NovelToon NovelToon

Mengandung Benih Si Culun

Malam panas

Di aula hotel berbintang lima terdengar suara musik disko yang sangat keras. Suara bass yang hampir memecahkan gendang telinga menambah suasana menjadi meriah. Lampu warna-warni bersinar terang menyorot ke arah para tamu yang sedang berjoget riang.

Tidak lupa juga seorang DJ profesional telah diundang untuk memandu musik, di mana seorang anak pengusaha kaya raya yang terkenal telah mengadakan acara perpisahan para mahasiswa/i Universitas Bramanta.

Raden merupakan putra satu-satunya dari keluarga kaya raya yang tujuh keturunan hartanya tidak akan pernah habis. Pria itu berusia 23 tahun. Dia nekat mengadakan acara di hotel milik keluarga tanpa ada satu orang guru yang menjadi pengawas di acara tersebut atau orang dewasa lainnya.

Acara itu murni dibuat oleh Raden yang isinya hanya ada mahasiswa/i. Minuman beralkohol dengan kadar dosis tidak terlalu tinggi menjadi minuman favorit untuk sebagian orang, tetapi ada juga minuman biasa yang disediakan untuk mereka yang tidak suka minum.

“Gimana, gimana? Udah beres semuanya?” tanya Raden kepada salah satu temannya.

“Beres, Bos. Tinggal giring tikus itu supaya masuk ke dalam umpannya aja haha ….”

“Bagus. Gue suka ini. Oke, kalian ikut gue dan awasi semua situasi di saat gue lagi beroperasi. Gue mau malam ini menjadi malam yang paling berkesan untuk tikus itu hahah ….”

Raden tertawa sambil bertos riang bersama ketiga teman yang sangat mendukung rencananya. Entah rencana jahat apa, intinya malam ini mereka akan bersenang-senang.

Dengan santainya Raden dan ketiga teman yang lebih cenderung sebagai kacung mulai berjalan mendekati pelayan, lalu mengambil beberapa gelas yang berisikan minuman alkohol.

Ketiga teman Raden langsung memasang mata melihat situasi dan gerak-gerik semua orang supaya tidak melihat apa yang sedang dilakukan oleh bosnya.

Mata Raden melirik ke arah salah satu pria culun berkacamata dengan penampilan yang sangat kampungan.

“Malam ini akan gue buat lu merasakan apa itu party yang sebenarnya. Selamat bersenang-senang, pecun*dang!”

Satu pil obat masuk ke dalam minuman beralkohol hingga membuat obat itu langsung larut di dalamnya.

“Let’s go!”

Raden mengajak ketiga teman untuk ikut bersamanya mendekati pria culun berkacamata tersebut.

“Hai, Bro. Selamat, lu udah jadi mahasiswa paling berprestasi di Universitas kita. Ambilah!”

Pria tampan dengan kulit putih bersih dan bermodis itu langsung memberikan gelas yang sudah dimasukan obat.

“So-sorry, Raden. A-aku tidak minum itu. Ma-maaf,” ucap pria culun itu dengan perasaan tak enak hati menolak pemberiannya.

Tidak berhenti di situ saja. Raden yang memiliki seribu akal segera melakukan rencana berikutnya dengan mengajak semua orang untuk bersulam.

“Hai, Guys. Lihatlah Gibran. Pria cupu ini tidak setia kawan, Guys. Dia tidak mau merayakan kebebasan kita, padahal pesta ini dibuat juga untuk memberikan selamat karena dia terpilih sebagai mahasiswa terbaik di kampus. Jadi gimana, dong?”

Suara teriakan dari Raden membuat semua orang langsung menatap ke arahnya. Tak lupa ketiga sahabatnya pun ikut memprovokator, sehingga semua mahasiswa/i menyudutkan Gibran.

“Hahh … Dasar cupu, lu! Cuma segelas aja nggak berani, lihat gue nih, gue udah habis satu botol dan lihat hasil nggak ngefek apa-apa. Lagian sekali seumur hidup gapapa kali, emangnya lu hidup mau lempeng terus. Dasar kampungan!”

Raden tersenyum kecil merangkul Gibran yang terus menundukkan wajahnya karena malu. Hampir semua teman-temannya menyudutkan dia hingga menghina fisik yang terkesan kampungan.

“Lihat, semua orang kecewa sama lu. Jadi minumlah, buat mereka bahagia di malam perpisahan ini. Jangan sampai karena lu mereka semua jadi badmood. Ingat, ini malam kita. Malam kebebasan karena besok pasti satu persatu dari kita akan melanjutkan karirnya. Jadi ambilah, gue mohon, please ….”

Baru kali ini Gibran mendengar permohonan dari Raden. Wajah pria itu terlihat sedih menatap si cupu karena menolak meminumnya.

Mata Gibran langsung menatap semua orang yang ikut menatapnya dalam keadaan kecewa karena dia tidak mengambil gelas di tangan Raden.

Akan tetapi, Gibran yang tidak bisa melihat semua temannya bersedih perlahan mengambil gelas tersebut dengan sedikit senyum.

“Yeeyy … Mari bersulam atas kesuksesan kita semua dan ucapan selamat atas prestasi Gibran yang telah menjadi mahasiswa terbaik di kampus kita. Bersulam!”

Semua orang mengangkat gelas mereka masing-masing dan menyatukannya dengan gelas teman yang ada di dekatnya.

Suara dentingan gelas terdengar jelas. Mereka berteriak senang dan meminumnya dengan sekali tenggak.

Sama seperti Gibran yang awalnya sedikit ragu untuk meminumnya, tetapi demi persahabatan dia langsung minum dengan tahan napas tanpa merasakan rasanya.

“Yeeeyy … Mari kita bersenang-senang malam ini. Ayo, DJ putar musiknya!”

Teriak Raden membuat sang DJ memutar lagu asyik dan membuat semua berjoget lepas tanpa beban. Begitu juga Gibran yang mulai terbawa suasana.

Lirikan mata Raden terhadap Gibran, sesekali melirik ketiga temannya membuat mereka tersenyum devil.

Hanya dalam hitungan 1 menit obat tersebut mulai menunjukan reaksi. Gibran yang tidak bisa berjoget kini sudah mulai menjadi pusat perhatian sebagian teman-temannya.

Tanpa sadar Gibran membuka kemeja culunnya hingga tersisa kaos putih lengan pendek yang sangat ketat.

Banyak wanita kagum terhadapnya. Biarpun Gibran terkesan culun, tetapi dia sangat menjaga bentuk tubuhnya sampai-sampai roti sobek belah enam terlihat menggoda.

Raden sendiri pun terkejut. Hanya saja dia tersenyum jahat melihat tikus itu sudah mulai masuk ke dalam perangkap.

Tanpa berlama-lama, Raden meminta ketiga temannya untuk memapah Gibran yang sudah setengah sadar.

Mereka berlima mulai meninggalkan gedung hotel menuju lift, lalu turun beberapa lantai dan berjalan ke sebuah kamar yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Maklum saja. Hotel ini milik orang tua Raden jadi apa pun bisa dilakukan hanya dengan memberikan perintah.

Salah satu teman Raden membuka kamar tersebut, lalu masukkan Gibran ke dalam kamar dengan kembali menutupnya dan mereka langsung pergi begitu saja.

Gibran berjalan sempoyongan merembet pintu tanpa menyadari bahwa tangannya telah menekan saklar lampu hingga membuat kamar hotel menjadi gelap gulita.

Seorang gadis cantik sedang membersihkan kamar mandi terkejut bukan main. Dia segera berlari ke luar kamar mandi hingga tubuhnya menabrak sesuatu dan terjatuh di atas ranjang.

“Si-siapa, kamu? Si-siapa! Lepaskan aku, lepaskan, lepas!” teriak wanita itu dengan wajah panik karena tidak bisa melihat siapa yang berada di atas tubuhnya.

Berulang kali dia mencoba membebaskan diri. Namun naas. Gibran mengunci semua akses gerak wanita tersebut dan langsung menciumnya tanpa sadar.

Ciuman ganas itu membuat seorang wanita bernama Ayu Lestari dengan usia 20 tahun tidak berkutik. Gadis itu merupakan office girl yang ada di hotel. Dia ditugaskan untuk membersihkan kamar tersebut karena habis ditempati oleh pengunjung yang sudah keluar.

Kehangatan tubuh Ayu membuat Gibran semakin liar. Efek obat yang diberikan oleh Raden sudah mulai bereaksi hingga berhasil menjadikan pria culun itu menjadi pria yang sangat gagah perkasa.

Ayu meneteskan air mata ketika Gibran langsung mengunci kedua tangannya, kemudian membuka baju wanita itu.

“Dasar baji*ngan! Lepaskan saya, lepas. Saya mohon Tuan, lepaskan saya. Saya tidak mau melakukannya. Saya tidak mau hiks ….”

Ayu benar-benar telah pasrah karena tidak sedikit pun Gibran memberikan celah untuknya kabur. Obat yang bereaksi cepat membawa hasrat sang pria mulai naik, hingga secepat kilat langsung membuka seluruh pakaian sang wanita sampai tak menyisakan satu benang pun melekat di tubuhnya.

Ayu hanya menangis sesegukan karena perbuatan Gibran yang membuat hatinya sangat hancur. Tak sedikit pun Ayu mengetahui bagaimana wajah pria itu, tetapi dia telah berhasil menyentuh tubuhnya bagaikan sebuah mainan.

Tanpa berkata apa pun Gibran membuka setengah celananya, lalu mengarahkan senjata ampuh itu menuju goa yang sangat indah dan sempit.

“Arrghh … Lepaskan saya, Tuan. Saya mohon, ja-jangan merenggut semua itu dari saya. Saya mo—”

Bleess ….

“Arrrghhhhh ….”

Belum selesai mengatakan keinginannya. Ayu langsung berteriak sekuat tenaga ketika benda pusaka itu masuk ke dalam tubuh dengan sekali hentak.

Tak terbayang bukan bagaimana sakitnya Ayu ketika senjata seorang pria berukuran kurang lebih 17 sentimeter memaksa masuk.

Ayu menangis sejadi-jadinya ketika tulangnya terasa remuk menjadi satu. Dia tidak menyangka malam ini adalah malam yang sangat menyedihkan sepanjang hidup.

Sementara Gibran yang tidak tahu apa-apa hanya mengikuti gerakan tubuhnya dalam pengaruh obat yang cukup kuat.

Merasakan sensasi yang berbeda membuat Gibran terus menggoyangkan pinggul begitu dahsyat tanpa memberikan napas sedikit pun terhadap Ayu.

Setiap bagian tubuh Ayu menjadi pusat perhatian Gibran yang tidak ingin disia-siakan, sedangkan sang wanita cuma bisa menangis meratapi masa depan yang sudah berhasil direnggut oleh orang tidak dikenal.

Permainan berlangsung beberapa jam membuat Ayu yang tidak bisa menyeimbangi Gibran langsung pingsan akibat kelelahan. Rasa sakit di sekujur tubuh membuat sang wanita tak berdaya untuk melawan sang pria.

Bukan berarti Ayu menikmati permainan, tidak sama sekali. Dia lebih cenderung pasrah karena apa yang terjadi saat ini sudah menjadi takdirnya. Ibaratkan nasi sudah menjadi bubur maka tidak akan bisa lagi seperti sedia kala.

Gibran yang sudah puas melakukan pelepasan beberapa kali langsung tumbang dan tertidur di samping Ayu yang pingsan. Efek obat tersebut memang tidak kaleng-kaleng.

Permainan liar itu terhenti ketika efek dari obat yang Raden berikan pun sudah tidak bereaksi, sehingga kedua pingsan dalam keadaan Gibran memeluk Ayu dengan tubuh yang hanya terbalut oleh selimut.

****

Bersambung.

Di Usir

Pagi hari kurang lebih pukul 5, perlahan tubuh Ayu mulai bereaksi. Tangannya bergerak lalu memijat kepala yang sedikit pusing karena semalaman menangisi nasib malangnya.

Sedikit demi sedikit kedua mata terbuka sempurna membuat Ayu tidak bisa melihat apa-apa karena kamar hotel yang masih gelap gulita.

Beberapa detik Ayu terdiam, lalu kembali teringat akan pergulatan malam yang sangat dahsyat. Sampai tangannya refleks memegang tubuh yang ternyata masih dalam keadaan polos.

“Se-semua sudah berakhir. A-aku bukan lagi wanita yang baik. Tu-tubuhku sudah sangat kotor ini sudah tidak layak untuk dimiliki oleh siapa pun. Impianku menikah dengan pria baik, tampan, kaya raya, juga sayang menyayangiku su-sudah tidak ada lagi. Se-sekarang yang tersisa hanyalah penderitaan, kehancuran, dan kekecewaan,”

“A-ayah, I-ibu, Ka-kakak ma-maafkan aku.Ka-kali ini aku tidak bisa menjaga kepercayaan kalian. Sa-sampai kapan pun aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri ataupun pria yang sudah merenggut semua ini. Aku akan simpan luka ini dengan baik, kelak aku akan membalaskan luka berkali lipat dengannya!”

Tatapan mata Ayu bersinar terang di dalam kegelapan. Dia benar-benar kecewa dengan semua takdir yang harus membawanya ke lingkaran hitam.

Ingin rasanya Ayu menoleh ke arah pria yang masih tidur itu dalam keadaan tangan melingkar di perutnya, tetapi tidak sedikit pun dia menatapnya.

Ayu tidak ingin melihat wajah pria yang sangat dibencinya itu, meskipun keadaan gelap dia tidak bisa melihatnya tetap saja. Gadis bernasib malang tidak akan sanggup melihatnya.

Perlahan tangan Ayu menyingkirkan tangan kekar Gibran, lalu menurunkan salah satu kakinya meski terasa menyakitkan sebisa mungkin dia menahan semua itu.

Badan yang terasa begitu remuk dan hancur membuat Ayu tidak bisa berkata apa-apa sekali berjuang untuk segera pergi dari hotel.

Satu persatu Ayu mencari pakaiannya di dalam kegelapan dengan mengandalkan perasaannya, kemudian berjalan ke arah kamar mandi dengan tertatih-tatih menahan sakit yang luar biasa.

Sesampainya di kamar mandi Ayu melihat dari sela kedua kakinya terdapat bercak merah yang membekas. Di situlah Ayu benar-benar hancur. Dia menangis meratapi nasib buruk yang menimpanya ketika sedang menjalani tugas dari pekerjaan sebagai office girl.

Dengan hati-hati Ayu duduk di closet, lalu membersihkan seluruh tubuh meski dia sangat tahu jika kotoran itu akan terus melekat di tubuh tanpa tahu bagaimana cara membersihkannya.

Kurang lebih 10 menit Ayu telah selesai membersihkan diri. Tubuh yang sudah terbalut oleh pakaian pun masih membuat gadis itu merasa tidak layak.

Tubuh yang sudah hancur membuat Ayu tadinya ingin nekat pergi tanpa mengenakan pakaian karena baginya sudah tidak ada yang harus dijaga kembali.

Harga diri sebagai wanita telah hancur bersama hilangnya mahkota yang telah dijaga 20 tahun lamanya. Cuma karena hitungan menit semua itu berhasil diambil oleh pria tak bertanggung jawab.

Ayu berjalan pelan menahan rasa sakit yang membuat bagian inti tubuhnya terasa perih. Dengan kuat hati Ayu membuka pintu, lalu memberanikan diri menoleh ke arah belakang yang masih dalam keadaan gelap hingga wajah Gibran tak sedikit pun terlihat.

“Jika suatu saat nanti kita dipertemukan kembali saya harap Tuan tidak melakukannya dengan sengaja. Namun semua ini murni karena takdir Tuhan yang menggerakan!”

Gadis itu keluar kamar dengan langkah yang berat. Tubuhnya berbalik menatap pintu seakan-akan kedua mata merekam semua kejadian dan menyimpannya di dalam memori ingatan.

Selepas itu Ayu berusaha menghapus semua air mata, lalu pergi meninggalkan gedung. Dia berjalan sedikit pincang demi menahan rasa sakit dibagian mahkotanya.

Semua kejadian ini telah disimpan rapat oleh Ayu untuk menutupi aibnya dari semua orang. Tidak ada satu orang pun yang tahu bahkan melihat gadis itu, sehingga dia akan aman dalam waktu dekat ini.

*****

2 minggu telah berlalu, tidak sedikit pun keluarga Ayu curiga akan sikapnya yang mulai aneh. Setelah kejadian itu dia memutuskan untuk mengundurkan diri dari tempat kerja dan mencari pekerjaan lain.

Ayu membungkam mulutnya tentang perihal kejadian naas yang telah merenggut semuanya. Keceriaan yang ditunjukan oleh gadis itu seperti biasa hanya sekedar menutupi luka yang tidak tahu kapan bisa sembuh.

Hanya saja Ayu tidak ingin keluarganya kecewa ketika mengetahui, bahwa kepercayaan yang selama 20 tahun ini diberikan padanya telah hancur hanya dalam hitungan menit saja.

Saat ini Ayu sedang berada di rumah sambil menyirami tanaman milik sang ibu, tetapi beberapa kali dia mual-mual membuat para tetangga yang suka bergosip langsung menyebarkan berita yang tidak baik.

“Tuh, tuh … Lihat deh, Bu. Sudah beberapa hari ini si Ayu anaknya Bu Sari muntah-muntah terus,” ucap tetangga 1 sambil menunjuk ke arah Ayu.

“Iya, benar, Jeng. Apa jangan-jangan si Ayu hamil, ya?” tanya tetangga 2.

“Hussh, jangan berbicara kalau nggak ada buktinya. Lagian Ayu itu anak baik, tidak mungkin dia seperti itu,” bela tetangga 3.

“Alahhh, Bu. Jangankan anak baik, anak ustadz sekalipun kalau memang be*jat mah, be*jat aja. Buktinya dia kerja kadang pagi kadang malam, tapi lebih banyak malamnya.”

Tetangga 1 memang tipikal ibu-ibu yang selalu mengumbar gosip, walaupun terkadang salah tetap saja dia menjadi dalang tersebarnya berita Ayu hingga terdengar ke beberapa warga lainnya.

“Gimana kalau masalah ini kita bilang sama Pak RT? Jika terbukti bersalah kita harus usir dia dari kampung ini. Saya tidak mau kampung kita yang bersih ini menjadi kotor hanya akibat ulah gadis yang telah menjual tubuhnya sendiri. Setuju?”

Usul dari tetangga 4 itu membuat ketiga tetangga lainnya setuju. Mereka langsung berbondong-bondong pergi ke rumah pak RT dan menceritakan keresahannya.

Awalnya pak RT tidak setuju karena tidak ingin menimbulkan fitnah terhadap keluarga -baikbaik seperti keluarga Ayu. Namun dia juga tidak bisa berdiam diri jika warganya sudah bertindak.

Daripada nanti menjadi isu tidak baik, akhirnya pak RT setuju dan langsung bergegas mendatangi rumah keluarga Ayu.

“Itu pak RT. Lihat sendiri, ‘kan? Dari tadi dia mual-mual terus,” pekik tetangga 1 yang sangat bersemangat.

“Hueekk … Pa-pak RT, i-ibu-ibu. A-ada apa ini?” tanya Ayu bingung. Dia sangat takut karena di depan rumahnya sudah banyak warga yang mulai menghakiminya.

Sari dan Satyo selaku orang tua Ayu segera keluar ketika mendengar keributan di luar rumahnya. Begitu juga dengan Dika, kakak dari Ayu.

“Tenang dulu, tenang!” sahut Pak RT yang berusaha menenangkan warganya.

Ayu yang merasa takut langsung memeluk Sari sambil menangis. Dia tidak menyangka jika kejadian itu telah diketahui para warga. Dia sendiri bingung kenapa mereka bisa tahu, sedangkan keluarganya sendiri pun tidak tahu apa-apa.

“Gak bisa, Pak RT. Saya tidak mau kampung ini tercemar karena ada gadis yang telah hamil di luar nikah. Saya mau Ayu diusir dari kampung ini. Setuju!”

“Setuju!”

Semua warga berteriak keras mengikuti arahan dari tetangga 1 yang menjadi provokator untuk membuat keadaan semakin runyam.

Sari, Satyo, juga Dika langsung menatap Ayu yang sudah menangis. Mereka tidak yakin seorang gadis baik dan ceria seperti itu bisa melakukan hal tidak senonoh.

“Tunggu dulu, tunggu! Anak saya tidak mungkin melakukan hal itu. Ayu itu anak baik. Kalau kalian menuduh Ayu hamil, mana buktinya? Mana!”

Sari yang dari tadi diam tak terima langsung membentak semua warga demi membela sang anak.

“Dasar keluarga sok lugu! Apa kau tidak curiga dengan anakmu yang setiap hari muntah-muntah, hahh? Kalau dia tidak hamil, lalu apa?” pekik tetangga 1 dengan penuh keberanian.

“Dengar baik-baik ya, anak saya itu tidak hamil. Dia hanya masuk angin. Saya ibunya dan saya tahu betul jika anak saya bukanlah anak nakal yang kalian pikirkan!” balas Sari. Wajahnya sudah merah karena menahan emosi menatap tetangga 1.

“Cukup ya, ibu-ibu dan bapak-bapak semuanya. Lebih baik kalian urus keluarga kalian sendiri jangan repot-repot urusin keluarga saya. Anak saya anak yang baik. Tidak mungkin Ayu melakukan hal keji itu, paham! Jadi saya minta dengan hormat, Pak RT. Suruh mereka bubar dari rumah saya sekarang juga!”

Satyo tidak mengerti kenapa semua warga menyudutkan putrinya yang tidak pernah melakukan hal itu. Sementara Dika berusaha terus membela keluarga hingga sedikit adanya adu jotos dengan warga lain.

Pak RT sebenarnya tidak tahu apa-apa, tetapi dia harus bisa bersikap adil. Sampai akhirnya keluarlah kalimat yang sangat Ayu takuti.

“Baiklah, sekarang begini saja Ibu Sari dan Bapak Satyo. Demi kenyamanan bersama lebih baik Ayu melakukan tes saya. Jika hasilnya negatif maka saya akan meminta semua warna meminta maaf pada keluarga kalian. Namun kalau hasilnya positif dengan berat hati saya harus mengusir Ayu dari kampung ini dan tidak boleh lagi menginjakkan kaki di sini. Bagaimana?”

“Setuju!”

Teriakan dari para warga membuat Satyo melirik Ayu yang terlihat syok. Sari pun menoleh menatap sang suami juga anak laki-lakinya. Setelah itu mereka setuju karena berpikir anaknya tidak bersalah.

Dika mengantar Pak RT untuk membeli test pack untuk sang adik. Niatnya ingin dibelikan oleh para perempuan, tetapi demi menjaga semua keadilan akhirnya merekalah yang membelinya.

Kurang lebih 20 menit mereka sampai dan meminta Ayu melakukan tes tersebut di temani oleh Sari selaku ibunya juga dua warga perempuan ke arah kamar mandi.

Di dalam kamar mandi Ayu menangis gemetar karena harus mengingat kejadian itu. Rasa takut, panik, juga dilema bercampur menjadi satu hingga dengan pasrahnya dia melakukan tes sesuai yang tadi diarahkan oleh Sari.

Beberapa menit Ayu keluar kamar mandi, memberikan 3 test pack kepada ibunya. Semua warga yang penasaran berdesak-desakan di depan pintu rumah, sedangkan Pak RT dan beberapa saksi duduk di sofa sambil melihat barang bukti tersebut.

Sari menaruh barang bukti di meja, tak lama dia pun syok karena dari ketiga test pack hasilnya semua bergaris dua. Itu berarti Ayu telah berbadan dua atau lebih tepatnya hamil di luar nikah.

*****

Bersambung.

Kemana Ayah?

“Nahkan, apa saya bilang. Ternyata benar dugaan saya kalau Ayu itu memang wanita murahan. Buktinya dia berbadan dua. Nikah aja belum udah hamil, malu-maluin. Cihh, dasar sampah masyarakat!”

Tetangga 1 selalu berhasil menjadi provokator para warga, sehingga semua orang langsung menyerang Ayu dengan kata-kaya yang begitu menyakitkan.

“Ini, Bu Sari, ini yang Ibu bilang anak baik-baik, hahh? Hamil di luar nikah kok, baik. Apa jangan-jangan dulu ibu hamil mereka di luar nikah, iya!”

Bantah tetangga 2 yang selalu menambahkan bumbu di dalam masalah supaya semua orang menatap jelek keluarga Ayu.

“Cukup, hentikan! Ini buka salah Ibu, Bapak, ataupun Kakak saya. Tapi ini murni kesalahan saya. Semua itu terjadi karena kecelakaan bukan karena saya menyerahkan tubuh saya sendiri. Jadi saya mohon sama kalian semua jangan menghakimi keluarga saya!”

Sekian lama Ayu berdiam diri menerima semua hinaan itu, akhirnya dia berani melawan semua orang demi melindungi nama baik keluarga yang sudah dihancurkan.

“Alaahh, omong kosong! Mana ada maling teriak maling. Dasar murahan! Berani dibayar berapa kamu sama pria itu, hahh? Atau kamu jadi simpanan om-om hahah ….”

Ledekan yang terdengar seperti hinaan itu berhasil melukai hati Ayu yang sangat dalam. Sari yang tidak kuat mendengar cacian itu hampir saja jatuh pingsan jika bukan Dika yang siap siaga memapah ibunya untuk duduk di dekat sang ayah.

“Hentikan semua ini saya mohon! Kalian semua tidak tahu apa-apa jadi jangan pernah berkata kasar tentang adik saya. Kalian hanya orang luar, sedangkan kami yang tahu Ayu dari kecil jadi tidak seharusnya kalian menghakimi dia seolah-olah kalian adalah orang yang paling suci!”

“Demi apa pun saya percaya dengan adik saya sendiri. Kejadian ini pasti bukan karena adik saya yang bersalah, melainkan karena pria itu yang sudah memaksanya. Benar ‘kan, Dek? Katakan sama Kakak dan kasih tahu alasan kenapa kamu bisa sampai seperti ini. Kakak yakin kamu tidak bersalah, jadi jangan takut. Kakak akan selalu ada bersamamu!”

Pembelaan dari Dika untuk sang adik benar-benar tidak tanggung-tanggung, walaupun dia tahu apa yang dilakukan Ayu salah tetap saja tidak membuatnya langsung tutup telinga.

Dengan semua penyesalan, kesalahan, juga kesedihan yang sangat berat dijalani oleh Ayu. Dia langsung berlutut di depan kedua orang tuanya.

“Bu, Pak, ma-maafin Ayu. Ayu tidak berniat membuat kalian kecewa, tapi jujur i-ini semua bukan sepenuhnya salah Ayu. Ini murni karena kecelakaan yang Ayu sendiri tidak tahu siapa pria itu. Ayu mohon maafkan Ayu, Bu, Pak. Jika kalian marah, kecewa pukul Ayu, pukul. Ayu memang pantas dihukum. Cu-cuma jangan pernah kalian benci Ayu. Ayu sayang sama Ibu dan Bapak, tidak mungkin aku sengaja melakukannya. Ayu minta maaf, Bu, maaf … Pak, maafin Ayu hiks ….”

Kata maaf tak henti-hentinya Ayu ucapkan lantaran sudah mencemari nama baik keluarga. Tidak lupa Ayu juga mencium kedua kaki orang tuanya untuk meminta ampun atas apa yang telah terjadi padanya.

Baru pertama kali Ayu melihat Satyo menangis hanya karena ulahnya. Selama ini sang ayah selalu tegas, tegar, juga tidak pernah sekecewa ini bila sang anak melakukan kesalahan.

Cuma kali ini kesalahan Ayu sudah sangat fatal dan tidak bisa ditoleransi. Meski rasanya sangat berat dia tetap pasrah dengan nasibnya sendiri.

“Kenapa kamu tega melakukan ini sama Bapak dan Ibu, Yu. Kenapa? Apa salah kami sampai kamu melukai hati kami. Jika kami salah beritahu kami, tapi jangan hukum kami seperti ini. Kami tidak kuat, Yu. Hati kami sakit hiks ….”

Satyo memukul dadanya membuat Ayu semakin merasa bersalah. Dia menahan tangan sang ayah sambil menggelengkan kepalanya karena tidak ingin sesuatu terjadi pada kedua orang tuanya.

“Anak siapa yang ada di perutmu, Yu? Katakan sama Ibu apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, hem? Kenapa kamu jahat sama kami, Nak, kenapa!”

Sari menatap anaknya penuh kekecewaan karena tidak menyangka Ayu bisa melakukan hal menjijikan itu. Rasanya sang ibu tidak percaya anak yang dibesarkan penuh kasih sayang kini menjadi anak yang tidak memiliki harga diri.

Ayu menatap orang tuanya, kemudian menenangkan hati untuk mengingat kejadian yang berulang kali berusaha dilupakan.

Gadis itu menahan emosi ketika tubuhnya sedikit gemetar demi menjelaskan kejadian pada malam tersebut sejujur-jujurnya.

Tidak ada kebohongan yang Sari dan Satyo lihat dari kedua mata putrinya. Air mata yang mengalir deras membuat sang ibu tak kuasa mendengar penderitaan yang telah Ayu alami.

Sari memeluk Ayu bersama Satyo. Mereka menangis bersama karena baru mengetahui nasib buruk yang menimpa sang anak.

“Maafkan Bapak dan Ibu, Yu. Bapak tidak tahu jika sesungguhnya kamulah korban dari kekejaman itu. Bapak pikir kamu melakukannya dengan keinginan sendiri, nyatanya kamu malah dijebak oleh orang yang bertanggung jawab. Sekali lagi maafkan Bapak, Yu, Bapak khilaf sudah menyalahkanmu maaf hiks ….”

“Ibu juga minta maaf, Yu. Ibu telah berpikir buruk tentang kamu. Sekarang Ibu yakin kamu memang anak Ibu yang baik. Kamu tidak melakukannya, tetapi kamu rela menerima takdir ini sebagai jalan hidupmu. Maafkan Ibu, Yu, maaf hiks ….”

“Tidak, Bu, Pak. Kalian tidak salah. Ini salah Ayu. Ayu yang sudah membuat kalian kecewa. Ayu minta maaf hiks ….”

Sorakan demi sorakan dari para warga membuat Pak RT selalu berusaha menenangkan demi memberikan waktu kepada Ayu dan keluarganya.

Akan tetapi, suasana semakin memanas membuat Pak RT dengan berat hati meminta izin kepada Sari dan Satyo untuk mengusir Ayu dari kampung ini.

“Sebelumnya saya selaku ketua RT meminta maaf atas ketidaknyamanan ini, Bu Sari, Pak Satyo. Namun saya tidak bisa menahan Ayu lebih lama lagi. Ayu harus keluar dari sini dan tidak boleh menginjakkan kaki di kampung ini lagi.”

Satyo dan Sari melepaskan pelukan Ayu lantaran terkejut mendengar perkataan ketua RT. Mereka tak menyangka setelah mendengar penjelasan itu sang anak tetap harus meninggalkan kampung kelahiran.

Pak RT melakukan itu bukan karena tidak memiliki hati nurani, melainkan semua ini demi ketentraman warga yang dari tadi sudah mengamuk karena perbuatan gadis itu.

Padahal di dalam hati Pak RT ingin sekali menahan Ayu lantaran tidak tega akan nasib malang yang menimpanya. Apa lagi kejadian itu membuat Ayu menjadi korban ketidak tanggung jawaban dari pria tersebut.

“Tidak bisa. Saya mohon sama kalian semua terutama Pak RT untuk tidak mengusir adik saya. Kalian tidak dengar tadi Ayu ngomong apa. Di sini Ayu yang jadi korbannya, jadi kalian tidak boleh mengusirnya sebab bukan Ayu yang bersalah, tapi pria itu! Kalau perlu saya akan cium kaki kalian satu persatu asalkan kalian tidak menghakimi Ayu lagi. Saya mohon, saya mohon!”

Dika yang tidak terima membela habis-habisan sang adik. Dia memohon sambil bersujud di depan RT maupun warga setempat.

Hanya saja permohonan itu tidak digubris membuat beberapa warga langsung masuk ke dalam dan menyeret paksa Ayu untuk keluar dari kampung. Sementara Sari, Satyo, serta Dika ditahan oleh beberapa warga untuk tidak menolong gadis malang itu.

“Cepat keluar dari kampung ini. Saya tidak mau kampung ini tercemar!” pekik seorang pria yang sudah memegang tangan Ayu bersama pria lainnya.

“Nggak, Ayu nggak mau keluar dari sini. Ayu mau sama Ibu, Bapak, dan Kakak. Ayu nggak mau jauh dari mereka. Ayu nggak mau hiks ….”

“Tidak bisa. Cepat ikut kami! Kampung kamu tidak terima wanita hamil di luar nikah sepertimu. Jadi cepat keluar dari sini, ayo!” bentak pria lain.

“Nggak mau, nggak mau. Lepaskan, lepaskan Ayu. Ayah, Ibu, tolong Ayu, tolong hiks ….”

Isak tangis keluarga pecah ketika melihat Ayu diperlakukan tidak baik oleh semua orang, padahal sudah jelas gadis itu tidak bersalah. Namun bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur dan keluarga tidak bisa berbuat apa-apa.

“Ayuu ….”

Teriak Sari, Satyo, dan Dika secara bersamaan karena tidak bisa menahannya lantaran mereka juga ditahan oleh warga lainnya untuk tidak menolong Ayu.

Setelah Ayu pergi Dika yang merasa khawatir melihat adanya celah langsung berlari kencang sekuat tenaga untuk mencari sang adik.

“Dek, di mana kamu? Dek!”

Dika berteriak sepanjang jalan kampung sambil melirik ke arah kanan dan kiri. Sampai akhirnya dia menemukan Ayu telah duduk di bawah pohon dekat berbatasan kampung.

“Ayu!” teriak Dika yang merasa senang masih bisa bertemu adiknya. Dia berlari kemudian memeluknya sangat erat.

“Maafkan Kakak, Dek. Maaf hiks ….”

“Kakak nggak salah. Ini salah Ayu. Ayu yang seharusnya minta maaf sudah mencoret nama baik semua. Ayu minta maaf, Kak. Mungkin ini sudah takdir Ayu hidup penuh hinaan,” jawab Ayu di dalam pelukan sang kakak.

“Tidak, Dek. Kamu nggak boleh ngomong begitu. Kakak percaya kamu adik Kakak yang terbaik. Jadi, Kakak mohon bersabarlah. Kakak akan bantu kamu dan anakmu. Percaya sama Kakak, percaya. Oke!” tegas Dika melepaskan pelukannya, kemudian memegangi kedua rahang sang adik.

“Kakak salah. Ayu bukan orang baik. Benar kata mereka. Ayu sudah kotor. Ayu sampah masyarakat dan Ayu wanita murahan. Seandainya anak ini tidak ada mungkin Ayu tidak akan diusir dari kampung kita. Dasar pembawa si*al arrghh … Hiks ….”

Ayu memukul perutnya sendiri merasakan jika dunia yang dimilikinya sudah hancur akibat kehadiran anak di dalam perutnya itu.

“Cukup, Dek. Cukup! Jangan salahkan anak itu. Ingat, dia tidak bersalah. Bapaknyalah yang bersalah karena tidak bertanggung jawab. Percayalah, Dek. Kelak anak itu akan memberimu kebahagiaan sebagai ganti rasa sakitmu ini. Jadi Kakak mohon banget sama kamu. Tolong jaga ponakan Kakak. Jangan sakiti dia karena begitu-begitu juga itu anakmu, darah dagingmu. Mengerti?”

Dika benar-benar paham isi hati adiknya. Dia berusaha menguatkan Ayu untuk tidak melakukan apa pun terhadap keponakannya.

Setelah Ayu tenang, mengerti keadaan Dika membawanya ke panti asuhan. Pria itu menitipkan sang adik di sana serta memberikan alasan yang sejujur-jujurnya kepada ibu panti.

Bersyukurnya Dika karena Ayu telah diterima di panti membuat hatinya lega. Mungkin untuk saat ini sang adik jauh lebih aman berada di sana, sehingga keluarga bisa menjenguk setiap hari ataupun setiap bulan.

“Terima kasih, Ibu Panti. Terima kasih, Kak. Kalian sudah baik sama Ayu dan menerima Ayu meski kondisi Ayu seperti ini. Sekali lagi maafkan Ayu, Kak. Sampaikan maaf juga untuk Bapak dan Ibu di rumah. Bilang sama Mereka Ayu baik-baik saja di sini.”

Sang kakak mengangguk memeluk adiknya membuat ibu pantis tersenyum kecil. Baru kali ini ada keluarga yang begitu peduli, meskipun Ayu melakukan salah. Namun keluarganya selalu mendukung bukan malah menyalahkan atau menghakimi seperti warga di kampung.

Selesai urusan Ayu. Dika pergi kembali ke rumah untuk memberikan kabar ini kepada kedua orang tua yang pasti sangat mengkhawatirkan kondisi sang putri.

Ingin sekali Ayu menahan Dika, tetapi dia harus tetap harus kuat menjalani hukuman ini sebagai pertanggungjawaban atas ap yang sudah terjadi.

Kesalahan itu mungkin bukan sepenuhnya salah Ayu. Cuma dia juga harus bertanggung jawab demi menjaga serta membesarkan sang anak.

Jika Ayu tidak bisa menjadi anak yang baik untuk Sari juga Satyo. Setidaknya kelak dia bisa menjadi ibu terbaik bagi anak yang ada di dalam kandungannya.

*****

6 tahun telah berlalu. Ayu telah berhasil melahirkan seorang putra yang tampan dan pintar dengan usia 5 tahun dan diberi nama Raja Maheswara.

Anak itu tumbuh menjadi seorang pangeran kecil yang tangguh, cerdas, cerewet, juga ramah terhadap siapa pun.

Raja adalah obat dari segala sakit yang Ayu hadapi di masa lalu, hingga sekarang mereka telah memiliki kehidupan yang jauh lebih layak.

“Bunda, apa Ayah sudah kembali dari tugasnya? Bunda bilang Ayah akan segera kembali kalau sudah menjadi orang sukses. Kok, sampai sekarang Ayah belum juga menemui kita? Apa Ayah belum sukses?”

Pertanyaan itu selalu keluar dari mulut Raja yang sangat cerewet itu. Ya, walaupun sang anak berusaha 5 tahun, tetapi dia sudah pandai berbicara tanpa cadel sedikit pun.

Ayu bingung harus menjawab apa karena sudah kehabisan kata-kata untuk memberikan alasan yang dia sendiri tidak tahu jawabannya.

Rasanya lelah hati Ayu ketika terus menerus membohongi Raja demi menutupi statusnya. Hanya saja tidak ada cara lain karena dia sendiri pun masih mencari jawaban itu yang tidak tahu sampai kapan akan terjawab.

Seakan-akan takdir sedang bermain petak umpet karena sampai detik ini hidup mereka masih terus selimuti oleh masa lalu yang misteri.

*****

Bersambung.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!