Gadis itu telah terbangun dari tidurnya dan telah mempersiapkan diri, sebenarnya ia tidak bisa tidur nyenyak tadi malam karena hari ini adalah hari pertamanya sebagai mahasiswa. Ia baru saja lulus dari SMA dan mengikuti tes masuk perguruan tinggi, memang sangat sulit tapi ia menjadi salah satu orang yang beruntung dan di terima di sana.
“Sofi, ayo cepat!” ucap Diori sambil melangkah menujuh mobilnya. Laki-laki tinggi dengan rambut dan mata berwarna coklat, berhidung mancung dengan garis rahang yang tegas, bibir merah serta sebuah lesung pipi di sebelah kanan, kulitnya yang tidak terlalu putih dan tidak terlalu gelap membuat banyak wanita menoleh dua kali saat melihatnya.
”Iya, kak Dio tunggu!” jawab gadis yang berumur tiga tahun lebih muda darinya, Sofi berlari sambil membawa tasnya.
“Hari ini, jangan terlambat kau harus ikut ospek.” Diori menjelaskan sambil menjalankan mobilnya, Sofi hanya mengangguk dua kali menangapi ucapan kakaknya itu.
“Kak, apa tidak apa-apa, maksudku kakak gak usa mengurusi osfekku.” Sofi ingat semalam Diori menjelaskan jika ada teman-temanya yang macam-macam padanya untuk segera memberitahukan Diori. Sofi tahu Diori menyayanginya, tapi ia sudah besar, Diori tidak seharusnya ikut campur urusanya.
“Ingat apa kata kakak semalam?” Diori menatap wajah adiknya yang terlihat polos itu, Sofi mengangguk cepat, ia takut Diori akan marah.
Hanya perlu waktu tiga puluh menit mereka sudah tiba di salah satu kampus negeri terkemuka. “Ikutlah ke barisan.” Diori menunjuk barisan siswi dan siswa yang berdiri di lapangan.
Semua mata tertuju pada seorang gadis yang baru datang dengan tergesah-gesah, terutama para senior yang ada di sana. Gadis itu langsung berdiri setelah mencari dimana barisan untuk jurusan yang dia ambil berdiri.
“Apa kamu yakin dia adik Dio? Gadis itu gak cantik sama sekali.” bisik Anis wanita yang bergaya agak tombai dan di takuti karena dia memiliki sabuk hitam dalam bidan karate dan tekwondo. Jesy hanya tersenyum mendengar perkataan sahabatnya.
Jesy adalah wanita yang cantik dengan rambut hitam sebahu, berwajah oriental dengan mata sipit, hidung mancung kecil dan bibir tipis, ia juga memiliki sepasang lesung pipi kecil, membuat ia terlihat semakin cantik, selain itu Jesy juga sudah mengejar Diori sejak tiga tahun lalu.
Jesy hanya diam menatap Sofi, anak itu memang terlihat cupu dengan kacamata besar di sana dan sebuah behel gigi berwarna hitam, rambutnya juga di kuncir dua dan mukanya terlihat lugu dan polos. Jesy tahu kacamata itu hanya tipuan untuk menutupi wajah cantik Sofi. Satu hal yang membuat Jesy yakin kalau gadis itu adik Dio adalah warna mata mereka sama-sama coklat dan senyum yang terukir di bibir Sofi sama dengan Diori, senyum yang membuat hatinya lulu seketika.
“Hai Jesy.” ucap seorang laki-laki yang sangat tampan mendekatinya “Gue dengar adik Diori masuk di kampus ini apa lo uda liat?” Aktara mulai melihat kearah barisan di hadapanya,
“Uda itu yang pakai kacamata.” Jesy menunjuk pada Sofi yang sedang berdiri di tengah barisan bersama mahasiswi baru.
Aktara mulai menajamkan matanya mengikuti arah telunjuk teman baiknya itu “Menarik adiknya jauh dari kata cantik.” Aktara bergumam pelan namun bisa di dengar Jesy.
”Dia sangat cantik Tara, apa lo buta? biasa juga lo yang lebih tahu kalau liat cewek, walaupun tuh cewek pake topeng.” Jesy lalu berjalan menuju barisan sambil mengeleng memandang Aktara sesaat, Jesy tahu Aktara adalah tepe laki-laki yang bisa menilai orang lain dengan baik dari pada dirinya.
Aktara hanya tersenyum sesaat mendengar perkataan Jesy.‘Ya, dia sangat cantik, bahkan terlalu cantik, tapi sayang kenapa dia harus menjadi adik Diori.’Aktara berbisik dalam hatinya.
***
“Kamu yang pakai kaca mata, pakai ini.” Aktara memberikanya sebuah kalung tanda pengenal, semua mahasiswa dan mahasiswi baru telah mendapatkannya dan segera memakainya, begitu juga Sofi.
“Tulis nama kalian masing-masing agar teman-teman kalian bisa mengenal kalian!” Aktara berucap sambil melangkah, laki-laki itu adalah wakil ketua dalam ospek dan Diori adalah ketuanya, walau mereka bermusuhan, tapi dalam hal tugas kampus mereka selalu di sandingkan karena kepintaran mereka. Terkadang Diori yang menjadi wakil Aktara begitu juga sebiliknya seperti kali ini dan mereka selalu bekerja sama kalau menyangkut tugas yang di berikan, mereka akan membuang ego masing-masing.
***
“Jangan coba-coba dekati adik gue.” bisik Diori pada Aktara ketika mereka berpapasan. Aktara hanya diam tidak menjawab apapun, ia memutuskan untuk pergi meninggalkan lapangan, ini bukan saat yang tepat untuk berdebat dengan Diori, mereka akan berakhir di ruang dosen atau klinik kesehatan, jika Aktara meladeninya dan itu akan memberikan contoh yang tidak baik untuk mahasiswa dan mahasiswi baru.
***
Sofi tanpa malu maju kedepan ia bersama beberapa teman lain di hukum karena kalah dalam game yang di berikan panitia, ”Baikla, kalau begitu kalian akan mengambil salah satu kertas yang ada dalam toples ini, masing-masing kertas memiliki sebuah nama senior dan kalian harus berusaha mendapatkan tanda tangan kemudian berpoto bersama.” Anis menjelaskan.
“Apa tidak apa-apa Sofi di hukum seperti ini?” Jesy bertanya pada seorang laki-laki yang sedang duduk disalah satu kursi yang ada di dekat lapangan sambil memantau kelancaran acarah osfek berlangsung. Diori tersenyum mendengarnya ia juga melihat Sofi yang berdiri di bagian depan lapangan itu.
“Gak apa-apa, gue enggak akan beda-bedahin adik gue dengan mahasiswa baru lainya, mereka sama kok. Lagi pula semua bagian dari acarah adalah kesepatan kita bersama.” Diori menjelaskan.
***
Sofi mengambil kertasnya setelah tiga temanya selesai mengambil kertas itu satu-persatu, Sofi bisa melihat ekspresi binggung dari ketiga temanya itu setelah membaca nama siapa yang terterah pada kertas yang mereka ambil tadi, begitu juga dengan dirinya setelah membaca nama siapa di sana, nama yang sangat unik pikir Sofi, sama seperti nama kakaknya.
“Oke, sekarang kalian harus mencari senior yang mananya sudah di tangan kalian, tunjukan kertas itu lalu mintahla tanda tangan dan potonya, kalian di beri waktu lima belas menit ya.” Anis menjelaskan setelah mencatat masing-masing nama siswa baru dan senior yang ada di kertas itu.
Sofi mulai berjalan menelusuri kampus sambil bertanya pada senior lain dimana keberadaan orang yang di carinya, ia memutuskan tidak meminta bantuan kakaknya, karena itu akan tidak adil untuk yang lain.
“Maaf kak saya Sofi, mahasiswa baru, saya sedang di hukum mencari senior yang bernama kak Aktara,” ucap sofi sopan pada seorang pria berkulit hitam dan rambut keriting.
Laki-laki itu menoleh lalu memperhatikan gadis yang mengajaknya berbicara, tidak ada yang menarik dari gadis berpenampilan cupu itu, “Gue Danu, itu orang yang loe cari.“ laki-laki itu menunjuk sebuah pohon besar.
Sofi menyerengit heran “Pohon itu?” gumam Sofi pelan. Apa senior disini suka mengerjai juniornya?
“Bukan pohonya cupu, tapi di belakang pohon itu, Tara suka molor di sana.” Danu menarik napas dalam kemudian pergi meninggalkana gadis itu sambil mengeleng tanpa memperdulikan ucapan terimakasih Sofi.
Sofi berjalan menuju pohon itu, ia melihat sosok laki-laki yang memberinya papan nama tadi sedang bersender sambil memejamkan matanya, Sofi mulai ragu dan takut kalau ia akan menganggu Aktara, tapi kalau dia tidak berhasil meminta tanda tangan dan berpoto bersama maka ia akan di hukum lagi, gadis itu diam cukup lama sambil memandangi wajah Aktara, hampir lima menit ia diam di tempat sambil menatap was-was pada jam tanganya ia benar-benar takut waktu yang di berikan habis.
***
Aktara membuka matanya karena merasa sedang di perhatikan, sebenarnya dari tadi ia hanya pura-pura tidur, ia tahu ada seorang yang mendekat. Aktara sengaja berdiam untuk menunggu reaksi orang itu, laki-laki itu cukup jengkel karena orang itu hanya diam menatapnya akhirnya Aktara memutuskan untuk membuka matanya.
Mata coklat itu menatap manik mata hitam pekat milik laki-laki yang dari tadi tertutup.
“Ma, maaf kak menganggu, saya Sofi mahasiswa baru, saya di hukum untuk meminta tanda tangan dan poto kakak,” Sofi memberikan sebuah kertas kecil pada Aktara yang terdapat namanya, laki-laki itu menatap Sofi sesaat kemudian mengambil keratas itu.
“Mana kertasnya?” Aktara bertanya, Sofi lupa dia tidak membawa kertas lain lagi, sedangkan kertas kecil tadi sudah di ambil Aktara dan disimpanya di dalam saku.
“Maaf kak saya lupa.” Sofi berencana pergi mengambil bukunya, tapi itu tidak mungkin jaraknya dengan tempat tas di kumpulkan cukup jauh, mungkin waktu tidak akan cukup, Sofi sudah terlalu lama menghabiskan waktu hanya untuk mencari Aktara dan menungguinya tidur tadi.
“Aku harus tanda tangan di mana?” Aktara bertanya sambil menatap Sofi yang sedang berpikir, sunggu wajah gadis itu terlihat lucu saat sedang kebingungan, membuat Aktara susah payah menahan senyumnya.
“Disini saja.” Sofi menyodorkan punggungnya yang masih memakai seragam putih hitam.
“Kamu yakin?” Aktara ragu.
“Iya, tidak apa-apa kak.” jawab Sofi cepat.
Aktara mengoreskan tanda tanganya di punggung bagian kiri gadis itu, seketika jantung Sofi berdebar cepat, merasakan tangan Aktara menyentuh punggungnya.
“Sekarang ponselnya.” Aktara memintanya gadis itu untuk mengeluarkan ponselnya, ia tidak ingin berurusan dengan Sofi terlalu lama, ia takut Diori akan marah lagi.
“Kak bisa aku pinjam ponsel kakak tidak? ponselku ada di tas.” Sofi berkata jujur karena semua anak di larang mengunakanya saat osfek.
Aktara membuang napas pelan lalu mengeluarkan ponselnya, Sofi dengan cepat mendekatkan tubunya pada Aktara lalu tersenyum.
“Bawah ini pada Anis, kamu bisa mengembalikan padaku saat makan siang di sini, aku akan menunggumu.” Aktara berucap.
Sofi sangat berterimakasih pada Aktara karena dia sangat baik padanya, sungguh senior yang satu ini seperti malaikat bagi Sofi, bukan hanya wajahnya yang tampan tapi juga hatinya juga baik.
***
Sofi kembali ke lapangan itu sambil berlari hingga tepat dua menit sebelum waktu yang di tentukan habis.
“Ini kak.” Sofi menunjukan potonya dengan Aktara. Bahkan nafasnya masih tersengal-sengal saat ini.
Anisa menatap heran pada gadis itu, bagaimana bisa Sofi dengan mudah berpoto dengan pria itu, hampir semua wanita menginginkanya, tapi Aktara selalu menolak dan cuek. Tadinya Anis berpikir kalau Sofi tidak akan berhasil menjalankan hukuman ini, maka Anis berencana memberikan hukuman lain.
“Tanda tanganya?” Anisa bertanya, Sofi dengan cepat menunjuk punggung kirinya. Anis tersenyum sambil mengangguk begitu juga panitia lain.
***
“Sofi, kita harus bicara!” Diori mendekati adiknya saat semua siswa di bubarkan untuk istirahat makan siang.
“Ada apa kak?” tanya Sofi polos lalu mengikuti langkah kakaknya.
“Kamu tidak boleh dekat dengan Tata maksudku Aktara, kakak tidak suka!” Diori menjawab dengan tegas.
Sofi menatap heran pada kakaknya itu, ini pertama kalinya Diori terlihat kesal dan marah padanya hanya karena dia berpoto bersama senior tampan itu. Demi tuhan itu adalah alasan yang tidak masuk akal menurutnya.
“Tapi kak, tadi itu karena aku kalah game dan kak Aktara yang membantuku, dia tidak macam-macam kak.” Sofi menjelaskan dengan jujur kejadian sebenaranya.
“Pokoknya mulai sekarang kamu harus menjaga jarak dengan dia! Sini biar kakak yang mengembalikan ponselnya.” Dengan cepat Diori mengambil ponsel yang tadi di gengam Sofi di tangan kananya. Gadis itu hanya bisa terdiam tidak bisa berkata apapun ia masih tidak percaya Diori akan menceramahinya prihal Aktara.
***
Suasanan di taman itu tampak ramai beberapa mahasiswa berlalu lalang di sana, Aktara masih menunggu seseorang untuk mengembalikan ponsel kesayanganya.
“Ini ponsel lo,” Diori berdiri di hadapan Aktara menatap laki-laki itu dengan tatapan tidak suka “Dan jangan dekati adik gue!” tambah Diori.
Aktara tersenyum tipis “Gue gak ndeketin adik lo, dia yang datang ke gue.” Aktara menjawab kemudian mengambil ponselnya dengan kasar “Jaga adik lo baik-baik, jika lo takut gue nyakiti dia.” Aktara kemudian pergi. Tanpa perduli jika Diori sangat marah saat ini.
Diori mengepal tangannya dengan kuat membuat bukul-bukul tangannya terlihat jelas, ia sedang menahan emosinya. “Tidak akan gue biarkan lo nyakitin adek gue lagi, lo akan nyesel Aktara.” laki-laki itu bergumam dalam hatinya.
***
Diori membawa adik kesayangnya menuju kantin untuk makan siang, sebelum mereka melanjutkan osfek hingga sore hari.
“Dek, mau makan apa?” Diori bertanya dengan lembut.
“Ayam bakar aja kak.” Sofi menjawab dengan antusias karena cacing dalam perutnya sudah berteriak tidak sabar minta diisi, karena tadi pagi Sofi hanya mengunya selembar roti gandum ia juga tidak menghabiskan susunya.
Beberapa pandang mata menatap mereka dengan penuh selidik, semua orang di kantin itu mulai berbisik membicarakan Sofi dan Diori, mereka tidak percaya Sofi adalah adik Diori. Laki-laki populer di kampus itu mempunyai adik jelek dan cupu seperti Sofi.
Tentu saja mereka berharap Sofi akan tampil lebih cantik dari pada itu, walau tubuh sofi cukup ideal untuk mewujudkan itu.
“Kamu duduk disini, kakak pesen makananya dulu.” Diori mendudukan Sofi pada salah satu meja kosong, kemudian meninggalkannya.
Sofi mulai tidak nyaman dengan tatapan orang-orang itu, ia memilih menunduk sambil menunggu kakaknya kembali membawa makan siangnya. Jari mungil Sofi mulai bertautan, hal itu biasa ia lakukan kalau merasa kurang nyaman.
“Hai, boleh gabung?” suarah seorang wanita yang terdengar lembut, ia berdiri sambil membawa sebuah nampan di tanganya, wanita itu tersenyum.
Sofi memperhatikan orang yang mengajaknya bicara, wanita berwajah oriental berkulit putih yang sangat cantik dengan sepasang lesung pipi yang manis, bahkan sangat manis, matanya tampak terpejam saat tersenyum karena sipit.
Sofi tersenyum kaku lalu mengangguk dua kali. “Gue Jesy, kamu Sofikan adiknya Dio?” wanita itu duduk lalu mengulurkan tanganya, Sofi merai tangan itu sambil mengangguk lagi.
“Iya kak.” Suarah Sofi terdengar pelan.
“Jangan takut gue gak jahat kok.” Jesy berucap mencobah mencairkan suasana, Sofi mulai terkekeh mendengarnya. Ya, mana mungkin Jesy akan berbuat jahat dengannya, sementara Diori juga ada di kantin itu.
“Kakak kamu tampan ya.” Jesy melihat Diori yang tersenyum lebar ke arah Sofi, sambil membawa sebuah nampan di tanganya, senyum yang selalu membuat hati Jesy menghangat.
“Kakak, suka kak Dio?” gadis kecil itu bertanya tanpa ragu, ia memang biasa ceplas-ceplos kalau berbicara, tapi ia lupa Jesy adalah orang yang baru di kenalnya, seharusnya ia tidak menanyakan hal itu, melihat wajah Jesy yang mendadak jadi merah Sofi langsung tahu jawabanya tanpa harus wanita itu menjelaskannya.
***
“Hay Jes, tumben gak sama Anis.” Diori meletakan nampan di meja itu, ia memberikan satu piring nasi lengkap dengan ayam bakar dan sambel serta lalapan untuk adiknya ia juga memberikan segelas es jeruk.
“Anis lagi ada pertemuan di club karate.” Jesy menjelaskan sambil berusaha menguasai dirinya agar tidak terlihat guggup di hadapan Diori, tadi Anis meminta izin pada sahabatnya karena pertemuan itu.
Mereka akan membahas beberapa hal penting seperti, persiapan keanggotaan baru untuk siswa yang berniat bergabung di club itu dan tentu saja trik untuk memikat siswa baru yang berminat, mulai hari pertama ospek Anis sudah menempel beberapa poster tentang club karate dan tekwondo di mading kampus.
“Kakak kok gak makan?” Sofi bertanya pada Diori, laki-laki itu hanya meminum jus mangga sambil memperhatikan Sofi menyuap nasi kedalam mulutnya.
“Siapa bilang? Ahkk...” Diori membuka mulutnya minta di suapi Sofi, gadis itu ingin melakukannya tapi ia ragu, takut semua orang menertawakan tingkah kakaknya yang gila menurutnya.
Sebenarnya Diori sering minta di suapi kalau sedang sakit, tapi sekarang laki-laki itu sedang sehat dan tidak sakit, mungkin sakit hati karena sempat marah pada Sofi tadi?
Sofi mengeleng tidak mempedulikan permintaan kakaknya, ia menoleh pada pria yang sedang membawah sebotol air mineral di tangangya yang berjalan menuju meja lain. Seketika senyum terukir di bibir Sofi, ia harus berterimakasih langsung pada Aktara nanti.
“Hei, adik kakak mulai jahat padak kakak ya, awas kamu nanti kakak kutuk.” Diori membuka suaranya, membuat Sofi menoleh cepat pada laki-laki itu.
“Iya-iya, dasar manja.” gumam Sofi lalu menyendokan nasi, terlintas pikiran jahilnya, ia menyembunyikan banyak sambel tepat di bawah nasi itu, Sofi tahu Diori tidak suka pedas berbeda dari padanya.
“Ini kakak ku yang paling tampan sedunia.” Sofi memuji kakaknya dengan nada yang di buat-buat, seketika Diori tersenyum lembut lalu mengelus kepala adiknya dengan sayang.
“Pintar, begitu dong sayang.” jawab Diori kemudian membuka mulutnya, ia membuka mulutnya lebar menerima suapan adiknya.
“Satu, dua, tiga, empat dan ...” Sofi bergumam pelan dalam hatinya sebuah senyuman terukir di bibirnya.
“Sofi, ini, ini sangat, sangat pedas!” Diori berucap sambil meniup-niup mulutnya, ia segera meminum jus mangga di gelasnya dengan cepat. Sofi tersenyum puas, beberapa orang di sana mulai menatap mereka melihat Diori seperti kebakaran jengot.
Jesy menatap Diori dan Sofi bergantian, ia tidak tahu kalau gadis polos itu sangat jahil pada kakaknya.
“Elo gak apa-apa?” Jesy segera memberikan minumamnya saat Diori mencobah mencari air karena jus di gelasnya sudah habis.
“Minum ini.” Jesy menyodorkan jus lemon dengan cepat Diori mengabiskanya, ia baru saja meminum jus lemon sisa Jesy melalu sedotan yang sama, Jesy tersenyum dalam hati secara tidak sengaja mereka berciuman melalui sedotan itu.
Sofi melanjutkan makan siangnya tanpa merasa bersalah ia malah tertawa melihat kakaknya kepedasan.
Diori mulai murkah ini bukan pertama kalinya Sofi menjahilinya “Kau, adik nakal, aku mengutukmu mulai sekarang!” Diori berucap, Sofi melotot pada kakaknya.
“Jangan lagi.” ucap Sofi dalam hati, beberapa bulan yang lalu sebelum kelulusan Diori juga mengutuknya karena menganggunya mengerjakan tugas, Sofi berpura-pura baik memberikanya segelas kopi dan saat Diori meminumnya ia langsung memuntahkanya karena rasa kopi itu asin dan guri.
Sofi sengaja memberikan garam dan penyedap rasa pada kopi itu, Diori marah besar padanya, beruntung ayah mereka mererai pertikaian itu dan berakhir dengan sebuah kutukan dari kakaknya.
Diori mengukuk Sofi, dan pada besok harinya Sofi berteriak keras saat bercermin karena sebuah jerawat besar tumbuh di keningnya, jerawat itu mirip sebuah bisul, bahkan Sofi harus ke dokter kulit karena jerawat itu tidak hilang bahkan hampir satu bulan, Sofi percaya jerawat itu adalah kutukan Diori.
“Jangan!” gadis itu segera menyilangkan kedua tanganya, menangkis kutukan kakaknya “Jika kakak mengutuku lagi aku akan mencari kakak baru.” Sofi mengancam,
Diori terkekeh mendengarnya begitu juga Jesy, dari tadi ia menahan tawah karena tingkah kedua kakak beradik itu.
“Siapa yang ingin menjadi kakak mu selain aku? Tidak ada kakak yang sebaik aku di dunia ini.” Diori tersenyum sambil mengejek.
“Ada, aku bahkan akan menikahinya.” Sofi mulai melihat sekeliling kantin ia mencari seseorang agar Diori menarik kutukannya.
“Itu!” Sofi menujuk laki-laki yang sedang menegak air meneralnya, seketika laki-laki itu tersedak membuat basah orang di depanya.
***
”Hei, lo membasahi muka gue!” Dafa berucap kesal dengan cepat Aktara memberikanya beberapa helai tisu dan meminta maaf, Aktara mendengar semua percakapan itu dari tadi karena jarak mereka hanya berbeda satu meja.
Diori dan Jesy menoleh pada laki-laki yang di tunjuk Sofi, Jesy tersenyum tapi tidak dengan Diori, seketika raut wajah laki-laki itu berubah datar melihat Aktara yang duduk diam di meja itu.
“Tidak boleh, tidak ada yang boleh merebut adikku.” Diori berucap dalam hatinya.
Sofi tahu kakaknya marah tapi dia tidak ambil pusing, nanti juga Diori sendiri yang akan memulainya mengajak bicara.
“Kalau begitu cabut kutukannya sekarang!” Sofi menatap Diori dengan tatapan menantang.
“Oke, aku Diori mencabut kutukan itu pada adikku Sofi.” Diori mencobah tersenyum lembut pada Sofi, tapi dalam hatinya ia merasa harus mengawi adiknya lebih ketat, ia tidak ingin Sofi berdekatan dengan laki-laki itu, apapun akan di lakukan Diori demi adik kesayanganya.
***
Ruangan televisi itu akan selalu gaduh saat tiga orang sang empuh rumah berkumpul di sana menghabiskan waktu bercerita satu sama lain.
“Pa, tadi seru banget osfeknya, tadi Sofi di hukum, terus Sofi juga kenalan dengan kakak cantik,” kemudian Sofi mendekatkan mulutnya sabil berbisik pada Median ayahnya “Namanya kak Jesy, ia suka sama kak Dio.” suarah Sofi terdengar pelan.
“Benarka?” Median menatap Sofi dengan terkejut teteapi juga senang, gadis itu mengangguk cepat.
“Jangan mulai lagi Soso-fifi sapi.” Diori mengejek adiknya, Sofi akan marah jika di panggil dengan sebutan itu, sebutan yang paling di bencinya.
Gadis itu membuang mukanya, ia kembali menonton acarah yang sedang berlangsung di salah satu siaran televisi itu dengan bibir mancung kedepan, Diori senang karena adiknya mulai diam setidaknya itu membuatnya merasa damai walau sesaat.
“Pa aku juga ketemu cowok ganteng loh.” Sofi kembali menatap papanya sambil tersenyum seperti orang gila. Sofi memang selalu dekat dengan ayahnya, ia akan bercerita apa saja pada Median, karena Sofi sudah tidak memiliki ibu sejak kecil jadi Medianlah yang berperan sebagai ayah sekaligus ibu untuk Diori dan Sofi, ia selalu bisa menengahi kedua anaknya itu.
“Wah, anak papa sudah mulai jatuh cinta.” Median tersenyum jahil pada Sofi seketika muka gadis itu memerah.
Diori tidak suka itu, bukan bearti ia mengidap sister complex, tapi ia tidak suka karena Sofi terlalu dini untuk mengenal cinta pada lawan jenis, ia takut adiknya tidak fokus pada pelajaran dan yang paling utama ia tidak suka jika adiknya jatuh cinta pada Aktara.
“Sofi, bukanya, kita sudah membahasnya tadi siang.” Diori membuka suarahnya dengan suarah datar.
“Aku gak ingat.” jawab Sofi santai, ia hanya berpura-pura lupa karena tadi Diori memarahinya habis-habisan di mobil yang pertama soal sambal dan yang kedua soal Aktara.
Sofi mulai merasa aneh dengan sikap Diori yang berlebihan dengan Aktara, Diori berkali-kali mengingatkan agar tidak mendekati laki-laki itu karena ia tidak suka, Sofi tidak menjadikan masalah jika Diori tidak suka yang penting ia menyukai Aktara dan masalah selesai.
Diori menarik napas dalam, “Pa, tolong jelaskan pada adikku yang bodoh ini, kalau dia belum boleh pacaran sebelum menamatkan kulianya, dan ia harus fokus pada pelajaranya.” Diori memohon pada Median, laki-laki paru baya itu mengangguk cepat.
“Sofi dengarkan kakakmu.” Median membuka suarahnya.
“Pa, tolong bilang pada kakakku yang sok tampan itu, bahwa aku sudah tujuh belas tahun dan aku akan belajar dengan baik, kalau menunggu aku lulus kulia baru pacaran aku akan menjadi perawan tua.” jawab Sofi tidak mau kalah.
Median kembali mengangguk ia juga membenarkan apa yang Sofi katakan, ia tidak mau anak gadisnya menjadi perawan tua, mungkin tidak masalah Sofi mulai mengenal namanya cinta asal tidak melewati batas, ia tidak pernah mengekang anak-anaknya untuk pacaran.
Median membebasakan mereka dengan syarat mereka harus mencerikakan siapa orang mereka sukai dan memperkenalkannya pada Median. “Diori dengarkan adikmu.” jawab Median membuat Diori melotot pada ayahnya
“Pa!” Diori bersuarah keras, tidak percaya ayahnya akan membela Sofi.
“Diori ingat kesepakatan kita, kalian boleh pacaran, asal...“
“Sudah berumur diatas tujuh belas tahun, tidak melewati batas dalam aturan agama, perkenalkan pacarmu pada papa dan tetap harus fokus dalam belajar.” jawab Diori dan Sofi bersamaan.
“Anak-anaku sangat pintar.” Median tersenyum begitu juga Sofi. Diori hanya diam, ia tidak bisa berkata apa-apa lagi, karena ia juga memulai pacaran di usiah tujuh belas tahun. Waktu ia masih menduduki bangku SMA di semester akhir mendekati Ujian Nasional dan Median tidak marah saat itu, ia memberikan syarat yang baru saja mereka sebutkan tadi dan semua sepakat dengan semua itu. Median bukan hanya ayah dan ibu bagi mereka tapi juga sahabat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!