Raline Ayudia adalah gadis yang sangat patuh pada orang tuanya. Dia anak tunggal pasangan Pramudya dan Lestari. Keluarganya termasuk dalam kategori kaya. Meski begitu, Raline bukanlah gadis yang manja.
Hari ini dia berencana untuk bertemu dengan Alan di kafe tidak jauh dari kantor ayahnya bekerja. Ya, ayahnya bekerja sebagai manajer sebuah perusahaan swasta.
Raline tampak cantik dan manis dengan balutan dress selutut berwarna peach. Ditambah riasan wajah yang natural.
Sambil menunggu Alan, Raline memesan dua cappucino. Tak sabar, dia pun melakukan panggilan telepon pada kekasihnya.
"Aku sudah sampai. Apa kamu masih lama?" Cecar Raline begitu panggilan terhubung.
" "
"Baiklah, jangan lama. Aku tunggu." Panggilan pun terputus.
Tidak lama kemudian Alan datang. Raline pun menyambut kekasihnya itu dengan gembira.
"Kenapa lama sekali. Aku sudah kangen tau." Ucap Raline manja.
"Hehehe maaf ya sayang tadi habis antar ibu ke rumah budhe Warsi." Terang Alan.
"Bagaimana kabar ibu?" Tanya Raline.
"Baik. Ibu nanyain kamu, kapan main ke rumah lagi. Kangen katanya." Jawab Alan.
"Baiklah, libur nanti aku akan mengunjungi ibu. Oiya katanya ada yang mau kamu bicarakan."
"Iya. Senin depan aku mau merantau ke luar kota saja. Disini susah cari kerja. Malu aku ketemu ayahmu kalau belum kerja."
Memang, Alan belum dapat pekerjaan. Ia merasa malu kalau bertemu ayah Raline dan ditanya tentang pekerjaan.
"Apa kamu sudah yakin A'?" Tanya Raline seakan tidak rela ditinggal kekasihnya pergi.
"Lantas kalau bertemu ayahmu dan ditanya kerja dimana, masa iya aku jawab tidak kerja om." Terang Alan.
Hufftt...
Tampak Raline buang nafas berat. Dia sebenarnya berat melepaskan Alan, namun apa boleh buat ini juga untuk masa depan mereka kelak. Setidaknya begitu pemikiran Raline saat ini.
"Baiklah kalau itu keputusanmu. Aku akan selalu mendukung apapun itu A'." Ucap Raline dengan lemah. "Kalau begitu kita ke rumahku dulu ya A', aku kenalkan sama ayah. Biar tenang aku melepas A'a." Lanjut Raline membuat Alan tampak mengernyit.
"Apa tidak bisa ditunda dulu. Aku belum siap bertemu ayahmu, Sayang."
"Ini kesempatan A'a sebelum A'a merantau. Ayolah A'". Bujuk Raline. Bukan tanpa alasan Raline ingin memperkenalkan Alan pada ayahnya.
'Aku berharap ayah merestui hubungan kami. Aamiin.'
🌻🌻🌻
Disinilah mereka saat ini. Di depan rumah Raline. Alan tampak menelan ludah dengan payah. Bagaimana tidak, rumah Raline lebih tepat disebut istana. Berbanding terbalik dengan rumah Alan jauh dari kata layak.
Hal ini membuat nyali Alan menciut. Dia jadi ragu untuk bertemu dengan ayah Raline.
Ya, setelah perdebatan kecil dengan Raline di cafe tadi, Alan memutuskan untuk menemui ayah Raline.
Tetapi, setelah melihat rumah Raline, Alan menjadi ragu. Dia takut akan kemungkinan terburuk. Karena, Alan tahu seperti apa kehidupan orang kaya itu.
Sebelum ini, dia tidak tahu jika Raline benar-benar anak orang kaya, sebab Raline sendiri tidak pernah cerita tentang asal usulnya. Dia hanya tahu ayahnya bekerja di perusahaan ternama di kota ini.
Yang Alan tahu dia sangat mencintai Raline melebihi dirinya, tentu setelah ibunya.
"Sayang, mending tidak usah ya." Tolak Alan pada Raline. Alan benar-benar merasa tidak nyaman. Tetapi juga tidak tega menolak permintaan kekasihnya itu.
"Kenapa A' ? Ini sudah di depan rumah lhoo, masa iya tidak jadi. " Bujuk Raline dengan wajah memelas.
Entah kebetulan yang disengaja atau tidak, ayah Raline terlihat baru pulang dari bekerja. Dari kejauhan tampak mobil ayahnya.
Raline pun menghampiri ayahnya, tidak lupa dia juga mengajak Alan untuk menghampiri sang ayah. Pramudya, ayah Raline pun turun dari mobil. Tak lupa dia memberi kecupan sayang pada putri tersayangnya.
"Anak ayah dari mana heum? " Tanya Pramudya sambil melirik Alan melalui ekor matanya. Tampak Pramudya tidak senang dengan pria disamping putrinya itu. "Ah, ayo kita masuk. Ajak juga temanmu ke dalam." Ucap Pramudya. Tidak mungkin dia membiarkan tamu di luar.
Mereka bertiga pun masuk kedalam rumah. Sekali lagi, Alan tampak kecil disini. Bagian dalam rumah Raline lebih megah dari luarnya. Benar-benar gambaran orang kaya.
"Ayo duduk. Sayang, tolong buatkan minum untuk temanmu ya." Pinta Pramudya setelah mempersilakan Alan duduk tentu setelah beliau duduk juga. Sedang Raline menuju dapur untuk membuatkan minum.
Ibu Raline pun datang menghampiri setelah sebelumnya mendengar suara mobil suaminya datang. Lestari pun ikut bergabung dengan Pramudya duduk di ruang tamu.
Alan hanya diam sambil terus menundukkan kepalanya. Tidak berani bertatap muka dengan Pramudya. Alan terlampau takut dirinya ditolak oleh Pramudya.
Raline pun datang dengan membawa empat gelas minuman. Setelahnya dia pun ikut duduk di samping Alan. Raline berniat ingin mengenalkan Alan sebagai kekasihnya. Namun, sebelum itu terjadi Pramudya sudah terlebih dahulu menanyakan pada Alan tentang latar belakangnya.
"Apa pekerjaanmu Nak? " Tanya Pramudya dengan sopan. Biar bagaimanapun Alan disini adalah tamu yang harus dia hormati meski usianya lebih muda dari Pramudya.
Ditanya tentang pekerjaan membuat Alan gugup bingung harus menjawab apa. Sebelum Alan menjawab, Raline lebih dulu bicara pada ayahnya.
"Ayah, kenalkan dia Alan. Alan kesini mau minta restu ayah da- ..." Belum selesai Raline menjelaskan sudah dipotong terlebih dahulu oleh Pramudya.
"Ayah tanya pada dia, bukan kamu. Jadi diamlah Raline. " Tegas Pramudya. "Apa yang kamu harapkan dari putri saya?" Cecar Pramudya membuat Alan semakin menciut nyalinya.
"Sebelumnya maaf Om, saya kesini ingin meminta restu untuk melamar anak Om sekaligus meminta ijin untuk membawa Raline bertemu dengan ibu saya Om." Jelas Alan terus terang.
"Berapa mahar yang kamu berikan untuk putri saya? "
"Eum, saya hanya punya cinta yang tulus untuk putri Om."
Sebagai orang tua tentu Pramudya ingin yang terbaik untuk putrinya. Apalagi Raline putri satu-satunya. Jelas Pramudya marah mendengar kalimat yang diucapkan pria di depannya ini.
"Apakah kenyang hanya bermodalkan cinta HAH? " Murka Pramudya. Harga dirinya sebagai orang tua merasa dipermainkan. "Sebaiknya angkat kaki dari rumah saya. Kamu tidak diterima disini. Lagipula sebentar lagi Raline akan saya jodohkan dengan laki-laki pilihan saya. Yang pasti dia jauh lebih baik dari kamu. Sekarang keluar dari rumah saya."
Pramudya tidak memberi celah sedikitpun untuk Alan menjelaskan ataupun Raline untuk membela Alan. Hancur sudah harapan Alan hidup bahagia dengan Raline. Hanya karena dia tidak punya apa-apa.
Dengan berat hati Alan melangkah keluar dari rumah Raline. Perasaannya hancur. Hatinya teramat sakit dengan penghinaan Pramudya.
Raline pun berlari keluar mengejar Alan. Ingin menahan Alan agar jangan pergi. "Tunggu A' dengarkan aku dulu. "
Raline berhasil mengejar Alan. Kini mereka saling berhadapan. "Apalagi yang mau kamu jelaskan Al? " Alan pun tidak lagi memanggil Raline dengan sayang, melainkan nama panggilan Raline.
"Kumohon jangan pergi A', ayo kita masuk dan menjelaskan pada ayah. Pasti ayah akan luluh A' "
"Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi Al. Apa yang dikatakan ayahmu benar. Aku tidak pantas untukmu." Ucap Alan dengan suara sedikit bergetar.
"Jangan menyerah A'. Buktikan pada ayah kalau A'a pantas untukku." Raline terus membujuk Alan.
"Tidak Al. Aku menyerah." Pada akhirnya Alan menyerah. Tidak mungkin dia akan menang melawan Ayah Raline yang memiliki segalanya.
"Ini permintaan terakhirku. Kumohon temuilah ibuku untuk terakhir kalinya Al. Setelah itu, aku akan pergi jauh dari hidupmu bersama ibuku. Tapi ingat satu hal Al, kelak jika aku sudah kaya, aku akan merebutmu kembali. Itu janjiku." Setelah mengucapkan itu, Alan pun pergi dari rumah Raline dengan membawa sakit hati yang mendalam.
"Kumohon jangan begini A'. Aku bisa hidup apa adanya asal terus bersamamu hiks..." Raline menangis meratapi kisah cintanya. Dalam hati dia bertekad menutup hatinya untuk laki-laki lain. "Baiklah A' aku akan diam-diam pergi menemui ibu. " ucap Raline sambil mengusap air matanya.
🌻🌻🌻
Hai, kak. Ini adalah karya pertama saya. Mohon dukungannya ya kakak2 semua. Salam kenal dari bumi reog. Terima kasih yang sudah berkenan mampir "bow
Setelah kepergian Alan, Raline pun masuk ke dalam rumah dengan lemas. Tampak kedua orang tuanya masih duduk diruang tamu seakan mereka tengah menunggu Raline.
"Duduk dulu Nak. " Ucap Pramudya lembut.
Raline pun menurut. Duduk berhadapan dengan orang tuanya. Dia menunggu apa yang akan ayahnya katakan. Raline sudah siap menerima apapun keputusan ayahnya.
"Apa kamu mencintai pemuda tadi?" Tanya Pramudya.
Raline tidak mampu menjawab. Dia hanya diam sambil menunduk kepalanya.
"Jawablah sayang. " Kini giliran Lestari yang bicara.
"Iya Ayah. " Jawab Raline lirih.
"Kalau Ayah tidak merestui kalian apa yang akan kamu lakukan, Nak? "
Hening.
"Dengarkan ayah, Nak. Ayah hanya ingin yang terbaik untukmu. Semua yang ayah lakukan untuk kebahagiaanmu, Sayang. " Terang Pramudya pada Raline. Berharap putrinya paham dengan keputusannya.
"Tapi Raline bahagia bersama A' Alan Yah. " Jawab Raline sambil terus menundukkan kepala tidak berani menatap orang tuanya.
"Ayah tahu. Tapi tidak dengan dia, Nak. Tidak ada yang bisa diharapkan dari laki-laki seperti dia. Tolong turuti Ayah. "
Raline tampak berfikir. Jika memang ini yang terbaik untuknya, maka dia pun harus ikhlas melepas Alan dan menuruti ayahnya. Bagi Raline, restu orang tua sangat berarti.
"Baiklah Yah. Raline akan menurut apa kata Ayah.
" Itu baru putri Ayah. Baiklah, sekarang sebaiknya kamu istirahat. Besok Ayah ajak bertemu seseorang. " Titah Pramudya akhirnya.
Raline pun berjalan pergi meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya. Tak lupa dia mengunci pintu kamar supaya ayah atau ibunya tidak bisa masuk. Di dalam kamar dia pun menangis sejadinya.
Ingin rasanya lari menemui Alan. Memeluk erat kekasihnya itu dan meluapkan semua kesedihan hatinya. Tetapi, apalah daya. Raline tidak mampu melakukannya.
'Apa yang harus aku lakukan agar besok bisa menemui A'a dan ibunya.' Raline terus memikirkan cara untuk bisa bertemu ibunya Alan.
Disela-sela tangisnya, dia menemukan ide. "Hanya satu orang yang bisa aku mintai bantuan. Ajeng. " Gumam Raline. Tanpa buang waktu Raline pun menghubungi Ajeng.
"Besok temani aku beli baju ya Jeng. " Tentu ini hanya siasat Raline.
"Baiklah cintaku. Jam berapa aku jemput? " Tanya Ajeng tanpa curiga sedikit pun.
"Jam sembilan. Jangan sampai telat. "
Akhirnya, Raline pun bisa tenang sambil memikirkan bagaimana caranya memberitahu Ajeng yang sebenarnya. "Biarlah, besok saja dijalan aku jelaskan. "
Tak terasa Raline pun tertidur karena sudah sangat lelah dan mengantuk. Dia tidak sabar menunggu hari esok.
🌻🌻🌻
Pagi itu, Raline bangun dengan kondisi yang sedikit berantakan. Matanya bengkak karena semalaman dia menangis.
Raline pun turun kebawah setelah selesai membersihkan badannya. Dia bergabung dengan orang tuanya untuk melakukan sarapan.
Lestari yang melihat Raline datang pun tersenyum. "Selamat pagi Sayang. Apakah semalam tidurmu nyenyak? "
"Pagi Bun. " Jawab Raline lirih sambil menundukkan kepalanya. Dia tidak mau sampai orang tuanya melihat matanya yang bengkak. Akan repot nanti menjelaskannya. Meskipun mereka tahu sebabnya. Tetapi, Raline memilih untuk tidak menunjukkan kesedihannya didepan orang tuanya.
"Jam sebelas nanti Ayah jemput kamu. Dandanlah yang cantik." Ucap Pramudya ditengah-tengah acara sarapan itu.
"Baik Ayah. " Jawab Raline patuh.
'Berarti aku harus sampai dirumah sebelum jam sebelas. Baiklah, aku rasa dua jam sudah cukup untuk bertemu dengan ibunya Alan. Aku sangat merindukan beliau.' Ucap Raline dalam hati.
Semalam dia sudah menyusun rencana untuk menemui ibunya Alan. Tentunya Raline akan meminta bantuan Ajeng, sahabatnya.
Setelah kejadian kemarin, tidak mungkin dia akan bebas keluar seperti sebelumnya. Maka dari itu, Raline menggunakan Ajeng untuk bisa keluar rumah.
Rencananya pagi ini jam sembilan Ajeng akan menjemputnya. Dengan alasan mereka akan membeli baju untuk Raline gunakan nanti ketika diajak ayahnya. Tentunya itu hanyalah alibi Raline.
"Oiya, Yah. Nanti Raline mau beli baju dulu sama Ajeng boleh ya~ ". Raline memohon pada Pramudya.
"Hmm baiklah asal dengan Ajeng, Ayah percaya padanya. Tapi ingat, sebelum jam sebelas kamu sudah harus siap. Oke !!! "
"Terima kasih Ayah. "
Dalam hati Raline bersorak gembira. Karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan Alan. Rasanya, Raline sudah tidak sabar menunggu kedatangan Ajeng.
🌻🌻🌻
Jam sembilan waktu yang sangat dinantikan oleh Raline. Dia duduk di teras menunggu Ajeng datang. Dengan tidak sabar, dia melihat handphone nya.
"Oiya hampir lupa untuk mengabari A'a."
[A' , aku mau kerumah. Tolong jangan kemana-mana ya. Love you. ]
Raline tampak tersenyum senang, karena rencana akan berjalan lancar. Ah, rasanya sudah tidak sabar.
Tiinn
Tiinn
Ajeng datang membunyikan klakson mobilnya. Tanpa membuang waktu, Raline pun langsung masuk ke dalam mobil Ajeng setelah sebelumnya pamit sama Lestari.
"Buruan Jeng, waktuku tidak banyak nih. "
"Iya, sabar cinta. Memangnya kenapa sih buru-buru amat. Biasanya juga tidak. " Tanya Ajeng curiga.
"Kita kerumah Alan. " Perintah Raline.
"Lah, bukannya mau shopping? Kenapa malah kerumah Alan? "
"Udan, nanti aku ceritain. Ini penting Beb. "
"Baiklah. Sebenarnya ada apa Al? " Tanya Raline serius tanpa mengalihkan pandangannya ke depan.
"Aku mau dijodohkan sama orang yang tidak aku kenal Jeng. Kemarin aku mengenalkan Alan sama Ayah, tapi Ayah tidak merestui hubungan kami."
"Berarti Ayahmu benar. Setahuku, penilaian orang tua itu tidak pernah salah Al. "
"Kamu kan tau sendiri aku sangat mencintai Alan, Jeng. "
" Al, orang tua itu hanya ingin yang terbaik untuk anaknya. Kalau menurut mereka Alan itu kurang baik berarti benar. " Jelas Ajeng.
Bukan Ajeng sok menasehati Raline. Tetapi, dalam pemikiran Ajeng gambaran orang tua seperti itu. Apalagi soal Alan.
Sejak awal Ajeng memang kurang suka sama Alan. Tetapi, karena Raline sudah dibutakan cinta, mau tidak mau Ajeng pun mendukungnya.
"Lah terus sekarang ngapain kita kerumah Alan? Katamu hubungan kalian tidak direstui. "
" Aku mau bertemu ibunya. Kata Alan, ibunya ingin bertemu denganku. "
"Ngaco kamu Al. Ini nanti kalau ketahuan Om Pram gimana? "
"Tenang saja. Ayah tidak akan tahu. Aku sudah memastikannya. "
"Ya.. Ya.. Terserah tuan putri saja. "
Tak butuh waktu lama, mereka pun sampai dirumah Alan.
Raline melangkah ke teras rumah Alan. Diketuknya pintu berharap Alanlah yang membukakan pintu.
Namun, sudah hampir sepuluh menit pintu tak kunjung dibuka. Membuat Raline bertanya-tanya.
Kebetulan ada tetangga Alan yang lewat. Raline menggunakan kesempatan itu untuk bertanya soal Alan.
"Permisi Bu mau tanya, Alan sama ibunya kemana ya? Saya ketuk daritadi tidak ada yang membukakan pintu. " Tanya Raline sopan.
"Oh, mereka sudah pindah dari kemarin. Gak tahu juga pindah kemana. " Jawab si Ibu.
"Terima kasih Bu. "
Jawaban si Ibu tadi sukses membuat Raline lemas.
"Jeng, kamu dengar kan apa yang ibu tadi katakan. " Ucap Raline dengan pandangan kosong.
Ajeng yang melihat Raline pun ikut prihatin atas apa yang menimpa sahabatnya itu.
" Kenapa A'a tega ninggalin Aline sebelum kita pamitan hiks. Apa sebegitu sakit hatinya A'a sama Ayah sampai-sampai pergi tanpa memberi kabar Aline hiks hiks. Kenapa A' ? " Raline meracau histeris.
Ajeng pun berusaha menenangkan Raline. Dia tidak ingin Ayah Raline sampai tahu bahwa Raline menangisi Alan.
"Al, dengarkan aku. Kamu tidak boleh begini Al. Mungkin ini yang terbaik untuk kalian. Sebaiknya sekarang kita pulang. Ingat, jam sebelas nanti kamu harus bertemu Om Pram bukan?" Terang Ajeng menyadarkan Raline.
"Hiks, apa tidak bisa aku membatalkan janjiku dengan Ayah Jeng? "
"Hei, Raline yang kukenal bukan orang yang suka ingkar janji. Sekarang hapus air matamu. Kita jalan-jalan sebentar terus aku antar pulang. Oke! "
Raline hanya menganggukan kepalanya. Dilihatnya pesan yang dia kirim pada Alan sebelum berangkat tadi.
'Centang satu. Apa kamu sudah merencanakan ini A' ?' Batin Raline.
☀️☀️☀️
Sampai disini dulu untuk bab 2 nya yah. Kepala saya sakit (Gaya, baru juga q bab sudah alesan sakit. Payah nih author nya)
Sekali lagi maaf ya kakak2 semua. Salam hangat buat semuanya pembaca *big hug*
Jangan lupa masukannya ya kak. Terima kasih atas dukungannya.
Salam dari bumi reog... 😘😘😘
Sesuai janjinya pada Pramudya, siang ini Raline pergi ke sebuah restoran mewah. Bersama Pramudya tentunya.
Pramudya ingin mengenalkan Raline dengan salah satu karyawannya. Karena Pramudya sangat mengenal dengan baik karyawan tersebut.
Dia pekerja keras, jujur, dan yang pasti dia sopan juga bertanggung jawab.
Saat pasangan ayah dan anak itu berjalan menuju meja yang telah dipesan, tampak seseorang sudah duduk disana terlebih dahulu.
Ya, dialah orangnya. Orang yang akan dijodohkan Pramudya dengan Raline.
"Wah, rupanya Nak Devan sudah datang. Maaf ya sudah membuat Nak Devan lama menunggu." Pramudya bersalaman dengan Devan.
Melihat Pramudya datang, Devan pun langsung berdiri sopan sambil membalas jabat tangan dari Pramudya.
"Tidak juga Om. Devan juga batu datang. Mari, silakan duduk. " Sambutan hangat pun Devan berikan untuk Pramudya dan Raline.
"Oiya, kenalkan, ini putri Om, namanya Raline." Ucap Pramudya.
"Raline "
"Devan "
Pelayan pun datang membawa dua cangkir kopi dan satu gelas jus jeruk. Karena sebelumnya Devan sudah terlebih dahulu memesan minuman untuk mereka bertiga.
"Terima kasih Mas." Ucap Devan pada pelayan tersebut. Pelayan itupun menganggukan kepalanya sopan.
"Silakan diminum dulu. Maaf saya tidak tahu selera Mbak Raline apa, jadi saya pesankan jus jeruk.
"Hmm tidak apa-apa. Saya bukan tipe yang pilih-pilih."
Mereka bertiga pun mengobrol basa-basi dulu sebelum Pramudya membicarakan inti dari pertemuan ini.
"Nak Devan, maukan menjadi suami dari putri Om ini? Seperti yang Om bicarakan sebelumnya." Pramudya langsung menanyakan pada Devan.
"Kalau Mbak Raline-nya tidak keberatan, saya tidak bisa menolaknya Om."
"Bagaimana Sayang?" Tanya Pramudya pada Raline.
"Baiklah Ayah. Raline setuju." Baginya pertanyaan Pramudya tadi sama seperti perintah buat Raline.
"Baiklah kalau kalian berdua bersedia. Minggu depan kalian akan menikah." Putus Pramudya akhirnya.
"Apa tidak terlalu cepat Yah?" Protes Raline pada keputusan ayahnya.
"Memang apalagi yang harus ditunggu Al? Bukankah lebih cepat lebih baik. Bukan begitu Nak Devan?" Pramudya meminta pendapat Devan.
"I-Iya Om."
Raline hanya bisa mendesah pelan dengan keputusan ayahnya itu. Karena Raline tahu, Ayahnya tidak suka dibantah.
Pramudya sosok yang lembut namun juga tegas. Itulah sebabnya Raline sangat patuh pada orang tuanya terutama Ayahnya.
"Baiklah kalau begitu, kami permisi dulu Nak Devan. Kalau bisa, besok ajaklah keluarga Nak Devan ke rumah ya."
"Baik Om."
Pasangan ayah dan anak itupun pergi meninggalkan Devan.
Kini, hanya tinggal Devan sendiri dengan pemikirannya.
"Apakah aku terlalu terburu-buru mengiyakan permintaan Pak Pram ya? Semoga keputusanku ini tepat." Gumam Devan seorang diri.
🌻🌻🌻
Setelah Pramudya dan Raline tiba dirumah, mereka disambut Lestari dengan tidak sabar.
"Bagaimana Yah hasilnya?"
"Setidaknya biarkan kami duduk dulu Bun. Jangan lupa ambilkan air." Protes Pramudya. "Bunda mu itu selalu seperti ini. Baru juga masuk rumah, belum duduk atau istirahat pasti sudah ditodong pertanyaan. Ck ~ ". Omel Pramudya mengeluhkan sikap istrinya itu.
Lestari pun datang dari dapur membawa nampan berisi tiga gelas air putih. Dia duduk dengan tidak sabar.
"Minggu depan Raline akan menikah dengan Devan. Mereka berdua sudah setuju." Ucap Pramudya.
"Hmm Bunda sih ikut Ayah saja. Kalau menurut Ayah ini yang terbaik untuk Raline, Bunda juga setuju."
"Oiya Bun, besok kemungkinan Devan dan keluarganya akan kesini. Tolong disiapkan untuk acara besok ya, Ayah mau istirahat dulu. Kalian mengobrol lah."
Setelah mengatakan itu, Pramudya pun bergegas menuju ke atas untuk istirahat. Kini tinggal Raline dan ibunya saja.
"Aline sayang, apa kamu tidak apa-apa?" Tanya Lestari pada putrinya. Dia paham apa yang dirasakan oleh putrinya.
"Maksud Bunda bagaimana?" Bukannya menjawab pertanyaan Lestari, Raline justru balik bertanya.
"Tidak usah pura-pura di depan Bunda. Bunda tahu bagaimana perasaan kamu Nak."
"Hiks, Aline bisa apa Bun selain menuruti keinginan Ayah, hiks hiks..." Akhirnya pertahanan Raline runtuh di depan ibunya.
Lestari pun mendekati Raline dan memeluk putrinya itu. Saat ini Raline membutuhkan pelukannya agar Raline lebih tenang dan nyaman.
"Hustt~ Dengarkan Bunda Sayang. Bunda tahu ini berat buat kamu. Tetapi ketahuilah Nak, bahwa penilaian orang tua itu tidak pernah salah." Ucap Lestari lembut.
Raline hanya mampu terisak dipelukan ibunya. Jujur saja dia tidak ingin menikah dengan Devan, namun apalah daya, kehendak Pramudya seperti itu. Mau tak mau Raline pun harus menuruti apa keinginan ayahnya itu.
"Sekarang sebaiknya kamu mandi membersihkan badan setelah itu istirahat lah. Bunda tahu, kamu padi lelah kan?"
Memang hanya sosok seorang ibu lah yang paling mengerti dan memahami anaknya.
Dengan patuh, Raline pun melangkah menuju ke kamarnya untuk mandi lalu istirahat. Dia benar-benar sangat lelah dengan semua ini.
🌻🌻🌻
Sesuai dengan yang telah Pramudya katakan kemarin, bahwa hari ini Devan dan keluarganya datang kerumah Raline guna untuk melamar Raline.
Dengan membawa ibu dan adiknya serta kerabat yang lain. Devan dan rombongan tiba diruma Raline pukul sepuluh pagi.
Membawa banyak seserahan seperti aneka kue basah maupun kering. Juga ada aneka jenang. Sesuai dengan kebanyakan adat di daerah.
Keluarga Pramudya pun menyambut calon menantu dan besannya itu dengan sambutan yang hangat.
Di dalam kamar, Raline tengah didandani oleh seorang makeup artist agar terlihat cantik dan mempesona.
"Mari-mari, silakan masuk." Pramudya menyambut keluarga Devan dan mempersilakan masuk ke dalam rumah. "Mari duduk. Ayo dicicipi hidangan kami yang apa adanya sambil menunggu putri saya turun." Ujar Pramudya berramah tamah.
"Cih, dasar orang kaya pake acara sok merendah segala" Bisik ibunya Devan kepada putrinya.
"Iya nih gaya banget." Sahut Delia, adik perempuan Devan.
Sedang adik laki-laki Devan tampak membenci acara ini. Berbeda dengan kerabat Devan yang lainnya. Mereka tampak menikmati acara lamaran ini.
Tak lama kemudian, Raline pun turun diikuti dengan ibunya. Tampak Devan tak berkedip melihat Raline.
Bagaimana tidak, Raline tampak sangat cantik dengan balutan gaun berwarna putih tulang dengan riasan yang natural. Sehingga kecantikan Raline terpancar alami.
Raline pun dituntun Lestari duduk didekat ayahnya dan diapit oleh Lestari sendiri.
Disisi lain, Rizal, adik laki-laki Devan menatap Raline penuh hasrat. 'Kalau tahu calon ipar secantik ini, mending kunikahi saja daripada sama si Revan itu HUH.' Batin Rizal.
"Begini Bu- ..." Pembicaraan ayah Raline terhenti karena belum tahu nama ibunya Devan.
"Bu Ambar, Pak." Ucap Bu Ambar, ibu Devan dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
"Baiklah. Begini Bu Ambar, sesuai kesepakatan saya dengan Devan kemarin bahwa pernikahan kedua putra kita akan dilaksanakan seminggu lagi. Apakah ada yang keberatan?" Ucap Pramudya.
Semua diam menyimak pembicaraan ini. Apalagi Bu Ambar. Dia hanya bisa menerima apapun keputusan Devan. Karena yang membiayai hidupnya dan juga anak-anaknya adalah Devan.
"Kami juga setuju kok Pak. Iyakan?" Jawab Bu Ambar terpaksa.
"Baiklah kalau semua sudah setuju. Mari kita ke belakang untuk makan siang." Ajak Pramudya pada semua orang. Karena ini sudah masuk jam makan siang.
Keluarga Devan tampak takjub dengan rumah Raline. Dari depan saja sudah mewah. Semakin ke belakang tampak semakin lebih mewah.
Semua tampak senang dan menikmati hidangan yang disajikan oleh keluarga Pramudya. Nampak mewah dan wah.
Setelah selesai makan siang, semua keluarga Devan pamit undur diri.
Pramudya sekeluarga pun mengantar tamu-tamunya sampai depan rumah.
"Syukurlah Bun keluarga Devan menerima putri kita."
"Iya Yah."
Sedang Raline, jangan ditanya lagi bagaimana perasaannya. Sepanjang acara tadi dia hanya diam. tidak berani bersuara ataupun melakukan hal yang akan membuat malu keluarganya.
Tak terasa air mata Raline pun jatuh. Rasa sesak yang ditahannya sedari tadi pun akhirnya luruh.
Dia pun berlalu masuk ke dalam rumah agar orang tidak melihat dia menangis.
☀️☀️☀️☀️
Untuk bab 3 sampai disini dulu ya reader semua. Semoga author ini bisa konsisten menyelesaikan bab demi bab sampai menjadi sebuah novel tamat. Aamiin.
Sekali lagi, mohon dukungannya ya kakak2 pembaca semua.
Salam kenal dari bumi reog Ponorogo #deepBow
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!