NovelToon NovelToon

STEP FATHER FOR MY DAUGHTER

AYAH RONA

Rasanya seperti berjalan di atas kue.

Eh, apa ini beneran kue?

Raya melongo. Daratan di bawah kaki Raya sungguh kelewat empuk. Dan berlumur krim. Krim putih dan merah jambu menodai sepatu kets putih hingga lutut celana jeans birunya. Konyolnya, Raya sempat mencoleknya sedikit dengan telunjuk, dan memasukkannya ke mulut.

Rasanya manis. Enak.

"Bunda! Bunda! Sini!"

Raya mendongak. Putri sulungnya, Rona, melambai ceria dan melompat-lompat gembira di atas lapisan kue dan krim yang lebih kecil dan menjadi puncak kue ulang tahun bertingkat dua itu.

"Eh... jangan lompat-lompat! Nanti jatuh!"

Raya menegur dengan panik. Tentu bukan tanpa alasan. Semakin Rona melompat, lapisan krim dan kue di bawah pijakannya semakin hancur. Kakinya yang mungil dan telanjang melesak semakin dalam ke bagian kue yang kian remuk.

"Rona! Nanti jatuh!"

Benar saja, kue di bawah kaki Rona meluruh. Rona menjerit sambil meluncur ke bawah. Raya berlari secepat kilat, panik, berusaha keras menggapainya.

Entah bagaimana Raya mendadak jadi supermom. Meski tanpa jubah superman, Raya bisa melesat secepat kilat, nyaris terbang, melintasi lautan krim berpola bunga-bunga warna pelangi dan surai rambut unicorn warna merah jambu. Kakinya bahkan hampir tak menjejak.

Raya berhasil menangkap Rona. Tubuh kecil kurus Rona yang selalu wangi strawberry mendarat aman dalam pelukan Raya.

Namun mendadak Raya kehilangan keseimbangannya. Mereka berdua malah jatuh terguling di lapisan krim tebal. Muka Raya bahkan sempat terbenam ke dalam krim. Dan saat Raya beringsut bangun, Rona menertawakannya.

Raya mengerjap. Wajahnya berlumur krim sangat tebal.

Pastinya aku terlihat seperti badut konyol atau makhluk dongeng berwajah absurd yang sangat menggelikan, pikir Raya.

Mau tak mau, Raya juga tertawa.

"Dasar! Ini gara-gara kamu, tahu!"

Raya memeluk Rona dan menempelkan pipinya yang berlumur krim tebal ke pipi Rona. Rona menggeleng, wajahnya juga berlumur krim sekarang.

Mereka cekikikan bersama.

"Terima kasih ya, Bunda...," Rona memandang ibunya dengan tatapan riang dan polos, manik matanya berbinar seperti kerlip bintang fajar. "Rona suka hadiah bunda. Kue raksasa ini keren! Rona suka!"

"Eh...," Raya mengerjap. Sesaat bingung, sebab Raya tak tahu bagaimana ia dan Rona berada di sana, di atas kue manis raksasa yang membuat mereka belepotan krim, seperti orang-orang yang biasa dijahili pada saat ulang tahun mereka.

"Rona sukaaa hadiah ulang tahun dari Bunda," angguk Rona. Bibir mungilnya tersenyum lebar. "Tapi boleh nggak Rona minta satuuu aja lagi hadiah dari Bunda? Rona mau satu hadiah lagi buat ulang tahun Rona kali ini. Boleh, ya, Bunda? Boleh, ya?"

Rona mengangkat jari telunjuk kanannya ke depan hidung Raya dengan penuh semangat. Senyum dan matanya persis Raya.

"Boleh, dong," jawab Raya penuh kasih sayang. Ia rela memberikan apa saja untuk Rona. Rona minta kastil Tokyo Disneyland pun akan Raya berikan.

Dalam bentuk miniatur atau lego, tapi. Mana sanggup barista berpenghasilan pas-pasan seperti Raya membeli kastil Disneyland? Beli tiket masuk ke sana pun cuma bisa mimpi.

"Asyiik!" Rona tampak sangat gembira. Ia bahkan menangis saking girangnya.

"Memangnya Rona mau minta apa sih?" tanya Raya ingin tahu. Jangan-jangan kastil Disneyland sungguhan.

Rona tersenyum sangat lebar, memamerkan gigi-gigi putih yang kecil dan lucu.

"Rona mau Ayah."

***

Bunyi dan getar alarm pukul lima pagi di ponsel Raya membangunkannya seketika.

Raya terengah. Matanya mengerjap. Jemarinya dengan kikuk menekan layar ponsel untuk mematikan dering.

Raya menarik napas dalam-dalam. Ia menatap langit-langit kamarnya yang terang. Raya tak pernah mematikan lampu sebelum tidur. Selain malas, rasanya lebih enak saja kalau situasi sekitarnya selalu mudah dilihat. Kalau terbangun sewaktu-waktu, Raya tak kesulitan memahami keadaan sekitar, atau mencari sesuatu, seperti kacamata dan ponsel. Kalau terjadi sesuatu, Raya akan bisa segera tahu.

Walau amit-amit, jangan sampai terjadi sesuatu yang buruk di sini, di rumah kecil yang menua dan hampir tak pernah direnovasi. Rumah itu adalah satu-satunya harta peninggalan ibu Raya untuk Raya dan Rona.

Rona...

Sekarang masih pukul lima pagi. Rona masih tertidur nyenyak di kamarnya sendiri yang berhiaskan tema unicorn, persis di sebelah kamar Raya

Raya teringat mimpi itu. Kue ulang tahun unicorn dan permintaan Rona, sesaat sebelum ia terjaga.

"Rona mau Ayah."

Mata Raya berkaca-kaca. Ia memeluk lututnya sendiri. Hati Raya remuk rasanya.

Raya melahirkan Rona tujuh tahun lalu, tepatnya tanggal 20 Juni 2017. Dini hari, sendirian di ruang bersalin salah satu rumah sakit. Rona lahir normal, sehat, cantik. Paras Rona mirip ayahnya--kecuali matanya yang lebar dan bibirnya yang tipis, persis seperti Raya.

Kelahirannya harusnya menjadi momen paling membahagiakan dalam hidup Raya. Tentu Raya bahagia. Tapi di saat yang sama, Raya juga sangat menderita.

Itu semua gara-gara Sam. Ayah kandung Rona. Suami yang baru dinikahi Raya tiga bulan sebelum kelahiran Rona.

Ya, Raya menikah setelah hamil selama enam bulan. Raya menikah setelah dengan gila menghancurkan dirinya sendiri, dan gila-gilaan menghancurkan Sam dan Bumi Corporation agar Sam sudi menikahinya. Raya mau Sam bertanggung jawab penuh setelah apa yang terjadi malam itu.

Suatu malam di bulan Oktober, tujuh tahun lalu dari sekarang, di mansion pribadi Sam yang super mewah di tengah kota.  Seusai pesta pribadi perayaan ulang tahun Sam, kebodohan terbesar itu terjadi dalam hidup Raya.

Setelah semua tamu pulang, hanya ada Raya dan Sam. Sepasang kekasih itu sedikit mabuk karena bir. Mereka anak muda yang tak peduli aturan dan maunya bersenang-senang. Mereka berciuman dan saling meraba di atas sofa. Hal yang sangat biasa mereka lakukan sejak jadian satu tahun lalu.

"Pindah, yuk," ajak Sam lembut.

Raya terengah. Pipi dan dadanya panas.

"Ke mana?" tanya Raya deg-deg-an.

"Kamarku," jawab Sam sambil tersenyum penuh arti. "Kamu mau nggak?"

Raya mengerjap. Tahu akan mengalir ke arah mana semua ini. Alkohol membuat kepalanya sedikit melayang. Rabaan dan ciuman mereka tadi membuatnya agak bergairah.

Dia Sam. Cowok paling tampan yang ajaibnya jatuh ke pelukanmu. Jelas saat ini dia menginginkanmu, Raya. Masa kamu nggak menginginkannya?

Masa kamu nggak pengen tahu, seperti apa rasanya? Dengan Sam!

Mata Raya membulat. Entah dari mana pikiran gila itu merasukinya. Raya maju dan melumat bibir Sam. Ia meraba bagian bawah tubuh Sam. Menonjol keras.

"Ayo," bisik Raya sambil tersenyum.

Sam berseri-seri. Tampan sekali.

Sam menggandeng Raya memasuki kamarnya di lantai dua. Sangat luas dan penuh perabotan mahal. Tapi Raya tak memerhatikan apapun, selain Sam, yang langsung mengajaknya duduk di atas tempat tidur besar dan sangat empuk. Sam membuka semua pakaiannya tanpa ragu di hadapan Raya.

Tubuh Sam mulus. Kulitnya halus. Dada, perut, dan lengannya berotot. Bagian bawah tubuhnya menakjubkan.

Raya mengerjap. Pipinya merah padam.

Sam mendekat. Raya menatap seraut wajah pucat dan tampan di bawah sorot lampu tidur itu. Wajah yang memikatnya sejak pertama Raya melihatnya. Sepasang mata kecil dan tajam. Hidung mancung. Bibir penuh yang sering menyeringai, dan belakangan sering menyentuh bibir Raya.

Raya merasa bagai dewi yang bertahta di atas awan. Sambara Bumi, cowok paling tampan, paling terkenal, paling kaya, paling diidolakan banyak gadis di SMA Bintang Bumi, kini sungguhan jatuh dalam pelukan Raya.

Sam melepas ciumannya sesaat. Matanya turun, jarinya turun, melepas kancing-kancing blus berenda biru Raya. Ia menggigit bibir bawahnya saat melihat belahan tubuh Raya menyembul di balik pakaian dalam putih berenda tipis.

Jantung Raya berdetak keras. Wajahnya memanas. Dia pasti sudah tidak waras! Tapi... sejak kapan seorang Raya Purnama waras?

Semua orang akan mengatakan ini salah. Dosa. Berbahaya. Tapi...

"Aku menginginkanmu, Ra," bisik Sam.

Jemari Sam menelusup ke balik bra Raya. Sentuhannya membuat napas Raya memendek. Gerakan dada Raya yang naik-turun makin menggoda Sam. Lelaki tampan itu menunduk dan menguburkan wajahnya di dada Raya. Bibir dan lidahnya lihai menyapu.

Bra Raya terlepas. Semua pakaiannya terlepas. Tak ada perlindungan. Sam mendorong Raya hingga rebah. Diremasnya payudara Raya bergantian. Dikulum dan dihisapnya pucuk mungil Raya yang menegang kuat-kuat. Sesekali disertai gigitan kecil yang mengejutkan.

Raya baru tahu, itu adalah titik paling sensitif dari tubuhnya. Getaran dan denyut misterius seketika muncul dari rongga bawah perutnya. Raya menggelinjang. Makin kehilangan akal.

"S-Sam...," Raya terbata, pinggulnya mengejang hingga terangkat dengan sendirinya. "Aku juga... aku ingin... please..."

Sambara Bumi mendongak sesaat. Matanya berkilauan. Bibirnya menyeringai.

"Kamu yakin, Ra...?"

Raya mengangguk, terengah. "Jangan berhenti..."

Sam dengan berani memasukkan ujung jarinya ke celah bawah tubuh Raya yang basah. Sentuhan, dorongan, dan gelitik lembutnya di titik paling tepat membuat Raya menjerit.

"Aku menyukaimu," Sam mengulum bibir Raya. "Kamu cantik dan pemberani. Ayo kita lakukan, Sayangku. Aku akan memuaskanmu malam ini."

Raya pasrah dalam kegilaannya. Sam sangat tahu apa yang harus dilakukannya untuk menaklukkan gadis cantik berambut hitam sebahu itu.

Bibir dan jemari Sam tak ragu bermain. Sam menyuruh Raya diam, membuka kedua pahanya, menyerangnya di titik bawah dengan lidahnya. Raya tak bisa menahan lenguhan dan gelinjang. Kulit Raya terasa panas membara. Sekujur tubuhnya seakan tersetrum pelan.

Raya memohon-mohon.

Wajah Sam kembali muncul. Ia tersenyum.

"Kalau itu maumu, Sayang..."

Sam memeluk Raya. Bibirnya melumat bibir Raya. Tak lama kemudian, sesuatu melesak ke dalam rongga bawah tubuh Raya.

Raya berjengit. Rasanya penuh. Agak nyeri.

Giliran Sam melenguh. Liang Raya yang sempit jelas memberinya sensasi menjepit yang sangat nikmat.

"Kumulai, ya..."

Sam menggerakkan tubuhnya perlahan. Raya memejamkan mata. Mulanya asing. Nyeri. Tapi Sam terus mendorongnya sambil memelintir pucuk mungil paling sensitif di dada Raya. Bibirnya melumat bibir, telinga, leher Raya.

Bagian bawah tubuh Raya kembali bereaksi. Makin basah. Lama-lama tarikan dan dorongan Sam makin terasa nikmat.

Mereka benar... rasanya menakjubkan..., batin Raya terbuai.

"Belum, Sayang..."

Seakan bisa membaca pikiran Raya, Sam berbisik sambil meniup telinga Raya. Raya terkikik geli.

Namun sesaat kemudian, Raya agak bingung saat Sam membimbingnya untuk duduk, dalam keadaan mereka masih menyatu.

Kini Raya duduk di atas pangkuan Sam. Jemari Sam bergeser menyentuh belakang tubuh Raya. Meremasnya. Menepuknya.

"Ayo, bergerak."

Raya patuh. Digerakkan tubuhnya. Raya terkesiap. Rasanya jauh lebih nikmat.

Dengan posisi itu, Sam mampu menjangkau semua titik paling sensitif dalam rongga bawah tubuh Raya. Utuh dan penuh. Tanpa terlewat sedikitpun.

Dan Raya bisa mengendalikannya, sesuai keinginannya!

"Sam... Sam..."

Raya bergoyang sambil menyebut nama Sam. Keringatnya mengalir. Nyaris tak terasa lagi nyeri. Sepenuhnya surga duniawi.

"Raya..."

Sam mengubur wajahnya di dada gadisnya lagi. Raya berteriak. Hilang akal. Gerakan Raya tanpa sadar makin liar.

Sesuatu berdenyut dalam tubuh Raya. Sesuatu terlepas, memancar deras. Kepala Raya kian melayang. Raya menggigil sejenak, lalu jatuh dengan lemas ke dalam pelukan Sam, yang juga telah tuntas sambil tersenyum sangat puas.

Nikmatnya luar biasa. Bahagianya luar biasa.

Tetapi, bodohnya Raya terlambat menyadari, setelah itu sengsaranya juga luar biasa.

***

AWAL PERNIKAHAN

"Hamil?"

Raya mengangguk. Gadis berseragam putih abu-abu itu menunjukkan bukti berupa test pack bergaris dua tegas itu pada Sam.

"Terus?"

"Ya, kamu harus tanggung jawab! Ini anakmu!"

Sam mendengus.

"Maksudmu menikah?"

Raya menatapnya tak gentar, meski hatinya gemetar.

"Apa lagi?" desis Raya.

"Aku nggak mau menikah," tukas Sam pendek.

Kalimat terburuk itu sudah pernah melintas di pikiran terburuk Raya. Tapi ia tak menyangka mendengarnya langsung membuat hatinya sesakit ini. Sehancur ini.

"Gimana kamu bisa--ini anakmu, Sam! Kamu harus bertanggung jawab!"

Sam menatapnya dingin.

"Kalau cuma nafkah untuk hidup anak itu, akan kuberikan. Tapi kalau kamu menuntut pernikahan, jangan harap!"

Raya terguncang. Tak paham maksud Sam.

"A-apa?"

"Kamu sendiri yang mau kan?" lanjut Sam kejam. "Aku nggak memperkosamu lho. Kamu sangat menikmati semua momen itu. Harusnya kamu sendiri sudah siap menanggung resiko yang terjadi."

Sesaat Raya tak bisa berkata apa-apa.

"Ya... kuakui aku salah. Dosa. Gila," Raya menangis sejadinya. "Tapi saat ini aku mengandung anakmu, Sam. Anak kita. Kamu tega membuangku dan anak kita begitu aja? Bayi ini nggak bersalah!"

"Aku nggak bilang aku mau membuangnya. Kamu lahirkan dan besarkan anak itu. Aku akan menanggung semua biaya hidupnya. Itu bentuk tanggung jawabku," tegas Sam. "Tapi menikah itu hal lain. Aku nggak mau. Kamu jangan melanggar batasan--ini soal prinsip. Jangan ikut campur lebih jauh soal apa yang harus kulakukan dalam hidupku. Kamu sama sekali nggak berhak."

Raya tidak bisa menerimanya.

"Nggak berhak, katamu? Justru kamu yang nggak berhak menghancurkan hidupku dan anak kita seperti ini!" jerit Raya histeris. "Ini bukan cuma soal uang! Kamu pikir anak ini cuma butuh uang dalam hidupnya? Jangan bego! Pokoknya kamu harus menikahiku! Aku nggak mau tahu! Aku nggak akan diam! Lihat aja nanti!"

Setelah itu, segalanya bergulir makin kacau.

Supaya Sam mau menikahi Raya, ia nekat pergi menemui keluarga Sam, yang tentu saja shock saat tahu Raya mengandung janin pewaris mereka. Tapi yang membuat Raya lebih shock, sikap keluarga Sam tak jauh beda dengan Sam.

"Kalau Sam nggak mau menikahimu, kami nggak akan memaksanya. Lagipula, pewaris perusahaan besar seperti Sam nggak boleh menikahi perempuan sembarangan," kata Dayana Ratu Bumi, ibu Sam, pemilik sekaligus CEO Bumi Corporation. Wajahnya mirip Sam, tapi versi lebih cantik. "Sam sudah dijodohkan dengan gadis pilihan keluarga besar Bumi sejak dia lahir, kamu tahu."

Raya seperti disambar petir.

Apa? Apa katanya? Perempuan sembarangan? Aku ibu dari cucunya!

Dan apa-apaan ini... Sam sudah dijodohkan? Kenapa dia nggak bilang? Kenapa dia tetap mau pacaran denganku, bahkan tidur denganku?

Hati Raya menjerit murka. Kesakitan.

"Kamu jangan khawatir, hidup anak itu akan kami tanggung sampai dia dewasa," Dayana bicara dengan dingin dan kejam, persis seperti anaknya. "Tapi jangan menuntut dan mengungkap lebih ya. Kami punya jajaran lawyer terbaik yang bisa berbalik sangat menyusahkan hidupmu kalau kamu berani macam-macam merusak reputasi dan kesuksesan kami. Kamu harusnya bersyukur anak itu bisa tetap hidup dengan layak dan sejahtera."

Tidak! Bukan ini yang kuinginkan!

Raya makin menggila. Nekat. Akhirnya Raya membeberkan aibnya sendiri ke seluruh dunia. Berawal dari postingan di semua akun sosial medianya, awak media mulai memburu dan mewawancarai Raya. Semua senang menyantap gosip kelakuan pewaris Bumi Corporation yang menghamili pacarnya yang sama-sama satu SMA dan enggan menikahinya.

Dayana tidak main-main soal ancamannya. Jajaran lawyer terbaik di negeri ini menuntut Raya dengan berbagai pasal yang tak ia ingat apa saja--yang jelas salah satunya adalah pencemaran nama baik.

Raya terancam dipenjara. Tapi gadis itu tak takut. Raya melawan dengan gila. Setiap detil kasusnya, ia beberkan ke media. Setiap kondisi kehamilannya, ia sebarkan ke seluruh dunia.

Orang-orang semakin mengecam Sam dan keluarganya, bahkan perusahaannya. Efeknya dahsyat. Saham Bumi Corporation anjlok. Produk-produknya diboikot warga. Tak ada lagi anggota keluarga Bumi yang berani keluar rumah sembarangan--mereka diteriaki, dihina, bahkan dikeroyok setiap kali berpapasan dengan masyarakat yang mengenali mereka di jalan.

Dayana dan Sam tak punya pilihan. Demi menyelamatkan perusahaan dan keluarga, mereka akhirnya setuju menikahkan Raya dengan Sam, ayah kandung dari anak Raya.

Sesuai rencana Raya.

Yang tak sesuai rencananya adalah, pernikahan itu ternyata menjelma neraka yang setiap detiknya membakar Raya hidup-hidup.

***

Pesta pernikahan itu digelar mewah tapi privat. Hanya keluarga dan kerabat terdekat yang hadir, juga beberapa awak media yang sengaja dipilih Dayana untuk memberitakan acara ini ke seluruh negeri.

"Bagaimana perasaan kalian, setelah akhirnya sah sebagai suami istri?" tanya wartawan sambil menyodorkan ponsel yang sudah diaktifkan fitur perekamnya ke arah Raya dan Sam, yang berdiri di panggung pelaminan berdekor cahaya emas dan bunga-bunga indah.

"Tentu saja bahagia," jawab Sam sambil tersenyum dan memeluk pinggang Raya. "Dia gadis yang kucintai. Aku bahagia akhirnya bisa bersama Raya."

Raya memandang Sam. Mereka sudah berbulan-bulan tak bertemu atau bicara. Ini pertama kalinya mereka bersama setelah enam bulan perang kehendak pecah di antara Raya dan keluarga Sam. Ini kedua kalinya Sam bicara setelah mereka bertemu di depan altar tadi sore. Kalimat pertama Sam, setelah sekian lama mereka tak bertemu, adalah janji sucinya untuk menjadi suami Raya sampai akhir hayat.

Sam bisa bicara tenang dan tersenyum di depan semua orang. Tapi Raya bisa merasakannya. Jiwa Sam dingin. Ciumannya sesudah mengucap janji suci pun hambar. Memang lama, tapi tak ada rasa.

Dan mata Sam tak pernah menatap Raya, kecuali di momen-momen tertentu, seperti saat media mengambil gambar mereka dengan kamera mereka.

Raya bisa merasakannya. Jelas sekali, jawaban Sam di depan media adalah dusta.

"Kalau begitu mencintainya, kenapa sempat menolak menikahinya? Kenapa harus ribut-ribut dulu sampai dibawa ke jalur hukum dan semua orang tahu, baru menikah?" tanya wartawan lain, tak kalah kritis dan cerdas.

Sam menghela napas panjang.

"Ah, itu. Sebenarnya karena keadaannya... rumit. Aku pewaris Bumi Corporation, aku sudah dijodohkan sejak aku lahir."

Wartawan langsung heboh.

"Apa Anda akan mengakuinya? Siapa gadis yang dijodohkan dengan Anda?"

"Ya, katakan pada kami!"

"Kalau sudah dijodohkan, kenapa malah pacaran dengan Raya?"

"Bagaimana nasib perjodohan Anda? Dibatalkan?"

Sam menghela napas panjang lagi. Senyumnya tetap mengembang.

"Soal siapa dia, maaf aku nggak bisa bilang. Yang jelas keluarganya sangat kuat dan kaya. Karena itu, aku nggak bisa segera menikahi Raya setelah dia hamil. Banyak hal yang harus diselesaikan terlebih dulu... karena perjodohanku nggak sembarangan. Ada kontrak tertulisnya. Aku nggak boleh cerita detailnya, nanti semua anggota keluargaku bisa dipenjara. Intinya, pada akhirnya, kami bisa membatalkan kontrak itu, dan aku bisa menikahi gadis pujaan hatiku."

Sam menarik Raya mendekat. Wajahnya berseri-seri, seperti saat malam pertama itu. Membuat Raya mengerjap dan pipinya bersemu.

"Kenapa aku memilih bersama Raya meski sudah dijodohkan? Yaa hari gini siapa juga yang mau dijodohin kan? Mantan jodohku itu juga nggak secantik Raya. Aku lebih kenal Raya. Yaa wajar dong aku maunya sama Raya, daripada cewek itu. Akhirnya perjodohan dibatalkan, dan aku bisa bersama Raya. Ini semua berkat Raya juga yang gigih mem-blow-up kasus ini ke dunia, sehingga pihak sana nggak tahan dan bersedia mencabut kontraknya.

"Terima kasih ya, Sayangku. Kamu penyelamatku."

Sam mendekatkan wajahnya dan mencium Raya. Jantung Raya berpacu, kepalanya berputar. Apa semua yang dikatakan Sam benar?

Sungguhkah Sam mencintai Raya? Lebih memilih bersama Raya? Berterima kasih Raya sempat mengacak-acak hidupnya seperti itu?

Saat Raya memejamkan mata dan hendak balas melumat bibir suaminya, Sam sudah menarik diri. Senyumnya masih terkembang, tapi tatapannya berkilat dingin.

Seketika hati Raya bagai terpilin. Sakit.

Sam bohong. Dia tidak lagi mencintaiku. Dia tidak menginginkanku. Dia tetap memegang teguh prinsipnya untuk tidak menikah, batin Raya merana.

Malam itu, kehancuran Raya dimulai.

Menjelang pesta berakhir, Sam mengajak Raya undur diri. Tanpa kata, Sam menggandeng tangan istrinya itu menuju lantai dua dan memasuki kamarnya.

Kamar tempat mereka bercinta untuk pertama kalinya. Raya tak pernah bisa melupakannya. Ia mengakui, itu momen paling indah dan menakjubkan dalam hidupnya.

Mengingat itu, membuat Raya menginginkan Sam kembali.

Tapi begitu memasuki kamar ini, Sam melepas tangan Raya dan langsung duduk di sofa dekat jendela. Ada botol dan gelas anggur di meja bundar kecil di sebelah sofa. Sam menuang segelas anggur dan menyesapnya, lalu mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, sibuk menekan sesuatu.

Ia sama sekali tak menghiraukan Raya.

Raya sengaja menanggalkan semua lapis gaun dan pakaian dalamnya. Ia sengaja berdiri tanpa busana di depan Sam yang duduk di sofa berlengan dekat jendela sambil minum anggur. Tapi Sam tidak melirik Raya sama sekali. Ia sibuk dengan anggur dan ponselnya, menggulir-gulir layar, entah membaca atau menyaksikan apa.

Raya mendekat, sejenak mengintip keluar jendela. Tamu-tamu yang berpesta di aula bawah dan halaman berbunga mulai meninggalkan mansion. Raya melirik Sam, yang ternyata juga sedang mengamati situasi di bawah melalui rekaman CCTV yang tersambung ke ponselnya. Raya menahan napas dan mengulurkan tangan, mencoba menyentuh suaminya.

Sam menampik tangan Raya. Akhirnya ia mendongak.

Tatapan matanya dingin dan penuh kebencian.

"Jangan lancang!" bentaknya pelan. "Sudah kubilang aku nggak mau menikah. Tapi kamu terus memaksa. Bahkan mengacaukan perusahaan dan keluargaku seperti itu. Apa kamu pikir aku masih sudi menyentuhmu setelah semua kejadian buruk itu? Melihatmu saja rasanya aku mau muntah."

Raya terkesiap. Rasanya seperti ada pisau menusuk tepat di tengah dadanya.

Sakit sekali.

"Kamu mau pernikahan kan? Selamat. Kamu sudah mendapatkannya. Tapi kamu nggak akan mendapatkan apapun dariku. Aku nggak sudi menjalani hidup bersamamu. Sampai kapanpun."

Napas Raya sesak. Air matanya luruh. Sam bangkit dan berjalan menuju pintu.

"Kamu mau ke mana?" tanya Raya dengan suara bergetar.

Sam terdiam sejenak. Ia seperti menimbang sesuatu. Kemudian ia memutar tubuhnya dan menatap lurus wajah Raya, seringainya terkembang, matanya berkilat-kilat.

"Pulang."

Raya mengerjap bingung.

"Iya aku mau pulang, ke tempat orang yang kucintai sekarang," Sam tampak berseri-seri, namun sorot pandangnya keji. "Mansion ini boleh buatmu. Tapi aku nggak akan kembali ke sini. Aku akan pulang ke pelukan Renatta. Di mana pun Rena berada, di situlah rumahku. Dia jodohku yang sebenarnya, kamu tahu."

Raya bagai tersambar petir. Saking terguncangnya, ia terhuyung hingga membentur jendela.

"Rena sudah menungguku. Aku nggak sabar menemuinya. Dia pandai sekali memuaskanku, kamu tahu," Sam sengaja menepuk area vital di tubuh bawahnya, seringainya kejam dan gila. "Si kecil ini sudah kangen Rena. Aku harus pergi sekarang."

Sesaat sebelum pergi, Sam sempat menoleh dan melambai, "Sekali lagi, selamat atas pernikahanmu ya!"

Lalu ia tertawa dan menghilang.

Raya beringsut pelan ke atas ranjang. Menyelimuti diri sendiri. Tangisnya pecah. Dadanya nyeri tak tertahankan.

Saat air matanya habis, Raya hanya bisa berbaring hampa.

Raya sudah berjuang mati-matian selama enam bulan terakhir. Mengobral harga dirinya. Membiarkan kenyataan terpahitnya dilahap habis masyarakat seperti bangkai yang ditandas hyena-hyena buas. Mengguncang pondasi korporasi kuat yang juga menghancurkan hidup banyak orang yang bernaung di dalamnya. Semua jalan terburuk rela Raya tempuh asal Sam bersedia menikahinya.

Asal bayinya bisa memiliki ayah sah.

Namun, kini Raya malah menuai panen terburuk dari benih-benih busuk yang sudah dia tebar sendiri.

Raya dinikahi, tapi kemudian dicampakkan. Raya diberi istana dengan kenangan indah--namun rasanya kini seperti tempat pembuangan limbah. Raya baru saja diperlakukan seperti sampah. Ditolak. Disumpah untuk tidak diberikan hak apapun sebagai istri.

Malam pertama pernikahannya, Raya ditinggalkan sendirian begitu saja. Begitu pula malam-malam selanjutnya.

Raya menangis lagi.

Apa yang harus kulakukan? 

***

RONA DAN HARAPAN

Kenapa tidak ada yang bilang, rasanya sesakit ini?

Raya melolong dan mencengkeram pinggiran besi ranjang pesakitan kuat-kuat. Rasa sakitnya luar biasa. Seperti kram nyeri haid, tapi dikalikan seribu. Mungkin sejuta. Perutnya seperti ditikam pedang dan dilindas truk. Dan Raya tak bisa lari dari sensasi mengerikan itu yang dimulai sejak berjam-jam lalu.

"Ayo, Bun, sedikit lagi... kepalanya sudah terlihat..."

Napas Raya terputus. Air matanya mengalir deras. Keringat menguyupi pakaian birunya padahal hawa ruang bersalin sudah diatur sedemikian rupa hingga sedingin puncak gunung.

"Jangan nyerah, Bun... ayo, tarik napas dalam-dalam sekali lagi... dorong lagi... jangan biarkan adek kelamaan di dalam, ketuban Bunda sudah pecah dari tadi lho... ayo...!"

Kata-kata bidan itu menyentak kesadaran Raya.

Anakku harus lahir dengan selamat!

"Aaarrrggghhh!!!"

"Oeeee!"

Tangisan pertama itu pecah dengan nyaring di udara. Rasa sakit itu terbang entah ke mana. Hanya ada lega dan bahagia di hati Raya.

"Sayangku... sayangku..."

Raya menangis saat bidan meletakkan bayi perempuan yang sudah dibersihkan itu ke dadanya. Sangat cantik. Kulitnya pucat seperti sinar bulan. Rambut hitam tebal memahkotai kepala mungilnya. Bibir merahnya bergerak-gerak lucu saat secara naluri mulai mencari air susu di dada ibunya.

"Selamat ya, Bunda, bayinya cantik dan sehat," bidan itu tersenyum. "Mau diberi nama siapa?"

"Rona," sahut Raya lirih. "Rona Purnama."

Bidan itu terdiam sejenak.

"Maaf bukannya saya lancang... hanya ingin memastikan saja, soalnya ini akan langsung dibuatkan akte kelahiran... sungguhan nggak pakai nama belakang ayahnya, Bumi?"

Raya menghela napas panjang.

"Keputusan saya sudah final ya. Rona Purnama. Jangan tanya lagi."

"Baik... maaf ya, Bunda..."

Raya dan Rona dipindahkan ke kamar perawatan VIP. Kamar yang sangat luas, mewah, berfasilitas lengkap, lebih mirip hotel bintang lima daripada kamar rumah sakit.

Hanya ada Raya dan Rona di kamar itu, serta perawat dan dokter yang datang mengecek secara rutin. Raya tak bisa berhenti menggendong dan memeluk bayinya, yang hampir selalu tidur di balik kantong tidur lembutnya.

Bahkan setelah dua hari Raya melahirkan, ia tetap sendirian di kamar itu, hanya dengan Rona. Bayi manis yang hampir tak pernah rewel. Cantik. Sehat. Dan sudah pintar menyusu langsung dari Raya, yang ASI-nya langsung keluar lancar dua puluh empat jam setelah melahirkan.

Tak ada tanda-tanda siapa pun datang menjenguk. Apalagi mendampingi.

Terutama ayah kandung Rona, Sambara Bumi. Ia benar-benar seperti lenyap ditelan bumi sejak malam pertama pernikahannya dengan Raya, tiga bulan sebelum kelahiran Rona.

Raya menghela napas panjang. Ia sudah tak bisa menangis lagi. Hatinya sudah lelah untuk rasa marah dan terluka. Segalanya terasa kebas sekarang.

Sam sangat menepati kata-katanya untuk tidak menjalankan hidupnya bersama Raya.

Padahal selama ini Raya tahu persis di mana Sam berada, atau apa yang Sam lakukan.

Setelah menikah, Sam tidak lagi bersekolah di SMA Bintang Bumi, sama seperti Raya. Tetapi ia mengambil kelas international home schooling. Sam mulai terjun mengurus bisnis raksasa keluarganya, hampir selalu berada di sisi Dayana dalam setiap rapat penting perusahaan dan urusan lainnya sehari-hari. Selepas petang, ia akan pulang ke mansion lain yang letaknya jauh dari mansion yang dihuni Raya. Sesekali, ia akan berkunjung ke kediaman Renatta Sunrise, putri pemilik perusahaan raksasa Sunrise Enterprise, yang sudah dijodohkan dengan Sam sejak mereka dilahirkan tujuh belas tahun lalu.

Raya tahu semua ini karena ia sengaja menyewa detektif untuk menyelidiki dan memantau keseharian suaminya yang tak pernah pulang dan menengoknya.

Sejak menikah, Raya tinggal di mansion mewah milik Sam di tengah kota dengan pelayanan dan penjagaan lengkap, dan juga setiap bulan rutin mendapat transferan dana yang jumlahnya mencapai dua digit.

Tetapi itu semua tidak membuat Raya bahagia. Justru ia makin terluka dan menderita.

Untuk apa punya istana dan seisinya, uang melimpah, jika aku tak dicintai dan dihargai suamiku dan keluarganya? Bahkan mereka memenjarakanku di sini! Aku tak pernah boleh meninggalkan tempat ini!

Ya, Raya dilarang meninggalkan mansion sejak menikah dengan Sam. Ia dijaga ketat oleh security team bersenjata dua puluh empat jam. Tak ada jalan keluar.

Untungnya, mansion itu sangat luas dan berfasilitas lengkap, ada taman dan kebun pribadi, lapangan tenis, kolam renang, gym, spa, salon, bioskop mini, karaoke, bahkan bar pun tersedia. Raya tak kekurangan hiburan, dan ia tetap bisa bersosialisasi meski hanya dengan pelayan-pelayan dan penjaga-penjaga yang bekerja di sana. Mereka semua menghormatinya dan memperlakukannya dengan baik.

Namun, tetap saja, itu tidak bisa menutupi luka dan kekosongan hati Raya karena diabaikan sepenuhnya oleh suaminya. Bahkan suaminya itu kini lebih sibuk menjalin kasih dengan jodohnya daripada memerhatikan bayi mereka yang sudah lahir ke dunia...

Putrimu sudah lahir. Cantik. Sehat. Mirip kamu. Namanya Rona.

Raya hendak mengirim pesan Whatsapp ke Sam, dengan unggahan foto-foto Rona yang sangat memikat hati.

Kapan kamu ke sini? Dia anakmu. Dia butuh kamu, ayah kandungnya.

Rona menekan opsi 'kirim' dan pesan itu sampai kepada Sam.

Hingga Raya membawa Rona pulang ke mansion, tak ada tanda-tanda Sam muncul.

***

"Ma... apa aku cerai aja ya?"

Suatu hari, Raya tak tahan lagi. Ia mengambil ponsel dan menelepon ibunya, yang sekarang tinggal sangat jauh di kota kecil di pulau seberang.

"Pikirkan lagi baik-baik, Nak," nasihat ibunya begitu lirih dan lembut. "Kamu sudah berjuang keras sampai sekarang agar Rona punya ayah sah dan kehidupan yang baik. Kalau kamu cerai, apa kamu sudah siap dengan konsekuensinya? Gimana dengan Rona? Gimana kalau dia nanti mencari ayahnya?"

"Justru aku mikirin Rona, Ma," suara Raya bergetar, tapi air matanya sudah tak bisa mengalir lagi. "Gimana perasaan Rona kalau dia harus terus tumbuh terkurung di tempat ini? Dia punya ayah, tapi nggak sekalipun ayahnya datang dan ada buat dia! Ini sudah hampir tiga tahun, Ma! Mau sampai kapan Raya dan Rona hidup kayak gini? Mending cerai aja sekalian!"

"Sabar, Nak, kita nggak tahu ke depannya gimana... siapa tahu Sam akan berubah..."

"Nggak akan!" Raya tertawa getir. "Dia laki-laki paling brengsek yang pernah Raya kenal. Raya menyesal sudah melakukan semua itu... tapi nasi udah telanjur jadi bubur... Raya gak bisa mengubah apapun di masa lalu. Atau berharap apapun. Kalau mau ada yang berubah, ya Raya sendiri yang harus mengubahnya sekarang. Raya harus cerai dan keluar dari sini, sebelum semuanya jadi lebih buruk lagi buat Rona!"

Ibu Raya menghela napas panjang.

"Terserah kamu, Nak... Mama akan selalu mendukung dan menyayangimu, apapun keputusanmu... kalau kamu keluar dari sana, dan kamu belum tahu mau ke mana, pintu rumah Mama selalu terbuka untukmu dan Rona... sampai kapanpun, rumah Mama adalah rumah kalian..."

Raya menutup telepon sambil menghela napas panjang. Dalam hati, ia bersyukur ibunya mau mendukungnya, selalu ada untuknya, meski mereka terpisah jarak. Meski Raya selalu mengecewakannya, belum bisa sepenuhnya berbakti dan membahagiakan orangtuanya yang tinggal satu-satunya di dunia itu...

Maafin Raya, Ma..., Raya memandang langit-langit sejenak. Nanar.

Tiga tahun lalu, perbuatannya begitu menghancurkan hati ibunya, hingga ibunya jatuh sakit dan terpaksa pindah ke tempat yang jauh karena tidak tahan mendengar tudingan dan bisikan, mulai dari saudara, tetangga, teman, bahkan orang-orang asing yang berpapasan dengannya di jalan.

Meski sudah sehancur itu, ibunya tak pernah marah, tak pernah membencinya. Bahkan setia mendukung apapun keputusannya. Dan kini, bersedia menerimanya pulang meski kehadiran Raya dan Rona nanti mungkin hanya akan menambah beban hidup ibunya yang semakin renta.

Benar kata orang. Kasih ibu bagai matahari. Hangat dan tulus, abadi.

Raya pun membulatkan tekad. Ia mencari data dan kontak pengacara spesialisasi pernikahan yang ada di internet, menentukan satu nama yang dinilainya meyakinkan, dan bersiap menghubunginya.

Tiba-tiba sebuah panggilan video masuk ke ponselnya.

Sam.

Raya terpana.

Aku nggak mimpi, kan?

Dengan gemetar, Raya menekan opsi 'terima panggilan'.

"Mana Rona? Mana anakku?"

Wajah Sam yang tampan dan merah padam muncul di layar ponsel Raya, membuat Raya kaget dan sejenak membisu.

Sam menyeringai. Cegukan. Matanya tak fokus.

"Raya... kamu dengar aku? Haloo! Mana Rona?"

Dia mabuk, pikir Raya. Sampai detik ini, Raya masih rutin menerima laporan intelijen tentang suaminya itu dari detektif yang disewanya, meski belakangan Raya sudah ogah-ogahan membukanya. Namun ia tahu Sam saat ini sedang di New York untuk keperluan bisnis.

Sekarang sudah larut malam di sana. Entah bagaimana, Sam mabuk berat dan menghubunginya, minta bertemu secara maya  dengan Rona.

"Kamu mabuk, Sam!" bentak Raya. Ini pertama kalinya mereka bertatap muka dan bicara setelah malam pernikahan yang menyakitkan itu, meski tidak secara langsung. Perasaan Raya campur aduk. "Kenapa kamu tiba-tiba mencari Rona? Kamu sudah mengabaikannya selama ini--"

"Aku tahu. Aku bersalah pada kalian..."

Raya membeku. Dia bilang apa?

"Aku pengen pulang, pengen ketemu Rona... tapi aku nggak bisa..."

Mata Sam berkaca-kaca. Hati Raya bergetar hebat saat melihatnya.

"Kamu mabuk, Sam!" bentak Raya lagi. Ia tak mau percaya, tak mau hatinya kembali terluka.

"Justru karena aku mabuk, aku bisa sejujur ini...," air mata Sam menetes. "Kamu nggak tahu betapa sulitnya jadi aku selama ini..."

Sam, apa yang kamu katakan? Apa sebenarnya yang terjadi? 

Setelah tiga tahun kamu mencampakkanku dan Rona, kenapa kamu kembali muncul dengan cara seperti ini? Apa sebenarnya maumu?

Apakah kamu masih mencintaiku? Apa sebenarnya selama ini kamu menyayangi Rona?

Tapi... kenapa?

Pertanyaan demi pertanyaan membanjiri benak Raya. Membuatnya sesak. Dan setelah sekian lama, air matanya kembali mengalir.

"Aku mau ketemu Rona... biarkan aku melihat anakku sekali saja... please..."

Raya menggigil, padahal udara tidak dingin. Ponsel yang di tangannya ikut bergetar. Raya tahu ia tidak berhak melarang Sam menyapa Rona. Mereka adalah ayah dan anak kandung, seburuk apapun peristiwa yang terjadi, ikatan darah dan batin mereka tak akan terpisahkan.

Dengan lunglai, Rona beranjak dari sofa di sudut kamarnya. Ia berjalan, masih gemetar, menuju kamar Rona yang terletak persis di sebelah kamarnya.

Gadis kecil itu sedang asyik bermain dengan Arum, baby sitter yang sudah membantu Raya mengasuh Rona sejak Rona lahir.

Arum gadis muda dari desa yang polos, sederhana, namun sangat telaten dan penyayang. Mungkin karena sejak kecil ia sudah harus membantu kedua orangtuanya mengurus adiknya yang banyak, ia jadi sangat terampil dalam mengurus bayi dan anak kecil.

Raya sendiri yang memilih dan mempekerjakannya setelah melihat profilnya di salah satu agensi penyalur jasa baby sitter dan asisten rumah tangga. Raya bersyukur, pilihannya sangat tepat.

Rona sangat senang setiap bersama Arum.  Bahkan Raya bisa melihat Rona tertawa riang saat ia masuk ke kamar Rona yang berdekorasi unicorn dan dipenuhi mainan mahal. Ia dan Arum sedang asyik melukis dan mengecap tangan dengan kertas dan cat yang terbuat dari pewarna makanan alami.

"Eh, Rona... ada Bunda tuh," kata Arum sambil menunjukku.

"Bundaaa!" Rona melonjak ceria. Sekujur tubuhnya belepotan pewarna.

"Arum, bisa tolong keluar sebentar?" pinta Raya dengan suara gemetar.

Arum menatap Raya sejenak. "Baik, Nyonya..."

Setelah Arum pergi, Raya bersimpuh di sisi Rona dan berkata, "Sayang... ini ada Ayah mau bicara..."

Binar mata Rona melebar. "Ayah...?"

Selama ini, Rona sudah beberapa kali menanyakan sosok ayahnya. Ia belum begitu paham, namun kepolosan dan keingintahuannya selalu muncul setiap kali dibacakan dongeng atau menonton animasi yang ada cerita atau karakter orangtua dan anak.

"Ayah Lona mana...? Itu punya ayah... punya Lona mana...?" tanya Rona, cadel dan terbata.

"Ayah sedang bekerja di hutan, Nak. Mencari dan menjual buah ajaib untuk para kurcaci. Jadi belum bisa pulang dulu," jawab Raya lembut. Walau dalam hati ia merasa remuk.

"Ooh... ayah jual buah... buat caci... ya, ya...," Rona selalu mengangguk polos setiap mendengar kebohongan Raya yang manis.

Dan kini, untuk pertama kalinya, Sam dan Rona bertatap muka, meski hanya lewat layar ponsel.

"Ayaaah!"

Rona melonjak dan bersorak. Air mata Raya membanjir.

Sam juga menangis.

"Halo, Rona Sayang... iya ini Ayah... Rona sehat, Nak? Rona lagi apa?"

"Lagi maiiin... ini bikin buah... walnain buah... kayak Ayah jual buah buat caci, hihihi!" Rona cekikikan sambil melambaikan kertas hasil lukisan dan cap absurdnya ke kamera.

Sam sejenak tampak bingung. Jelas ia tidak mengerti apa maksud Rona. Namun ia kemudian tertawa.

"Anak Ayah pintar ya... gambarnya bagus!"

"Iyaa doong!" sahut Rona ceria. "Ayah... kapan pulang? Lona kangen..."

Jantung Raya serasa berhenti berdetak.

"Hmm.... kapan yaa?" Sam mengerutkan bibirnya sejenak. "Gimana kalau besok?"

"Besok?" Rona melongo. Raya pun terlonjak.

"Iya besok, pas ulang tahun Rona. Rona besok ulang tahun kan?"

Raya membeku. Dia ingat hari lahir Rona?

"Iya! Yaaay Ayah pulang besok! Yaaay!"

"Sam!" Raya menegurnya. "Apa kamu serius...?"

"Iya aku serius. Aku akan datang ke ulang tahun Rona besok. Dia anakku," Sam terdengar sangat tegas, meski pipinya semerah tomat. "Rona tunggu Ayah, ya... besok kita ketemu, dan tiup lilin sama-sama ya..."

"Iya! Yaaay!" Rona menepuk pipinya saking senangnya. "Lona sayang Ayaaah!"

Sam tersenyum lembut. "Ayah juga sayang Rona. Sampai ketemu, Nak."

Panggilan video itu berakhir. Sama mendadaknya seperti kemunculan notifikasinya di ponsel Raya.

Benarkah itu? Benarkah Sam akan datang besok?

Raya menyerahkan Rona kembali ke pengasuhan Arum, sementara ia berlari ke kamarnya, menangis sejadinya.

Kenapa? Kenapa di saat aku memutuskan akan pergi, kamu malah kembali?

Ke mana saja hati dan pikiranmu selama ini? Kenapa baru sekarang kamu ingin pulang, berkumpul kembali denganku dan Rona?

Jawab aku, Sam!

Raya tak tahu berapa lama ia tersedu, memukuli dada kirinya yang ngilu bagai ditikam sembilu.

Namun setelah luapan emosinya mereda, Raya menghentikan tangisnya dan menarik napas dalam-dalam. Ia duduk tegak kembali, menguatkan hati. Menata pikirannya menjadi jernih.

Jika Sam akan pulang besok, Raya harus mempersiapkan segalanya dengan baik. Besok adalah ulang tahun Rona yang ketiga. Sebelum ini, perayaan ulang tahun Rona selalu sederhana. Hanya tiup lilin berdua dan membuka beberapa hadiah mainan baru untuk Rona.

Besok, untuk pertama kalinya, mereka akan meniup lilin dan membuka hadiah bertiga.

Sam, Raya, Rona. Tepat di hari ulang tahun Rona yang ketiga.

Bukankah itu momen yang indah? Bukankah itu yang selama ini diimpikannya?

Membayangkannya, Raya merasa batinnya perlahan dipenuhi harapan.

Semua demi Rona. Jika Sam akan kembali untuk Rona... maka aku juga akan bertahan demi Rona. Barangkali, apa yang terkoyak di antara kami, perlahan dapat terajut kembali... tak ada salahnya memulai kembali dari awal, kan?

Senyum sendu, raut asa, perlahan terbit di wajah basah Raya.

Ia tak sabar menunggu esok tiba.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!