.

"Halo, Tar." Suara berat itu memanggilku lagi. Aku berdiri dan melihat sekeliling dari mana asal suara itu. "Tarasya." Aku berjalan lurus menuju pohon yang sangat besar di depanku. Aku terhenti di depan pohon itu sambil kebingungan.

"Akhirnya kamu menemukanku. Ayo kesini." Aku terkejut, suara berat itu berasal dari seorang pria yang aku kenal. Dia, dia, pria yang membuat detak jantungku tidak stabil. Ray! Dia menyuruhku duduk di sampingnya.

Dengan santai, aku mendekat kearahnya, lalu aku duduk di sampingnya. Dia sedang menggambar sesuatu, aku tidak begitu jelas melihat gambarannya. Kami berdua diam, tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut ini. Aku ingin mengobrol, tapi detak jantungku sangat tidak stabil. Mungkin wajahku sudah merah sekarang. Aku tidak tahu cara menghadapi situasi seperti ini.

"Eh, anu," ucapku sedikit gugup.

"Iya?" Ray menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari gambaran yang sedang dia buat. Sebelum aku melanjutkan perkataanku, aku merasakan kalau tanganku hangat. Seperti ada sesuatu yang menindih tanganku, tetapi tidak berat.

"Tangan kamu kecil sekali Tar." Apa? Aku menoleh ke arah Ray. Aku melihat wajahnya dengan bingung, aku melihat ke bawah, ternyata dia yang memegang tanganku. Jantungku semakin tidak stabil, wajahku panas, kemungkinan besar sudah memerah.

"Eh? Apa yang kamu lakukan?"

"Hanya memegang tangan orang yang aku cintai Tar," ucapnya dengan santai dan penuh perasaan. Aku bingung, benar-benar bingung. Apa Bang Ray memang menyukaiku?

"Lihat ini, aku tadi menggambar kita. Bagus, bukan? Kamu suka Tar?" Gambaran itu akhirnya selesai. Aku tidak menyangka Bang Ray bisa menggambar sebagus itu. Dia menggambar aku dan dirinya. Kami sedang duduk di tepi pantai menikmati indahnya sunset dan satu hal yang membuatku sangat baper, dia merangkulku. Dia merangkulku! Meskipun hanya gambar, aku merasa kalau fenomena itu nyata. "Aku suka, sangat suka!"

"Aku senang kalau kamu suka Tar. Padahal dulu kamu tidak suka kalau aku menggambar kamu. Kamu selalu marah-marah mengatakan kalau aku itu pria jahat yang suka menguntit wanita. Aku tertawa mendengar perkataan kamu waktu itu. Sampai sekarang ketika aku mengingat kejadian itu, aku selalu tertawa sendiri. Ucapan mu tidak bisa hilang dari benakku. Aku pria baik, bagaimana mungkin aku menguntit wanita." Ray tertawa terbahak-bahak setelah mengatakan perkataannya tersebut.

Sementara aku di sini hanya terdiam. Aku tidak mengerti apa maksud perkataannya. Kami baru saja saling mengenal atau bisa dikatakan mungkin hanya aku yang mengenalnya, mungkin dia tidak mengenalku. Lalu, mengapa dia berkata seperti itu? Apa aku yang salah? Atau dunia ini sedang terbalik?

"Bang, ini nyata?" Pertanyaan itu keluar dari mulutku tanpa sengaja. Aku menatap matanya tanpa berkedip sedikit pun. Aku menunggu jawaban dari mulutnya yang tertutup rapat.

Tangannya memegang kepalaku dengan penuh rasa kelembutan. Dia tersenyum, mulutnya mulai terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu.

Apa? Dia mengatakan apa? Sosoknya mulai menghilang. Mataku perlahan tertutup. Apa dia membenci ku? Apa dia menyuruhku untuk pergi?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!