NovelToon NovelToon

Kekasih Ku, Suami Adikku

Permohonan Alena

"Len, yang benar saja? Kau kira aku ini apa hah?" ucap Raffa.

Sungguh, Raffa tidak habis pikir dengan keinginan kekasihnya Alena, yang menginginkan dirinya untuk menikahi adik dari wanita yang begitu dia cintai tersebut.

"aku mohon Raff. Bukankah kau mencintaiku? Jika iya, tolong, tolong lakukan apa yang aku inginkan."

"aku memang begitu mencintaimu. Tapi, jika aku harus menikahi adikmu, aku tidak bisa len, maafkan aku."

Saat ini, sepasang kekasih tersebut tengah berada di sebuah taman yang tidak jauh dari apartemen dimana tepat Alena tinggal.

Alena sengaja menghubungi Raffa, dan mengutarakan keinginannya yang terdengar mustahil tersebut.

bukan tanpa alasan Alena melakukan hal tersebut. Dia di mohon oleh kedua orang tuanya agar Raffa menikahi Sang adik Liana, untuk mengubah kepribadian gadis itu.

Alena dan Liana memang saudara kandung. Hanya saja, kepribadian keduanya benar-benar begitu bertolak belakang.

Mungkin karena usia Mereka yang terpaut cukup jauh, hingga sikap dan kepribadian keduanya pun begitu kontras.

Sungguh, disini bukan hanya Raffa yang merasa tidak ingin. Tapi, Alena pun demikian. Hanya saja, Alena jelas tidak mungkin menolak keinginan kedua orang tuanya.

"Len, atau jangan-jangan selama ini, kau tidak pernah benar-benar mencintaiku? Hingga dengan mudahnya kau memintaku untuk menikahi adikmu?"

Alena menggeleng brutal, dia tidak bermaksud demikian. Dia hanya ingin menuruti kemauan kedua orang tuanya.

"tidak seperti itu Raff, aku benar-benar mencintaimu. hanya saja, hanya kau pria yang tepat untuk adikku. Aku yakin, jika Liana menikah denganmu, dia akan berubah menjadi lebih baik."

"tidak Len, aku tidak mau. Sampai kau bersujud di bawah kaki ku pun, aku tetap tidak akan pernah mengabulkan keinginanmu. Aku tidak mungkin menggadaikan perasaanku hanya demi orang lain."

"tapi Raff, Liana adikku, dia bukan orang lain."

Raffa mengusak wajahnya kasar. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa untuk menghadapi Alena. Karena dia benar-benar tidak akan pernah melakukan keinginan kekasihnya tersebut.

"Len, aku mencintaimu. kita bahkan sudah menabung untuk acara pernikahan kita. Kita bahkan sudah merangkai masa depan kita. Apa kau tega membiarkan semuanya sirna begitu saja? Apa kau tidak ingin mempertahankan aku? mempertahankan cinta kita?"

Alena menunduk, air matanya jatuh perlahan membasahi jemari yang sejak tadi meremat pakaiannya. Sungguh, dadanya begitu nyeri saat mengatakan apa yang dia inginkan.

siapa yang menginginkan akhir yang seperti ini? Alena pun tidak ingin. Hanya saja, kedua orang tuanya terus saja mendesaknya agar dia mau membujuk Raffa untuk menikahi adiknya.

Alena bisa merasakan jika Raffa menyentuh bahunya. Pria itu menyentuh dagu Alena dan mendongakkan wajahnya.

Raffa bisa melihat jika wajah Alena di penuhi air mata. Dan Raffa mengulurkan tangannya untuk mengusap jejak air mata di wajah cantik tersebut.

"jangan membohongi perasaan mu sendiri Len. Kau masih begitu mencintaiku, dan wanita mana yang ingin jika kekasihnya menikahi wanita lain."

Alena bungkam, dia bahkan tidak bisa berpura-pura tegar di hadapan Raffa. Hingga Alena bisa merasakan pria itu membawa tubuhnya kedalam dekapannya.

"jangan menangis sayang. Mari kita hadapi semuanya bersama. Kau masih memiliki aku, dan sampai kapan pun, aku akan memperjuangkan cinta kita. Jangan pernah merasa jika kau berjuang sendiri len, karena aku pun akan ikut berjuang bersamamu."

Tangis Alena semakin menjadi, gadis itu mendekap erat tubuh Raffa dan menumpahkan kesedihannya di sana.

sungguh, tidak ada yang mengerti perasaannya selain Raffa. termasuk kedua orang tuanya yang terus mendesaknya dan ingin merampas kebahagiaannya.

"berhenti menangis sayang. Air matamu terlalu berharga untuk menangisi hal seperti itu. Biarkan aku yang berbicara dengan kedua orang tuamu. Dan lusa, kita akan berkunjung ke rumahmu."

Alena mengangguk. Selama ini, Alena bekerja di kota yang cukup jauh dengan kediaman orang tuanya. Dia hanya pulang beberapa waktu dalam sebulan. Karena Alena terus di sibukkan dengan pekerjaannya.

Sedangkan Raffa sendiri, Raffa berasal dari kota ini, dan rumahnya pun tidak begitu jauh dari perusahaan tempat dimana mereka bekerja.

dan Kedua orang tua Raffa bahkan sudah merestui hubungan keduanya. Terlihat dari sikap ramah yang sering ibunya tunjukkan pada Alena.

"Oya Len, mama ku sudah bertanya mengenai dirimu. Dia rindu dan ingin bertemu."

"mungkin besok sepulang bekerja aku mampir ke rumah mu. Aku juga merindukan mama."

Raffa mengangguk, dia mengurai pelukannya dan kembali menghapus jejak air Mata di pipi Alena.

"yasudah, ayo aku antar kau ke apartemen mu. Hari sudah malam, dan sebaiknya kau beristirahat. Besok kita masih harus bekerja, dan jangan memikirkan hal yang tidak perlu kau pikirkan."

"iya Raff. Maafkan aku karena aku sudah mengecewakanmu."

"jangan membahas hal itu lagi. Kita akan selesaikan itu nanti."

Alena mengangguk, keduanya beranjak dari bangku taman tersebut dan berjalan menuju apartemen milik Alena.

***

Sementara itu, di kota yang berbeda, saat ini terlihat seorang gadis yang masih memakai seragam sekolah baru saja menuruni motornya.

Gadis itu selalu pulang malam seperti ini, dan dia bahkan tidak pernah menggubris perkataan kedua orang tuanya.

Ceklek ..

"ibuuu .. Ayahhh .. Lian pulang!!" teriak gadis tersebut.

"astaga Lian!! Dari mana saja kau hah? Kenapa jam segini baru pulang?" teriak sang ibu.

"Bu, jangan norak. Ini zaman modern, lagi pula, Lian sudah besar. Lian sudah kelas 3 SMA, dan tidak ada salahnya kan jika Lian pulang malam seperti ini?"

"Liana!!" bentak sang ayah.

Pria paruh baya yang baru saja keluar dari kamar itu pun segera memarahi sang putri. ucapan putri bungsunya sudah benar-benar kurang ajar.

"Liana!! Jaga ucapan mu. Kau tidak pantas berkata seperti itu pada ibumu. Dan kami tidak pernah bangga memiliki putri yang liar seperti mu. Kau begitu berbeda jauh dengan kakak mu!!"

"terus saja ayah. Terus saja bandingkan Lian dengan kak Lena. Dari dulu, hanya kak Lena yang terlihat di mata kalian. Sedangkan Lian? Lian hanya harus menuruti ucapan kalian agar Lian sama seperti kak Lena! Lian benci kalian!!" teriak Liana.

gadis itu benar-benar muak karena selalu di bandingkan dengan sang kakak. Dia tahu, jika dia memang tidak sepandai Alena. Hanya saja, apakah harus dia mengikuti jejak sang kakak?

"stop Liana!! Kau benar-benar membuat ayah marah!! Masuk ke kamarmu sekarang! dan tidak ada jatah makan malam untukmu!"

Liana menatap benci pada pria paruh baya tersebut dan segera pergi meninggalkan kedua orang tuanya.

Sungguh, hati Liana benar-benar hancur ketika dirinya lagi dan lagi di bandingkan dengan sang kakak.

"ayah, kau tidak seharusnya berkata seperti itu pada anakmu." ucap, Dewi. Wanita yang merupakan ibu dari Liana dan Alena.

"biarkan saja Bu, dia sudah kurang ajar. Jika orang melihat kelakuannya, mereka pasti akan berkata jika kita tidak becus mendidiknya."

Dewi hanya diam ketika mendengar ucapan Ditto, suaminya. Jika suaminya sudah berkata seperti itu, Dewi benar-benar tidak bisa melakukan apapun lagi.

Sikap Liana

Liana memasuki kamarnya. Gadis itu membantingkan tubuhnya ke atas kasur dan menangis di sana.

"hikss .. kenapa ibu dan ayah selalu bersikap seperti ini? Apa aku senakal itu hingga mereka terus saja memarahiku? hikss"

Liana membenamkan wajahnya di atas bantal. Dia berusaha meredam suara tangisannya dengan bantal tersebut. Liana hanya tidak ingin kedua orang tuanya tahu jika dirinya menangis.

"aku benci kak Alena. Dia yang membuat nasib ku menjadi seperti ini. Dia bahkan selalu menjadi tolak ukur untuk pencapaian ku. Kak Alena bahkan seperti garis finish yang harus aku kejar. Aku benci kakak." gumam Liana.

Sementara itu, Dewi dan Ditto saat ini masih berada di ruang tamu. Ditto tengah berusaha menekan emosinya. Liana benar-benar pandai membuat emosinya naik.

"Bu, bagaimana dengan jawaban Alena? Bukankah kau sudah mengatakan apa yang kita inginkan?"

"sudah yah, ibu sudah mengatakan hal itu pada Alena. tapi yah, apa kita tidak terlalu jahat jika bersikap seperti ini? Apa kita tega melihat kebahagiaan Alena hancur karena kita meminta kekasihnya untuk menikahi Liana?"

"ini sudah yang terbaik Bu. Kau tahu sendiri bagaimana nakalnya Lian. kita bahkan tidak tahu kemana saja dia pergi hingga pulang larut malam seperti ini. Liana anak gadis Bu, jika sesuatu terjadi padanya, kita juga yang akan Malu."

Dewi hanya bisa mengangguk. lagi-lagi, dia tidak bisa membantah keinginan kepala keluarga tersebut.

"baiklah, terserah ayah saja. ibu benar-benar tidak mau ikut campur dalam hal ini."

"memang sudah seharusnya seperti itu. Ibu tinggal menurut apa susahnya. dan tolong hubungi Lena Bu, ayah ingin bicara."

"tapi yah, ini sudah malam. Lena pasti sudah tidur."

"tidak mungkin Lena sudah tidur jam segini Bu. Ayo hubungi Lena."

Dewi menggeleng, dia mengambil ponselnya dan mendial nomor Alena. Keinginan Ditto sudah benar-benar tidak bisa di tahan.

"hallo Bu?"

"hallo Len, apa ibu mengganggumu?"

"tidak Bu, Lena baru saja dari luar. Ada apa Bu?"

"ini .. Bapak ingin bicara."

"ahh iya Bu."

Dewi segera memberikan ponselnya pada Ditto, dan Ditto segera mengambil benda pipih tersebut.

"hallo lena? Bagaimana? Apa kau sudah bicara dengan Raffa perihal keinginan ayah?"

"sudah ayah. Lena sudah bicara, dan Raffa ingin bicara dengan kalian. Dan mungkin, lusa kami pulang."

"baguslah jika begitu. ayah juga ingin bicara langsung dengan Raffa. Karena jika di telepon tidak jelas."

"baik yah."

"yasudah, kau istirahat. Malam sudah larut, dan ayah juga ingin beristirahat."

"baik ayah .."

Ditto mematikan panggilan teleponnya, dan kembali memberikan ponsel tersebut pada istrinya.

"Bu, besok jangan lupa untuk berbicara hal ini pada Liana. Jangan sampai dia mengacaukan rencana yang sudah kita susun sedemikian rupa untuk memperbaiki hidupnya."

"tapi Ayah, bagaimana jika Liana menolak?"

"paksa saja, dia memang pembangkang. Dan ayah akan mengancamnya jika dia tidak menurut. Ayah sudah muak melihat kelakuannya."

Dewi hanya bisa mengangguk, entahlah semuanya sudah di atur Ditto. Dan mereka tidak berhak menolak apa yang sudah pria itu tetapkan.

sementara itu, saat ini Liana tengah duduk di atas kasur miliknya. Dia sudah puas menangis dan dia juga sudah membersihkan tubuhnya saat ini.

"astaga .. Aku lapar sekali, apa ayah dan ibu sudah tidur?" gumam Liana.

Dan tiba-tiba saja, terdengar suara dering ponsel miliknya. Liana segera mengambil benda pipih tersebut dan tersenyum saat membaca nama yang tertera di layar ponsel tersebut.

"hallo Vero?"

"hallo Lian. Apa kau sudah sampai di rumah?"

"sudah, aku sudah sampai sejak tadi."

"kenapa kau tidak menghubungiku?"

"ck .. Kau tahu sendiri bagaimana keadaan rumah Ku yang seperti neraka. ayah marah karena aku pulang larut, dan kau sudah bisa menebak bukan apa yang terjadi padaku?"

"apa kau menangis?"

"tentu saja, kau tidak tahu bagaimana pedasnya mulut ayahku. Ck, sudahlah .. Aku malas membahas hal itu, aku lapar Vero."

"astaga .. Apa kau tidak di beri makan oleh orang tuamu?"

"tidak .. Aku tidak bisa tidur karena lapar."

"yasudah, tunggu sebentar. Aku akan pergi untuk membelikan mu makan malam."

"apa tidak apa-apa? Ini sudah malam ver."

"no problem. Tunggu sebentar."

Vero mematikan panggilan teleponnya, dan hal tersebut kembali membuat senyum di wajah Liana terukir.

Vero merupakan kekasih Liana. Awalnya, mereka hanya berteman seperti biasanya. hanya saja, semakin kesini perasaan cinta tumbuh pada hati keduanya, dan mereka memutuskan untuk menjalin kasih.

"untung saja ada Vero. Jika tidak, aku tidak akan bisa tidur karena kelaparan." gumam Liana.

Dan tidak lama kemudian, Liana menerima sebuah pesan, yang bertuliskan jika Vero sudah membelikannya sesuatu.

pria itu menaruh makanan di pintu pagar dan langsung berlalu dari rumah Liana. Akan bahaya jika ayah Liana mengetahui jika ada seseorang yang mengantarkan makanan untuk putrinya.

Liana segera keluar kamar mengendap-endap, dia tidak ingin langkahnya membangunkan ayahnya. Dan segera masuk kembali setelah berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan.

"ahh, aku selamat malam ini." gumam Liana.

gadis itu segera membawa bungkusan yang Vero berikan padanya dan segera memakannya di dalam kamar. Liana juga tidak lupa mengucapkan terimakasih pada pesan singkat yang dia kirimkan untuk Vero.

***

Keesokan paginya, Dewi sudah berkutat di dapur. Dia mengingat jika putri bungsunya belum makan sejak malam. Dan dia akan memasak makanan favorit Liana pagi ini.

sedangkan Ditto, pria itu sudah pergi pagi-pagi sekali untuk membuka toko pakaian yang dia miliki. Dan akan kembali pulang jika karyawannya sudah tiba.

Dewi menoleh ke arah tangga ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Senyumnya mengembang saat melihat Liana yang kini berjalan ke arahnya.

"Lian, kau sudah mau berangkat sekolah Nak? ini, ibu buatkan makanan favorit untukmu."

"Bu, apa peduli ibu? Kemana ibu saat semalam Lian di hukum ayah? Ibu bahkan tidak berani melawan ayah."

"Lian, jangan memulai perdebatan. Ini masih pagi Nak."

"aku tidak memulai, ibu yang memulainya. Dan Lian tidak mau sarapan."

"astaga Lian, ibu sudah masak susah payah untukmu. Apa kau tidak bisa menghargai ibu?"

"Lian tidak peduli."

Liana membalikkan tubuhnya hendak berlalu dari dapur. Hanya saja, suara Dewi kembali membuat langkahnya terhenti.

"tunggu Lian, ada hal penting yang harus ibu katakan padamu."

"hal apa? Lian tidak punya waktu untuk bicara banyak dengan ibu pagi ini, karena Lian harus segera berangkat sekolah."

Dewi hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar ketika mendengar setiap ucapan ketus yang di lontarkan putri bungsunya.

"yasudah, ibu akan berbicara siang nanti saat kau pulang sekolah. Dan tolong, pulanglah lebih awal Nak."

"Lian tidak janji."

Lian segera berlalu dari hadapan Dewi yang kini tengah menatap punggungnya. Sungguh, kepribadian kedua putrinya benar-benar begitu berbeda.

Keterkejutan Liana

Sementara itu, pagi ini, Alena tengah menatap pantulan dirinya di cermin. Dia menghembuskan nafasnya kasar, sebelum beranjak dari depan cermin tersebut.

"aku harus segera pergi ke kantor. Malam ini, aku tidak bisa beristirahat dengan tenang. Aku terus memikirkan perkataan ayah." gumam Alena.

Gadis itu segera keluar dari apartemennya. Dia berharap jika hari ini akan lebih baik dari sebelumnya. Karena sungguh, Alena tidak bisa membayangkan jika apa yang di inginkan ayahnya menjadi kenyataan.

Dan senyum Alena mengembang saat melihat kekasihnya yang sudah menunggu dirinya di luar gedung apartemen.

pria itu tengah duduk di motor matic miliknya dan tersenyum saat melihat sosok Alena.

"sayang, apa kau sudah siap?"

"sudah Raff, ayo kita berangkat."

Raffa mengangguk, dan Alena segera duduk di jok belakang, sebelum motor tersebut berlalu dari gedung apartemen.

Raffa menuntun tangan Alena untuk melingkar di pinggangnya. Dan Alena tersenyum sebelum menuruti keinginan kekasihnya tersebut.

"bagaimana dengan tidurmu semalam Len? Jangan katakan jika kau masih memikirkan apa yang kedua orang tuamu inginkan?"

"bagaimana bisa aku tidak memikirkan hal itu Raff?"

"jangan khawatir sayang, sampai kapan pun aku tidak akan pernah mengikuti kemauan kedua orang tuamu. Terlebih jika mereka menginginkan ku untuk berpisah denganmu."

Alena tersenyum, dia menyandarkan tubuhnya pada punggung Raffa. Sungguh, dia benar-benar mencintai pria ini.

"Raffa, Aku benar-benar mencintaimu."

"aku tahu. Dan aku pun demikian, aku begitu mencintaimu sayang."

Alena tersenyum, dia semakin mengeratkan pelukannya pada Raffa. Dan kembali menikmati perjalanan mereka menuju ke kantor.

sementara itu, saat ini ditto baru saja memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya. Dia segera memasuki bangunan tersebut dan berjalan menghampiri istrinya yang tengah duduk di ruang tamu.

"Bu, mana lian?"

Dewi segera menoleh ke arah sumber suara. Dia tahu jika suaminya akan marah saat mendengar reaksi putri bungsunya tadi.

"Lian sudah berangkat sekolah yah."

"apa kau sudah bicara dengannya?"

"belum yah, Lian susah sekali di ajak bicara."

"ck .. Dasar anak pembangkang, sudah benar jika kita menjodohkan nya dengan Raffa. Raffa pria baik-baik, dan ayah yakin jika Lian akan berubah saat dia menjadi istri Raffa."

"tapi yah, bagaimana dengan sekolah lian? Lian bahkan masih kelas tiga SMA."

"memangnya kenapa? Lian kan bisa menikah siri Bu. lagi pula, nikah siri di zaman sekarang sudah biasa di lakukan."

Dewi hanya terdiam. percuma jika dia beradu argumen dengan suaminya. Ditto pasti enggan mendengarkan saran darinya. Apalagi mengikuti ucapannya.

"terserah ayah saja. Ayah jika sudah memiliki keinginan tidak pernah mendengarkan ibu."

"bukan begitu Bu. Tapi, apa yang ayah lakukan ini semua demi kebaikan putri kita."

"baiklah, ayah memikirkan masa depan Lian bukan? Tapi, bagaimana dengan Alena ayah? Apa ayah pernah memikirkan perasaan Alena?"

"Alena sudah dewasa Bu. Dan Alena gadis yang cantik. ayah yakin, jika masih banyak pria yang jauh lebih baik dari Raffa yang mau menjadi suaminya. Dan lagi pula, Alena anak yang baik. Kita tidak perlu mengkhawatirkan pergaulannya."

Dewi hanya bisa menghembuskan nafasnya kasar. Sungguh, berbicara dengan ditto seperti berbicara dengan batu.

***

Saat ini, waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Dan Liana baru saja selesai mengikuti jam pelajarannya.

gadis itu tengah membereskan peralatan sekolah kedalam tasnya. Dia menoleh ke arah Vero yang sepertinya tengah melakukan hal yang sama. Sebelum gadis itu menghampiri kekasihnya.

"Ver, apa kita akan Pegi hangout?"

Vero menoleh ke arah sumber suara dan dia tersenyum kecil.

"memangnya kau mau kemana? bukankah semalam saja kau di marahi? Dan sekarang, kau akan membuat ulah lagi?"

Liana meroling bola matanya malas. Vero pasti membahas hal itu. Dan sebenarnya, Vero mengetahui apa yang terjadi antara kekasihnya dan keluarganya.

"jangan membuat mood ku buruk Ver. Jika memang kau tidak mau pergi, aku bisa pergi sendiri."

Liana berbalik hendak meninggalkan meja Vero. Hanya saja, Vero segera mencekal pergelangan tangannya dan membuat Liana menghentikan langkahnya.

"kenapa kau sensi sekali? Apa kau sedang datang bulan?"

"kau yang membuat ku jengkel Ver."

Vero terkekeh, tangannya terulur mengusak lembut pucuk kepala liana.

"maaf, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya tidak ingin masalah mu dan keluarga mu semakin melebar jika kau tidak menuruti keinginan mereka."

"sebentar saja Ver. Aku hanya ingin pergi ke danau untuk mencari kedamaian."

"hmm baiklah, aku akan menemanimu. Tapi, berjanjilah jika kau tidak akan pulang malam hari ini."

"baiklah .. Ayo .."

Vero mengangguk, keduanya segera keluar dari dalam kelas mereka. Dan keduanya segera menaiki motor masing-masing untuk menuju ke danau yang di inginkan Liana.

Liana segera berlari ke arah danau sesaat setelah memarkirkan motornya, dan duduk di bawah pohon untuk menikmati angin segar yang menerpa wajahnya.

sedangkan Vero? pria itu hanya tersenyum kecil dengan manik yang memperhatikan wajah Liana.

"aku mencintaimu Lian. dan aku harap kau bahagia selalu." batin Vero.

Waktu berlalu cukup cepat, karena saat Vero mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Dia segera menepuk pelan bahu Liana.

"Lian, sudah sore. Bukankah kau berjanji akan pulang?"

"ck .. baiklah aku akan pulang sekarang."

"anak pintar."

Liana mendengus mendengar ucapan Vero, dan dia segera berjalan ke arah motornya sebelum meninggalkan Vero yang kini tengah menatapnya.

Lian sempat melambaikan tangannya pada Vero, sebelum dia benar-benar pergi dari tempat tersebut.

"dasar anak nakal." gumam Vero dengan senyum kecil yang tersemat di bibirnya.

sementara itu, di kediaman ditto. sepasang suami istri itu tengah menunggu putri bungsunya pulang.

dan Dewi sudah gelisah di tempatnya karena dia takut jika Liana akan kembali pulang malam, hari ini.

"mana putri mu itu Bu? Sudah sore begini dia belum juga pulang." ketua Ditto.

"Lian disini."

keduanya menoleh ke arah pintu utama. Mereka tidak menyadari suara motor yang lian pakai.

"baguslah kau pulang awal. Kemarilah Lian. Ayah ingin bicara dengan mu."

Lian hanya diam, tapi kakinya melangkah menghampiri kedua orang tuanya.

"ada apa ayah? Apalagi yang ingin ayah bicarakan dengan Lian?"

"kau benar-benar tidak sopan ketika berbicara dengan ayah. Jika begitu, ayah langsung saja ke intinya. Kau akan menikah sebentar lagi Lian."

Deg ..

Tubuh Liana mematung ketika mendengar ucapan ayahnya. Hingga tiba-tiba saja, terdengar suara kekehan parau dari bibir Lian.

"gurauan mu tidak lucu ayah."

"ayah tidak bergurau Lian. Ayah benar-benar akan menikahkan mu. Ayah pusing dengan pergaulanmu dan ayah akan nikahkan kau dengan Raffa, kekasih kakakmu."

Sungguh, Lian benar-benar tidak percaya dengan kalimat yang baru saja terlontar dari bibir ayahnya. Dia akan di nikahkan dengan Raffa? Kekasih Alena yang merupakan kakak kandungnya sendiri? Dan ini benar-benar gila.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!