Jam dinding masih menunjukkan pukul 6 pagi, tetapi Rani sudah harus bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Wajahnya yang lelah tampak semakin kusut ketika melihat suaminya, Budi, masih tertidur pulas di atas sofa. Kemeja dan celana kerjanya tercecer begitu saja di lantai, bekas malam sebelumnya setelah pulang kantor.
"Budi...Budi! Bangun! Sudah pagi, aku harus berangkat kerja!" teriak Rani membangunkan suaminya itu dengan kasar. Namun Budi hanya menggeliat sedikit lalu kembali mendengkur.
Rani menghela napas panjang. Sudah berapa bulan bahkan tahun keadaan rumah tangganya seperti ini? Dialah satu-satunya yang bekerja mencari nafkah sementara Budi hanya menghabiskan hari dengan bermalas-malasan tanpa pekerjaan.
Tangannya dengan cekatan merapikan meja makan untuk sarapan pagi ini. Sesungguhnya bukan hal baru baginya untuk mengurus semua keperluan rumah tangga seorang diri. Namun rasa lelah dan kekecewaannya kian memuncak hari demi hari melihat keadaan suaminya yang tak kunjung berubah.
"Sebagai seorang kepala keluarga, mengapa kau tidak malu hah?! Aku ini istrimu yang seharusnya diurus dan dinafkahi, bukannya aku yang mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari!" gerutu Rani kepada Budi yang masih pulas tertidur.
Rani menatap sedih suaminya itu sesaat. Bagaimana bisa kehidupan rumah tangganya menjadi tak seimbang seperti ini? Kesabarannya kian menipis menghadapi kelakuan Budi yang pemalas. Jika keadaan tetap seperti ini, akankah dia sanggup untuk bertahan? Berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya pagi itu.
Rani menyambar tas kerjanya lalu bergegas pergi meninggalkan Budi yang masih terlelap. Pikirannya kalut sepanjang perjalanan menuju kantor. Berbagai emosi bercampur aduk, antara marah, kecewa, sedih, bahkan rasa putus asa mulai menghinggapinya.
Sesampainya di kantor, Rani segera menenggelamkan diri dalam pekerjaannya yang menumpuk. Setidaknya untuk sementara, ia bisa melupakan masalah rumah tangganya. Namun bayangan akan Budi yang bermalas-malasan di rumah tetap terbayang, membuatnya menghela napas panjang berkali-kali.
"Rani, kau baik-baik saja? Aku lihat hari ini kau tampak lesu sekali," tegur Rahmi, rekan sekantornya yang juga merupakan sahabat dekatnya.
Rani tersenyum masam, "Ah, kau tahu sendiri bagaimana Budi itu, Rahmi. Dia..."
Rahmi mengangguk-angguk paham. Sudah bukan rahasia lagi baginya bahwa kehidupan rumah tangga sahabatnya itu sedang tidak baik-baik saja. Budi, suami Rani, memang dikenal sebagai seorang pemalas yang tak pernah mau bekerja dan sepenuhnya menggantungkan hidupnya pada Rani.
"Mungkin sudah waktunya kau memikirkan keputusan lain, Rani. Kau tidak bisa terus-menerus seperti ini, bebanmu terlalu berat," nasihat Rahmi sambil menepuk pundak sahabatnya itu dengan prihatin.
Rani terdiam. Kata-kata Rahmi ada benarnya juga. Namun di sisi lain, hatinya masih berharap agar Budi bisa berubah dan menyadari kesalahannya. Pernikahan mereka bahkan belum genap 5 tahun. Sanggupkah ia mengakhirinya secepat itu?
Siang itu, Rani pulang ke rumah dengan pikiran yang semakin kacau. Sesampainya di rumah, pemandangan yang sama kembali menyambutnya...
Sesampainya di rumah, pemandangan yang sama kembali menyambutnya. Budi masih bermalas-malasan di sofa, menonton acara televisi yang sama sekali tidak berguna. Kaleng-kaleng bir kosong berserakan di sekitarnya, pertanda ia menghabiskan waktu dengan minum-minum saja.
"Sampai kapan kau akan terus seperti ini, Bud? Lihat keadaan rumah kita, berantakan semua!" bentak Rani memecah keheningan.
Budi hanya menoleh sekilas ke arah Rani dengan wajah malas, "Ck, cerewet. Aku capek, biarkan aku istirahat sebentar."
Alasan klasik yang selalu digunakan Budi. Rani mendengus kesal, rahangnya mengeras menahan amarah. Baginya, sikap suaminya itu sudah keterlaluan. Bukannya membantu atau setidaknya mengurus diri sendiri, Budi malah semakin bertingkah seperti anak kecil yang manja.
"Istirahat? Istirahat dari apa?! Seharian kau hanya menghabiskan waktu dengan tidak berguna, lalu bilang capek dan istirahat? Omong kosong!" semprot Rani tepat di depan wajah Budi.
Budi tampak terkejut dengan amukan emosi Rani. "Hei, jangan membentakku seperti itu! Aku ini suamimu!"
"Suami apanya?! Kau bahkan tidak tahu cara menjadi kepala keluarga yang baik! Yang ada aku yang kepayahan bekerja dan mencari uang untuk kebutuhan hidup kita!"
Pertengkaran hebat tidak dapat dielakkan lagi. Rani dan Budi saling membentak dan melempar berbagai cemooh dan tuduhan satu sama lain. Situasi semakin memanas dan kepala Rani terasa semakin pening menghadapinya.
"Kalau kau memang tidak puas hidup bersamaku, mengapa tidak cerai saja?!" sembur Budi di tengah perdebatannya dengan Rani.
Kalimat itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong bagi Rani. Perceraian? Sungguh hal yang tidak pernah sebersit pun di pikirannya. Namun melihat keadaan rumah tangganya saat ini, tiba-tiba opsi itu terdengar sangat masuk akal...
Kata-kata "cerai" itu terus terngiang di telinga Rani. Ia terdiam untuk beberapa saat, mencoba mencerna keputusan besar apa yang harus diambilnya. Menatap wajah Budi yang sepertinya sama sekali tidak peduli pada hubungan mereka, membuat Rani semakin yakin.
"Baiklah kalau itu maumu! Aku muak dengan sikapmu yang seperti ini terus, Bud! Kita akhiri saja semuanya," ujar Rani final dengan nada tinggi.
Budi tampak terkejut mendengar jawaban Rani yang tegas itu. Sebagian dari dirinya mungkin tidak menyangka jika Rani benar-benar memutuskan untuk bercerai.
"T-tunggu dulu, Ran. Maksudku tadi tidak seperti itu. Aku hanya..." Budi tergagap, mencoba mencari alasan.
Namun Rani sama sekali tidak mau mendengar apapun lagi. Ia sudah terlanjur kecewa dengan sikap Budi selama ini. Mungkin perceraian adalah kata kuncinya agar Budi tersadar, atau jika tidak, maka Rani bisa memulai lembaran baru dalam hidupnya tanpa beban mengurus suami pemalas.
Tanpa ba-bi-bu lagi, Rani bergegas masuk ke kamar dan mulai menyiapkan koper dan membawa barang-barang pribadinya. Budi panik melihat tingkah Rani.
"Ran, apa yang kau lakukan? Jangan bertindak gegabah begitu!" Budi mencoba menarik lengan Rani.
Dengan kasar Rani menepisnya, "Jangan sentuh aku! Aku muak denganmu, Bud! Kemasi barang-barangmu, aku akan pindah dari rumah ini!"
Rani meraih kopernya lalu membanting pintu keras-keras ketika melangkah pergi meninggalkan rumah itu. Budi hanya bisa termangu di tempatnya berdiri, tidak menyangka jika keputusannya untuk hidup sebagai pemalas telah menghancurkan rumah tangganya.
Rani melangkah gontai memasuki apartemen kecil yang kini menjadi rumah barunya setelah memutuskan untuk pindah dari rumah yang dihuninya bersama Budi. Ia menjatuhkan diri di atas sofa usang dan menghela napas panjang. Berbagai perasaan berkecamuk, antara lega, sedih, marah, hingga was-was akan masa depannya.
Berpisah dari Budi mungkin merupakan keputusan pahit yang harus ditempuhnya. Namun di sisi lain, Rani merasa bebas dari beban berat yang selama ini dipikulnya selama berumah tangga. Dialah satu-satunya tulang punggung keluarga yang mencari nafkah sementara suaminya tidak melakukan apa-apa.
Beruntung Rani memiliki pekerjaan tetap sebagai seorang pegawai kantoran di sebuah perusahaan. Penghasilannya memang tidak seberapa, namun setidaknya cukup untuk membiayai kehidupannya sendiri tanpa perlu bergantung pada siapapun.
Keesokan harinya, Rani kembali disibukkan dengan pekerjaannya di kantor. Namun konsentrasinya sedikit terganggu mengingat peristiwa beberapa hari yang lalu ketika ia memutuskan untuk pindah dari rumah. Rahmi yang melihat sahabatnya kembali murung, mengajaknya makan siang bersama.
"Ceritakan padaku, Ran. Apa yang sebenarnya terjadi? Kau baik-baik saja?" tanya Rahmi cemas.
Rani menghela napas panjang sebelum bercerita, "Aku sudah pindah dari rumah, Rahmi. Meninggalkan Budi seorang diri di sana."
Rahmi membelalakkan matanya, "Maksudmu...kalian...bercerai?"
"Entahlah, yang jelas untuk saat ini aku memutuskan untuk berpisah dulu dengannya. Aku sudah terlalu lelah jadi tulang punggung keluarga sendirian," tutur Rani dengan nada getir.
Rahmi mengangguk paham, ia bisa membayangkan bagaimana beratnya beban yang selama ini dipikul sahabatnya itu. Hanya dengan gaji kecil dari pegawai kantoran, Rani harus mengurus segalanya mulai dari biaya hidup, kebutuhan rumah tangga, hingga keperluan Budi sehari-hari.
"Tapi Ran, apakah tidak terlalu terburu-buru? Maksudku, kau dan Budi masih bisa mencoba untuk menyelesaikannya baik-baik dulu kan?"
Rani menggeleng pelan, "Aku sudah terlanjur kecewa, Rahmi. Banyak sekali kesempatan yang kuberi pada Budi tapi dia tetap tidak mau berubah. Meninggalkannya dan fokus pada diriku sendiri dulu sepertinya jalan terbaik."
Sepanjang sisa hari itu, Rani bekerja dengan pikiran yang sedikit kalut. Ada sebersit rasa khawatir dan was-was dalam dirinya. Bagaimana dengan Budi di rumah? Apakah dia akan baik-baik saja dengan keputusan sepihak Rani? Namun di sisi lain, Rani juga merasa lega bisa bebas dari beban berat mengurus kebutuhan suami yang tidak bertanggung jawab.
Kehidupan barunya sebagai orang lajang pun dimulai. Saat pulang kerja nanti, ia tidak perlu lagi mengurus keperluan rumah tangga dan memikirkan kebutuhan Budi. Semua yang dihasilkannya dari bekerja bisa digunakan untuk dirinya sendiri saja mulai sekarang. Rani mencoba untuk berpikir positif dengan situasi barunya, berharap keputusan untuk berpisah sementara dari Budi baik untuk mereka berdua.
Rani mulai terbiasa dengan kehidupan barunya sebagai orang lajang. Setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor, ia bisa langsung pulang ke apartemen kecilnya tanpa harus memikirkan keadaan rumah atau keperluan Budi. Waktu luangnya ia habiskan dengan menonton TV, membaca buku, atau sekedar berkumpul bersama Rahmi dan teman-teman kantornya yang lain.
Meski berusaha terlihat riang dan menikmati kebebasannya, sebenarnya ada sedikit rasa hampa yang menyelinap dalam hati Rani. Sudah bertahun-tahun hidupnya dihabiskan untuk mengurus keperluan rumah tangga dan mencukupi kebutuhan Budi. Kini ketika semua itu sudah tidak ada lagi, ia merasa seperti kehilangan pegangan dan arah.
"Aku masih sering memikirkan keadaan Budi di rumah. Bodoh sekali ya aku ini," gumam Rani suatu malam kepada Rahmi saat mereka sedang makan malam bersama.
Rahmi menanggapinya dengan bijak, "Wajar saja, Ran. Kalian sudah menikah dan hidup bersama cukup lama. Meski dia seorang suami yang tidak bertanggung jawab, kau pasti masih menyayanginya kan?"
Rani mengangguk pelan. Memang benar kata Rahmi, meski kerap kecewa dengan sikap Budi, rasa sayangnya sebagai seorang istri masih ada. Terkadang ia jadi merasa bersalah meninggalkan Budi sendirian di rumah mereka dulu. Bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia baik-baik saja?
"Aku sebenarnya ingin melihat keadaannya, Rahmi. Tapi di sisi lain aku takut kalau keputusanku untuk pergi darinya yang sudah bulat ini akan goyah," aku Rani.
"Tenanglah, aku yakin Budi akan baik-baik saja meski tanpamu untuk sementara waktu. Justru dengan keputusanmu meninggalkannya, mungkin dia akan tersadar betapa berharganya dirimu selama ini," Rahmi berusaha menenangkan sahabatnya itu.
Rani menghela napas panjang. Dalam hatinya, ia berharap kata-kata Rahmi benar adanya. Semoga dengan berpisah sementara dari Budi, ia bisa mendapatkan jalan keluar yang baik bagi rumah tangganya yang serba tidak seimbang selama ini. Atau jika tidak, setidaknya Rani bisa memulai hidup barunya tanpa terbebani lagi dengan statusnya sebagai tulang punggung keluarga.
Malam itu, Rani berbaring di ranjang apartemennya yang sempit. Pikirannya melayang, teringat masa-masa awal pernikahannya dengan Budi yang begitu membahagiakan. Betapa cinta mereka begitu besar hingga memutuskan untuk mengikat janji suci. Namun entah mengapa dalam waktu singkat, semuanya berubah. Budi yang dulu begitu memujanya, kini berubah menjadi sosok pemalas yang tak acuh.
"Andai saja kau mau berubah, Bud. Aku sangat mencintaimu," gumam Rani seperti berbisik pada angin malam. Tak lama, air matanya menetes satu per satu di atas bantal. Beginilah mengawali hari-harinya sebagai tulang punggung kehidupan pribadinya yang baru seorang diri. Penuh tanda tanya dan kerisauan, meski di balik itu tersimpan harapan bahwa ia akan mendapatkan kebahagiaannya kembali, entah itu bersama Budi atau tidak.
Minggu demi minggu berlalu, dan kehidupan Rani sebagai wanita lajang perlahan mulai terasa membosankan. Ia yang dulu selalu disibukkan dengan pekerjaan dan mengurus keperluan rumah tangga, mendadak memiliki banyak waktu luang yang terasa hampa.
Sesekali pikiran tentang Budi masih menghampirinya. Bagaimana keadaan mantan suaminya itu sekarang? Apakah Budi telah menyadari kesalahannya selama ini? Atau justru semakin terpuruk dengan kepergian Rani yang biasanya mengurus segalanya untuknya?
Di sisi lain, beban berat yang selama ini dipikulnya sebagai tulang punggung keluarga memang telah lenyap. Rani tidak perlu lagi memeras keringat dan tenaganya untuk membiayai hidup Budi yang pemalas. Semua penghasilannya bisa digunakan untuk kebutuhannya sendiri.
"Lihat, wajahmu tampak lebih segar sekarang, Ran," puji Rahmi suatu hari di kantor.
Rani tersenyum kecil, "Tentu saja, bebanku berkurang dengan tidak adanya Budi yang harus aku urusi."
"Aku tahu ini berat bagimu. Tapi kuharap kau juga mulai membuka hati untuk kemungkinan lain ke depannya. Hidup masih panjang, siapa tahu nanti kau akan mendapat kebahagiaan yang lebih dibanding dengan Budi," Rahmi menepuk pundak sahabatnya itu.
Perkataan Rahmi ada benarnya juga. Dengan berpisah dari Budi dan menjalani kehidupan lajang, Rani bisa lebih fokus untuk mengembangkan diri dan karirnya. Selama ini, sebagian besar tenaga dan pikirannya selalu terkuras untuk mengurus kebutuhan rumah tangga.
Kini, dengan hanya perlu memikirkan dirinya sendiri, Rani bisa meluangkan lebih banyak waktu untuk mengejar cita-citanya yang tertunda. Membaca buku, mengikuti kursus, atau bahkan memikirkan untuk membuka usaha sendiri kelak. Semua terasa lebih mungkin dicapai dibandingkan jika ia masih terbebani dengan statusnya sebagai tulang punggung keluarga dulu.
Meski di lubuk hatinya masih tersimpan rasa yang mendalam untuk Budi, Rani mencoba untuk berlapang dada dan membuka lembaran baru. Memulai kehidupan barunya sebagai wanita mandiri, bebas dari beban mengurus suami pemalas yang tidak bertanggung jawab.
Langkahnya terasa lebih ringan kala berjalan di trotoar menuju kantor di pagi hari. Rani tersenyum kecil, membayangkan segala kemungkinan dan potensi yang terbuka luas di depannya jika ia bisa menjalani hidup dengan benar dan fokus pada diri sendiri saja. Ya, untuk saat ini biarkan ia menikmati statusnya yang tidak lagi sebagai tulang punggung keluarga.
Sementara Rani memulai lembaran baru dalam kehidupannya, Budi pun menghadapi realita yang tak kalah pahitnya. Kepergian sang istri dari rumah mereka bagaikan tamparan keras bagi pria pemalas itu untuk menyadari kekeliruannya selama ini.
Hari-hari pertama tanpa Rani, Budi masih bergeming dengan aktivitas sehari-harinya yang tak berguna - tidur, menonton TV, minum-minum bersama teman-teman rantauan nya. Rumah yang biasanya rapi dan hangat kini berubah menjadi berantakan seperti kapal pecah.
"Mana istrimu, Bud? Tumben nih rumahmu kayak kapal karam begini," celetuk Joko, salah satu teman seperantauan nya yang hobi nongkrong di rumah.
Budi hanya mengedikkan bahu, "Pergi. Dia pergi ninggalin aku," sahutnya datar sembari menyambar kaleng bir dari meja.
Teman-temannya yang lain tertawa mengejek, "Wah, istrimu kabur ya gara-gara kamu pemalas begini? Jangan heran lah!"
Budi menampik dengan kesal, "Berisik kalian! Ini rumah tanggaku sendiri, aku mau berbuat apa terserah!"
Candaan dan ejekan teman-temannya itu sebenarnya menusuk hati Budi. Ucapan mereka benar adanya, Rani pergi meninggalkannya karena sikap pemalas dan tidak bertanggung jawabnya selama ini. Namun rasa malu dan gengsi membuatnya tetap bersikeras berpura-pura cuek tak acuh.
Berhari-hari hidup sendirian di rumah tanpa ada yang mengurusi kebutuhannya, membuat Budi tersadar betapa selama ini Rani-lah yang selalu menopang kehidupannya. Sang istri mencurahkan segenap tenaga untuk bekerja dan mengatur keuangan agar kebutuhan mereka tetap tercukupi.
Dan apa yang dilakukan Budi selama ini? Dengan sebutan kepala keluarga yang disandangnya, pria itu justru memilih untuk berpangku tangan dan bermalas-malasan seharian. Tidak heran jika akhirnya Rani memutuskan untuk pergi karena sudah terlalu lelah menghadapi kelakuannya.
"Bodoh...aku ini bodoh sekali! Kenapa dulu aku seperti tidak menghargai Rani ya?" gumam Budi seorang diri di rumahnya yang lengang.
Penyesalan yang terasa terlambat mulai merayapi benak Budi. Kepergian Rani meninggalkannya di tengah kerapuhannya sebagai laki-laki pemalas ini telah membuka matanya akan arti keberadaan seorang istri. Betapa Rani selalu berjuang seorang diri untuk mencukupi semua kebutuhannya selama ini.
Mengingat hal itu membuat Budi merasa malu pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia sebagai suami dan kepala keluarga malah bersikap bak pecundang dengan menggantungkan seluruh hidupnya pada Rani? Seharusnya dialah yang bertanggung jawab untuk menghidupi istri dan keluarga mereka. Tapi apa yang dilakukannya selama ini? Tak lebih hanya menghabiskan waktu dengan privat tidur, menonton TV, dan beramah-tamah dengan teman-teman yang malah menjerumuskannya dalam kemalasan.
"Tidak bisa begini terus... Harus ada yang berubah!" gumam Budi dengan nada frustasi. Perlahan tapi pasti, ia mulai merasakan penyesalan yang teramat dalam atas kelalaiannya memperlakukan Rani dengan buruk selama ini. Meremehkan jerih payah sang istri mencari nafkah demi mencukupi kebutuhan keluarga.
Beberapa hari setelah kepergian Rani, Budi mulai merasa kehidupannya berantakan. Rumah yang dulu selalu rapi dan terawat kini berubah menjadi tempat yang semrawut. Tumpukan piring kotor, pakaian yang berserakan di mana-mana, bahkan nyamuk beterbangan karena sampah yang menumpuk.
"Ugh, apaan nih? Jorok banget!" keluh Budi ketika melihat keadaan rumahnya yang memprihatinkan.
Baru kali ini Budi benar-benar menyadari betapa pentingnya peran Rani selama ini dalam mengurus rumah tangga mereka. Selama ini, memang Rani lah yang bertanggung jawab atas semua pekerjaan domestik seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan sebagainya. Sementara Budi hanya bermalas-malasan tanpa mau membantu sedikitpun.
Kenyataan ini sangat menohok Budi. Bagaimana bisa selama ini ia membiarkan istrinya memikul beban seberat itu seorang diri? Di satu sisi Rani harus bekerja keras mencari nafkah untuk keluarga mereka, di sisi lain dia juga mengurus semua kebutuhan rumah tangga.
Penyesalan kian membuncah di dada Budi mengingat betapa tak berbentuknya dia sebagai seorang suami dan kepala keluarga. Rani rela mengorbankan segalanya, bahkan menahan seluruh beban mengurus kehidupan mereka hanya untuk Budi. Tetapi apa yang dilakukan Budi? Tidak ada, kecuali menghabiskan waktu dengan bersantai dan bermalam-malasan.
"Rani... Maafkan aku..." gumam Budi lirih.
Untuk pertama kalinya, hati nuraninya benar-benar tersadar atas kesalahan yang selama ini diperbuatnya. Betapa selama ini ia layaknya seorang pecundang yang menjadi beban bagi Rani. Bukan layaknya kepala keluarga yang seharusnya bertanggung jawab mengayomi istri dan keluarganya.
Hampir setiap malam, Budi merasa sangat merindukan kehadiran Rani. Teringat bagaimana wanita itu selalu setia menyediakannya makan malam, mengingatkannya untuk tidak kemalaman begadang, menyiapkan pakaian kerjanya keesokan hari, dan semua hal kecil lainnya yang tak pernah Budi sadari betapa sulitnya mengurus kebutuhan rumah tangga sendirian.
Bulir-bulir air mata meleleh di pipinya yang mulai berkerut. Budi menangis dalam kepedihannya merutuki nasib yang membuatnya menjadi pria yang tak berguna ini.
"Aku berjanji, Ran... Aku akan berubah dan bertanggung jawab seperti yang kau inginkan selama ini," tekadnya dalam hati.
Satu demi satu, ia mulai membereskan rumah mereka. Menyapu, mengepel, mencuci piring dan pakaian kotor. Berhari-hari rumah itu menjadi kacau karena ditinggalkan Rani sebagai tulang punggungnya. Dan kini, Budi bertekad untuk mengambil alih tanggung jawab mengurus semua kebutuhan rumah tangganya sebagai langkah awal untuk menebus kesalahannya di masa lalu.
Perjalanan Budi untuk berubah menjadi seseorang yang lebih baik dan bertanggung jawab pun telah dimulai. Ia tahu ini tidak akan mudah, tetapi demi mengembalikan kepercayaan dan kebahagiaan Rani suatu saat nanti, Budi rela melakukan apa pun untuk memperbaiki diri. Termasuk melepas predikat "Budi sang Pemalas" yang selama ini disandangnya dengan memalukan.
Setelah berhasil membereskan dan membersihkan rumah yang sempat porak-poranda, Budi memutuskan untuk melangkah lebih jauh dalam usahanya memperbaiki diri. Ia sadar, tidak akan cukup hanya dengan mengurus keperluan rumah tangga saja. Sebagai seorang kepala keluarga yang sesungguhnya, ia harus bisa mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya kelak.
Mengingat pengalaman kerja yang hampir tidak ada, membuat Budi merasa was-was untuk mencari pekerjaan. Berkali-kali CV dan lamarannya ditolak dari berbagai perusahaan yang dia datangi. Siapa yang mau mempekerjakan seorang pria pemalas dan tak berpengatahuan sepertinya?
"Maaf, Pak. Tapi dengan latar belakang seperti ini, kami belum bisa menerima Bapak bekerja di perusahaan kami," ujar seorang HRD perusahaan pada Budi.
Penolakan itu memukul mentalnya. Budi kembali diingatkan bagaimana ia selama ini hanyalah seorang pemalas yang tidak memiliki keahlian apapun. Lagi-lagi ia merasa malu pada dirinya sendiri yang selalu bergantung pada Rani.
"Rani... Kumohon beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya," gumam Budi berulang kali seperti sebuah mantra pengingat.
Tekadnya untuk berubah bulat sudah tidak tergoyahkan. Budi rela melakukan pekerjaan apa saja yang bisa menghasilkan uang. Mulai dari menjadi buruh bangunan, kuli angkut barang, petugas keamanan toko, atau pekerjaan serabutan lain yang bisa didapatnya.
Meski hasil yang didapat tidak seberapa, setidaknya sudah lebih baik dibandingkan masa-masa pemalas dirinya dulu. Keringat yang bercucuran di wajah dan tubuhnya terasa jauh lebih mulia ketimbang masa-masa penganggurannya dulu. Budi seperti menemukan kembali harga diri dan kebahagiaannya sebagai seorang pria pekerja keras pencari nafkah.
"Lihat, Ran? Sekarang aku sudah berusaha berubah, melakukan yang terbaik," gumam Budi sambil menatap sebuah pigura foto pernikahannya dengan Rani yang terpajang di dinding rumah.
Tentu, upah rendahan yang diperolehnya belum cukup untuk mencukupi kehidupan layak mereka berdua jika Rani kembali padanya nanti. Namun ini baru sebagai permulaan. Budi bertekad untuk terus mengasah diri, menambah keahlian dan pengalaman agar bisa mendapatkan pekerjaan dengan bayaran yang lebih baik suatu hari nanti.
Perjuangannya untuk menghapus stigma "Budi sang Pemalas" masih panjang. Tetapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Budi bisa bangga akan dirinya sendiri yang mulai menunjukkan usaha nyata untuk berbenah. Semua ini dilakukannya untuk menebus kesalahannya di masa lalu dan berusaha mendapatkan kepercayaan Rani kembali. Dengan tekad yang membara, Budi siap mengubah nasibnya menjadi seorang pria sejati yang bertanggung jawab.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!