Sudah sekitar 3 tahun ia meninggalkan tanah kelahiran dan keluarganya, demi mengenyam pendidikan di negri orang, katenye....ngga tau cuma mau buang-buang duit ortu yang udah kebanyakan sampe cebok aja pake duit.
Dan untuk pertama kalinya lagi kulit semulus permukaan pualam, lembab selembab lingkungan bertumbuhnya tanaman jamur hasil karya skin care beratus-ratus dollar dan dokter kulit dengan harga selangit sekali konsulnya di negri singa putih tersapu oleh debu ibukota yang kurang ajarnya ngalahin copet.
"Panas, hofftt!" atap mobil terbuka semakin melebarkan jalan untuk angin bercampur polusi menerpa kulit cantiknya, ini awan ibukota yang emang setipis kulit ari atau memang semakin sini cuaca nusantara sudah tak ramah anak.
Kepalanya sedikit pusing akibat jetlag tadi pagi, dan siang ini ia harus berkendara di tengah kemacetan ibukota yang menurutnya semakin parah cuma demi mengantarkan kado pernikahan untuk seorang teman yang waktu lalu menikah dan ia tak bisa hadir karena kesibukan kuliahnya.
"Gue udah mau sampe lokasi yang lo share, bisa jemput di depan gerbang ngga?"
.....
"Oke."
Putaran roda ban mobil sport mewah berharga ratusan bahkan sampai milyar itu bak gasing beyblade kontras dengan deru mesin berat dan dalam, brummm!
Brummmm,
Watchout!
Sebuah mobil sport berwarna merah menyala begitu mengkilat bikin silau mata yang melihat, mungkin jika dilihat dengan mata telanjank bakalan bikin buta dadakan, heran...itu body mobil apa gerhana?!
"Ck...ck...ck, ayu tenan...artis darimana? Opo sek namanya? Gelben..." senggol pria yang sejak tadi manggul senjata di depan dada biar yang datang tau, kalo ini adalah markas angkatan bersenjata bukan markas boyband.
"Grillben...." ralat seorangnya lagi sama-sama salah. Naluri lelaki prajurit itu mengatakan jika jidatnya kurang mengkilat dan perlu digosok biar glowing, maka itu yang ia lakukan membuat prajurit satunya lagi mengernyit.
"Ngga usah ngimpi. Berat di ongkos, nyolek dikit aja takut lecet..." jawab rekannya berseloroh, ia berjalan menghampiri gadis yang memang sudah lebih dulu turun dari mobilnya itu hendak menemui mereka, sedikitnya rasa kelaki-lakian muncul dengan otomatis saat gadis cantik dengan fisik terawat datang mendekat, dari jarak 5 meter saja kedua tentara ini seolah merasa taman surga ikut datang bersama gadis cantik ini, wanginya sampe bikin usus ikutan wangi. Mungkin wangi parfumnya ini akan teringat sampe 40 hari ke depan persis wangi bunga kuburan.
"Om, ini batalyon udara kan ya?" tanya nya seraya memastikan plang di atas bukanlah plang mantri sunat, kalee aja kan...otaknya ikutan sableng karena jetlag.
...Pangkalan angkatan militer...
...Lanud ☆☆☆☆☆...
Biru-biru persis kampung smurf. Apa jangan-jangan temannya nanti keluar dengan wujud warga dari desa pandora? Dina terkekeh sendiri membayangkan Clemira yang berubah warna kulit persis si Neytiri, tokoh favorit di film box office favoritnya.
"Keren," gumamnya nyengir sambil manggut-manggut.
Kedua prajurit ini hanya mengernyit seraya saling melempar pandangan, cantik-cantik gila.
"Na!" Clemira berjalan cepat seraya memanggilnya yang kemudian menoleh melebarkan senyum.
"Cle!"
Kedua prajurit ini berohria saat melihat istri dari salah satu prajurit disini menyapanya.
"Tuh, itu temen saya, boleh masuk ngga om? Apa perlu diperiksa dulu?!" tanya nya polos dengan mata membulat dan wajah lugunya seraya menggoyang-goyang badannya ke kanan dan ke kiri persis bocah tk sambil menggigit bibir bawahnya, bikin kedua prajurit di depannya justru tremor meleleh dibuatnya.
Keduanya menggeleng gugup dan mempersilahkan Dina masuk.
"Ye, makasih om!" ia melompat kegirangan masuk ke dalam mobilnya dan mobil mewah itu melaju mulus ke dalam markas, berhenti sejenak demi meminta Clemira duduk.
"Lo apain peak, itu om-om di depan sampe syok dunia akhirat gitu?!" cecar Clemira menggeleng tak habis pikir dengan aksi usil Dina, dan tawa gadis ini meledak kemudian.
"Ck. Elah! Cowok nusantaranya aja yang emang polos---polos Cle. Tapi sebaik apapun cowok, bagi gue semuanya sama...." ucap Dina lagi, Clemira menatap Dina getir dan nanar. Gadis sebaik Dina jadi begini karena terlalu seringnya ia patah hati, terhianati oleh pria-pria bulenya.
"Dari dulu udah gue bilang, pacaran tuh sama yang original buatan negri aja, orang luar yang lo suka kebanyakan player...jadinya makan hati sendiri."
Rasa sesak itu belum hilang, hati yang retak tak bisa pulih kembali dan entah kapan ia bisa percaya kembali untuk menjalin rasa dari kekecewaan, "ihhh," manyunnya melihat Clemira dengan wajah merengut, "ngga usah bahas lagi mereka, gue udah lupa!" jawabnya, jelas ucapannya menghianati hati, sikap Dina yang begitu justru menunjukan jika ia masih begitu kesal dan teringat dengan kisah cintanya yang malang.
"Gue mau jadi biksu aja, seumur hidup, ngga akan pernah jatuh cinta lagi sama yang namanya manusia, karena sejatinya manusia itu perusak, cuma bisa nyakitin..." ucapnya memancing reaksi sewot Clemira, "amit-amit. Ucapan adalah do'a sister."
Laju mobil melambat melintasi lapangan dan gedung-gedung nun biru sejauh mata memandang, "kemaren niat gue pulang kampung emang pengen liat yang seger-seger Cle. Tapi gue ngga nyangka, secepet ini Allah kasih gue yang biru-biru..."
Clemira menyemburkan tawanya, "kurang sayang apa coba Allah sama lo?!" Keduanya tertawa bersama, kemudian Clemira meminta Dina untuk berbelok sesuai arahannya demi singgah sejenak di puslatpur dimana Tama sedang melakukan latihan rutinnya.
"Din, kita ke puslatpur dulu bentar...ketemu mas Tama, soalnya dari kemaren gue udah ngomong lo mau datang, nebus kehadiran lo di nikahan gue..." Cle masih saja mencebik dendam mengingat keabsenan Dina saat ia dan Tama menikah.
"Iya." ia menginjak rem dengan mulus semulus kakinya di depan sebuah gedung arena puslatpur, dimana para prajurit biasa melakukan latihan tempur atau sekedar menjaga kebugaran.
"Mau ikut ke dalem?" tanya Cle, keduanya keluar dari mobil. Dina yang sejak tadi mengedarkan pandangan meneliti setiap inci area ini menggeleng seraya duduk menyender di atas pintu mobilnya.
"Oke. Kalo gitu gue..." baru saja Clemira hendak masuk, Tama sudah keluar dengan bersimbah keringat yang membanjiri badan di balik jaket kesatuannya, meskipun lelaki tulen ia tak pernah sampai memperlihatkan absnya di depan umum bahkan ketika kondisi sebasah apapun keringat yang membanjiri.
"Mas,"
"Dek,"
"Cle," sapa Pras, "cie sampe dijemput segala...kaya anak tk..." cibirnya mengelap keringat diantara kaos putih yang mencetak sebagian otot badan, tidak ketat namun akibat dari keringat yang membasahi kaosnya sampe nempel-nempel.
"Ada..." tunjuk Clemira ke arah mobil.
"Sis..." panggil Clemira, gadis berambut panjang bergelombang nan blonde itu menoleh sambil berdadah ria, "hay!" kaki-kaki mulus yang terbalut sepatu bertali layaknya anak SMA bernuansa denim dan kaos kaki sepanjang lutut yang menutupi kaki jenjangnya tetap tak bisa menyembunyikan kulit seputih susu-nya, sebab rok rempel yang dipakainya hanya sebatas pa ha, plus kaos top croftnya yang bak personel girlband.
"Masya Allah..." Pras menelan salivanya sulit, "milk bun rasa thai tea...Tam... Enak digigit kayanya," bisiknya, Clemira tertawa mendengar julukan Pras untuk Dina, "bukan dari thailand lagi om Pras. Dina udah lama di negri singa putih, sekarang."
"Suami lo yang mana?" tanya nya polos, pasalnya selama ini ia tak begitu melihat wajah Tama dan tak mengingatnya, karena menurutnya om om tentara itu satu modelan semua. Prasasti menahan ledakan tawanya saat si cantik milk bun itu bertanya begitu polosnya.
Clemira menepuk jidatnya, "lama di luar negri ngga bikin lo pinter, Din."
.
.
.
.
.
.
Prasasti
Matanya tak bisa untuk tak memperhatikan gadis milk bun di depannya yang manis persis rasa gulali, bahkan memandangnya saja ia sudah merasa sakit gigi saking manisnya saat ia berbicara dan tersenyum. Fix, ia kelewat matang, ngeliatin gadis yang gayanya selangit persis personel black pink itu kok ya sangkur-nya langsung tegang, shiitt! Tole, bisakah kau tenang barang sedikit saja, minimal sampai menemukan yang halal! Olahraga nyatanya bikin fisik dan libi doonya terjaga dengan baik.
"Hey, om...hello!!! Turun udah nyampe! Om yang dari tadi cengo ini sawan naek mobil mewah apa gimana?" tegur Dina memecah lamunan mesum Pras.
Clemira benar-benar tergelak melihat wajah asem Pras, "ta ilerin juga nih mobil...sembarangan banget kalo ngomong." jangankan mobil non, pesawat tempur, kapal selam, bahkan onta betina pun sudah pernah ia tunggangi, ngga ada tuh acara melongo sampe ngiler!
"Hey bocil, jangankan mobil begini...macan betina aja saya tunggangi..." balasnya mengundang tatapan Tama dengan alis naik sebelah, mencoba mengartikan makna frasa yang ambigu itu sementara Dina, gadis itu sampai menutup mulutnya saking kaget, "ihhh, om ngga normal! Makanya kawin om, masa dari sekian juta perempuan di negri ini ngga ada satupun yang mau, sampe om harus nunggangin macan betina?!" Dina kini tertawa puas.
Clemira dan Tama tertawa dengan pemikiran Dina yang di luar nurul, maksud Pras belok kanan, otak Dina malah ngasih sen kiri.
"Peak, njirr.." umpat Cle yang langsung kena sentil Tama di bibir bawahnya.
"Ck. Otak kamu itu cil kacau ck...ck....udah 21+, ngga beres! Mesti dapet guru yang bener!!" balas Pras berdebat di depan rumah dinas Tama.
"Ya emang iya, umur gue udah 21 lebih 2 minggu kok. Kurang bener gimana, kampus gue kampus Internasional, loh...dengan dosen yang bergelar semua!" jawab Dina tak mau kalah. Perdebatan keduanya malah bikin tuan rumah pusing 7 keliling, Tama memilih melenggang masuk lebih dalam membiarkan kedua tamunya berdebat di depan rumah, tanpa mau menggadaikan kewarasannya meladeni kedua insan kurang akhlak itu, "dek. Coba tolong hangatkan lauk di meja," pinta Tama diangguki Cle.
"Om Pras ikut mampir dulu?" ajak Clemira yang sudah mengekori Tama masuk begitupun dengan Dina.
Sebenarnya ia mau, lumayan kan bisa numpang makan gratis, belum lagi kehadiran bocil 21 + itu, sepertinya Pras akan punya teman debat yang asik sambil nyemil tak seperti Tama yang banyak diamnya kalo diusilin.
Tapi mengingat di rumah belum cuci piring bekas makan tadi jadinya ia lebih memilih pulang saja, takut jika tikus gusur-gusur piring bekas makannya, mana piring di rumahnya cuma tinggal setengah lusin lagi.
"Ngga dulu, Cle. Saya langsung pulang saja deh..." pamitnya, Dina hanya menatap Pras dengan malas berharap tak bertemu kembali dengan teman dari suami temannya itu, "bye om! Besok-besok kalo aku kesini, diusahakan om jangan ke rumah Cle ya!"
Dan demi apa?! Ucapan Dina barusan membuat langkah Pras yang sudah menjauh barang 3 langkah kini kembali mundur dan memutuskan untuk masuk ke halaman rumah Tama, "ngedadak saya pingin minta makan, Tam."
Dina merengut kesal, "ck."
Emhhh! Dina menikmati klepon yang gulanya sampe lumer-lumer di mulut tanpa terganggu hal kecil apapun termasuk tatapan aneh Prasasti, "ini tuh apa ya, gue kok lupa Cle?! Maklum lah udah lama ngga balik, jadi lupa sama makanan tradisional negri sendiri..."
"Klepon." jawab Clemira dan Prasasti bersamaan, mata indah itu memicing mendelik pada Pras yang duduk di kursi sofa depan, "gue nanya nya Cle, bukan Clemira jejadian...nama om Clemira juga?"
Dan untuk apapun yang ada di dunia ini, hadirnya Prasasti yang selalu ngerecokin hidup Cle dan Tama saja sudah bikin rusuh, ditambah sekarang Dina bikin rumah sepasang pengantin baru ini bak arena tinju saat ini, atau lebih kepada panggung wayang?
"Saya bantu jawab cil, takutnya yang ditanya lagi sariawan atau justru ngga tau nama penganannya." Alibi Pras menutupi aib bahwa mulutnya memang seringkali nyerobot ucapan orang.
Clemira menggeleng kedua manusia berbeda generasi itu untuk kesekian kalinya bikin rumah adem ayem pengantin baru ini ramai seperti sidangnya maling ayam.
"Elu berdua bisa pada nyantai ngga? Ini rumah orang loh, bisa kan ngga saling debat gini, kalo berantem lagi...salah satu dari kalian, out!!" ancam Clemira. Dina melirik Pras dengan mata sinisnya yang tajam, kaya minta diasah terus dipake nombak ikan, sementara Prasasti sendiri malah tersenyum usil melihatnya, "rumah elo Cle, bukan rumah orang lain."
"Shhh--" Clemira melotot sementara Pras sudah cengengesan.
"Nih, bocil ini usir aja....suruh balik aja lagi ke singa putih." kontras dengan ucapannya, Pras justru sudah beranjak dari duduknya menuju pintu rumah, "kalo gitu sebagai the real men, saya yang pamit. Tam, ketemunya di kantor saja atau pas jogging, kebetulan malam ini saya ditugaskan oleh danru...saat ini rumahmu juga lagi ngga aman, ada macan betina lagi pms..."
Dina yang sedang melahap klepon itu seketika membeliak dan berniat melempar Pras dengan gelas, namun perwira itu keburu minggat secepat bayangan, seperti *black shadow*....julukan Pras di kesatuan.
"Si alan. Siapa sih dia? Bang Tama kenal om itu dimana, kok betah sih sama orang nyebelin gitu?!" rutuk Dina.
"Hah, lo sendiri disini mau numpang ngabisin jatah klepon gue dari mertua apa gimana?!" tegur Cle kesal, Dina nyengir dan menaruh kembali bulatan klepon ke 4nya ke atas piring, baru sadar atas kekurang ajarannya.
Tama yang sudah duduk di kursi seraya menatap layar laptop hanya tersenyum, "ngga apa-apa dek. Tamu itu wajib dijamu dengan baik. Nanti tinggal minta ibu buatkan lagi atau kamu minta resepnya mumpung masih di ibukota."
Clemira berdecak dan menyipitkan matanya ke arah Dina, "ini mah tamunya yang kebangetan, mas." gerutunya.
"Gara-gara lo nih, jadi gue mesti ngafalin resep. Otak gue masih ngebul ngafalin materi kuliah tau ngga?!" keluhnya mendapatkan tawa renyah Dina.
Kebiasaan dari negri orang sedikit banyaknya menjadi gaya hidup yang mulai melekat di diri Dina, termasuk clubing dan menggoyangkan badan di lantai dansa.
Seperti malam ini, selepas pulang dari kediaman Clemira ia tak langsung pulang melainkan mampir sejenak ke club malam yang menurut sepupunya cukup terkenal dan luxury di ibukota.
Hanya sekedar memanjakan lidah dengan bittersweetnya rasa wine atau sekedar mengobati kerinduan pada kebiasaan buruknya di negri singa putih sana bersama teman satu circlenya.
"Coba gue pingin nyicip wine disini, selengkap yang di sana apa engga?" Dina masuk ke lembah kemaksiatan itu dengan bergumam.
Suara degupan speaker dan pekaknya musik memanjakan pendengaran yang haus akan glamournya dunia malam, teringat kembali kejadian paling pahit yang masih membuat hatinya berdenyut, mendapati Wiliam sedang bercu mbu mesra dengan teman satu kelas Dina di club malam. Dina memegang dadanya yang tiba-tiba berdenyut sakit dan memilih tempat duduk di depan bartender.
Dina mengutarakan inginnya pada bartender yang segera meracik minuman miliknya, suara bising musik DJ yang meracik musik tak mampu menutupi suara hatinya yang lirih mengilasbalikan kejadian waktu lalu, dimana tempat semacam ini pula lah William menghianati cinta sucinya dan memilih pergi tanpa ucapan maaf apapun apalagi perasaan menyesal.
Hati nan remuk itu mendorong langkah Dina untuk meneguk wine sampai tandas lalu memintanya lagi pada bartender, awalnya hanya sebagai penghilang rasa sakit di hati, gelas kedua ia tujukan untuk kebahagiaannya sendiri.
Glek...matanya menyipit menahan aroma menyeruak dari minuman.
I'm just playing with you....
You don't mean anything to me....
Glek!
Minuman yang jauh dari kata sehat itu kembali meluncur menuju lambung Dina, gadis itu mengehkeh sumbang, uang tak ada artinya lagi untuknya. Tidak bisa membeli kasih sayang.....ia sibuk memejamkan matanya demi merenungi kisah yang terlukis di kertas putih hidupnya.
Selama ia sibuk meratapi nasib, nyatanya club malam yang sedang ia huni tengah menjadi target operasi militer. Beberapa orang pria masuk dengan tanpa seragam dinas loreng yang akan membuat ricuh tempat ini dalam waktu sedetik saja.
"Black shadow masuk duluan, bersama Road runner. Untuk sisanya bisa bertugas di luar dan menyergap seluruh akses keluar tempat ini..."
Siap laksanakan!
Prasasti hanya memakai celana jeans panjang sepaket jaket bomber merah ati dan sepatunya rapi, tak terlihat seperti seorang petugas aparat, sejak kasus yang menyeretnya ke bui, rupanya kemampuannya kini dibutuhkan oleh unit intel.
Bau menyengat menusuk hidung dan itu sudah biasa baginya selain karena ia yang seorang pria, mainan Pras pun seringkali keluar masuk tempat maksiat begini baik urusan pekerjaan maupun di luar itu.
"Black shadow come in..." ia melangkah mengedarkan pandangan diantara gegap gempita dan kerlap-kerlip club malam, bersama seorang rekan dan berpencar.
Netranya fokus pada satu titik dengan alis tebal yang mengernyit hebat, ia hafal betul dengan sosok yang kini duduk, bahkan pakaian yang dipakai pun masih pakaian yang sama.
"Ngapain bocil jam segini di tempat maksiat gini, cil?" gumamnya mendekati tempat dimana Dina berada.
.
.
.
.
.
.
"Bang, grape jack..."
Ditatapnya Dina dari samping demi memastikan jika penglihatannya tak salah, Prasasti menyunggingkan senyumnya miring, "aturannya bocil tuh jam segini udah tidur di rumah, apa perlu saya kelonin?"
Dina menoleh ke samping dimana suara sumbang bapak-bapak terasa menyapa dirinya dengan mengerutkan dahi, akibat minuman yang sudah ia teguk penglihatannya sedikit mengabur, bahkan Pras saja jadi berbayang. Dina menggeleng dan mendengus sebal saat menyadari kehadiran Prasasti layaknya sebuah lelucon dari Tuhan untuknya, ia sampai celingukan ke sisi kanan dan kiri memastikan kalau ia tidak kepedean jika menjawab, "om nanya gue?"
Prasasti malah cengengesan, rupanya gadis ini sudah setengah mabuk.
"Pengennya ngga ketemu, tapi kenapa ya Tuhan tuh kirim terus orang kaya om di hidup gue, karma apa gimana sih?"ocehnya. Bukankah ocehan manusia diambang ketidaksadaran biasanya itulah isi hati yang sebenarnya? Apa ini?! Apakah pertemuan dengan pria seperti Pras adalah sebuah penyesalan?! Bocil! Emang minta di cipoxx sampe sesek nafas ini!
"Om sendiri ngapain disini?" tanya nya dengan alis yang mengernyit, ia lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling jika tempat dimana ia berada masih remang-remang, masih bersuara bising musik remix hasil karya dj, "ngga mungkin dong markas tentara pindah kesini?!" tawanya renyah meraih gelas berisi sisa wine yang tinggal sepertiganya dan hendak menyeruput isinya.
Pandangan Prasasti kini jatuh pada gelas yang dipegang dan hendak didekatkan dengan mulut, "disini tuh dilarang minum sendirian, ngga tau aturannya ya?" tangan Dina ditahan Pras, namun tak kehilangan akal, gadis ini justru memajukan wajah dan bibirnya ke arah gelas yang ada di tangannya demi bisa menyeruput minumannya.
Prasasti terkekeh gemas, "bocil...bocil...banyak banget akal bulusnya. Kalo saya bilang ngga boleh, ya engga..." ia menepuk kening halus Dina. Busettt! Itu kening apa tempat ice skating? Licinnn!
Alis hasil sulamannya kini mengerut kisut percuma saja, disulam seharga sawah sepetak kalo dipake ngernyit tetep aja bentukannya kisut, "kok ngatur-ngatur? Emangnya om siapa? For your information, aku udah hidup bebas sejak keluar dari rumah loh om, pokoknya hidupku itu gimana aku..." oceh Dina.
Prasasti tak kehilangan akal demi melarang Dina kembali minum, sebelum kesadaran gadis ini benar-benar hilang, entah kenapa hati nurani Pras begitu teriris melihat Dina begini, kemana gadis polos nan menggemaskan yang mendebatnya tadi di batalyon.
"Ini negri khatulistiwa, dan saya aparat penegak hukumnya. Maka kamu....warga bandel, mesti ikuti aturan saya.." ucapnya memajukan wajah dengan tatapan tegas memberikan peringatan dan lihatlah kedipan lugu Dina yang setengah mengantuk itu memancing rasa gemas Pras.
"Dan saya adalah warga negara yang ngga pernah telat bayar pajak...aparat itu digaji sama uang rakyat. Jadi harus nurut sama yang punya uang...ngga ada aturannya bos nurut sama karyawan."
Damn! She's right! Prasasti mengangguk seraya mendengus sumbang, Give applause untuk gadis ini, ia pintar.
"Kalo semua bosnya kaya kamu, maka negara ini hancur. Mari saya tunjukan bagaimana teori kamu itu bekerja, kalau pelayan itu melayani dan melakukan semua yang dilakukan bosnya."
"Kamu, minum maka saya temani dan saya layani..." Pras turun dari bangku bulatnya lalu berjalan menuju belakang meja bartender membuat Dina semakin mengernyit begitupun bartender yang terusir posisinya oleh pria ini.
Ia berbisik meminta sejenak menjadi bartender pribadi Dina, "oke. Apa yang kamu suka?" tanya Pras.
Dina menatap angkuh dan egois, jiwa kekanakannya muncul dengan begitu mendominasi, seolah ia ingin menunjukan sisi kekuasaan dirinya di depan Pras, bahwa ia tak terkalahkan.
"Cherry Wine '97. Pake es yang banyak."
"Kamu mau coba racikan saya?" tawar Pras menaikan sebelah alis Dina, "saya jamin kamu suka..."
Mulutnya melengkung meremehkan, "boleh. Kalo ngga enak gue ngga mau bayar dan om harus ganti kerugian bar!"
"Setuju!" jawab Pras. Lelaki ini dengan lihainya mencampur dan meracik minuman untuk Dina tanpa mengalihkan perhatian dari Dina sembari pendengaran yang mendengarkan mandat dan laporan dari road runner, kawannya.
Tatapannya mengunci netra lesu Dina, mata gadis itu sayu seperti menahan beban hati teramat, semakin membuat Pras iba sekaligus penasaran akan sosok Dina.
Segelas minuman tersaji di gelas mungil nan bening, sejenak Dina memperhatikan itu dengan seksama, "bukan racun kan?"
Pras yang telah kembali duduk di samping Dina menggeleng, "kalo racun saya yang masuk bui. Toh ada saksinya," tunjuk Pras pada bartender yang kini menggeleng melambai tak mau ikut terlibat masalah keduanya.
"Oke." tanpa menunggu lama-lama Dina meraih gelas itu, membauinya sekejap, "emhhh lemon..." nilainya diangguki Pras, "tapi aku suka cherry, om."
"Coba dulu."
Terlihat Dina yang meneguk dalam sekali tegukan, Pras sampai membuang pandangan demi menyadari jika Dina peminum, jujurly ia tak tega melihat gadis secantik ini dirusak minuman, akan jadi apa generasi muda bangsa.
Clap...clap...
Dina merasai dan menyipitkan matanya.
"Gimana?" tanya Pras, rasa baru nan nagih membuat alis Dina mengernyit sedikit, "enak...enak...untuk hal ini om keren," akuinya, "apa ini namanya? Siapa tau nanti aku bisa catet buat request.an..."
"Itu hanya saya yang punya resepnya." jawab Pras.
"Pelit," cebik Dina, "lagi dong om..." pintanya merengek. Tentu saja Pras menggeleng menolak, "sudah cukup, sebaiknya kamu pulang..."
Dina menggeleng, "masih mau disini."
"Mas!" Dina malah memesan kembali minuman.
"Cil!" tegur Pras menjauhkan gelas berisi minuman itu hingga membuatnya dan Dina berebut.
"Siniin om! Buruan, biar sakit hati aku ilang!" rengeknya memohon.
"Orang lain tuh cuma bisa bilang sabar--sabar doang, tapi ngga bisa ngerasain apa yang aku rasain...!" Dina justru menitikan air matanya di depan Pras.
Prasasti menggeleng, menahan gelas dari tangan Dina, namun Dina malah semakin kuat ingin merebut itu dari Pras hingga terpaksa Pras meneguknya sendiri hingga air mukanya sedikit nyengir saat minuman itu masuk ke dalam indera perasanya, "saya temani kamu minum," akhirnya ia tak tega meninggalkan Dina.
Wajah Dina datar menanggapinya, ia tak menggubris dan lebih memilih memesan kembali, "bilang aja pengen minum tapi ngga punya duit!" omel Dina.
Road runner come in, target menuju lantai dansa....
Pras tersadar ia sempat lalai dan lupa akan tugasnya, terpaksa ia harus meninggalkan Dina barang sejenak.
"Oke."
Ia lalu memegang kedua bahu Dina, "kamu tunggu disini. Biar nanti saya antar pulangnya."
Dina malah ketawa-ketiwi sendiri membalas peringatan Pras, tanda jika dirinya sudah mulai hilang kesadaran memancing lengu han berat Pras.
Lantas Pras berpesan pada sang bartender, "saya titip cewek ini, dia adik saya jangan sampai ada yang menyentuh...dan jangan dibiarkan dia pergi dari sana sebelum saya yang bawa!" ucapnya mewanti-wanti bartender, diangguki oleh pria itu.
Black shadow masuk dan ambil alih. Ucapnya melangkah besar.
Prasasti menyerahkan tugasnya pada personel lain ketika target operasi sudah berada di luar jangkauannya, ia menatap lelah sambil berkacak pinggang melihat Dina yang telah tepar tertidur di atas meja bartender.
"Cil...cil," gadis ini benar-benar sudah tak berdaya dan Prasasti mengangkatnya untuk ia antar pulang. Jam tangannya menunjukan jika waktu sudah pukul 1 malam.
Prasasti mengantarkan Dina dengan mengendarai mobil Dina, ia mendengus geli saat melihat mobil mewah itu, mengingat kejadian tadi siang saat Dina menegurnya yang disangka melongo karena terpukau dengan mobilnya, padahal gadis itu tak tau saja Pras terpukau dengan si empunya, pandangan Pras beralih pada gadis yang kini sedang digendongnya.
Ditatapnya lama-lama wajah tenang yang bak bidadari itu, pahatan paling sempurna yang pernah Prasasti temui selama hidupnya, "kamu itu cantik, saya saja sampe suka, cil. Tapi minus kamu itu mulut kamu yang kadang kaya ngga tau diuntung. Apa yang bikin kamu jadi kaya gini?"
Prasasti menyayangkan aksi Dina yang peminum ini, di kala usianya masih muda begini, gadis ini sudah berurusan dengan dunia malam, hidupnya terlalu bebas, lantas ia melirik keseluruhan lekuk tubuh Dina yang terbilang sexy itu, "astaghfirullah." ia menggeleng saat kesadarannya mulai dikuasai hawa nafffsuu dan memilih mengikat tubuh Dina dengan seatbelt. Kalo bisa ia akan menyelimuti badan Dina dengan karung sekalian biar ngga bikin sesuatu yang ada di dalam kelojotan.
Dilihatnya gerbang setinggi 2 meter di depannya, begitu mewah dan besar, lalu bergantian dengan ktp Dina, "ini rumahnya," satu kalimat saat Prasasti melihat itu jika nyatanya Dina memanglah anak orang berada.
Sadar jika kedatangannya disambut oleh pintu gerbang yang terbuka, memunculkan sosok security, Prasasti keluar dan berbicara dengan pihak security secara baik-baik.
Dina dibawanya ke dalam hanya sampai kursi teras depan saja. Untuk urusan selanjutnya biar security rumahnya saja yang memberitahukan itu pada keluarga Dina, dan ia pamit.
"Terimakasih pak."
Pras mengangguk dan untuk terakhirnya ia menoleh demi melihat Dina untuk yang terakhir kalinya lalu pergi.
.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!