Pria berperawakan tinggi dengan aura yang cukup berwibawa itu mendesah lemah saat mengulas kembali hubungannya bersama sang asisten.
Sorot mata Arslan masih menatap gadis yang kini hanya berdiri dengan pandangan lesu. Hingga akhirnya gadis yang bernama Rindu Anjani itu membuka suaranya.
"Memang, tidak seharusnya kita terlena dengan perasaan yang salah, Pak." ucap gadis berwajah manis itu dengan lirih. Ada rasa bersalah dalam diri Rindu saat dia tidak bisa membatasi perasaannya pada sang atasan.
"Maaf, jika kedekatan diantara kita menimbulkan rasa yang salah." Suara Arslan terdengar jelas oleh Kanaya yang masih mematung di depan pintu.
Dia tidak menyangka jika kalimat itu terucap dari seorang lelaki yang selama ini sudah menunjukkan banyak cinta padanya. Lelaki yang mengambil semua kepercayaan untuk melanjutkan sisa hidup bersamanya.
"Aku juga tidak ingin menyakiti perasaan Mbak Naya." jawab Rindu.
"Terima kasih atas pengertianmu, Rin. Aku tahu kamu gadis yang baik." lanjut Arslan. Meskipun, masih menyisakan sedikit kekaguman tapi pria itu sudah berniat mengakhiri rasa salah itu.
Keduanya tidak tahu jika seseorang sedari tadi sudah berdiri di depan pintu yang sedikit terbuka. Percakapan mereka seperti hantaman kuat yang membuat jiwa Kanaya seolah terlepas dari raga. Sakit, ini terlalu sakit untuk gadis itu.
Sejak tadi, tangan Kanaya masih mematung, menghentikan gerak untuk membuka pintu. Gadis cantik bermata bulat itu seolah belum juga menemukan kesadarannya.
"Jadi kita sudahi saja semuanya. Diantara kita hanya sebatas hubungan kerja." lanjut Arslan.
Kalimat yang terucap dari lelaki itu seolah menyentakkan rasa kaget yang lebih dari sebelumnya. Rasa kecewa seketika membuat mata Kanaya berkaca-kaca. Hatinya terasa remuk saat ini, ketika tersadar jika selama ini Arslan telah menduakan perasaannya.
Entah kedekatan seperti apa yang dimiliki bos dan sekretarisnya itu? Kanaya kini hanya bisa mematung dengan pikiran hampa.
Tangan yang semula akan mendorong pintu ruangan Arslan pun seketika terjatuh dan melemah, tubuh mungil itupun bergetar.
Sejenak pikiran gadis yang saat ini menitikkan air mata itu menjadi kosong, bertumpu pada rasa kecewa dan kaget.
Kanaya tidak menyangka jika dua orang yang dia percaya telah bermain di belakangnya.
Kanaya memilih berbalik dan pergi ketika rasa marah itu menyadarkan
kekosongan dalam pikirannya.
"Kanaya!" panggil Arslan saat melihat sekelebat bayangan gadis cantik yang menjadi calon istrinya dari balik pintu bergegas pergi.
Pintu yang sedikit terbuka membuat Arslan yakin jika gadis berjilbab merah itu adalah Kanaya. Tanpa berfikir panjang Arslan pun beranjak dari duduknya untuk mencari keberadaan Kanaya.
Lelaki berwajah tampan dan bertubuh tinggi itu pun berlari menyusul Kanaya, saat melihat tunangannya berlari ke luar kantornya.
"Nay, tunggu!" teriak Arslan ketika melihat Kanaya membuka pintu mobilnya. Gadis itu hanya menoleh sekilas dan segera masuk ke dalam mobil.
Kanaya Tsabina, gadis cantik yang duduk di semester akhir itu menancapkan pedal gas dan meninggalkan Arslan yang nampak gusar memanggil namanya.
Arslan mengusap wajahnya dengan kasar ketika mobil Civic merah itu seketika menghilang dari pandangannya.
Arslan tidak menyangka jika Kanaya akan mendengarkan pembicaraannya dengan Rindu.
Padahal lelaki yang sedang memantapkan keputusannya untuk segera menikahi Kanaya itu, sedang memperjelas hubungannya dengan sang sekretaris. Menegaskan jika pada Kanayalah dia kan meneruskan hidupnya.
Arslan dan Rindu sudah sepakat hubungan mereka hanya sebatas hubungan kerja. Keduanya, tidak akan memperpanjang rasa tertarik dan simpatik yang sudah membawanya pada rasa nyaman.
Dengan langkah gontai Arslan kembali masuk menuju ruangannya. Hatinya menjadi sangat tidak tenang, jika sebentar lagi tidak ada sidang, mungkin dia akan memilih mengejar Kanaya dan menyelesaikan masalah mereka saat ini juga.
" Bagaimana, Pak? Apa Mbak Naya mau mendengarkan penjelasan Pak Arslan?" cecar Rindu. Dia juga tak kalah panik, hingga gadis berwajah oriental itu masih menunggu Arslan di ruangan itu.
Arslan hanya menggeleng lemah saat menjawab pertanyaan Rindu. Keduanya kini merasa bersalah pada Kanaya.
"Maafkan saya, Pak!" Rasa bersalah itu semakin besar kala hubungan Arslan dan Kanaya menjadi retak karena keberadaannya.
Sebelumnya gadis bermata sipit dan berkulit putih itu sudah berusaha mengontrol perasaannya. Sekuat tenaga dia menyembunyikan perasan cintanya pada Arslan, hingga pada akhirnya perhatian Arslan membuat rasa itu berlahan menyambut perhatian Arslan dan membuat keduanya terlena pada sebuah kedekatan yang lebih intim.
"Maafkan saya , Pak!" Kalimat itu kembali terucap lirih dari bibir Rindu. Wajahnya tertunduk menunjukkan penyesalan yang cukup besar.
"Sudahlah, nanti saya akan menjelaskan pada Naya tentang semuanya karena kita memang tidak punya hubungan selain rekan kerja."
" Sebaiknya kamu lanjut bekerja saja!" ujar Arslan. Dia memang tidak tega setiap kali melihat wajah sendu Rindu. Gadis lembut yang hidupnya penuh dengan perjuangan.
Rindu pun mengangguk. Dengan langkah lemah dia keluar dari ruangan Arslan. Saat ini, dia hanya berharap hubungan Arslan dengan Kanaya bisa diperbaiki.
" Jika saja aku bisa menyimpan rasa itu untuk diriku sendiri." gumam Rindu dengan tatapan kosong saat dia meletakkan bobotnya di kursi kerjanya.
Lintasan peristiwa saat pertama kali dirinya dan Arslan bertemu kembali membayang. Siapa yang tak menyukai Arslan, lelaki dengan sejuta pesona yang akan membuat hati setiap gadis meleleh termasuk Kanaya dan dirinya.
Arslan memang sosok yang perhatian, selain itu wajahnya dan yang tampan dan karirnya yang sedang meroket membuat lelaki itu mendapatkan sebutan mapan. Benar-benar sosok yang diidamkan para wanita.
###
Sementar itu Kanaya terus melajukan mobilnya tak tentu arah. Dia harus kemana, gadis itu pun tidak tahu.
Rasa marah dan kecewa membuat Kanaya melajukan mobilnya tanpa kendali. Tidak peduli pandangan matanya yang semakin samar karena air mata yang tidak bisa berhenti memenuhi pelupuk matanya.
Pertama jatuh cinta dan pertama kalinya dia mendapatkan pengkhianatan. Belum lagi, dia harus menjelaskan pada keluarganya. Karena pada dasarnya Mama Hanum dan Papa Arkha sudah mencoba melarangnya bertunangan.
" Papa sebenarnya ingin kamu langsung menikah, Nay." kalimat itu yang pernah diucapkan Arkha saat dirinya memaksa meminta izin bertunangan dengan Arslan.
Saat ini Kanaya tidak berani pulang ke rumah. Dia tidak tahu harus menjelaskan apalagi pada keluarganya. Tapi, dia juga tidak tahu harus datang pada siapa untuk meringankan beban perasaannya saat ini.
" Kenapa kalian tega padaku?" lirih Kanaya dengn rasa hati yang sudah remuk. Dia benar-benar kecewa pada Rindu dan Arslan.
Kanaya terus melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Bahkan, gadis itu tidak menyadari jika dirinya sudah menempuh perjalanan yang cukup jauh.
Dering ponsel yang terus berbunyi membuat Kananya sesekali menoleh ke arah ponselnya. Arslan, entah berapa kali lelaki itu berusaha menghubungi Kanaya. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Rasa kecewa itu sudah berujung pada sebuah luka di hati Kanaya.
" Chiiitttt....". Suara decitan rem terdengar cukup keras.
"Braaakk...." Hingga akhirnya suara hantaman terdengar mengikuti, setelah Kanaya menginjak pedal rem dan membanting setirnya dengan kuat ke kiri, saat dirinya akan menabrak sebuah mobil yang melaju dari lawan arah.
Mobil Civic merah itu terpelanting masuk ke dalam sebuah parit dan mengantam sesuatu yang keras saat Kanaya berusaha menghindari menabrak seorang pengendara sepeda motor.
Seorang lelaki turun dari motor yang hampir ditabrak Kanaya dan membuka helmnya saat melihat kap mobil mengeluarkan asap.
Dengan sedikit panik, dia mendekati mobil itu dan berusaha membantu Kanaya yang merasa kesakitan di dalam mobil. Kanaya terlihat meringis kesakitan dengan kaki yang sulit untuk digerakkan.
"Hati-hati!" ujar Bara saat berusaha mengeluarkan tubuh Kanaya yang terdesak body mobil.
"Langsung ke klinik saja pakai mobil saya!" Beruntungnya salah satu diantara orang-orang yang berkerumun langsung sigap untuk membawa Kanaya mendapatkan pertolongan.
Berlahan dalam perjalan, Kanaya justru tak sadarkan diri. Bara pun semakin panik, saat menyadari memar di kepala gadis yang kini pingsan dalam dekapannya.
Kanaya mengerjapkan mata, pandangannya kemudian mengedar meneliti setiap sudut ruangan hingga pada akhirnya dia menemukan sosok asing yang duduk di sofa yang kini sedang menatap ponselnya.
"Kamu siapa?" tanya Kanaya. Sorot mata cantik itu menatap penuh dengan selidik ke arah lelaki berambut gondrong dan bertindik yang sejak tadi menungguinya.
Bukannya menjawab, Bara justru beranjak dari duduknya dan menyerahkan sebuah ponsel yang layarnya sudah retak kepada Kanaya.
"Hubungi keluargamu! Aku akan segera pulang!" ujar lelaki yang punya penampilan mirip preman.
Kanaya hanya menatap lelaki dengan nama lengkap Baratha Kaisar Adiguna sambil menggeleng pelan.
"Sejak tadi mamamu menelpon."lanjut Bara, dia enggan memperpanjang urusan dengan gadis yang kini terlihat bingung itu.
"Aku tidak ingin Mama tahu keadaanku!"lirih Kanaya. Mendengar jawaban gadis cantik berhidung mungil itu Bara langsung menautkan kedua alisnya.
"Terus...?"tanya Bara merasa heran kenapa gadis yang tidak dia kenal itu enggan menghubungi keluarganya. Padahal entah berapa kali mamanya mencoba menelpon.
Suara ponsel menghentikan perdebatan keduanya. 'Mama Han' nama itu tertera jelas di ponsel Kanaya.
Kanaya merasa gugup, jantungnya berdetak kencang saat akan membuka panggilan dari Mamanya. Dia yang tidak biasa berbohong kali ini harus mencoba berkilah.
"Assalamualaikum, Ma!"ucap kanaya saat membuka panggilan telpon dari mamanya.
"Waalaikum salam, Nay. Kamu di mana?" sambut Hanum saat mendengar suara putrinya.
Kanaya berusaha membuat suaranya sebiasa mungkin. Meskipun, rasa gugup kini menyerangnya.
"Kamu dimana? Kok belum pulang? Papa terus nanyain, katanya kamu sulit dihubungi."cecar Hanum. Perasaan Hanum mulai tidak enak sejak tadi, ditambah Arkha yang terus menanyakan keberadaan putrinya.
"Naya di apartemen Riska, Ma. Riska sakit tidak ada yang menemani." jawab Kanaya dengan rasa gugup. Dia terpaksa berbohong dengan Hanum karena tidak ingin membuat keluarganya cemas.
"Oh ya sudah, jika butuh sesuatu hubungi Papa saja, Nay!" pesan Hanum. Entah kenapa hatinya masih gelisah meski sudah mendapatkan kabar dari putrinya, dia juga merasa suara Kanaya sedikit bergetar saat berbicara.
Kanaya menurunkan ponsel dari telinganya dengan menatap Bara yang mendesah kesal.
" Terus siapa yang akan menjagamu di sini? Urusanku masih banyak!" ujar Bara dengan dingin.
" Aku tidak memintamu menjagaku!" ujar Kanaya dengan mata berkaca-kaca. Lagian dia juga merasa insecure dengan lelaki yang tampilannya mirip preman itu.
"Ya sudah, aku pergi dulu!" Bara langsung melangkah pergi meninggalkan Kanaya yang tertegun menatap kepergiannya.
Gadis itu pun mulai menangis. Tidak hanya karena merasa sendiri. Dia kembali teringat akan hal yang menyebabkan dia sampai di sini. Rasa kecewa dan marah karena pengkhianatan tunangannya itu kembali menguasai hati Kanaya.
Di ruang yang sangat sepi Kanaya menangis sesenggukan. Dia seolah meluapkan dan ingin menghabiskan semua alasan yang sudah melukainya.
Dia sebenarnya sudah merasa ada yang berbeda sejak enam bulan terakhir, "Mbak Rindu titip Mas Arslan ya! Kalau nakal cubit saja." kalimat Kanaya pada Rindu pada suatu hari saat dia datang ke kantor Arslan. Saat itu Rindu hanya mengangguk dan tersenyum.
Kanaya memang menyadari jika tunangannya itu memang incaran para wanita. Selain tampan Arslan juga sudah mapan.
Isak tangis Kanaya menggema dalam ruangan hingga sayup-sayup terdengar keluar ruangan. Bara yang memutuskan akan pulang setelah sampai di parkiran pun menghentikan langkahnya. Rasa tidak tega itu datang hingga dia memutuskan untuk kembali menemani gadis yang tidak dia kenal namanya.
" Ceklek..."suara handle pintu terdengar membuat Kanaya menghentikan tangisnya dan mengusap air matanya.
" Aku lupa menyerahkan kunci mobilmu!" ujar Bara berpura-pura tidak tahu jika dia sudah mendengar tangisan gadis yang hanya menatapnya. Bara mulai melihat beban pikiran yang ada dalam gadis di depannya.
" Mobilmu sudah di bawa ke bengkel tempat aku bekerja." ujar Bara. Dia memang bekerja di sebuah bengkel biasa.
" Terima kasih."jawab Kanaya, dia sebenarnya insecure dengan tampilan Bara apalagi cara lelaki itu menatap. Sorot mata dan wajah dingin itu terlihat bengis.
" Aku akan menginap di sini, karena aku juga tidak membawa motorku." alasan lelaki itu membuat Kanaya hanya mengangguk pelan. Dia terus saja menatap Bara dengan tatapan penuh selidik.
" Jangan menilai orang dari tampilannya. Aku tidak punya catatan kriminal di kantor kepolisian manapun." lanjut Bara, lelaki itu kemudian menjatuhkan tubuhnya di sofa dan bersandar dengan nyaman, tanpa peduli jika Kanaya masih menatapnya.
" Namamu siapa?" tanya Bara tanpa melihat Kanaya. Lelaki itu memejamkan mata seolah menikmati rasa lelahnya.
" Naya, Kanaya." jawab Kanaya.
"Namamu siapa?" Setelah sekian lama suasana hening tercipta dalam ruangan itu. Kanaya akhirnya menanyakan nama lelaki itu.
" Baratha panggil saja Bara." ujarnya masih dengan mata terpejam.
" Sebaiknya kamu istirahat agar besok bisa pulang."ujar Bara kemudian. Setelah itu mereka tidak ada lagi percakapan sepanjang malam yang mereka lalui.
###
Arslan memang sudah berniat menyelesaikan semuanya pada Kanaya secepat mungkin. Dia tidak ingin kehilangan gadis yang sudah terlebih dahulu menempati hatinya.
Sepulang dari pengadilan, lelaki yang mengendarai mobil sedan mewah itu menuju rumah Kanaya. Dia yakin Kanaya ada di rumah setelah kuliah. Arslan sudah hafal betul seperti apa tunangannya itu. Gadis rumahnya yang begitu naif.
Pintu gerbang rumah mewah bernuansa American klasik itu terbuka otomatis. Arslan memajukan mobilnya dan berhenti di halaman rumah calon mertuanya.
Dengan sedikit rasa cemas, lelaki yang masih rapi dengan setelan kerja itu keluar dari mobilnya dan melangkah menuju pintu utama.
" Tok...tok...tok." Beberapa kali lelaki yang selalu tampil parlente itu mengetuk pintu bercat coklat plitur itu.
Terlihat Hanum membukakan pintu dan tersenyum pada tunangan putrinya.
"Nayanya ada, Tante?" tanya Arslan dengan sopan.
"Wah, Nayanya menginap di tempat Riska. Katanya Riska sakit " jelas Hanum membuat Arslan tertegun sejenak.
" Mari masuk dulu Mas Arslan!" ajak Hanum mempersilahkan Arslan untuk duduk.
"Terima kasih, Tan. Sebaiknya saya ke tempat Riska. Ada sesuatu yang harus kami bicarakan." pamit Arslan, perasaannya mulai tidak nyaman.
"Sejak tadi Naya memang sulit dihubungi. Tapi sekarang sudah bisa dihubungi Mas Arslan." jelas Hanum sambil mengantar Arslan hingga ke mobilnya.
" Iya, Tante, terima kasih. Tapi saya ingin bicara langsung dengan Naya." ujar Arslan dengan membuka pintu mobilnya.
" Baiklah kalau begitu jawab Hanum.
"Assalamualaikum." ucap Arslan kemudian masuk ke dalam mobil dan segera meluncur menuju sebuah apartemen yang di sewa Riska.
Dengan langkah tergesa lelaki itu berjalan masuk ke dalam lift yang membawanya ke unit apartemen Riska. Pikirannya sebenaranya sudah tidak tenang. Arslan sangat mengenal Kanaya yang sedikit manja dan tertutup. Biasanya gadis itu memilih menyendiri saat sedang kalut.
" Ting tong...ting tong..." Arslan memencet bel apartemen Riska dengan tergesa hingg seornag gadis berambut sebahu itu muncul dari balik pintu.
"Naya ada?" tanya Arslan terlihat cemas.
Riska yang melihat Arslan bertanya dengan gusar itu hanya menggelengkan kepala,"tidak ada Naya. Dia juga tidak ikut jam kuliah sore." lanjut Riska. Seketika itu pula Arslan bertambah cemas. Lelaki itu kemudian meraup wajahnya dengan kasar.
" Ya sudah." setelah mengatakan kalimat singkat itu Arslan melangkah pergi. Dia pun harus berfikir ekstra untuk menemukan Kanaya secepat mungkin.
Suara Azdan Subuh terdengar jelas berkumandang membuat Kanaya mengerjapkan kedua matanya dan menoleh pada sosok yang tidur dengan posisi duduk dan bersedekap.
Setiap kali melihat tampilannya, Kanaya merasa risih. Tapi, jika melihat detail wajahnya seperti saat ini, wajah lelaki preman itu cukup tampan, hidung mancung, alis tebal, bibir tipis dan rahang tegas yang membuatnya terlihat manly.
Tidak ingin terlalu lama mempedulikan Bara, Kanaya pun berusaha turun untuk pergi ke kamar mandi sendiri. Dengan cara berhati-hati, gadis yang masih merasa kepalanya sedikit pusing itu turun dari bed.
Suara derit tempat tidur membuat Bara membuka mata dan segera membantu Kanaya yang masih tertatih untuk turun.
" Aku bisa sendiri!" ucap Kanaya. Rasa risih akan penampilan lelaki yang semalaman menungguinya membuat gadis yang tidak melepaskan jilbabnya dari kemarin itu, tidak ingin berdekatan dengan Bara.u
Bara pun memundurkan langkahnya dan menggapai sebuah paper bag di sebelahnya.
" Ini pakaian ganti untukmu!" ujar Bara membuat Kanaya menatap dengan ragu.
" Hanya baju dari toko pinggir jalan, tak semahal baju yang kamu kenakan." lanjut Bara. Mendengar kalimat sarkas Bara, Kanaya segera mengambil paper bag itu.
" Terima kasih." lirih Kanaya. Dia tidak pernah mempermasalahkan harga bajunya, tapi gadis itu tak menyangka jika lelaki sedingin itu sampai memikirkan baju ganti untuknya.
" Aku akan pergi sebentar! Saat dokter visit sudah datang, aku akan membantumu berkemas pulang!" ujar Bara langsung melangkah pergi tanpa peduli persetujuan Kanaya.
" Aneh! Bentuk dan sifatnya aneh." gumam Kanaya membuat Bara yang masih sempat mendengarnya tersenyum sinis. Tapi, Bara memang tipe lelaki yang tak peduli dengan apa komentar orang lain.
Mentari menampakkan sinarnya yang cerah. Suasana pagi pun mulai berganti dengan terang. Sejak tadi, Kanaya mulai gelisah menunggu lelaki yang katanya akan kembali saat dokter visit sudah datang. Tapi hari ini dokter visit memang datang lebih awal dari biasanya.
" Sebaiknya aku akan membayar administrasi lebih dulu!" gumam Kanaya seraya berjalan mendekati tasnya yang tergeletak di sofa. Dia tak lagi menunggu lelaki aneh yang sejak subuh sudah pergi.
Tapi belum juga dia menyentuh tasnya, suara pintu terbuka membuat Kanaya menoleh seketika. Gadis itu tersentak kaget saat melihat jika yang datang Alexa bersama A'arav sepupunya.
" Mama Al." lirih Kanaya. Sesaat kemudian gadis itu di serang rasa gugup karena sudah membohongi mamanya.
" Naya sayang, bagaiamana keadaanmu?" tanya Alexa kemudian memeluk keponakannya itu.
"Baik, Ma." jawab Kanaya. Kedekatan Kanaya dengan Alexa membuat gadis itu memanggil Alexa dengan sebutan Mama Al.
"Kenapa nggak bilang jika kamu kecelakaan, Nay." A'arav tipe lelaki yang jarang bicara itu pun akhirnya melontarkan kalimat penyesalan.
" Naya takut Mama Hanum akan marah, Kak." jawab Kanaya. Jika Hanum tahu Kanaya kecelakaan, dia yakin Hanum tidak akan membiarkan Kanaya membawa mobil sendiri.
" Terus kamu di sini sendirian? Kamu punya keluarga, jika tidak ada Mama Hanum masih ada Mama Ale." ujar Alexa dengan lembut. Wanita cantik itu tidak tega membayangkan Kanaya meringkuk di rumah sakit sendirian.
Alexa baru saja mendapatkan informasi dari sahabatnya yang merupakan dokter Kanaya, jika keponakannya menjadi salah satu pasien rumah sakit di tempatnya dinas.
"Sebenarnya ada yang menunggui Kanaya. Dia yang membawa Kanaya ke rumah sakit." jelas Kanaya.
" Tapi Naya juga ngeri, tampilannya seperti preman." ujar Kanaya. Dia memang dekat dengan Alexa.
"Mana dia? Apa dia memanfaatkan keadaanmu?" tanya A'arav dengan serius.
"Nggak juga, si. Sebentar!"lanjut Kanaya kemudian menghampiri tasnya dan memeriksa dompetnya, uang dan kartunya juga utuh. Lelaki yang mengaku namanya Barata juga tidak melakukan sesuatu yang kurang ajar.
"Semuanya utuh, bahkan dia juga membelikan baju ganti untukku!" jelas Kanya mulai menyadari jika tidak ada hal jahat yang dilakukan oleh lelaki berpenampilan preman itu.
Kanaya juga mengingat jika semalam Bara mencarikan makan malam untuknya karena dia tidak bisa menelan makanan rumah sakit.
" Trus dia dimana?" lanjut A'arav yang semakin dibuat penasaran.
" Sejak subuh dia sudah pergi, katanya saat ada dokter visit, dia akan balik. Tapi nggak balik." lanjut Kanaya.
"Kalau begitu aku akan selesaikan administrasinya." lanjut A'arav.
" Kak, pakai ini saja!" Kananya mengulurkan kartu yang dia punya.
" Kamu itu!" kelah A'arav kemudian melangkah keluar.
" Nanti ke rumah Mama Al saja! Biar Papa Arkha menjemput." ujar Alexa. Dia memang ingin bicara pada Kanaya karena Alexa merasa ada banyak hal yang di sembunyikan oleh keponakannya itu. Kanaya memang sosok ceria tapi dia juga punya sisi tertutup.
Sesaat kemudian, setelah mereka beberes, A'arav pun datang, " sudah di bayar sama seseorang katanya!" ujar A'rav membuat kedua wanita dalam ruangan menatapnya penuh selidik.
" Dia tidak kembali ke ruangan Kanaya sebab tahu jika Naya sudah dijemput oleh keluarganya. Hanya itu informasi yang diberikan perawat." jelas A'arav. Bara memang terlalu misterius untuk dikenali.
"Kasian Ma, dia bukan orang kaya. Dia hanya bekerja di bengkel biasa." Kanaya merasa tidak enak karena sempat berpikir buruk tentang Bara. Tapi ternyata lelaki itu justru ikhlas menolongnya.
"Nanti kalau ketemu, kita ganti uangnya." Alexa menengahi ketika melihat wajah Kanaya yang gelisah.
" Ayo kita pulang!" ajak A'raav. Mereka pun akhirnya meninggalkan ruangan yang serba putih itu untuk pulang ke rumah Alexa.
###
Arslan termenung di meja kerjanya, dia semakin bingung karena belum menemukan Kanaya. Lelaki yang dilanda rasa bersalah dan cemas itu terus menatap keluar jendela.
" Tok ..tok....tok.." sebuah ketukan membuat Arslan menoleh. Terlihat Rindu membawa secangkir kopi dan sepotong kue untuk Arslan yang dia tahu belum makan siang.
" Bagaimana dengan Mbak Naya, Pak." tanya Rindu kemudian menundukkan wajah di depan Arslan.
" Aku belum ketemu Kanaya." Mendengar jawaban Arslan Rindu langsung mendongakkan wajah untuk mencari penjelasan selanjutnya.
"Dia seperti menghindar dariku." ujar Arslan . Raut wajah sedih itu tidak bisa disembunyikan lagi.
" Maafkan saya, Pak." sambut Rindu. Meskipun masih ada perasaan cinta di hati gadis berambut panjang itu. Tapi, kenyataannya rasa itu salah karena Arslan sudah bertunangan dengan gadis lain.
" Jangan bicara seperti itu! Kita yang salah. Kita yang pernah terlena dengan kedekatan kita." lanjut Arslan.
" Tapi, perasaanku pada Kanaya justru lebih besar, Rin." ujar Arslan, Kalimat sederhana dari lelaki tampan di depannya mampu membuat hatinya terluka. Tapi dia sadar jika itulah kenyataan dan seharusnya.
Arslan memang mengagumi Rindu sebagai sosok yang mandiri, bekerja keras dan perhatian. Perhatian-perhatian kecil dari Rindulah yang membuat Arslan terlena sejenak.
" Saya harap Pak Arslan bisa segera menemukan Mbak Naya. Saya permisi dulu, Pak." pamit Rindu. Kemudian melangkah keluar ruangan Arslan dengan perasaannya yang sedikit terluka.
Rindu mendudukkan bobotnya kemudian memejamkan mata sejenak menahan sebuah perasaan yang entah di hatinya.
" Setidaknya aku masih bisa bekerja untuk menghidupi keluargaku." ujar Rindu. Dia memang punya tanggungan ibu dan adiknya yang masih sekolah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!