NovelToon NovelToon

My Teacher My Husband

Part 01

Gelembung permen karet itu kembali keluar dari bibir kecil tipis gadis berusia 17 tahun ini. Memainkan gelembung karet menjadi salah satu hobinya dalam menunggu, terutama saat diperjalanan pulang kelas sore hari ini. Kemacetan jalanan menjadi sumber banyak orang menghabiskan waktu lama di perjalanan. Banyak orang yang sudah tak sabar ingin cepat kembali ke rumah, melihat keluarga kecil. Namun, tidak untuk gadis ini, kembali ke rumah dengan cepat bukanlah hal yang ia nanti-nantikan.

Ia mengecek kembali jam di ponselnya. Jam menunjukkan pukul 16.30.

“Kau lebih cepat 10 menit dari biasanya, Ros”

Roselana. Tak bisa disebut biasa wanita ini dikehidupannya. Dia wanita yang telah menjaganya sejak kecil. Ia pengawal setia yang akan melindungi dan menuruti semua permintaannya. Perjanjian turun temurun yang dilakukan keluarga pihak ayahnya dengan keluarga Roselana menjadikannya sebagai pelindung yang aman.

Setiap anggota keluarga Rose telah didik dengan baik, dari segi bela diri, memasak, akademik, bahasa atau pun lainnya hingga setiap perempuan dari mereka dapat mengerjakan perkerjaan laki-laki pada umumnya.

Tanpa banyak bicara, sigap bertindak menjadi sikap mereka. Menjaga majikan dimanapun, kapapun dan dalam keadaan apapun, mereka harus mendahulukan majikan mereka. Namun, baginya Rose bukanlah seorang pengawal, melainkan keluarganya dan lebih dari itu.

“Jalanan tidak macet seperti biasanya, Nona.”

Gadis berseragam SMA ini menghela nafas. “Ku harap kau memperlambat laju mobil. Aku tak ingin bertemu dua manusia itu.”

“Baik, Nona.”

Menghindari pertemuan dengan orangtua adalah hal yang selalu dirinya lakukan. Ia tak suka jika mereka bertemu atau pun berkumpul. Bukan gelak tawa atau senyum ramah yang akan terdengar, melainkan teriakan atau pun benda pecah.

Suasana hatinya sore ini sedikit memburuk, nilai ulangan bahasa inggris menjadi masalah. Dirinya selalu unggul dalam mata pelajaran lainnya, namun tidak untuk bahasa inggris. Padahal ketika dibangku SMP nilai bahasa inggrisnya selalu tinggi. Ia menyadari satu faktor menurunnya nilai tersebut, yakni guru.

Permen karet di dalam mulutnya sudah tak bisa lagi untuk dimainkan. Ia mencari bungkus permen tersebut. Seakan sudah hafal perilaku majikannya, Rose segera menyodorkan bungkus permen karet.

“Terimakasih.” ucapnya lembut lalu mengeluarkan gumpalan permen karet itu.

“Kenapa berhenti?”

“Maaf, Nona. Kita sudah sampai.”

Ia melihat ke depan. Benar saja, mereka sudah memasuki garasi rumah. Ia pun segera turun dengan pintu mobil yang dibukakan oleh pelayan rumah.

Pelayan itu membuka mulutnya, seakan-akan ragu mengatakan sesuatu.

“Ada apa?”

“Tuan dam Nyonya ada dirumah, Nona.” lapornya yang terlihat menunduk takut.

Sekuat apapun dirinya menghindar, jika masih satu rumah, ia akan tetap bertemu dengan kedua manusia yang menurutnya banyak masalah tersebut. Belum sepenuhnya memasuki rumah, aroma kekacauan sudah terhirup dari pintu depan.

‘PRINGG!!!’

Vas bunga kembali pecah untuk yang ke tujuh kali dalam sebulan terakhir. Ia hanya bisa melihat miris vas bunga indah berukirkan bunga yang sama dengan nama dirinya. Ia juga miris melihat para pelayan yang akan selalu siap mengganti vas-vas rusak tersebut setiap pertemuan dua manusia itu terjadi.

Kedatangannya pun bukan menjadi solusi atas kekacuan yang terjadi, memilih untuk tak datang adalah pilihan yang tepat. Namun, kali ini ia sudah muak. Rumah yang katanya seperti surga tak pernah ia dapati, baginya rumah besar mewah ini adalah neraka dunia.

“Bisakah kalian jangan memecahkan vas-vas ku?” ucapnya dingin melihat para pelayan yang segera membereskan kekacuan.

Kehadiran dirinya seakan angin berlalu. Adu mulut terus berlanjut. Ia muak. Padahal dua manusia yang sedang bertengkar ini berusia lebih tua darinya, namun kalimat yang keluar seperti anak kecil yang berebut permen di pinggir jalan.

Ia mengatur nafas, berusaha agar emosi juga tak ikut.

“Wanita jalang!”

Kalimat yang ia benci akhirnya terdengar, kesabarannya diujung tanduk. “DIAM!!!!!”

Kulit putih bersih di wajahnya yang selalu berbinar kini menunjukkan rona merah, bukan karena malu melainkan amarah meledak.

“Azzalea?”

Ia memperhatikan kedua manusia itu. “Bisakah kalian diam? Hah?!”

“Azzalea sayang, sejak kapan kembali?” tanya wanita yang sudah berkepala 3 tersebut padanya dengan raut wajah seakan baik-baik saja.

Ia mendengus kesal. Pertanyaan macam apa itu. Kedua manusia ini sedang menampakkan wajah seakan tak terjadi apa pun sebelumnya.

Ia mengatur nafas kembali. “Baiklah. Jika kalian masih menganggapku anak, maka kita selesaikan hari ini.”

“Aku muak dengan kebohongan ini. Aku muak kita pura-pura baik-baik saja. Dan aku muak pura-pura buta akan kejadian yang selalu aku lihat.”

Ia sudah terlalu lama menahan hal ini hingga harus mengungkapkannya sekarang. Ia tak mau menahannya lagi, baginya cukup. Ia butuh pencerahan dalam hidupnya.

Ia menatap yakin keduanya. “Pa, Ma. Mari kita tak saling mengenal.”

Tanpa pembiacaraan lebih lanjut, tanpa memberikan kesempatan apa pun yang akan menjadikan semuanya semakin kacau, ia pergi. Benar. Pergi dari rumah mewah berisikan puluhan pelayan dan fasilitas terbaik akan tetapi baginya itu adalah neraka dunia yang menyiksanya sejak kecil. Namun, ia pergi bukan tanpa persiapan. Ia telah menyiapkan rencana ini sejak dulu. Sejak rasa muak itu mulai muncul.

“Azzalea!! Kembali!!”

Ia keluar rumah seakan tuli, tak ingin mendengar namanya kembali disebut di rumah itu. Ia hanya ingin menemukan kebebasan, rasa aman dan rasa tenang terutama kebahagian. Ia yakin dirinya dapat menemukan kebahagian diluar sana walau tanpa kasih sayang orangtua atau tanpa utuhnya sebuah keluarga.

***

Part 02

Azzalea. Hanya itu namanya. Ia tidak memasukkan nama keluarganya karena baginya hal itu tak berarti apa-apa, hanya menambah tekanan dalam hidupnya. Terlahir dari keluarga yang kaya raya mungkin adalah kenikmatan yang harus ia syukuri, walau tanpa keluarga yang harmonis mungkin itu tak mengapa.

Kehidupan keluarganya terlalu rumit jika dipikirkan. Baginya, kedua manusia yang dijuluki ‘Papa’ dan ‘Mama’ hanyalah sekedar panggilan saja tak lebih dari itu. Di dalam buku yang sering ia baca, tak ada satu pun peran orangtua yang dilakukan kedua manusia tersebut untuknya. Hal ini membuat dirinya menjauh dari kedua sosok tersebut, dan menimbulkan rasa benci.

Kedua orangtuanya ini selalu bertengkar ketika bertemu. Dulu, saat ia masih kecil, ia hanya bisa melihat hal ini terjadi sesekali, namun seiring berjalannya waktu dan bertambahnya umur, ia sering melihat pertengkaran tersebut dengan kedua bola matanya, seakan-akan kedua manusia itu menunjukkan bahwa keluarganya bukan keluarga yang harmonis seperti foto yang di pajang di ruang utama rumah yang diambil ketika dia berumur 7 tahun.

Awalnya, ia masih bisa memaklumi hal tersebut, namun semakin hal itu terus terjadi ia semakin tak bisa acuh. Ia juga kebingungan memilih diantara keduanya, anak mana pun di dunia ini tentu menyayangi orangtuanya. Namun, setelah meneliti lebih lanjut, tak ada yang benar diantara keduanya. Mereka berdua sangat egois. Tidak memahami pasangan sendiri walau sudah bertahun-tahun lamanya.

Karena kejenuhan yang dialami, Azzalea memutuskan untuk menyelamatkan mentalnya yang rusak akibat pertengakran kedua orangtuanya. Ia memilih keluar dari rumah, memutuskan hubungan dengan kedua manusia tersebut.

***

Dua tahun sudah berlalu ia hidup tanpa orangtua. Ia merasakan nyaman yang tiada tara, tak ada suara benda pecah, suara adu mulut. Ia akhirnya dapat merasakan ketenangan tersebut. Ia tak salah meminta Rose untuk mencarikannya sebuah perumahan yang nyaman. Rumah yang ia kini tinggali berada sangat jauh dari rumah orangtuanya, izin masuk perumahan sangat ketat, ia takkan khawatir kedua orangtuanya menemukannya. Walau ia harus menempuh perjalanan 30 menit ke sekolah. Namun, ia memiliki Rose sebagai supirnya yang takkan pernah terlambat mengantarnya ke sekolah.

Perumahan itu sangat luas. Fasilitas didalamnya juga sangat lengkap, membuat para penghuni tak perlu keluar jauh. Jika merasa bosan, ia akan berlari mengelilingi komplek. Restoran ternama juga sangat terjangkau dari sana. Mini market yang berada di ujung komplek selalu ia kunjungi setiap pulang sekolah, walau hanya membeli satu es krim saja, terkadang ia juga ikut gabung bersama beberapa tetangga lainnya di sana.

Para penghuni di sana didominasi pasangan yang telah berkeluarga, baik pengantin baru mau pun yang sudah tua. Ia tak masalah jika tak mendapati teman bicara seusianya, malah berbicara dengan yang lebih tua membuatnya mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman.

“Nona, apa ingin mampir ke mini market?” tanya Rose, mobil baru memasuki area komplek.

“Iya. Aku ingin membeli beberapa cemilan.”

“Baik, Nona.”

Rose melajukan mobil menuju mini market yang berada di ujung perumahan. Pintu kursi belakang dibukakan untuk sang majikan saat tiba di parkiran.

Azzalea memasuki mini market. Ia langsung menuju area cokelat yang ia sukai seraya mengunyah permen karet rasa anggur. Ia memperhatikan setiap rak cokelat. Mini market disini selalu memperbarui stok mereka setiap ada keluhan yang didapati.

Seminggu yang lalu, ia ikut memasukkan kotak saran yang terletak di kasir mengenai beberapa coklat varian yang diinginkan. Memiliki alergi beberapa jenis kacang membuatnya tak bisa sembarangan memakan cokelat yang sering disediakan pihak mini market.

Surat saran yang ia berikan akhirnya dikabulkan. Ia tersenyum lebar saat mendapati varian cokelat yang ia minta telah tersedia di rak cemilan. Ia tentu sudah membawa keranjang belanja, kali ini ia akan kalap dalam belanja.

Ia juga memeriksa rak varian permen. Melihat apakah ada varian permen karet baru yang mereka sediakan. Setidaknya, dirinya akan selalu mencoba varian baru dari permen karet, karena disetiap akhir pekan mini market selalu memperbarui rak mereka.

Ada varian baru yang ia temukan. Sebelum benar meraihnya, sebuah suara mengalihkan perhatiannya.

“Ada bahan kacang almond didalamnya.”

Azzalea menoleh ke sosok yang entah sejak kapan telah berdiri didekatnya tersebut. Ia memperhatikan sosok yang tak asing dimatanya. Beberapa memori terlintas dibenaknya ketika pria tersebut tersenyum dan menunjukkan lesung pipi di kedua sudut bibir.

“Pak Dimas?”

Azzalea terperanjat. Hal kebaikan apa yang sebelumnya ia lakukan yang membuat dirinya dapat dipertemukan oleh guru favoritnya ketika SMP dahulu. Ia terus mengedipkan mata, masih tak percaya dengan apa yang ia lihat.

“Azzalea?”

Ia lebih terkejut bahwa gurunya itu masih mengingat dirinya. Jika dinilai dari penampilannya saat ini, ia telah berubah banyak terutama dari segi fisik.

“Pak Dimas, masih kenal saya?”

“Tentu. Kamu Azzalea, kan, siswi Prima Junior School?”

Azzalea mengangguk cepat. “Iya, Pak.”

“Kamu tinggal di daerah sini?”

“Iya, Pak. Saya tinggal disini. Pak Dimas, disini juga?”

“Ada janji temu dengan teman saya.”

Azzalea menggangguk mengerti. Sebenarnya, ia sedang menahan detak jantung yang tak karuan antara malu dan senang. Pak Dimas adalah orang yang ia sukai dulu di bangku SMP dan ia sempat mengungkapkan perasaanya itu.

Menyukai Pak Dimas di zaman SMP bukan hanya dirinya saja. Melainkan teman-teman SMP-nya juga ikut menyukai guru magang itu. Memiliki paras tampan dan suara yang enak didengar membuat siapa saja akan jatuh hati pada pandangan pertama.

Pertemuan tanpa sengaja itu tentu membuatnya ingin berbincang lama dengan sang guru atau sekedar meminta nomor, namun melihat seorang wanita yang datang menghampiri gurunya tersebut membuatnya membatalkan niat.

Walau hanya melihat sekilas, pikiran itu tentu muncul. Tak mungkin Pak Dimas tak memiliki pasangan di usianya yang sudah matang tersebut. Wanita itu cantik, tampak ramah, terlihat cocok untuk Pak Dimas yang maskulin.

Ia hanya bisa memalingkan wajah untuk menghindari percakapan antara kedua manusia itu. Tanpa dirinya sadari, ia memasukkan beberapa permen rasa kacang ke keranjang belanjaannya dan segera menuju kasir saat melihat sang guru dan wanita tersebut berjalan ke kasir.

“Mba, sekalian sama gadis ini.”

***

Part 03

Part 03. (1rb)

“Mba, sekalian punya gadis ini”.

Hampir saja ia melompat kegirangan saat mendengar sang guru ikut menunjuk belanjaan yang ia bawa.

“Pak, ini belanjaan saya banyak sekali.” ucapnya yang merasa segan tapi senang.

“Gapapa, kalo kamu mau tambah, ambil lagi aja.”

Ia tentu menggeleng. “Ngak, Pak. Ini aja cukup.”

Pak Dimas mengangguk. Sang kasir pun ikut mengitung belanjaan miliknya. Wanita yang tadi datang menghampiri sudah keluar terlebih dahulu.

Azzalea ragu-ragu ingin membuka pembicaraan namun Pak Dimas mendahului tindakannya.

“Kamu sekolah dimana sekarang?”

“Di Prima High School, Pak.”

Mata Azzalea tak henti melihat harga belanja. Seingatnya ia mengambil terlalu banyak makanan. Ia rasa citra diri sebagai gadis rakus sangat tergambarkan dari apa yang ia beli tersebut.

“Totalnya Rp549.500”

Ia menelan ludah mendengar harga belanjanya. Jika dibayar dengan uang sendiri, ia takkan mempermasalahkan hal tersebut, namun ini dibayarin oleh sang guru yang sudah lama tak bertemu, bukankah akan memberi kesan buruk.

“Pakai ini aja, Kak.”

Ia dan Pak Dimas sama-sama mengeluarkan kartu debit. “Belanjaan saya terlalu banyak, Pak. Saya segan.”

“Gapapa, Azza. Anggap hadiah juara lomba kamu dulu.”

Sang kasir mau tak mau mengambil kartu debit milik Pak Dimas. Azzalea merasa senang bahwa Pak Dimas masih ingat dengan janji yang pernah diucapkan tersebut. Padahal ia dulu sangat menanti hadiah dari sang guru, namun dikarenakan dirinya yang tiba-tiba sakit cacar tidak dapat masuk sekolah. Seminggu setelah sembuh, ia hanya bisa mendapati kabar bahwa Pak Dimas telah dipindahtugaskan.

“Kamu udah sembuh dari alergi kacang?” tanya Pak Dimas seraya membukakan pintu mini market.

Ia bingung, selama di SMP tak banyak yang mengetahui bahwa dirinya mengidap alergi kacang. Cukup aneh jika Pak Dimas mengetahui hal tersebut.

“Saya pernah dengar, di hari pertama mengajar, ada siswi yang dibawa ke rumah sakit akibat alergi kacang. Ternyata itu kamu.”

Ia mengerti dan sedikit malu, mengingat kesan pertama yang tidak begitu baik. “Masih sama, Pak.”

“Lalu, kenapa banyak sekali beli cokelat?”

Ia teringat, akibat kesal pada wanita tadi membuatnya tidak menyadari hal apa yang ia masukkan, namun tidak memungkinkan baginya menjelaskan situasi tadi.

“Oh.. Buat dibagi sama anak-anak komplek, Pak.” elaknya.

Pak Dimas mengangguk mengerti. Belum puas rasanya berbincang dengan sang guru, ia harus menerima perpisahan dengan pria itu. Wanita tadi sudah memanggil gurunya dari dalam mobil.

“Kalau begitu, saya pamit dulu, Azza.”

“Hati-hati, Pak.”

Ia melambaikan tangan melihat kepergian sang guru. Sebuah keberuntungan yang tidak dapat diungkapkan bagaimana bahagianya hati Azzalea. Tentu saja ia sangat berharap bisa bertemu kembali dengan sang guru.

Ia pun kembali memasuki mobil. Barang belanjaan telah diletakkan Rose ke dalam mobil.

“Ros, bantu aku membagikan cokelat itu nanti.”

“Baik, Nona.”

Ia memijat pelipisnya yang sedikit keram.

“Apa itu Pak Dimas, Nona?”

Ia menghela nafas. “Iya. Beliau masih mengenaliku. Aku hampir mati malu mengingat masa SMP”.

Rose tersenyum tipis seraya memasang safety beltnya. Ia masih mengingat jelas bagaimana majikannya itu bersedih selama 3 hari 3 malam akibat penolakan yang didapati. Ketika itu ia juga susah payah memberi dukungan agar Azzalea kembali bangkit dari keterpurukan karena hal tersebut menjadi cinta pertama.

“Nona, bagaimana dengan guru les yang Nona minta?”

“Apa kau sudah menemukannya?”

“Sudah, Nona.”

Ia diam sejenak. Entah mengapa ia tidak tertarik lagi dengan guru les bahasa inggris yang ingin ia pilih, malah dihatinya berharap bahwa Pak Dimas bisa mengajarkan les untuknya. Namun, nasi telah menjadi bubur, hai itu takkan mungkin.

“Akan ku pikirkan lagi nanti.”

“Baik, Nona.”

***

Sore ini, Azzalea memiliki janji dengan anak tetangga yang masih duduk di bangku dasar untuk mentraktir anak kecil itu es krim, balasan karena anak itu telah menemukan Koko, kura-kura peliharaannya.

Ia dan bocah laki-laki itu duduk di bangku depan mini market seraya memandangi suasana komplek mereka di sore hari. Banyak para penghuni yang berlari ringan atau sekedar keliling komplek.

“Kak, kakak nggak takut tinggal sendirian?”

“Apa yang perlu ditakuti?”

Ia balik bertanya seraya menjilati es krim rasa kiwi kesukaannya. Menurutnya, tak ada yang menakutkan selain orangtua yang setiap hari bertengkar.

“Misalnya, hantu”.

Ia tersenyum pada bocah dengan lesung pipi yang akan terlihat setiap anak itu menarik sudut bibirnya, baik berbicara atau pun mengunyah makanan.

“Hantu itu ngga nyeremin.”

“Masa, sih? Di film-film yang aku lihat, mereka menakutkan.”

“Yah, memang mereka menakutkan, tapi mereka ngga akan nyakitin kita. Lebih baik ditakuti hantu daripada disakiti orang tersayang.” jelasnya.

Ia dapat merasakan kebingungan dari bocah yang ia ajak bicara ini, hal tersebut dapat terlihat dari dahi yang berkerut bak kain yang belum disetrika.

“Aku memang kurang mengerti ucapan kakak, tapi aku yakin kakak nyaman hidup sendiri.”

Ia mengelus pucuk kepala sang bocah. Es krim bocah itu sudah habis dilahap. Bocah itu bangkit dan mengambil Koko yang tenang dalam rumah kaca.

“Kak, kalo kakak sibuk karena belajar, Koko tinggal aja di rumah ku.”

“Baik. Terserah kamu.”

“Ayo, balik, Kak. Kata mama, aku harus giat belajar biar namanya dipanggil pas pengumaman juara, kayak kakak.” ungkap bocah tersebut seraya mengulurkan tangannya agar dapat bergandengan dengan Azzalea.

Hal yang membuat dirinya terkenal di lingkungan perumahan ialah prestasi yang ia dapatkan. Banyak para orangtua disana yang tidak segan meminta dirinya mengajar anak-anak mereka yang masih duduk di bangku sekolah dasar, salah satunya Sakuya.

“Ayo!”

Ia meraih tangan mungil tersebut. Mereka berjalan santai. Bocah laki-laki ini banyak bicara. Mereka berjalan seperti layaknya kakak adik. Awal bertemu, terbesit dalam hatinya ingin memiliki seorang adik laki-laki namun hal tersebut tentu mustahil. Ibundanya sendiri tak ingin memiliki anak lagi, kehadirannya saja sudah membuat ibunya itu hampir gila.

Rumahnya dan rumah bocah tersebut hanya berjarak 2 rumah. Padahal jika berjalan dari mini market, rumah anak kecil itu yang akan didapati, namun anak itu ingin mengantar dirinya lebih dahulu.

“Kata Papa, laki-laki harus menjaga perempuan. Jadi, aku antar kakak dulu, biar kakak aman sampai rumah.”

Ucapan yang tidak mungkin dilanturkan oleh bocah kecil seperti itu, jikalau tidak didik dengan baik oleh keluarganya. Ia sangat bangga pada kedua orangtua anak ini yang dapat mendidik dengan baik bocah tersebut. Kedua orangtua anak ini juga sangat baik padanya.

“Kak, sepertinya kakak punya tetangga baru.”

Terlihat beberapa mobil pengangkut barang terparkir di depan rumah kosong sebelah rumah Azzalea. Ia bersyukur akhirnya rumah itu dapat dihuni. Ia dan Sakuya diam melihat para tukang mengangkat barang-barang.

Azzalea malah fokus pada buku-buku yang banyak. Penglihatannya masih jelas, ia dapat melihat judul buku-buku tersebut.

“Tampaknya, tetangga baru ini pandai bahasa inggris.” batinnya.

Terbesit ide dalam pikirannya, ia harus dekat dengan tetangga barunya ini. Pasti ada keuntungan yang bisa ia dapati.

“Kak!”

Ia mengalihkan perhatiannya. “Iya?”

“Aku pamit dulu.”

Sakuya akhirnya pamit dan pergi kembali ke rumah, begitu juga dengan dirinya, masih banyak tugas sekolah yang harus ia kerjakan mengingat dirinya yang berada di tahun kedua sekolah menengah akhir.

***

Akhir pekan adalah waktu yang paling Azzalea sukai, karena di hari itu ia bisa bersantai di rumah dengan nyaman. Memakai masker kecantikan menjadi pilihannya sore ini setelah pulang dari belanja bulanan bersama Rose.

Masker lumpur hijau menjadi pilihannya kali ini. Azzalea langsung memakainnya setelah memilih-milih dari puluhan masker kecantikan di lemari dingin khusus skin care-nya.

Ia pun sudah menyiapkan beberapa cemilan dan daftar tontonan seraya menanti masker itu bekerja di kulitnya.

“Nona, saya keluar dulu, ada yang terlupa untuk dibeli.”

Hanya dengan anggukan ia menjawab ucapan Rose karena masih asyik dengan hal yang ia tonton. Di akhir pekan juga menjadi kebiasaan barunya setelah tinggal di komplek ini untuk menyiram beberapa tanaman di depan rumah. Hal ini diminta oleh Rose agar ia dapat menghirup udara yang baik. Di tengah tontonan yang mengasyikkan, ia teringat tugasnya. Mau tak mau ia pun harus mengerjakannya dengan masker wajah yang masih menempel di wajah.

Sesekali ia bersiul menikmati kegiatan sorenya, tanpa takut para tetangga melihat dirinya yang memakai masker hijau tersebut. Setelah menyirami tanaman yang ada, ia sekilas melihat kotak paket yang berada dekat pagar rumah.

“Paket sepatuku, hari ini datang?” batinnya bertanya.

Ia pun mengecek kotak paket tersebut dan menemukan hal yang ia pesan. Tentu seutas senyum bahagia terukir.

“Azzalea?”

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!