Selama ratusan tahun…
Dinasti Xing memimpin kekaisaran...
Namun sampai sekarang daerah perbatasan utara tetap dalam bahaya.
Keluarga Huan terus berjaga di Gerbang Timur Laut.
Gerbang Timur Laut adalah benteng pertahanan di wilayah perbatasan suku iblis dan manusia. Disebut juga kota pangkalan dan gerbang pengusir iblis.
Dibangun oleh keluarga Huan.
“Di mana Tuan Muda?” Seorang panglima wanita bertanya sambil mengedar pandang dengan sorot mencari-cari yang tajam.
“Sudah tidur sejak sore,” tanggap seorang perwira di sampingnya.
Mereka sedang berjaga di menara pertahanan di gerbang pengusir iblis bersama sederet pasukan di kiri-kanan dan belakang mereka.
Di bawah benteng itu adalah wilayah suku iblis.
Kedatangan pasukan iblis seringkali tidak terduga. Mereka bisa menyerang sewaktu-waktu tanpa mengenal lelah. Menunggu kesempatan para penjaga itu lengah.
Tujuan mereka adalah menara pertahanan di puncak benteng.
Itu adalah pilar pusat formasi sihir pertahanan terkuat yang dimiliki manusia.
Jika menara itu hancur, maka seluruh kekaisaran juga akan hancur.
Jadi para tentara itu terus berjaga siang dan malam secara bergiliran.
Dan malam ini, seharusnya giliran si tuan muda berjaga menggantikan si panglima wanita.
Seorang penyihir buta berjubah gelap dengan tudung kepala, sudah melepas elang malamnya setengah jam yang lalu untuk memantau situasi. Elang hitam dari ras dewa itu adalah matanya.
Dan elang itu sudah kembali!
Seberapa lama elang itu pergi, separuh waktunya adalah jarak kedatangan pasukan iblis.
Lima belas menit lagi pasukan iblis akan menyerang, pikir panglima wanita itu. Mungkin juga lebih cepat!
Dan Tuan Muda malah tertidur?
“Hanya tahu bersenang-senang!” Gerutu panglima wanita itu sambil berbalik dan bergegas menuju barak si tuan muda.
Sementara itu, di satu kilometer di depan mereka, pasukan iblis sudah merangsek ke arah benteng.
Sosok mereka seperti manusia berbulu dengan kepala serigala.
Suku iblis dari ras gorgon.
Di pertengahan jalan, sekonyong-konyong ranting pohon di atas kepala mereka tersentak dan bergetar.
SLASH!
SLASH!
Sejumlah sicae—belati kecil berbentuk sabit yang tajam di kedua sisi, melesat dari sudut hutan. Dan seketika sejumlah tentara iblis memekik tertahan dan berjatuhan.
Salah satu gorgon di depan mereka menoleh ke belakang dan tersentak. “Gawat!” Pekiknya dengan suara serak yang dalam. “Ada penyergapan!”
Sebagian pasukan serentak berbalik dan menghunus pedang mereka sambil mengawasi sekitar dengan waspada. Sejumlah besar lainnya terus bergerak ke depan.
Sesosok bayangan gelap berkelebat melewati pasukan tentara iblis yang tertinggal di belakang, kemudian menyelinap ke tengah-tengah pasukan yang sedang bergerak ke arah benteng.
Pakaiannya sama dengan yang dikenakan para tentara gorgon saat itu, jubah gelap dengan tudung kepala. Dan ia turut berlari sambil tertunduk mengikuti arus pasukan gorgon.
Tak ada yang curiga!
Wajahnya tersembunyi di balik masker ketat berwarna hitam. Sepasang matanya berkilat-kilat penuh semangat di bawah tudung jubahnya.
Tangan kirinya menggenggam sejumlah sicae di tiap sela-sela jarinya. Tangan kanannya menghunus belati yang lebih besar jenis pisau berburu.
“Berpencar!” Instruksi kepala pasukan gorgon sembari menggerak-gerakkan sebelah tangannya memberi isyarat
Pasukan itu serentak berpencar menjadi tiga kelompok. Dua kelompok menyisi ke dalam hutan, sisanya terus bergerak ke arah benteng.
Sosok misterius itu turut menyisi bersama kelompok kanan.
Salah satu gorgon tiba-tiba mengerling dengan mata terpicing sambil mengendus-endus.
Ketahuan! Sosok misterius itu segera menyadari.
Dan sebelum gorgon itu sempat bereaksi, sosok misterius berjubah gelap itu melesat ke arah gorgon tadi dan menikam perutnya.
JLEB!
Gorgon itu terpekik dan terpuruk dalam kematian bisu.
Gorgon lainnya tersentak dan menoleh.
Sosok itu melejit dan berputar di udara sembari melontarkan semua belati kecil di sela-sela jarinya ke arah yang berlainan.
SLASH!
SLASH!
Belati-belati itu sukses melemparkan sejumlah gorgon dan melumpuhkannya dalam sekejap.
Entah karena belatinya yang istimewa, atau kemampuannya yang luar biasa.
Belati kecil itu benar-benar mampu melontarkan bobot seribu kali lipat dari ukurannya.
“Sia—”
JLEB!
Salah satu gorgon terpekik dan terpuruk sebelum menyelesaikan perkataannya. Pisau berburu di tangan kanan penyusup itu menembus lehernya.
“Ada mata-mata!” Teriak gorgon yang tersisa.
Itu pun tak berlangsung lama.
Sosok misterius itu melesat ke sana-kemari sambil menghujamkan pisaunya di sana-sini, berpindah-pindah tempat dalam sekejap seperti keredap kilat. Dan dalam hitungan detik, ia sudah menumbangkan semua gorgon kelompok kanan.
Setelah yakin tak ada yang tersisa, sosok itu melesat pergi ke sisi lainnya, menyusul kelompok kiri.
Para tentara manusia di puncak benteng sudah terdengar gaduh.
Ledakan pertempuran mendengking ke langit malam.
“LINDUNGI MENARA PERTAHANAN!” Teriak lantang seorang perwira.
SLASH!
SLASH!
Ratusan anak panah mendera seperti hujan meteor.
TRANG! TRANG! TRANG!
Beberapa berhasil ditepis dengan pedang dan perisai. Beberapa gorgon tumbang bergelimpangan. Beberapa gorgon lainnya sudah merayap di dinding memanjat benteng.
BUG! BUG!
Dua-tiga gorgon terpental setelah mencapai puncak.
Sisanya masih merayap menuju puncak.
Sosok misterius yang menyusup di antara pasukan iblis itu mengangkat sebelah tangannya di sisi wajah dengan jemari membentuk cakar menghadap ke atas. Lalu dalam sekejap telapak tangannya memancarkan cahaya biru berbentuk kristal.
Detik berikutnya, bola kristal di telapak tangannya itu memunculkan keredap kilat yang lalu menjalar ke arah para tentara iblis yang sedang memanjat seperti jerat laba-laba.
Dan ketika ia mengepalkan tangannya, tali petir meledak serentak dalam sekali hentak.
DUAAAAARRRR!
Para gorgon yang terjerat tali petir itu terpental dan terpelanting.
“Apa-apaan ini?” Pekik kepala pasukan gorgon. Lalu dengan sigap ia menoleh ke sana kemari sambil memasang kuda-kuda.
Segerombol tentara iblis yang tadi tertinggal sudah menyusul ke dekat benteng.
“Ada penyusup di antara kita!” Teriak kepala pasukan tentara iblis dengan suara menggeram yang menggelegar.
“Bagaimana mungkin?” Pekik beberapa gorgon yang tidak sadar situasinya.
“Tangkap penyusup itu!” Hardik kepala pasukan mereka sembari mengepalkan tangan.
“BAIK!” Para gorgon di sekelilingnya menanggapi serempak dengan hormat tentara. Lalu berpencar tanpa menunggu aba-aba.
Bersamaan dengan itu, sosok misterius itu melesat dari kegelapan ke arah kepala pasukan tentara iblis sembari mengayunkan pisau berburu di tangan kanannya.
Kepala pasukan iblis itu tersentak dan terpekik. Dengan refleks mengelak namun terlambat.
Pisau berburu itu berhasil menggores lehernya.
“Dia di sini!” Teriak kepala pasukan tentara iblis yang secara otomatis ditanggapi sejumlah gorgon yang langsung menerjang ke arah sosok misterius itu.
Sosok misterius itu menjejakkan sebelah kakinya di atas kepala salah satu gorgon dan memantulkan dirinya dalam gerakan salto.
Lalu mendarat di luar kepungan.
Kepala pasukan iblis memutar-mutar tombaknya di atas kepalanya sambil mengendus-endus. “Manusia!” Hardiknya sambil menerjang ke arah sosok misterius itu.
Sosok misterius itu memantulkan dirinya lagi ke ketinggian, lalu berputar di udara sambil mengayunkan tangan kirinya.
SLASH!
SLASH!
Sejumlah belati melesat keluar dari sela-sela jemarinya yang dalam sekejap sudah berhasil membuat sejumlah gorgon terpelanting serentak.
Bersamaan dengan itu, sosok misterius tadi sudah melesat ke arah kepala pasukan iblis dan berhasil menghujamkan pisaunya di perut gorgon itu.
Gorgon itu merenggut pergelangan tangan si sosok misterius itu, namun pada waktu yang sama, ujung mata pisau yang menancap di perutnya berdesis dan berkeredap memancarkan cahaya kilat.
DUAAAAARRRR!
Ledakan cahaya membuncah dari ujung mata pisau itu dan meremukkan tubuh panglima iblis.
“GAWAT!” Teriak beberapa gorgon. “Panglima sudah dikalahkan!”
“Tarik semua pasukan!” Instruksi yang lainnya.
“MUNDUUUURRR!!!” Teriak yang lainnya lagi.
Lalu secara serentak, pasukan iblis itu lari tunggang-langgang menjauh dari benteng.
“Aneh sekali!” Gumam seorang perwira di puncak benteng. “Kenapa mereka tiba-tiba menarik pasukan? Mungkinkah ini hanya jebakan?”
“Tidak!” Perwira lainnya menanggapi. “Sepertinya ada sesuatu yang memukul mundur pasukan iblis itu.”
“Entah kenapa aku merasa akhir-akhir ini pekerjaan kita sedikit terlalu mudah,” gumam seorang pemanah seraya memandang lepas ke luar benteng. “Seperti… ada kekuatan ajaib yang melindungi kita!”
“Mungkin dewa menyertai kita!” Komentar prajurit lainnya.
“Kenapa reaksi mereka terlihat seakan formasi menara telah diaktifkan?” Sela prajurit lainnya lagi.
“Formasi menara tak bisa diaktifkan tanpa token Tuan Muda!” Tukas penyihir mereka.
Semua mata serempak mengerling ke arah penyihir itu. Tiba-tiba teringat tuan muda mereka belum keluar.
Pada waktu yang sama, panglima wanita itu baru sampai di barak si tuan muda.
Dengan sengit, ia mendobrak pintu dan melabraknya.
Orang yang bergelung di tempat tidur di dalam barak itu terperanjat dan buru-buru menarik selimut sampai ke kepalanya.
Panglima wanita itu bergegas mendekat dan merenggut selimutnya.
Sosok di balik selimut itu sontak berbalik memunggunginya dan meringkuk dengan gemetar.
Panglima wanita itu mengerutkan keningnya.
Bukan si tuan muda!
Seorang pengawal menggantikannya.
Panglima wanita itu mengetatkan rahang dan menggertakkan giginya. Kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Bocah tengik ini…
Adipati Agung semakin tua…
Penerusnya hanya semata wayang—Huan Wenzhao.
Dan dia masih sangat muda!
“Tuan Besar meminta Anda pulang,” seorang pengawal bayangan membungkuk di depan sosok misterius itu. Sebelah tangannya terkepal di lantai dengan kepala tertunduk.
“Ayah baik-baik saja?”
“Tidak apa-apa,” jawab pengawal itu setengah berbisik. “Ini… tentang Dekret Kaisar.”
“Dekret Kaisar?”
Kaisar selalu mencari cara menyuap prajurit keluarga Huan. Tapi selalu gagal.
Kabarnya sekarang sering sakit-sakitan. Namun posisi putra mahkota masih kosong.
Pangeran ketujuh sudah berperang selama tujuh tahun. Tentaranya terus berjaya dan sangat populer. Namun tak pernah dihargai oleh ayahnya.
Sementara Pangeran kelima…
Perdana Menteri Shi yang sangat berkuasa adalah pamannya.
Kedua pangeran selalu bertengkar. Tidak ada yang mengalah.
Dalam keadaan ini…
Kaisar menurunkan titah, meminta penerus Huan belajar di Sekolah Kekaisaran.
Yang belajar di sana adalah orang-orang hebat.
Selain Pangeran ketujuh…
Ada juga Shi Xia, putri tertua Perdana Menteri.
“Kali ini ke ibu kota untuk suatu misi,” ungkap Adipati Agung setelah putranya tiba di kediaman mereka. “Keluarga Huan memimpin banyak pasukan. Begitu masuk ke ibu kota, kau akan jadi rebutan. Kedua pangeran akan mendekatimu. Jangan memihak dengan mudah. Jadi… kau harus menyamar!”
“Aku mengerti!”
“Ke depannya akan banyak bahaya,” Adipati Agung mengingatkan. “Jangan sampai identitasmu terbongkar.”
“Ayah tenang saja! Bukankah aku sudah cukup berlatih?”
“Jangan lakukan hal yang serius,” Adipati Agung menambahkan. “Tidak perlu belajar! Yang perlu kaulakukan hanya bermain saja. Jika ada yang mengajakmu berpihak, pura-pura bodoh saja!”
“Pura-pura tidak berguna… aku memang ahlinya!”
.
.
.
Sementara itu, di Gerbang Timur Laut…
“Kalau ada yang berani menyembunyikannya, jangan salahkan aku bertindak kejam!” Panglima wanita itu merutuk di sepanjang koridor sambil berjalan cepat dengan langkah-langkah lebar.
“Jenderal!” Seorang prajurit menegur panglima itu. “Anda sudah mencari Tuan Muda sepanjang hari, apa tidak merasa lelah?”
“Tunggu sampai aku menemukannya!” Geram wanita itu tak mau tahu. “Akan kupatahkan kakinya!”
.
.
.
Beberapa hari kemudian…
“Tempat menyenangkan di ibu kota… sudah kalian cari tahu?” Huan Wenzhao---mengenakan hanfu sutera glamor bercorak mencolok berwarna emas---mengipasi dirinya meski cuaca tidak begitu panas. Bagian dada hanfu-nya terbelalak dan rambutnya yang panjang berwarna hitam mengkilat selurus penggaris dibiarkan tergerai di bahunya yang lebar.
Dua wanita cantik berpakaian terbuka mengapitnya di kiri-kanan.
Satunya mengenakan hanfu semata kaki berlengan panjang namun terbuka di bagian dada. Rambutnya yang panjang sepinggang hanya disanggul sebagian dengan hiasan rambut glamor dan tusuk sanggul berumbai mutiara. Wajah cantiknya memberi kesan jinak-jinak merpati.
Satunya lagi mengenakan qipao merah kirmizi setinggi lutut dengan belahan rok sampai ke pangkal paha. Wajah cantiknya tertutup cadar merah transparan. Rambutnya disanggul bulat di kedua sisi kepala. Gaya bicaranya yang manja memberi kesan imut dan menggemaskan.
Namun sebenarnya, kedua-duanya adalah prajurit khusus dari Divisi Mata-mata yang sangat terlatih—sejenis mesin pembunuh berdarah dingin dari Gerbang Timur Laut.
Lebih dikenal dengan nama Yue'er dan A Nuo.
“Tuan Muda tenang saja, kami sudah menemukannya,” cerocos si gadis manja—A Nuo. “Di ibu kota, Xieyuanyuan yang paling menyenangkan!”
“Benar!” Si jinak-jinak merpati—Yue'er menimpali. “Malam ini ada drama kesukaan Tuan Muda!”
Xieyuanyuan adalah nama salah satu tempat hiburan paling lengkap menurut selera Huan Wenzhao. Sebuah penginapan sekaligus restoran dan kedai minuman, juga toko buku dengan panggung hiburan.
“Baiklah!” Huan Wenzhao memukulkan kipas lipatnya di telapak tangan. “Sudah diputuskan,” katanya dengan suara yang sengaja dibuat congkak. “Malam ini, kita ke Xieyuanyuan saja!”
Sekonyong-konyong kereta mereka tersentak, disertai suara berderak nyaring yang membahana.
Kereta berhenti mendadak, dan kedua wanita dalam kereta itu tersapu dalam teriakan panik di antara ledakan logam yang berbenturan di sisi kereta.
Huan Wenzhao menarik cepat-cepat kedua wanita di kiri-kanannya ke dalam pelukannya—berpura-pura sedang intim!
Kedua wanita itu langsung mengerti.
“Orang kampung dari mana tak punya mata, berani menabrak kereta kami?” A Nuo mendelik dengan kepala tetap bersandar di dada Huan Wenzhao.
Seseorang menyentakkan tirai kereta mereka hingga terbuka. “Jelas-jelas kereta kalian yang menabrak kereta kami!” Seorang pria meneriaki mereka.
Huan Wenzhao dan kedua wanita di kiri-kanannya menoleh acuh tak acuh.
“Semua ada aturannya, seharusnya kalian beri jalan!” Pria itu semakin meninggikan suaranya. “Kalian tahu siapa pemilik kereta ini? Tuan Qin dari Sekolah Kekaisaran!”
Sekolah Kekaisaran? Pikir Huan Wenzhao, matanya berkilat-kilat penuh semangat. Ia melepaskan kedua wanita di sisinya, kemudian beranjak dari bangkunya dan melongok keluar. “Siapa itu Tuan Qin?” Selorohnya dengan raut wajah malas. Lalu menguap dan menggeliat. Ia tertunduk memeriksa roda kereta mereka yang bertabrakan dengan dahi berkerut-kerut, pura-pura berpikir keras.
“Coba lihat!” Kata Huan Wenzhao sambil menunjuk roda kereta mereka dengan kipasnya. “Lihat posisi kereta ini!”
Orang banyak serentak menoleh dan mulai berkerumun.
“Siapa yang melanggar duluan masih belum jelas,” cerocos Huan Wenzhao acuh tak acuh. “Namun…” ia menggantung kalimatnya dan menyeringai. “Aku tahu! Kau melihat aku kaya. Jadi sengaja berhenti di sini untuk memerasku, kan?”
“Kau—” wajah kusir itu memerah karena kesal.
“LANCANG!” Orang dalam kereta akhirnya menyentakkan tirai dan melongokkan wajahnya keluar jendela. Seorang pria paruh baya berwajah kaku khas pejabat kekaisaran. “Bicara sembarangan apa?” Hardiknya sambil menudingkan telunjuk ke wajah Huan Wenzhao. “Berani memfitnah abdi negara!”
“Aku penerus Adipati Agung...” Sanggah Huan Wenzhao dengan gaya bicara pelan yang menjengkelkan seakan menekankan bahwa apa yang dikatakannya jauh lebih penting. “Apakah mungkin aku memfitnah?”
“Sudahlah!” Pejabat itu mengibaskan tangannya, “Beri uang dan usir mereka!” Katanya pada saisnya.
“Aku belum selesai!” Sela Huan Wenzhao sambil memukulkan kipasnya ke atap kereta pejabat itu. “Lihat dulu!” Sungutnya semakin tengil. “Kuda kesayanganku sangat terkejut sampai stres. Uang kalian itu, tak akan cukup untuk biaya rehabilitasinya.”
“Kau mau apa lagi?” Pejabat itu melotot tak sabar.
Huan Wenzhao menggulirkan bola matanya ke atas dan mengerutkan dahi, pura-pura berpikir sambil mengusap-usap dagunya dengan buku jarinya. “Sudahlah!” Katanya tanpa beban. “Aku… penerus keluarga Huan, orang terkaya yang sangat terpandang di Perbatasan Utara, Huan Wenzhao, terkenal sebagai orang berlapang dada. Melihatmu sudah tua, aku tak akan perhitungan.”
Bocah tengik! Geram pejabat itu dalam hatinya. Kedua tangannya terkepal gemetar di atas kedua lututnya.
“Ingat!” Huan Wenzhao meninggikan suaranya sembari memukulkan kipasnya ke atap kereta pejabat itu sekali lagi. “Lain kali, cari uang dengan benar,” katanya menggurui. “Jangan selalu ingin memeras orang!”
“Kau—” pejabat itu nyaris meledak karena murka.
Tapi Huan Wenzhao sudah berbalik tanpa rasa bersalah. “Ayo!” Katanya pada saisnya.
Pejabat itu merenggut tirai dan menutupnya dengan sentakan ketus. “Penerus Huan…” geramnya sambil mencatat nama itu dalam benaknya dan menggarisbawahinya.
Tak sampai setengah hari, kabar itu sudah mendarat di meja Pangeran Ketujuh.
“Ada kabar dari Gerbang Kota,” seorang informan melaporkan. “Siang ini, penerus Huan sudah tiba di ibu kota. Kabarnya, sifatnya angkuh dan keras kepala. Baru masuk saja sudah hampir berkelahi. Cukup merusak nama baik Adipati Agung!”
Seulas senyuman samar tersungging di sudut bibir pangeran itu.
“Ibu kota memang ibu kota,” Huan Wenzhao berdecak sembari mengedar pandang keluar jendela.
Kereta mereka merayap pelan di tengah keramaian.
“Sungguh lebih ramai dari Perbatasan Utara!” Gumam Huan Wenzhao sembari melongokkan kepalanya ke luar jendela.
Orang banyak menoleh padanya dengan tatapan antara kagum dan bingung.
Orang kampung dari mana? Pikir beberapa orang.
“Wah!” Pekik Huan Wenzhao sembari memelototi seorang gadis yang sedang berjalan di trotoar. “Gadis di jalan saja cantik!”
Lumayan tampan! Pikir para wanita. Sayangnya bodoh. Beberapa wanita menggeleng-geleng.
Sesampainya di Xieyuanyuan, kemunculan Huan Wenzhao di lobi menjadi sorotan.
“Ini Xieyuanyuan?” Seru Huan Wenzhao sembari mengedar pandang. Matanya yang jeli menyisir setiap sudut tempat dalam ruangan. Telinganya yang peka menyimak dengan waspada. Penciumannya yang tajam mengendus bermacam aroma. Sudut bibirnya membentuk senyuman miring. Aura siluman! Pekiknya dalam hati. Menarik!
“Bagaimana?” A Nuo meminta pendapat.
“Cukup mengesankan,” komentar Huan Wenzhao.
“Walaupun Xieyuanyuan baru buka tiga tahun, tapi nama dan skalanya nomor satu di ibu kota!” Yue'er menimpali.
“Hamba dengar, di baliknya ada orang terkaya di ibu kota!” A Nuo membisiki dengan gaya dramatis. “Sudah pasti memiliki bisnis besar!”
“Namun…” Yue'er menyela sambil mendongak dan mengedar pandang meneliti balkon lantai atas. “Dibandingkan daerah kita, tempat ini masih kalah.”
“Aiya!” Huan Wenzhao menginterupsi. Kemudian mulai berkoar. “Kau tidak mengerti? Perbatasan Utara kita, mana bisa dibandingkan dengan ibu kota!”
Perbatasan Utara? Pikir beberapa tamu. Dan seketika beberapa pengunjung mulai berkasak-kusuk.
Lalu secara diam-diam mata Huan Wenzhao mengerling ke arah panggung.
Dua penari wanita sedang beraksi di atas panggung itu. Begitu anggun dan berkilauan dalam penglihatan Huan Wenzhao.
Siluman! Huan Wenzhao menyimpulkan.
“Coba lihat dua wanita cantik itu!” Katanya sambil berkacak pinggang, sepasang matanya berkilat-kilat memandang kedua penari itu.
Kedua wanita di sampingnya spontan membeliak.
“Bagaimana?” Huan Wenzhao meminta pendapat.
“Biasa saja!” Dengus kedua wanita di sampingnya bersamaan.
Huan Wenzhao tersenyum miring. “Aku memang suka yang biasa-biasa saja,” katanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari pertunjukan.
“Cih!” Kedua wanita di sampingnya mencebik dan mendelik.
“Semakin biasa, semakin bagus!” Huan Wenzhao menambahkan.
Kedua wanita di sampingnya serempak mengerang.
“PELAYAN!” Huan Wenzhao berkacak pinggang dan mendongakkan hidungnya.
“Hadir, Tuan!” Seorang pelayan pria spontan menghambur menghampirinya dan membungkuk memberi salam pada mereka. “Silahkan beri perintah,” katanya bersemangat.
“Beri kami kamar yang posisinya paling bagus,” pinta Huan Wenzhao dengan gaya selangit. “Aku ingin melihat pertunjukan dengan baik!”
Si pelayan tersenyum kikuk, “Kamar terbaik kami…” pelayan itu mengerling ke lantai atas. “Di lantai dua itu!” Katanya sambil menunjuk beranda salah satu kamar yang sudah terisi sekelompok tamu berpakaian glamor. Posisi beranda kamar itu menghadap lurus ke arah panggung.
Huan Wenzhao mengikuti arah pandang pelayan itu dan menyeringai tipis.
“Sudah disewakan,” pelayan itu memberi tahu sembari tertunduk muram. “Anda pilih kamar yang lain saja!” Ia coba bernegosiasi. “Masih ada dua kamar yang posisinya juga bagus,” katanya sambil menunjuk dua kamar lain di kedua sisi panggung.
Huan Wenzhao mengangkat sebelah tangannya di sisi wajah, memperlihatkan cincin warisan keluarga Huan yang melingkar di jari telunjuk. Jenis cincin penyimpanan yang biasa digunakan para kultivator dari kalangan bangsawan dengan kapasitas ekslusif, yang sepintas saja terlihat bahwa latar belakang keluarganya tak sederhana.
Para tamu di sekitar mereka spontan tercengang.
“Menurutmu…” Huan Wenzhao memutar-mutar cincin itu, berpura-pura memperbaiki posisi permata spiritualnya yang memukau. Lalu mengusap rambutnya yang menjuntai di sisi wajah dengan jari telunjuk yang mengenakan cincin warisan itu. “Apakah aku terlihat seperti kekurangan uang?” Katanya dengan nada pelan yang menekankan isyarat kecaman.
“Ah—haha!” Pelayan itu tertawa gugup. “Tidak, tidak!” Katanya cepat-cepat. “Tentu saja tidak! Bukan itu maksud saya. Hanya saja…” pelayan itu menggantung kalimatnya, kemudian mengerling melewati bahunya dan mendekat pada Huan Wenzhao. “Saya tak bisa menyinggungnya,” bisiknya sembari menutupi mulutnya dengan telapak tangan.
“Baiklah!” Huan Wenzhao memukulkan kipas lipatnya ke telapak tangan. “Kau tak bisa? Maka…” ia mengerling ke beranda kamar yang menghadap lurus ke panggung itu. “Aku naik sendiri!”
“Itu—” pelayan itu tergagap-gagap. Kedua tangannya terulur ke arah Huan Wenzhao, mencoba menahan pemuda itu.
Huan Wenzhao sudah berbalik dan bergegas menuju tangga diikuti kedua pengawal cantiknya.
Tak lama berselang…
GUBRAK!
Pintu kamar ekslusif itu berderak.
Huan Wenzhao mendobrak pintu kamar itu dengan cara menendangnya, kemudian menyeruak masuk dengan sebelah tangan terlipat ke belakang, sementara tangan lainnya mengayunkan kipas di depan wajahnya. Menampakkan ekspresi dingin arogan khas aristokrat.
“Kau siapa?” Seorang pemuda meneriakinya dari balik meja teh.
Huan Wenzhao melempar sekantong emas ke meja teh itu dan menyerobot salah satu bangku. “Ambil uang itu,” katanya dengan nada arogan. “Kau boleh keluar!”
“Sebelum masuk kau tidak cari tahu dulu siapa aku?” Gertak pemuda itu.
Huan Wenzhao mengibaskan sebelah tangannya, dan seketika kedua pengawal cantiknya menyergap pemuda di depan meja teh itu dan menggelandangnya ke arah pintu.
Dua pria dan seorang wanita yang menemani pemuda itu memekik terkejut dan berusaha menahan mereka.
Tapi kedua pengawal Huan Wenzhao turut menyeret mereka juga. Lalu melemparkan mereka bersama-sama ke luar pintu.
BRUAK!
Keempat tamu itu tersuruk bersama di lantai.
“Aku Huan Wenzhao dari kediaman Adipati Agung!” Huan Wenzhao mengerling dan memicingkan matanya. “Tidak peduli kau siapa!” Tandasnya tajam.
“Kau—” pemuda itu menggeram dan menunjuk Huan Wenzhao.
“Tuan Muda!” Dua pria yang mendampinginya menyela cepat-cepat. “Kita pergi saja,” kata mereka sambil menggamit lengan pemuda itu di kiri-kanan. Wanita yang bersamanya melirik Huan Wenzhao dengan tatapan sinis, kemudian berlalu sambil berdecih.
Huan Wenzhao memalingkan wajahnya ke arah panggung dan menyeringai. Kemudian mengipasi dirinya lagi. “Yue'er! A Nuo!” Titahnya tanpa ekspresi. “Dapatkan dua penari itu!”
“Baik!” Kedua wanita itu membungkuk serempak dan bergegas turun ke lantai dasar.
“Tidak masuk akal!” Gerutu A Nuo setelah berjalan cukup jauh dari Huan Wenzhao. “Menurutmu… apa yang dipikirkan Tuan Besar?” Ia bertanya pada Yue'er. “Kenapa Tuan Besar meminta kita bertingkah seperti perempuan sundal di depan Tuan Muda? Bukankah menjaga si bodoh ini saja sudah cukup merepotkan? Kenapa kita juga harus merayunya?”
“Aku juga tak tahu!” Sahut Yue'er acuh tak acuh. “Tapi misi ini penting untuk daerah perbatasan utara kita.”
“Kakak!” Rengek A Nuo. “Bagaimana kalau dia benar-benar menginginkan kita? Kelihatannya dia cukup berengsek!”
“Dapatkan saja kedua penari itu!” Tukas Yue'er, tetap tenang dan serius. “Setidaknya malam ini kita masih aman!”
“Seleranya betul-betul payah!” A Nuo mencebik.
Sementara itu, di kamar Huan Wenzhao…
Selepas kepergian dua pengawal wanita itu, seorang pria dengan hanfu hitam berlapis rompi armor sewarna bermotif logam, menyelinap masuk melalui jendela belakang dengan gerakan ringan tanpa suara. Lalu mendarat di belakang Huan Wenzhao. Wajahnya tersembunyi di balik masker ketat warna---apa lagi kalau bukan---hitam.
“Tuan!” Pria itu membungkuk dengan satu tangan terkepal di lantai, satu tangan lainnya terkepal di dada dalam hormat tentara. “Hu Li Na sudah menyadari Anda menghilang.”
Huan Wenzhao tetap bergeming memunggunginya, pura-pura fokus menonton pertunjukan. “Sudah kuduga binatang buas betina itu tak akan melepaskanku,” katanya dengan gerakan mulut tidak kentara.
Hu Li Na adalah panglima wanita di Gerbang Timur Laut. Wanita itu masih mencari Huan Wenzhao sampai sekarang.
“Benar-benar merepotkan!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!