"Pak, bagaimana anakmu itu, dari sekolah , kuliah, sampai sekarang sudah bekerja, kok belum pernah membawa teman prianya ke sini, ibu kan malu Pak, para tetanggga banyak yang bicara jelek soal Mutia", cerocos Bu Marni begitu pulang dari warung.
Suaminya, Pak Yuda hanya mengulum senyum sambil menghisap dalam-dalam kretek yang berada ditangannya.
"Ya..., tidak usah didengarkan Bu, mereka itu hanya iri saja sama kita", senyum Pak Yuda dengan tenangnya.
"Iri bagaimana Pak, tuh anaknya Bu Ria, baru lulus SMP saja sudah dinikahkan, jodohnya orang kaya pula dari kota",
"Itu kan anaknya Bu Ria, tidak akan sama dengan anak kita, anak kita, Mutia itu lulusan Universitas Bu, dia itu seorang Sarjana, perlu waktu lama untuk bisa wisuda, ya...jelas keduluan nikah sama teman-temannya yang nganggur di rumah", imbuh Pak Yuda, masih dengan sikap yang tenang.
"Sekarang mana Mutia nya, hari ini dia kan libur, kerjaannya di rumah terus, mana ada laki-laki yang tahu, kalau di rumah ini ada anak gadis cantik, sarjana, sudah bekerja pula", Bu Marni menengok ke arah kamar Mutia yang masih tertutup rapat.
"Biarin saja Bu, tidak usah terprovokasi omongan tetangga, tiap orang itu mempunyai jalan hidup yang berbeda, perkara jodoh itu sudah ada yang mengatur, jodoh itu tidak akan tertukar",
"Ya... , tapi sebagai ibunya, ibu juga takut Pak, takut kalau Mutia itu jadi perawan tua",
"Cckk..., cckk..., Bu ..., Ibu..., ada Allah yang mengatur Bu, kita berdo'a saja biar Utami dipermudah soal jodohnya, sekarang masak gih..., Bapak sudah lapar, sebentar lagi Arman pulang dari Masjid", Pak Yuda mengingatkan istrinya.
"Iya, maaf.., Ibu hanya tidak enak saja, mereka bilang lebih baik jadi janda muda katanya, daripada menjadi perawan tua, bikin panas telinga saja kan Pak", ucap Bu Marni sebelum menghilang menuju dapur.
Tanpa sepengetahuan orangtuanya, Mutia ternyata mendengar obrolan mereka, ia yang berniat membantu ibunya memasak, menghentikan langkahnya, tangannya yang hendak membuka pintu kamarnya pun ia urungkan.
Utami akhirnya berdiri didaun pintu dengan perasaan yang sangat sedih. Jarak kamarnya yang tidak terlalu jauh dari dapur, membuat ia bisa mendengar semua obrolan orang tuanya.
"Ya Allah..., ternyata aku ini menjadi beban pikiran Ibu dan Bapak, Ya Allah aku mohon segera pertemukan aku dengan jodohku", gumam Mutia.
Hatinya bergetar saat memanjatkan do'a. Bukan kali ini saja ia mendengar hal ini, banyak teman dan para tetangga yang selalu bertanya, kapan menikah?, saat bertemu dengannya.
Sebuah pertanyaan yang Mutia pun tidak bisa menjawabnya, jangankan menikah, teman pria pun, Mutia tidak ada.
Padahal Mutia itu seorang gadis yang cantik, hanya saja Mutia itu pendiam, dan pemalu, sehingga dia jarang berkumpul bersama teman-teman sebayanya.
Bahkan Mutia hampir tidak pernah keluar rumah kalau tidak untuk urusan bekerja dan membantu ibunya belanja.
Di tempat tinggalnya, tidak ada laki-laki yang mau mendekati Mutia, entah kenapa, mungkin juga mereka merasa malu jika harus berteman dengan Mutia yang seorang sarjana, sudah bekerja pula.
Sedangkan sebagian banyak para lelaki muda yang ada di daerah tempat tinggal Mutia, hanya berpendidikan SMP dan SMA saja. Mungkin mereka minder jika harus naksir sama Mutia.
Padahal orang tua Mutia, seorang Perani biasa, hanya saja mereka menekankan untuk mengutamakan sekolah kepada anak-anaknya.
Kakak Mutia bahkan sudah menjadi seorang Polisi lalu lintas, dan dia sudah bertugas di luar Pulau, hanya satu atau dua tahun saja Mandala pulang menemui keluarganya.
Mutia ini anak perempuan satu-satunya, adiknya Arman, baru duduk di kelas tiga SD, dan kakaknya Mandala, seorang Polisi .
"Ya Allah..., apa wanita yang belum menikah itu hina dihadapan-Mu?", lirih Mutia.
Mutia juga bukannya tidak mau untuk segera menikah, tetapi ia belum bertemu sosok laki-laki yang pas dihatinya, ada laki-laki yang ia suka, bahkan mereka pun pernah menjalin hubungan, namun ayah dan ibunya tidak menyetujui.
Hal itulah yang membuat Mutia enggan menjalin hubungan lagi . Mutia bahkan sudah berjanji dalam hatinya, ia akan menerima sosok laki-laki yang dipilihkan ayah ibunya. Namun hal itu pun tidak pernah terjadi.
Akhirnya Mutia hanya bisa pasrah saja menjalani setiap alur hidupnya, namun Mutia selalu yakin, jodohnya pasti ada, hanya saja belum ada waktu yang tepat untuk mereka bertemu.
"Aku harus kuat, anggap saja aku tidak mendengar apa pun, aku harus membantu Ibu", ucap Mutia, ia menyapu lembut kedua kelopak matanya yang tidak terasa basah dengan buliran bening yang mendesak menetes keluar.
Perlahan ia mendorong daun pintu kamarnya, ia berjalan menuju dapur menemui ibunya.
"Eemmhh..., harum sekali Bu, masak apa nih?" Mutia langsung menghampiri wajan diatas kompor dan menggerakkan susuk untuk membalikkan isinya.
"Sudah bangun kamu", ucap Bu Marni yang sedang merajang sayuran.
"Dari tadi juga sudah bangun Bu , Tia mengaji dulu", jawab Mutia pelan.
"Ya... , sesekali kamu itu keluar attu, jangan di kamar terus, hari ini kamu kan libur",
"Keluar kemana Bu?, kalau hanya untuk jalan-jalan tanpa tujuan, sayang waktu Bu", senyum Mutia, ia pura-pura tidak mengerti dengan arah pembicaraan ibunya.
"Cobalah untuk bergaul dengan teman-temanmu , banyak yang pergi ke pasar kaget, atau hanya sekedar olahraga ringan juga banyak",
"Hah..., teman yang mana Bu, semua teman Mutia itu sudah pada pindah kan ", lirik Mutia.
"Ah..., iya..., temanmu hanya tinggal si Romi anaknya Pak Lurah itu, ah..., si Romi itu kan masih sendiri, sepertinya cocok tuh sama kamu, kenapa kalian tidak saling kenal saja, kan bisa menikah, cocok kan?" , usul Bu Marni tanpa di duga.
Ucapan ibunya itu membuat Mutia melongo , ia tidak menduga ibunya bisa berpikir ke arah sana.
"Tidak..., Bapak tidak setuju kalau dengan Romi, Bu, dia itu tukang mabuk-mabukan , sekolahnya saja tidak bener, walau bapaknya seorang Lurah, Bapak tidak setuju", sambar Pak Yuda, ia sudah berdiri diambang pintu.
"Dari pada tidak ada, kan lebih baik sama Romi saja, cocok, sama-sama menanti jodoh", bela Bu Marni.
"Tidak Bu, Bapak tidak setuju kalau harus dengan Romi, kalau Mutia setuju, Bapak punya teman dari Kota, semoga anaknya belum menikah, setahu Bapak, mereka mempunyai anak laki-laki, satu yang belum menikah, dia juga sama seorang sarjana Mutia, apa kamu mau dikenalkan dengan dia?", tatap Pak Yuda.
Mutia menunduk, ia sedang berpikir, dari pada dengan Romi yang jelas laki-laki tidak baik, lebih baik dengan anak teman bapaknya saja, yang sudah jelas, bapaknya mungkin sudah tahu siapa dia, hingga berani menawarkan untuk berta'aruf dengannya.
"Bagaimana Mutia?",
"Iya..., Mutia mau Pak", lirih Mutia.
"Nah..., bagus itu, sudah lama juga Bapak tidak bertemu dengan Dwipangga, dia itu orangnya pintar dan ulet, terakhir bertemu, dia itu sudah menjadi tuan tanah didesanya, kalau anaknya Bapak juga tidak tahu sekarang, dulu dia masih kuliah, semoga saja ada jodohnya, dia belum menikah",senyum Pak Yuda, ia menatap anaknya yang kini menunduk.
"Alhamdulillah..., semoga saja kalian berjodoh, Ibu sudah tidak sabar ingin membuat kejutan buat ibu-ibu rese itu, ibu ingin melihat reaksi mereka saat mendengar kamu akan menikah, apalagi sama orang kota, tidak seperti teman-temanmu itu, jodohnya cepat dan dekat, cuma beda RT saja, bahkan si Mila dan si Dodi, rumahnya itu deketan, suami satu langkah", kekeh Bu Marni.
"Hus..., tidak boleh begitu Bu, kita menikahkan Mutia bukan untuk ria, tidak baik itu, Bapak kan sudah bilang, tidak usah terprovokasi oleh sikap tetangga yang kompor, nanti ibu bisa ikut terbakar", ingatkan Pak Yuda.
"Iya Bu, Mutia juga tenang-tenang saja, menikah itu bukan suatu perlombaan, tidak bisa disegerakan, tidak bisa dipercepat sesuai keinginan, kalau sudah waktunya, pasti akan bertemu jodohnya",imbuh Mutia.
"Kita makan dulu saja, Bapak berangkat hari ini saja, mumpung hari baik, semoga membawa berkah buat keluarga kita, khususnya Mutia", Pak Yuda segera menuju meja makan, diikuti Bu Marni dan Mutia yang membawa piring berisi makanan yang sudah selesai dimasak.
"Assalamu'alaikum...", dengan cepat pintu terbuka, dan Arman pun muncul dengan ngos-ngosan.
"Wa'alaikumsalam..., jangan lari-lari begitu dong, kebiasaan kamu tuh, sini minum dulu, sekalian makan ya?", Bu Marni menyambut Arman, anak bungsunya yang baru pulang dari Masjid.
"Iya..., Bu..., Arman dikejar bebeknya Pak Wira", ucap Arman masih dengan ngos-ngosan.
"Aduh..., bebek itu tidak akan menggigit Arman, makanya jangan diganggu, pasti tadi kamu godain anaknya ya,makanya induknya jadi marah", kekeh Mutia.
"Iya Kak, habis lucu, gemesin, Pak..., beliin Arman anak bebek ya, buat mainan..., eh..., bukan..., buat dipelihara, biar jadi banyak", Arman mendekati Pak Yuda, dan bergelayut manja dilengannya.
"Iya.., sini duduk, kita makan dulu, sekarang Bapak mau ke rumah teman Bapak, nanti kalau ada, pulangnya Bapak belikan anak bebek ya", Pak Yuda mengelus lembut kepala putra bungsunya itu.
"Asik...asik...", Bapak memang baik, nantinya pulangnya Arman injakin lagi punggung Bapak ya", Arman tersenyum senang sambil merangkul bapaknya.
Mereka terlihat menikmati sarapan pagi itu, walau dengan menu sederhana ,tapi terasa nikmat, yang penting itu kehangatan keluarga.
Setelah selesai , Pak Yuda tampak bersiap untuk pergi, ia sudah menstarter sepeda motornya, tidak lupa juga ia dibekali aneka sayuran hasil kebunnya sebagai buah tangan untuk keluarga sahabatnya yang akan ia kunjungi.
"Hati-hati dijalannya Pak",
"Baik Bu, do'akan Bapak juga agar berhasil membawa calon mantu", senyum Pak Yuda sambil sekilas melirik ke arah Mutia.
"Aamiin...Aamiin Pak",
Setelah berpamitan dan bersalaman dengan anak dan istrinya, Pak Yuda pun melajukan sepeda motornya .
Kepergiannya diiringi do'a dan harapan , semoga ia kembali pulang dengan membawa kebahagiaan.
Mutia menatap kepergian bapaknya dengan hati yang kembali bergetar, kedua orangtuanya begitu menyayanginya, sampai urusan jodohnya pun ikut turun tangan.
'Pak..., Bu..., Mutia tidak akan mengecewakan kalian, kalau laki-laki itu mau dengan Mutia, Mutia pun akan menerimanya', batin Mutia bicara.
"Ayo masuk, kok malah melamun", Bu Marni mengagetkan Mutia.
"Ah...iya Bu...", Mutia setengah terperanjat mengikuti ibunya ke dalam.
"Kak..., Arman ada tugas sekolah, ini susah sekali, bisa bantu nggak?", Arman kembali menghampiri Mutia sambil membawa beberapa buku.
Sementara Bu Marni kembali berkutat di dapur menyelesaikan sisa pekerjaannya.
Sesekali Bu Marni melirik ke arah Mutia dan Arman. Kedua anaknya itu menjadi kebanggaan dirinya, Arman walau masih duduk di bangsu SD, namun kepintarannya sudah terlihat, Arman selalu mendapat rangking tiga besar di kelasnya.
****
Setelah berkendara beberapa jam, akhirnya Pak Yuda sampai di depan sebuah rumah mewah berlantai tiga.
Pak Yuda menatap ke arah rumah itu dan ke sekeliling, ia tampak bingung, ini alamat yang sama, tapi rumahnya sudah berubah.
"Apa aku salah?, Pak Yuda kemudian turun dari sepeda motornya, ia kembali membaca alamat dari kertas lusuh yang dipegangnya.
"Tapi benar..., ini alamatnya...", gumam Pak Yuda.
Saat ia sedang mondar-mandir di depan gerbang, sebuah klakson mengagetkannya.
Pak Yuda pun menepi dan merengkuhkan tubuhnya kepada pengendara mobil mewah tersebut.
Tapi bukannya melaju, si pengendara mobil justru turun dari mobil dan menghampirinya.
"Yuda..., kamu Yuda kan...?", ucapnya to the point.
Pak Yuda perlahan mengangkat kepalanya, ia menatap laki-laki yang menyapanya.
"Dwi...", ucap Pak Yuda sambil tertawa, mereka kini saling berpelukan.
"Wah...wah...pangling aku Dwi, sekarang kamu sudah banyak berubah, kalau tidak disapa duluan, aku mungkin tidak akan mengenali kamu, hebat sekarang kamu Dwi",
"Ah..., jangan berlebihan, aku bisa begini juga kan berkat bantuan kamu, aku tuh sudah lama mencari kamu, dan hari ini kamu sendiri yang datang, senang sekali aku, ayo masuk, kita ngobrolnya di dalam", ajak Pak Dwipangga.
"Sebentar-sebentar..., aku bawa motor butut aku dulu", kekeh Pak Yuda.
"Ya sudah, aku duluan ya", Pak Dwi kembali masuk ke dalam mobilnya dan memasuki gerbang rumah mewah itu diikuti oleh Pak Yuda.
Pak Yuda tidak henti-hentinya mengagumi rumah yang kini ia masuki, di dalamnya ternyata lebih mewah lagi.
"Ayo masuk...", ajak Pak Dwi, ia tidak ragu untuk menggandeng masuk Pak Yuda.
Perlakuan itu membuat heran para Art yang ada di sana, tidak seperti biasanya Pak Dwi bersikap akrab dengan siapa pun.
Bahkan Pak Dwi langsung membawa Pak Yuda ke ruangan pribadinya yang ada dilantai tiga rumahnya.
"Aduh..., rumahmu ini besar sekali, aku sampai cape Dwi", kekeh Pak Yuda.
Pak Yuda dibawa ke ruangan yang begitu mewah menurutnya, ruangan ber-AC dengan furniture yang serba mewah pula.
Ruangan itu dilengkapi pula dengan showcase yang menyediakan aneka minuman untuk penghuninya, ada mini cinema juga, ruangan itu benar-benar dirancang untuk memanjakan penghuninya.
"Duduk Yud, kok malah bengong", kekeh Pak Dwi.
"Kamu ini benar-benar sudah menjadi sultan Dwi", kembali Pak Yuda memuji sahabatnya.
"Aku begini karena kamu Yud",
Pak Yuda mentautkan kedua alisnya, Aku?, berkat aku?, memangnya apa yang sudah aku lakukan?",
Pak Dwi menggandeng pundak Pak Yuda.
"Pasti kamu bingung ya?", senyum Pak Dwi.
"Dulu, waktu aku ke rumahmu, aku diberi enam ekor anak bebek, kamu ingat?",
"Nah, bebek-bebek itu aku rawat hingga menjadi banyak, itu bebek ajaib kayanya Yud, setiap induk bertelurnya banyak, aku jadi bisa membeli tanah, membangun rumah ini juga hasil dari beternak bebek", jelaskan Pak Dwi.
"Pi....Pi...", tiba-tiba terdengar suara dari luar.
"Itu pasti anak aku, Rangga, seperti anak kecil saja, selalu teriak-teriak kalau masuk rumah, belum nikah dia", Pak Yuda menghampiri pintu dan begitu dibuka, muncullah seorang pemuda tampan di ambang pintu.
"Rangga...?, tampan sekali, semoga berjodoh dengan Mutia", gumam Pak Yuda.
Pak Yuda menyunggingkan senyuman kepada Rangga. Senyuman itu tidak berbalas, Rangga menatapnya sebentar, lalu berbisik kepada bapaknya.
"Aduh..., kamu itu kebiasaan ya, pakai saja dulu uang yang ada, masa harus selalu pakai uang Bapak", ucap Pak Dwi pelan, namun masih bisa di dengar oleh Pak Yuda.
"Beda lagi , selama masih ada Papi, semua kebutuhan aku yang harus Papi yang penuhi", ucap Rangga sambil mengadahkan tangan. Pak Dwi pun akhirnya merogoh saku celananya, ia mengambil sejumlah uang dari dompetnya dan menaruhnya di atas telapak tangan Rangga.
"Oke, thanks Papi..., semoga bisnisnya lancar terus", senyum Rangga sambil segera berlalu dari hadapan papinya.
"Hai..., jangan terlalu malam pulangnya, jangan main balapan lagi", teriak Pak Dwi sebelum kembali menemani Pak Yuda.
"Hah..., begitulah Rangga..., anakku itu tidak betah di rumah, sepulang kerja, selalu keluyuran", keluh Pak Dwi.
"Makanya harus cepat dinikahkan, biar dia betah di rumah, kalau sudah ada istri, jadi dia belajar bertanggung jawab", senyum Pak Yuda.
"Rangga itu orangnya pilihan, teman wanitanya padahal banyak, tapi entah mencari yang bagaimana, tidak ada yang serius",
"Bagaimana kalau dengan putri aku", senyum Pak Yuda.
Pak Dwi menatap ke arah Pak Yuda, "Kamu mempunyai anak perempuan?, katanya anakmu laki-laki semua",
"Iya..., anakku yang kedua waktu di USG itu laki-laki, eh..nggak tahunya perempuan, anugerah itu", senyum Pak Yuda.
"Dan anak ketigaku , baru laki-laki ", imbuh Pak Yuda lagi.
"Wah..., jadi anakmu tiga Yud, produktif juga", kekeh Pak Dwi.
"Ya..., itu anugerah Yud, walau hidupku pas-pasan, tapi Alhamdulillah, dua anakku bisa sekolah tinggi, putriku juga sarjana, dan sudah bekerja",
"Emh..., boleh juga tuh, kalau anak-anak kita berjodoh, hubungan kita akan makin erat, aku setuju Yud, kita besanan sekarang", Pak Dwi menjabat tangan Pak Yuda dengan tersenyum bahagia.
"Jangan buru-buru Dwi, bagaimana kalau Rangga tidak setuju", tatap Pak Yuda.
"Kalau anak aku sih sudah setuju, aku sudah bicarakan hal ini dengan Mutia",
"Mutia, nama anakmu Yud?",
"Iya, anakku Mutia Rahma Ayunda", senyum Pak Yuda.
"Wah... , nama yang cantik, semoga secantik orangnya, dan Rangga langsung suka", harap Pak Dwi.
"Dwi..., kamu sendirian di sini?, kok sepi, rumah sebesar ini ",
"Istriku sedang liburan dengan si bungsu, mungkin baru besok mereka kembali, istri aku itu hobinya shopping dan berlibur", Pak Dwi menerawang.
Pak Yuda melirik ke arah Pak Dwi, ia menangkap raut kekecewaan dari wajahnya.
"Emh..., itu bagus kan Dwi, kamu kerja keras untuk kebahagiaan anak dan istrimu kan, apalagi kamu ini sudah berhasil, jadi, sudah waktunya untuk menikmati hasil kerja kerasmu",
"Kalau aku masih panjang, anak bungsuku baru SD", senyum Pak Yuda.
"Iya juga sih..., aku ingin segera punya cucu Yud, rumah ini akan ramai oleh tawa dan tangisan mereka.
"Kita akan jadi Kakek Yud", kekeh Pak Dwi.
"Tenang, Rangga itu bisa aku atur, dia pasti mau kayanya sama Mutia",
"Mending sekarang kita makan dulu, aku ajak kau jalan-jalan, sudah lama kita tidak jalan bareng, ayo...!", Pak Dwi mengajak Pak Yuda makan di luar.
Sementara Rangga, selepas meminta uang dari papinya, ia melesat dengan mobil mewahnya menuju sebuah cafe, di sana teman-temannya sudah menunggu.
"Nah..., ini dia bos kita sudah datang, kita bisa makan enak sepuasnya ", celetuk Edwar, sahabat dekatnya Rangga.
"Boleh...boleh..., hari ini harinya kalian, silahkan nikmati hari ini, kalian boleh makan sepuasnya di sini, asal jangan minta dibungkus saja", kekeh Rangga.
Matanya memindai semua teman-temannya, ia mencari seseorang.
"Dia tidak ada Rangga, Sinta tidak jadi ikut", celetuk Mahes, ia bisa membaca ekspresi Rangga.
Rangga mendekati Mahes, "Kenapa dia...?", tatap Rangga penasaran.
"Kabarnya dia ke Bandara, menjemput seseorang", ucap Mahes.
"Siapa?",
"Kurang tahu juga sih..., tadi si Rahma bilangnya begitu",
"Hey..., Rahma...", teriak Rangga, ia melambaikan tangan ke arah Rahma.
"Iya..., ada apa?", sejurus kemudian Rahma langsung datang menghampiri Rangga.
"Sinta menjemput siapa ke Bandara?", tatap Rangga.
"Menjemput impian", senyum Rahma.
"Iihh..., serius nih",
"Iya...aku juga serius, Sinta ke Bandara menjemput impian, impian untuk bisa menjadi pengantin", senyum Rahma lagi.
"Maksudnya apa?", tatap Rangga.
"Ups..., maaf..., keceplosan", Rahma menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Kamu jangan berbelit ya, ngapain Sinta ke Bandara?", ucap Rangga dengan nada sedikit keras, sampai semua temannya yang ada, kini menatap kearahnya.
"Kamu Rahma, bicara tuh yang jelas, jangan mengganggu suasana dong, kita di sini kan mau senang-senang", ucap Edwar.
"Oke...oke..., aku minta maaf..., Sinta ke Bandara untuk menjemput calon suaminya ",
"Calon suami...", semua terlihat saling pandang, tatapnya mengarah kepada Rangga, mereka semua tahu kalau Rangga dan Sinta itu pasangan, mereka sekarang berkumpul juga untuk merayakan anniversary Rangga dan Sinta, kok bisa-bisanya Sinta berbohong.
Wajah Rangga terlihat memerah, ia sudah diliputi amarah, tanpa banyak bicara, Rangga menyambar kunci mobilnya dan segera neninggalkan cafe itu.
Semua menatap kepergiannya.
"Aduh....Rahma..., kamu benar-benar ya..., merusak suasana saja, kita ini mau senang-senang, sekarang bagaimana?", tatap Edwar kepada semua temannya.
"Ya..., kita makan saja dulu, sayang kan semua makanan ini sudah dibayar", Mahes mulai menyantap makanan yang ada didepannya.
"Iya, mubazir nih, ayo kita makan saja dulu, nanti baru nyusul Rangga", ucap Edwar lagi.
"Kamu sih kok malah ember, padahal diam saja, pura-pura tidak tahu soal Sinta", Edwar menatap Rahma.
"Yeah..., mana aku tahu Rangga menaruh hati kepada Sinta, lagi pula, kenapa Rangga tidak mengetahuinya kalau Sinta sudah punya pacar di Amrik",
"Kalau tahu sejak awal, tidak akan rame", kekeh Mahes.
Rangga yang sedang diliputi amarah, melajukan cepat mobilnya menuju Bandara, ia ingin melihat sendiri apa yang diucapkan Rahma tadi.
"Sinta...Sinta..., pandai sekali kamu bersandiwara, bodohnya aku, percaya saja pada kamu, pantas saja kamu selalu menolak saat aku ingin bertemu orang tuamu, ternyata aku ini hanya kau jadikan selingan", geram Rangga , ia memukul setir mobilnya.
Di depan sebuah pom bensin, Rangga memperlambat laju mobilnya, dengan jelas ia melihat Sinta dengan seorang pria tampan berada di dalam sebuah mobil yang sedang antri menuju SPBU.
"Benar..., itu Sinta...", Rangga pun segera ikut antri , jaraknya dengan mobil yang ditumpangi Sinta hanya terhalang beberapa mobil saja.
"Keterlaluan kamu Sinta", gerutu Rangga lagi. Hatinya makin panas saja.
Rangga memarkir mobilnya di sisi kiri SPBU, tujuannya agar ia bisa melihat Sinta saat keluar antrian.
'Tidak bisa dibiarkan, kamu sudah menipu aku, kamu juga sudah berbohong', kembali batin Rangga bicara.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!