“Rapat selesai.” Ujar sosok laki-laki. Dengan paras menawan hampir dikatakan sosok mendekati kata sempurna, dengan sikap dinginnya.
Beberapa orang yang berada diruangan itu mengangguk bersama.
“Baik pak!” Ucap mereka.
Yang dipanggil dengan sebutan “Pak” hanya diam, bangkit dari kursi. Lalu berjalan keluar diikuti sekertarisnya, meninggalkan ruangan yang terasa mencekam bagi beberapa orang yang masih diam didalam ruangan itu.
Berjalan dengan wibawa, kedua tangannya berada di sakunya. Berjalan melewati beberapa ruangan, hanya diam dan tetap berjalan saat seseorang menyapanya dengan menundukkan kepala sedikit.
“Selanjutnya?” Tanyanya. Membuka pintu yang didepannya terdapat tulisan dengan “Ruangan CEO” berjalan perlahan ke sofa yang ada diruangan itu, lalu duduk.
“Bapak dijadwalakan akan bertemu dengan direktur perusahaan Nelson setelah makan siang nanti pak.” Jawab sekertarisnya.
“Hm.” Dehemnya dengan singkat. “Tidak ada lagi setelah itu?” Lanjutnya.
“Tida ada pak.” Jawabnya lagi. Sudah sangat terbiasa dengan sikap cuek atasannya ini.
Hanya mengangguk. “Keluarlah.” Katanya.
“Baik pak, saya permisi.” Jawab sekertaris itu. Menundukkan kepalanya, lalu meninggalkan ruangan yang dingin itu.
Setelah pintu ruangnnya tertutup rapat, dia melonggarkan sedikit dasinya. Melepaskan jas hitam dikenakannya, memijit pangkal hidungnya.
Berjalan kemeja besar, dimana terdapat papan nama bertuliskan “Darren Andreas / CEO DA”. Ya dia Darren Andreas.
***
Di sekolah ternama di Jakarta. Terlihat seorang gadis dengan seragam sekolah yang menutupi lekukan tubuhnya, serta hijab yang senantiasa menutupi mahkotanya. Berjalan dengan setumpuk buku paket ditangan kecilnya.
“Astaghfirullah, berat banget bukunya.” Keluhnya. Berjalan dengan bibir yang tak berhenti mengoceh, tujuannya adalah perpustakaan sekolah.
Setelah sampai diperpustakaan, gadis itu langsung menuju rak dimana buku paket itu akan dikembalikan. Menyusunnya dengan rapi.
“Alhamdulillah, selesai juga.” Ujarnya. Menatap sekitar yang sepi, mungkin karena ini jam pelajaran. “Kok serem ya.”
Gadis itu buru-buru meninggalkan perpustakaan, dia memang penakut.
“Loh Zia.” Panggil seorang dari arah belakang.
Yang dipanggil langsung meoleh, mendapati guru yang bertugas menjaga perpustakaan ini.
“Eh ibu.” Berjalan mendekat pada guru perempuan itu. “Assalamu’alaikum bu.” Lanjutnya. Mencium punggung tangan guru itu.
Guru perempuan itu tersenyum. “Wa’alaikum salam nak, mau pinjam buku lagi?” Tanya guru itu. Sudah tau kebiasaan siswi cantik ini.
Zia. Zia Putri Nelson, hanya tersenyum. “Tidak bu, saya cuman mengembalikan buku paket.” Jawabnya.
“Begitu ya.”
“Iya bu, kalau begitu saya permisi dulu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Setelah keluar dari perpustakaan. Zia kembali kekelas dimana letak kelasnya ada dilantai dua, kelas XII IPS 1.
Sekolah ini mendidik anak-anak dari kalangan atas saja. Salah satu sekolah termahal dijakarta Hing School, jika kamu bisa masuk kesekolah ini dengan jalur beasiswa. Selamat hidup mu tak akan pernah tenang selama kau disekolah ini.
Beberpa siswa sangat menyukai merundung anak-anak yang lemah, termasuk dari kalangan siswa anak beasiswa.
Sekolah ini tidak mewajibkan memakai hijab seperti Zia, malah kebanyakan siswinya tidak memakai hijab sekalipun mereka tahu itu kewajiban bagi seorang wanita muslim. Sama halnya dengan kedua teman Zia, yang tidak memakai hijab.
“Kantin yuk, gue udah lapar banget.” Celetuk salah satu teman Zia. Dia Noni, anak pengusaha tambang batu bara.
“He Nonim! Lo mau dijemur pak Santoso? Gue sih ngak mau ya.” Timpal gadis berambut panjang. Dia Cantika, anak pengusaha kuliner terkenal di Indonesia.
“Sabar, sebentar lagi juga bel istirahat.” Ujar Zia. Terkadang menjadi penengah kedua sahabatnya.
Noni kebetulan duduk sebangku dengan Zia, memeluk lengan Zia. “Tapi gue laper Zia.”
Tuk
“Lo jelek masang muka gitu.” Lagi. Itu Cantika.
“Hutsss, ngak boleh gitu.”
“Lo belain nih bocah Zia?”
“Iri bilang neng.”
“Aku ngak belain siapapun.”
“Noh, mampus!”
“Ihh! Zia mah jahat.”
“Idih, makin jadi nih bocah.”
“Gue bukan bocah ya, enak aja.”
“Lo…,”
“Diam! Tuh udah bel, ayok.”
***
Di perusahaan besar, di pusat kota Jakarta. Diruangan seorang Ceo terlihat sibuk dengan berkas yang menumpuk dimeja kerjanya. Melipat lengan kemeja putihnya sampai disikunya, memakai kacamata yang sangat pas di hidung mancung
Jika dilihat sangatlah keren. Namun, sayang dia sangat cuek dan dingin. Tak ada yang tau dia menyukai lawan jenisnya atau malah sebaliknya.
Tok, tok, tok…,
“Masuk.” Kata Darren. Matanya fokus pada kertas-kertas diatas meja kerjanya, tanpa mau menatap si pengetuk pintu itu. Dia tau siapa itu.
“Permisi pak.”
“Ya?”
Itu sekertarisnya. Nando, yang sudah bekerja dengannya selama 5 tahun. Bagi Nando, bosnya inilah yang memberinya kehidupan. Disaat dia putus asa mencari pekerjaan, sampai dimana Darren datang dan menawarinya bekerja diperusahaan dengan jabatan sebagai sekertaris pribadinya.
“Maaf pak, ini adalah waktu untuk meeting sekaligus makan siang bersama Direktur Nelson.” Jelas Nando. Baru saja sekertaris perusahaan Nelson menghubunginya.
Darren tetap menatap pada kertas-kertas didepannya.
“Waktu?” Tanyanya.
“Sepuluh menit lagi pak.” Jawab Nando.
“Tunggu diluar.” Ujar Darren. Menatap sekilas Nando.
Nando mengangguk. “Baik pak, saya permisi.”
Darren melepaskan kacamatanya, membereskan semua berkas yang berantakan diatas mejanya. Merapikan kemeja yang sedikit sudah kusut, memakai jas hitamnya. Mengambil handphonenya, lalu berjalan keluar.
Clekkk…,
Ternyata Nando sudah siap, hanya menatap sekilas. Lalu, kembali berjalan diikuti Nando dibelakangnya.
Memasuki lift untuk sampai di lobi, selang beberapa detik. Darren dan Nando berjalan keluar dari lift, banyak karyawan yang menyapa Darren namun dia tetap berjalan dengan wajah datar khas miliknya.
Didepan perusahaan AD. Adalah Resturants yang terkenal dengan hidangan yang lezat, tempat biasa yang sering dikatakan Nando untuk bertemu dengan beberapa Klien. Hanya perlu menyebrang jalan saja.
Suasana resturants ini begitu ramai, karena ini adalah jam istirahat dimana para pekerja kantoran memanfaatkan waktu mereka untuk makan siang.
Darren menatap sekitarnya, ramai. Dia tidak menyukai situsi ini.
“Pak, sebelah sini pak. Mereka sudah menunggu bapak.” Ujar Nando. Menunjuk salah satu meja paling pojok, dimana dua sosok laki-laki menunggu mereka.
Darren mengikuti Nando, membawanya kesalah satu meja. Sedangkan yang menunggu berdiri saat melihat yang ditunggu sudah ada.
“Selamat siang pak Darren.” Sapa Klien itu dengan ramah. Menjabat tangan Darren dengan ramah.
Menerima uluran tangan pria yang sudah berkepala lima itu, tapi tak bisa dikatakan tua. Karena, wajahnyanya yang tak terlihat keriput.
“Siang.” Singkat. Padat dan jelas.
“Silahkan duduk pak.” Kata pria tua itu. Sudah biasa dengan sikap pemuda didepannya ini.
Setelah mereka duduk bersama dalam satu meja.
“Mau pesan dulu atau langsung saja pak Darren?” Tanya pria tua itu.
Darren menatap Nando, kemudian menatap pria tua itu. “Langsung saja.” Jawab Darren. Dia ingin segera pergi dari sini.
“Baiklah.” Ujar pria tua itu.
Dan mereka mulai membahas tentang kerja sama perusahaan.
***
“Alhamdulilah! Gue kenyang banget.” Ujar Noni. Mengusap pelan perutnya, hanya dengan semangkuk bakso.
“Lo badan kecil, tapi porsi makan lo banyak.” Ucap Cantika.
Memang benar, badan Noni ini kecil. Tapi, jangan ditanya soal porsi makannya. Jika ditanya tidak takut gendut, dia malah menjawab. “Ya ngak papa. Yang penting perut gue yang gede, bukan guenya. Hahah!” Katanya.
Zia hanya tersenyum, menatap Cantika yang masih makan.
“Lo belum habis lagi?”
Cantika terkekeh bodo. “Heheh, belum.” Jawabnya. “Dikit lagi.” Lanjutnya.
“Gue tuh sabar banget ya, tuhan ngasih gue teman yang kalau makan lama banget.” Timpal Noni. Bagi dia dan Zia,
ini hal biasa. Sebab, mereka sudah berteman dari anak-anak. Sudah tau sifat masing-masing.
“Sawbwr dong.” Jawab Cantika. Ucapannya tidak jelas, karena menguyah makanan.
Zia mengeleng. “Telan dulu baru ngomong Cantika, nanti kamu kesedek.” Tegur Zia.
Cantika tersenyum lagu mengangguk saja, menghabiskan makanannya yang tinggal sedikit.
“Udah?” Tanya Noni. Melihat Cantika yang minum.
Menyimpan botol minum yang sering dia bawa kesekolah.
“Dah, yok balik kelas. Disini panas.”
Zia dan Noni mengangguk, kemudian bangkit dari tempat mereka duduk. Berjalan keluar dari kantin, melewati lorong sekolah yang dipadati siswa lalu lalang.
“Itu Anhar ngak sih?” Tunjuk Noni. Menatap sosok laki-laki yang berpenampilan urakan berjalan kearah mereka.
Sontak Zia dan Cantika mengikuti arah tatapan Noni, benar saja dari arah arah lapangan ada Anhar, kapten basket sekolah ini yang menyukai Zia.
Zia sontak menatap kearah lain, kedua temannya sontak berdiri didepan Zia. Ini bukan yang pertama kalinya, hampir tiap hari Anhar selalu menemui Zia.
“Zia.” Suara bas milik Anhar memenuhi pendengaran Zia.
Anhar begitu menyukai Zia, mengejarnya hampir setahun ini. dan hasilnya masih tetap sama, menerima penolakan dari gadis pujaannya.
“Lo ngapain deket banget? Mundur dikit.” Ujar Noni. Merasa risih dengan Anhar yang terlalu dekat dengan mereka.
Anhar memutar mata jengah, tapi tetap melakukan ucapan Noni.
“Zia, lo benaran ngak mau nerima gue?” Pertanyaan yang sering Anhar berikan untuk Zia.
Zia menunduk, memainkan jari-jari mungilnya. “Maaf Anhar, jawaban aku ngak pernah berubah.” Jawab Zia.
“Ngak papa. Gue, bakal nunggu lo. Sampai hati lo buat gue.” Kata Anhar. Sangat percaya diri.
“Banyak yang mau sama kamu Anhar, cari perempuan lain ajah.” Ujar Zia.
“Gue ngak mau! Gue suka lo, dan selamanya akan tetap begitu.” Jawab Anhar tegas. Katakana dia gila, mengejar gadis yang sudah pasti tak mau berpacaran karena agama sudah jelas melarang. Namun, inilah cinta.
Noni dan Cantika geram.
“Lo tuh masih ngak paham ya? Zia udah nolak lo berkali-kali, harusnya lo sadar kalau Zia emang ngak suka lo!” Celetuk Cantika.
Noni ikut mengangguk. “Lo pasti udah tau alasan Zia nolak lo. Makin lo kejar dia makin dia ngak suka ke lo.” Lanjut Noni. Apa yang dikatakannya memang benar. Zia risih dengan Anhar yang selalu mendekatinya.
“Gue ngak peduli.” Jawab Anhar. Menatap dingin kearah Zia yan menunduk dengan dalam.
Noni yang melihat tatapan Anhar tertujuh pada Zia, dengan cepat menarik pergelangan Zia. Lalu membawanya segera pergi dari hadapan Anhar, meninggalkan Anhar yang masih diam.
“Gue pasti bakal dapatin lo, dengan cara apapun.” Ujar lirih Anhar. “Tunggu ajah sayang.” Lanjutnya.
Di kelas XII IPS 1.
“Emang batu banget sih Anhar, udah jelas ditolak. Malah tetap dilanjutin.” Kata Cantika. Duduk di bangkunya, menghadap kebelakang dimana bangku Zia.
Zia hanya tersenyum, dirinya juga heran. Hanya pertemuan singkat, bisa membuat Anhar seperti itu.
“Lo kalau ketemu Anhar lagi, terus kita ngak bareng lo. Lari ajah, ngak usah ladeni dia.” Ucap Noni. Duduk di bangku sebelah Zia.
Cantika ikut mengangguk. “Benar. Lo lari ajah, kalau Anhar macem-macem. Keluarin kekuatan silat lo.” Lanjut Cantika.
Zia mengangguk patuh. “Siap! Lagian Anhar mana mungkin macem-macem.”
“Eitss. Lo ngak tau dia saat dalam mode malam Zia, jadi lo harus hati-hati.” Ucap Noni. Sangat tau dunia Anhar seperti bagaimana.
RINTIK HUJAN
Di kediaman Andreas. Mansion dengan gaya eropa, terlihat di meja makan keluarga yang beranggotakan tiga orang, makan dengan diam. Hanya dentingan sendok saja yang terdengar.
Kham
“Darren, jika sudah selesai. Temui ayah diruang kerja.” Laki-laki dengan gelar kepala keluarga itu. Meninggalkan meja makan, berlalu pergi.
Darren hanya diam, sikap cuek dan dingin ini. tidak hanya diluar, dalam keluarganya Darren tetaplah sosok cuek dan dingin.
“Sudah selesai makannya?” Tanya perempuan cantik. Duduk di kursi seberangnya, dengan senyum cantiknya.
Darren mengangguk. “Hm.” Jawabnya.
Wanita itu tersenyum lagi, sudah sangat biasa menghadapi sikap putra satu-satunya ini.
“Yaudah, temui ayah mu. Bunda mau bereskan ini dulu.” Katanya.
Darren mengangguk lagi, meninggalkan meja makan. Berjalan pelan keruang kerja ayahnya yang bereda dekat ruang kelurga.
Tok
Tok
Tok
“Masuklah nak.”
Clekkk
Darren bisa melihat ayahnya yang duduk disofa single dengan buku tebal ditangannya.
“Duduklah.” Kata ayahnya. Darren duduk di sofa dekat ayahnya.
“Ada apa?” Tanya Darren. Menatap ayahnyanya yang juga menatap dirinya.
Aronald Andreas atau Aron. Ayah dari Darren tersenyum tipis menatap Darren. “Sudah ada calon?” Tanya pelan Aron.
Darren tentu tau maksud ayahnya, jika sudah dipanggil untuk pulang. Hanya ada dua, membahas calon menantu mereka atau pekerjaan.
“Tidak ada yang lain?” Tanya balik.
Aron tersenyum. “Nak. Berhenti terjebak di masa lalu mu, ini sudah lima tahun berlalu.” Ujar Aron. Sangat paham dengan putranya.
Darren menatap ayahnya. “Dia pasti kembali.” Hanya itu yang dikatakan Darren.
Aron menggeleng sekilas. “Ya terserah lah pada mu nak.” Ujar Aron. “Ayah sudah memilih calon untuk mu, besok malam kita akan makan malam bersama dengan keluarga calon mu.” Lanjutnya.
Darren menatap tajam ayahnya. “Tidak akan terjadi ayah.”
“Ayah tidak menerima penolakan!”
“Ayah! Darren bisa mencari, tidak usah dijodohkan seperti ini!”
“Kapan? Kau selalu mengatakan itu pada ayah dan ibumu, sampai sekarang pun kau belum memperkenalkannya pada kami.”
“Ayah!”
“Ayah tidak menerima penolakan nak, jika kau berani menolak.”
Aron menjada kalimatnya.
“Ayah menarik semua fasilitas mu!”
Darren kalah.
“Datang besok malam kerumah, jangan terlambat.” Lanjut Aron. Senang karena menang dari putranya.
“Baiklah.” Jawab Darren. Jika sudah seperti ini dia biasa apa.
“Ingat umur kamu sudah tua, ayah dan bunda pun sudah semakin tua. Kami juga ingin melihat anak satu-satunya memiliki keluarga, lalu memiliki anak. Dan kami bisa merasakan kakek dan nenek.” Jelas Aron. Walau dia sudah tua, parasnya tetap seperti masih muda.
Darren memutar mata jengah. “Terserah.”
“Ayah cuman mau bilang itu, sekarang keluarlah.” Ucap Aron. Menatap anaknya dengan senyum kemenangan.
Darren bangkit. “Hm.”
***
Darren berjalan keluar dari ruangan kerja ayahnya, dia tidak akan bermalam dirumahnya. Dia memiliki rumah sendiri, tinggal di apartement sejak kuliah. Bermalam dirumah yang besar ini hanya sesekali saja.
Saat dirinya melewati ruang tamu, dia melihat ibunya, terlihat memberi makan ikan yang ada di akuarium milik ayahnya. Ada ikan koi kecil berbagai warna.
“bunda.” Panggil Darren. Berjalan kearah bundanya.
Dia Reani Andreas. Ibu yang telah membesarkannya, sosok yang menjadi cinta pertamanya.
Reani atau suaminya sering memanggilnya dengan Rere. Menoleh untuk mencari sumber suara itu.
“Nak, sudah selesai dengan ayah?” Tanyanya.
Darren mengangguk. “Bunda tau?” Tanya Darren singkat. Menuntun Bundanya duduk disofa.
Reani tersenyum. “Maaf nak.” Merasa tidak enak dengan putranya.
“Tidal apa-apa bunda.”
“Bunda tau mana yang baik buat kamu, bunda kenal anak itu. Dia perempuan yang baik.” Jelas Reani. Dia sangat kenal dengan siapa calon menantunya, dia sendiri yang menyarankan kepada suaminya agar Darren dijodohkan dengan perempuan itu.
“Ya.”
Dalam hati Darren tidak berharap banyak, dia ingin menolak perjodohan konyol ini. dizaman moderen seperti ini masih berlaku mejodohkan anak? Darren tak habis fikir dengan kedua orang tuanya.
“Kau mau pulang?” Tanya Reani. Mengusap pelan tangan anaknya.
“Ya.”
“Bisa bunda meminta satu hal?”
“Tentu.”
“Terima perjodohan ini, cobalah keluar dari masa lalu mu nak. Kau tidak bisa terus-menerus terjebak, saatnya kau melihat kedepan. Bukan cuman dia yang ada didunia ini, banyak gadis lainnya. Walaupun sifat yang berbeda. Tapi kau tidak harus tetap menoleh kebelakang nak.”
Darren diam, kedua orang tuanya memang tau tentang masa lalunya. Dulu dia adalah anak yang penurut, anak laki-laki yang sangat dekat dengan keluarga. Masalah sekecil dan sebesar apapun dia aduhkan pada kedua orang tuanya.
Setelah perempuan itu datang kedalam hidupnya, semuanya berubah. Begitu juga saat perempuan itu pergi. Dirinya menjadi sosok tak tersentuh.
“Darren usahakan.” Jawab Darren. “Darren pulang dulu.” Lanjutnya.
Reani mengangguk. “Hati-hati dijalan, kabari Bunda jika sudah sampai.” Nasehat ibu memang nomor satu.
“Ya.”
Darren mencium punggung tangan ibunya, lalu bangkit berjalan keluar rumah yang megah ini. tujuannya pulang ke apartement miliknya.
***
Di kediaman keluarga Nelson.
“Umi, tolong panggilkan Zia.” Itu kepala kelurga. Abraham Nelson. Direktur perusahaan nelson.
Perempuan dengan hijab yang panjang itu mengangguk.
“Baik lah mas.” Jawabnya. Dia adalah Anggita Arin adalah istri dari Abraham Nelson.
Menaiki satu-persatu tangga, untuk sampai dilantai dua. Dimana letak kamar putrinya. Setelah sampai didepan pintu berwarna putih itu.
Tok
Tok
“Nak, umi masuk ya.” Izinnya. Sebelum membuka pintu, dia dapat mendengar sautan dari dalam kamar ini.
Clekkk
Saat pintu sudah terbuka setengah. Anggit dapat melihat gadis yang masih mengenakan mukenah sedang belajar di meja belajarnya.
“Assalamu’alaikum nak.” Ucapnya. Berjalan mengdekati putrinya.
“Wa’alaikum salaam umi.” Jawabnya. Tersenyum saat melihat uminya. Dia Zia.
Anggita mengusap pucuk kepala Zia. “Masih belajar sayang?” Tanya Anggit.
Zia menggeleng. “Sudah selesai umi, hanya mengulang pelajar untuk besok.” Jawab Zia. “Kenapa umi?” Lanjutnya.
“Di panggil Abi kebawah.” Jawab Anggita.
Zia membereskan bukunya. Lalu, menganti mukenahnya dengan hijab yang seperti uminya.
“Ayok umi.”
Setelah itu mereka keluar dari dalam kamar, menuruni tangga. Untuk sampai kelantai satu. Setelah sampai. Zia dapat melihat abinya duduk diruang keluarga, ditemani secangkir kopi buatan uminya.
Zia mendekat ke arah abinya.
“Abi.” Panggil Zia. Suara lembunya menyapa pendengaran Abraham.
Abraham menatap Zia, lalu tersenyum. Menepuk-nepuk sofa disebelahnya, menyuruh Zia duduk disebelahnya.
“Dudu disini nak, dekat abi.” Katanya.
Zia mengangguk, perlahan mendudukkan dirinya disebelah abinya. Sedangkan uminya duduk didepannya.
“Umur Zia berapa tahun ini?” Tanya Abraham. Dia tidak lupa dengan umur putrinya, dia tentu sangat ingat setiap pertumbuhan putrinya ini.
Zia berfikir, kemudia tersenyum. “Mmm, 19 tahun abi. memangnya kenapa?” Tanya Zia. Tumben abinya menayakan perihal seperti itu, dan sepertinya ada hal penting.
Abraham menatap istrinya, kemudian kembali menatap putrinya. Mengusap pelan kepala putrinya dengan lembut.
“Begitu ya.” Ujar Abraham. Mengangguk sekilas. “Zia dulu pernah bilang sama abi, jika menikah diumur yang tergolong masih mudah tidak apa-apa. Nah abi mau bertanya, kalau Zia abi jodohkan diumur 19 tahun ini bagaimana?” Tanya dengan pelan. Takut jika putrinya menolak atau marah kepadanya.
Zia terdiam, mengingat kembali ucapan yang pernah dia ucapkan pada abinya. Jika di ingat itu dua tahun yang lalu, dimana dirinya tiba-tiba saja mengatakan itu kepada abinya.
Zia mengangguk. “Benar abi, lalu ada apa dengan itu?” Tanya Zia. Dia meremas kuat tangannya.
Abraham menatap istrinya lagi, lalu menatap Zia. “Jika abi katakan, kamu abi jodohkan bagaimana?” Tanya pelan Abraham.
Zia terdiam, abinya sungguh menganggap serius ucapannya dulu? Batinya bertanya.
“Maksud abi, abi mau jodohin aku?” Tanya Zia. Masih berusaha mencerna ucapan abinya.
Anggita beralih duduk disamping anaknya, mengambil kedua tangan anaknya.
“Nak, sungguh kami tidak memaksa jika kamu belum siap. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, kami sudah memikirkan ini sebelum kami memberitahukan padamu.” Jelas Anggita.
Zia masih mencerna perkataan kedua orang tuanya. Dia tidak dapat membayangkan menikah diumur yang tergolong mudah ini, membina rumah tangga dalam status masih sekolah. Lalu jika yang dijodohkan nanti adalah om-om, bagaimana.
“Jadi aku bakalan nikah? Terus sekolah aku bagaimana abi, umi?” Tanya Zia. Setelah lama diam.
Abraham tersenyum.
“Nak. Kamu masih tetap bisa lanjut sekolah, menikah diumur seperti ini. Tida menghalangi pendidikanmu.” Jelas Abraham. Diangguki oleh Anggita.
“Jadi, siapa yang laki-laki itu abi? Apakah dia laki-laki baik? Atau sebaliknya?” Tanya Zia lagi. Semua perempuan menginginkan seorang suami yang baik, paham agama, bertanggungjawab dan tau memuliakan seorang perempuan.
“Nak, kami tidak akan memilih menjodohkan mu dengannya jika dia bukan laki-laki yang baik. InsyaAllah dia laki-laki yang bisa bertanggungjawab.” Jawab Abraham.
Zia mengangguk. “Alhamdulillah jika begitu abi.”
“Lalu apakah kamu setuju dengan perjodohan ini nak?” Tanya Anggita.
Zia menarik napas dalam. “InsyaAllah umi, abi.” Jawab Zia.
Semoga yang dikatakan kedua orang tuanya benar dan pilihan yang dia ambil tidak lah salah.
Abraham dan Anggita tersenyum puas. “
“Alhamdulillah.”
“Keluarga mereka akan datang besok malam, untuk melamar mu nak.”
RINTIK HUJAN
Malam yang ditunggu oleh kedua keluarga besar Andreas dan Nelson, tapi tidak dengan laki-laki yang selalu menampilkan wajah dinginnya.
“Bersikap baiklah nak.” Tutur Aron. Melihat putranya yang selalu menampilkan wajah tak bersahabat itu.
Mereka sudah ada didepan rumah kediaman Nelson, mereka baru tiba beberapa menit lalu.
Ting tong
Ting tong
Tak lama munculah seorang pria tua yang seumuran dengan ayahnya. Darren tampak mengenali pria paru baya itu.
“Assalamu’alaikum Abraham.” Salam Aron. Memeluk Abraham.
“Wa’alaikum salam Ron.” Balas Abraham memeluk Aron.
Darren diam saja, tidak mau ikut campur dengan orang tua itu. Rasanya sangat ingin pergi saja dari sini.
“Kau terlihat semakin sehat saja, bagaimana kabar mu?” Tanya Abraham.
Aron mengangguk, dan tertawa. “Hahah! Kau ini, tentu saja aku sehat.” Jawabnya.
“Baguslah jika seperti itu.” Kata Abraham. Menatap pada Reani dan sosok laki-laki yang sangat dia kenal.
“Mari, silahkan masuk. Kau sudah ditunggu oleh Anggita.” Sambil menatap Reani.
Reani tersenyum. “Benarkah, baiklah.” Jawab Reani. Menyelonong masuk, tidak peduli suami dan pemilik rumahnya.
“Astaga sayang.” Ujar Aron. Sedikit malu dengan sikap istrinya itu.
“Hahah! Kau masih tidak enakan ya, sudah ayok masuk.” Ajak Abraham.
***
Didalam kamar dengan cat putih biru itu, terlihat Zia yang dibantu oleh uminya sedang merias wajahnya.
“Umi, jangan terlalu tebal. Aku ngak suka umi.” Kesal Zia. Uminya sangat bersemangat, siapa yang dilamar siapa juga yang kegirangan.
“Tebal dari mananya sayang? Ini mah kaya natural ajah kok. Udah kamu diam ajah.” Ujar Anggita.
“Aku kok panik ya umi?” Tutur Zia. Merasakan sensasi aneh dari tubuhnya.
Anggita tersenyum. “Astaga nak, kau ini ada-ada saja.” Jawab Anggita. “Sudah selesai, sekarang ayok turun. Mereka sudah datang.” Lanjut Anggita.
Zia mengangguk, malam ini dia terlihat cantik. Mengenakan Abaya hitam yang dibelikan oleh uminya, hijab hitam menutupi dadanya. Makeup yang tipis sangat pas di Zia. Dengan tinggi badan 165 cm.
***
Diruang tamu. Mereka menunggu Zia dan Anggita.
“Kenapa mereka lama sekali?” Tanya Reani. Tidak sabar melihat calon menantunya.
“Hahah, sabarlah. Sebentar lagi mereka turun. Lebih baik kita kemeja makan saja dulu.” Jawab Abraham. Diangguki oleh Aron dan Reani.
“Baiklah, kita tunggu mereka dimeja makan saja.” Ujar Aron.
Saat mereka ingin melangkah keruang makan, dari arah tangga terdengar langkah kaki yang menuruni anak tangga satu-persatu. Semua mata tertuju kearah tangga, tak terkecuali.
Darren diam ditempatnya, menatap perempuan dengan balutan abaya hitam menuruni tangga. Dia tidak dapat melihat seluruh wajah itu, perempuan itu menunduk. Diakah? Pikirnya.
“Nah, perkenalkan ini putriku.” Ujar Abraham. Menggenggam tangan putrinya yang terasa dingin.
“Wah, cantik sekali. Ziakan?” Tanya Reani. Dirinya memang tidak salah pilih menantu untuk anaknya.
Zia mengangguk, menatap sekilas wanita yang sudah tua, namun. Masih terihat muda dan cantik.
“Iya tante.” Jawab Zia.
“Tidak usah kaku seperti itu, tante ngak gigit kok. Iyakan mas?” Candanya. Meminta pendapat dari suaminya.
Aron mengangguk. “Benar.”
“Perkenalannya nanti saja, mari kita makan dulu.” Ucap Abraham.
“Iya, lebih baik kita makan malam dulu. Mari.” Timpal Anggita. Menggandeng tangan Reani. Mendahului para laki-laki disana dan juga Zia yang senantiasa menunduk di samping abinya.
“Baiklah.” Ujar Aron. Menatap kesampinya, dimana anaknya tetap menampilkan wajah dinginnya.
Menyenggol lengan Darren.
“Cantikkan calonmu?” Tanya Aron pelan.
Darren menatap ayahnya. “Biasa.” Singkat. Padat dan jelas. Itulah Darren Andreas. Berjalan duluan,
meninggalkan ayahnya.
“Dasar anak itu.”
Di meja makan tersaji begitu banyak makanan. Dua keluarga itu duduk dengan posisi Abraham dan Aron duduk berhadapan, lalu ada Anggita dan Reani duduk ditengah dan Zia duduk tepat didepan Darren.
“Ayok, silahkan dimakan. Anggap rumah sendiri.” Ujar Abraham.
“Hahah! Baiklah.” Ucap Aron.
Mereka makan dalam diam, sesekali melempar candaan di sela makan mereka.
Zia makan dengan diam, sesekali ikut tersenyum saat para orang tua itu membuat lelucon. Dia juga sedang menahan rasa gugup, laki-laki yang duduk diseberang meja makan ini seperti menatap dirinya. Rasanya Zia ingin menghilang saja dari sini.
Darren terus menatap Zia. Dalam benaknya, mengapa perempuan ini terus menunduk. Apakah dia buruk rupa hingga tak mau mengangkat wajahnya, jika itu benar. Dai benar-benar menolak keras perjodohan ini.
Beberapa menit setelah makan malam bersama, dua kelurga itu kembali keruang tamu.
“Mmm, bisa kita langsung saja Abraham?” Tanya Aron. Menatap semua orang yang duduk disana.
Abraham mengangguk. “Tentu, silahkan.”
“Baiklah, sebelumnya kita sudah membahas ini beberapa hari lalu. Dan sesuai janji kita, kami datang malam ini untuk menyampaikan niat baik kami. Dan saya mewakili kelurga, mengucapkan banyak terimakasih atas jamuan makan malamnya. Sekiranya untuk maksud kedatangan kami kesini disampaikan langsung oleh putraku Darren.” Tutur Aron. Menatap putranya yang duduk disebelahnya.
“Ayok.” Ujar Aron.
Darren benar-benar tidak ingin dalam situasi seperti ini, sungguh demi apapun itu.
“Kham, saya langsung saja.”
Darren menjeda ucapannya.
“Saya Darren Andreas. Bermaksud datang kesini, ingin melamar anak anda Zia Putri Nelson. Sebagai istri saya.” Benar-benar singkat. Itulah Darren pengusaha sukses.
Semua mata tertuju pada perempuan yang duduk ditengan kedua orang tuanya, meremas jari-jari mungilnya.
“Nak, ayok jawab.” Ujar Abraham.
Zia menunduk dalam, banyak yang dia pikirkan. Meremas kuar jari-jarinya, tidak berani mengangkat kepalanya hanya untuk sekedar menatap calon suaminya.
Hingga sentuhan hangat ditangannya, dia tersadar. Itu uminya, menatap dirinya dengan senyum hangat.
“Jawablah nak.” Kata Anggita.
Zia mengangguk. Semua orang menatap pada Zia, menanti jawaban dari sosok perempuan cantik itu.
Darren menatap diam Zia, dia berharap Zia menolak lamarannya ini. Sangat berharap Zia benar-benar menolah lamaran konyol ini.
Zia perlahan mengangkat kepalanya, menatap satu-persatu yang duduk didepannya. Hingga tatapannya jatuh pada pria yang duduk diapit oleh kedua orang tuanya, dalam benaknya Zia yakin jika pria itulah calon suaminya.
Kembali menunduk, lalu. “Bismillahiirahmanirahiim, atas izin Allah dan restu kedua orang tuaku. Aku menerima lamaranmu.” Ujar Zia. Menutup matanya, sangat takut jika keputusan yang dia ambil adalah salah. Semoga saja keputusannya benar, ya semoga saja.
Darren menghembuskan nafasnya dengan kasar, bagaimana mungkin wanita itu dengan gampang menerima lamarannya. Bahkan ini kali pertama mereka bertemu.
“Alhamdulillah.” Ucap para orang tua.
“Khammm, bisa saya bicara berdua dengan Zia?” Celetuk Darren. Izin pada Abraham.
Abraham tentu mengizinkan. “Tentu, silahkan.”
Darren berdiri, berjalan keluar dari rumah. Di susul Zia yang hanya setia menunduk, apakah yang Darren ingin katakan hingga harus berbicara diluar rumah. Itulah pikiran Zia.
Setelah sampai didepan rumah. Zia dapat melihat Darren berdiri menatap pada dirinya, membuat dia semakin gugup dan takut. Ini untuk pertama kalinya dia berduaan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.
Zia berjalan kearah Darren, namun masih menjaga jarak. Darren tetap setia menatap dingin kearah Zia, ah bukan calon istrinya itu.
“Kenapa kau mau?” Tanya Darren. Menatap Zia berdiri tak jauh darinya, dengan tatapan setia menunduk.
Zia tidak paham dengan ucapan Darren. “Maksudnya?”
Darren berdecak tak suka. “Ckkk, kenapa kau menerima perjodohan ini?” Ulangnya.
Zia menunduk. “Aku ingin orang tuaku bahagia, jadi aku tidak bisa menolaknya.” Jawab Zia. Suaranya kecil, tapi lembut.
Darren tidak puas mendengar jawaban Zia.
“Hanya itu? Kenapa kau tidak menolak?” Lagi. Darren menatap dingin Zia.
Zia menutup matanya. “Ak-aku percaya, jika pilihan orang tua adalah yang terbaik untuk anaknya.” Jawab Zia.
Astaga apakah laki-laki didepannya ini tidak mengharapkan perjodohan ini, lalu apakah laki-laki ini mengharapkan jika dia menolak.
Darren tersenyum sinis. “Kau yakin jika pilihan orang tuamu baik? Bagaimana jika sebaliknya?”
Zia menatap Darren, namun hanya sekilas. Sedangkan Darren sempat terpukau dengan wajah cantik itu.
“Mak-maksud mu?”
“Saya tidak mengharapkan perjodohan ini, dan ingat sekalipun kita menikah. Jangan berharap lebih, ingat itu!”
Setelah mengatakan seperti itu. Darren berjalan kembali masuk kedalam rumah, meninggalkan Zia yang diam mencerna ucapan Darren.
Zia tersadar. Darren sudah masuk kedalam, dengan cepat dia menyusul kedalam. Setelah sampai diruang tamu, dia duduk dekat dengan uminya.
“Nak, karena kalian sudah selesai. Jadi kami sudah menentukan tanggal pernikahan kalian, berhubung kami ada perjalan bisnis dalam waktu dekat ini.” Tutur Aron.
Menjeda ucapannya.
“Dalam waktu tiga hari kedepan, kalian berdua akan melangsungkan pernikahan. Bagaimana?” Lanjutnya. Bertanya pada keduanya.
Zia dan Darren menatap pada Aron, bagaimana mungkin mereka baru saja kenal.
“Ayah, apa itu tidak terlalu cepat?” Tanya Darren. Ayahnya ini bagaimana.
“Tidak, lebih cepat lebih baik. Bukan begitu calon besan? Hahah!” Jawab Aron. Diakhir ucapannya dia tertawa, tawa bahagia. Karena sebentar lagi dia memiliki menantu dan memiliki cucu.
Abraham dan Anggita tersenyum.
“Tentu saja Aron, jadi kalian tidak perlu khawatir soal persiapan nikahnya. Serahkan itu pada ibu kalian.” Jawab Abraham.
Zia memberanikan diri untuk menatap semua orang di ruang keluarga ini.
“Sekolah aku bagimana? Kalau siswa dan guru-guru tau bagaimana abi?” Tanya Zia. Menatap abinya.
Abraham tersenyum. “Tidak perlu khawatir nak, kamu tetap bisa sekolah. Pernikahan mu akan dirahasiakan, hanya kelurga inti saja yang hadir.” Kata Abraham. Mengerti rasa khawatir yang dirasakan putrinya ini.
Zia hanya mengangguk paham. “Iya.”
Reani tersenyum menatap calon menantunya itu. “Nah, besok kalian datang kebutik mama.” Katanya.
Darren menatap ibunya, sesiap itukah pernikahan mereka. Bahkan kedua orang tua ini begitu semangat, siapa yang mau nikah siapa juga yang sangat sibuk menyiapkan keperluannya.
“Darren jemput Zia besok pulang sekolah, mama tunggu kalian di butik.” Lanjutnya. Senang sekali rasanya, sebentar lagi anggota kelurganya bertambah satu personil lagi.
Zia hanya pasrah, apapun yang dikatakan oleh kedua orang tua ini dia ikut saja. Toh tidak ada gunanya menolak.
Darren lagi-lagi menghela napas kasar, haruskah dia menjemput perempuan itu. Tidak kah dia bisa berangkat sendiri, hari-hari kedepannya semoga baik-baik saja.
“Hm.” Jawab Darren. Setelah mendapat cubitan ditangannya, pelakunya ya ibu Negara tercinta.
“Nah, jadi kalian dalam tiga hari ini. Banyak-banyak ngobrol, biar kalau udah sah ngak canggung lagi.” Tutur Abraham. Menatap kedua calon pengantin itu.
“Ihhh, abi.” Suara lembut Zia. Menatap abinya dari samping, bisa-bisanya abinya berkata seperti itu.
“Hahah! Benar, biar kalian berdua biasa.” Lanjut Aron.
Darren semakin ingin pulang saja dari sini, menatap ayahnya dan ibunya secara bergantian. Lalu mendekat kearah ibunya, kemudian berbisik dengan pelan.
“Pulang.” Bisiknya.
Reani menatap gemas putranya, tidak pernah berubah. Jika dirinya atau suaminya mengajak Darren keacara apapun itu, pasti Darren tidak betah dan cepat-cepat ingin pulang. Kecuali tenpat dimana dia melampiaskan semuanya yaitu club malam, atau dunia hiburan.
Aron menatap putranya, mengerti dengan tatapan itu. Aron mengangguk.
“Abraham, mbak Anggita. Sepertinya anak kami ini sudah mau pulang, hahah.” Ujar Aron. “Sekali lagi terimakasih atas jamuannya, kami pamit dulu.” Lanjutnya. Bangkit dari tempat duduknya, diikuti oleh Reani dan Darren.
Abraham ikut berdiri. “Tentu saja Aron, hati-hati dijalan.” Katanya. Mengantarkan keluarga itu kedepan rumahnya.
“Aku pulang dulu ya jeng, makin ngak sabar bentar lagi kita jadi besan.” Ucap Reani senang.
Anggita ikut tersenyum. “Iya, akhirnya kita jadi besan.” Jawabnya.
Darren masih tau bersikap sopan pada orang tua, berjalan kedepan kedua orang tua Zia. Lalu menyalimi secara bergantian.
“Pamit dulu.” Hanya itu yang dikatakannya. Lalu berlalu pergi, masuk kedalam mobil.
Aron menggeleng pelan, jika saja bukan putranya sudah dari dulu dia sepak keluar dari rumahnya.
“Dia memang seperti itu, maaf jika sikap Darren…”
“Sudah lah, aku tau siapa Darren. Sudah, ini semakin larut malam. Hati-hati dijalan.” Ujar Abraham. Memotong ucapan calon besannya itu.
Aron mengangguk. “Baiklah, kami pamit. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salaam, hati-hati.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!