Assalamu'alaikum Warahmatullahi wabarakatuh....
Selamat datang di cerita aku lagi. Selama cerita ini berlangsung, aku harap para pembaca bisa memetik hikmahnya ya.
Semoga Allah meridhoi:)
****
Fatimah;
Ku tatap indah taman bunga yang memanjakan pandang. Warna-warni yang bervariasi itu membuatku tak mampu menahan senyuman. Sudah 1 jam aku duduk di sini, menatap bunga mawar yang sangat mempesona ini. Sendiri? Tidak, aku tidak sendiri. Aku bersama sahabatku, Naya. Hanya saja, saat ini dia tengah membelikan cemilan untuk kami makan.
Betapa indahnya Allah menciptakan dunia ini dengan sangat sempurna, hanya saja kebanyakan umat tak pandai merawat dan menjaga cipataan-Nya.
Ponselku bergetar, membuat pandangku beralih pada ponsel. Ku lihat, umi menelpon dan segera ku jawab panggilan itu.
"Assalamu'alaikum, Umi."
"Wa'alaikum salam. Kamu sudah pulang kuliah?"
"Sudah, Umi. Baru saja."
"Bagaimana ujianmu, Fatimah? Apa semua lancar?"
"Alhamdulillah, Allah mempermudah segalanya Umi."
"Syukurlah. Kamu bisa pulang bulan ini, kan?"
Aku sedikit berpikir, benar aku telah seleasai ujian akhir semester, tetapi bagaimana dengan pekerjaanku sebagai guru mengaji di sini?
"Ng... Fatimah akan pertimbangkan, Umi. Umi tahu kan, kalau Fatimah mengajar ngaji di sini?"
"Apa tidak bisa libur beberapa hari saja? Umi dan Abi sungguh merindukanmu."
Baiklah, aku juga merindukan umi dan abi. Tak apa jika aku liburkan satu pekan, bukan? "Baiklah Umi, Fatimah akan pulang."
"Alhamdulillah, semoga Allah meridhoi kepulangan kamu."
"Insya Allah, Umi."
****
Setelah salat Isya, aku kembali membaca buku untuk persiapan UAS kembali. Besok adalah ujian terakhir, aku sangat menaruh harapan pada Allah untuk mendapatkan hasil terbaik sesuai dengan apa yang telah aku perjuangkan selama ini.
Sangat berayukur, Allah selalu meridhoi setiap langkah dan perjalanan hidupku, hingga saat ini aku berada di negeri orang dengan berbekal beasiswa. Bukan kah, Allah sangat baik pada umat-Nya? Jangan pernah ragukan kebaikan Allah pada setiap hamba. Sungguh, hanya Allah-lah yang Maha Pengasih.
"Fatimah, aku pulang...."
Aku menoleh, saat melihat Naya yang baru memasuki pintu apartemen dan menutupnya.
"Aku bertemu dengan Mr. Ali di kafe. kamu tahu? Dia menitipkan ini padaku. Katanya ini untukmu."
Naya memberiku sebuah amplop berwarna biru muda, aku tak tahu apa isinya yang jelas itu surat. Pak Ali adalah dosen di fakultasku, bukan hanya muda, tetapi dia juga mempunyai rupa yang sangat tampan menawan. Siapapun yang melihatnya pasti akan menaruh hati, tetapi aku tidak. Entahlah, yang pasti aku tidak ingin menaruh hati pada hamba Allah untuk saat ini. Takut, nantinya malah setan yang melangkah dan menyesatkanku.
"Untuk apa Mr. Ali memberi ini?"
Naya mengedikkan bahu. "Baca saja, aku hanya menyampaikan amanah ini."
Ku helakan napas sejenak. Sebenarnya aku sudah tahu isi amplop itu.
Aku membuka amplop itu, ada sebuah kertas di sana. Kertas itu, kosong. Ya, kosong. Ku balik-balik, tetap kosong. Tak ada coretan apapun di sana.
"Kosong, Nay."
Naya yang baru menyalakan televisinya pun menoleh dengan alis kanan terangkat.
"Maksudnya?"
"Ini kosong lagi," ku tunjukkan selembar kertas dari Pak Ali sebelumnya.
"Bukankah selalu begitu?"
"Benar," ku letakkan surat beserta amplopnya di meja dan melanjutkan membaca buku-buku kembali. Mengabaikan surat tersebut.
Penasaran? Sungguh aku tidak penasaran maksud dari Mr. Ali mengirimkan selembar kertas putih tanpa noda itu untukku. Ini memang bukan pertama kalinya aku mendapatkan selembar kertas kosong itu, tetapi bedanya kali ini memakai amplop. Biasanya tidak. Biasanya kertas itu hanya memakai sebuah pita kecil ataupun pena berwarna yang berukuran sangat mungil.
****
Selesai kelas, aku segera melangkah keluar areal kampus. Ku putuskan untuk mampir sejenak ke Hokkaido University Library. Jika tengah sendirian tanpa Anaya, aku lebih suka menyendiri dengan membaca buku-buku di sana. Selain nyaman, di perpustakaan itu juga aku merasa mendapatkan satu pengalaman baru setiap berkunjung dari si penjaga perpustakaan.
Ku langkahkan kakiku memasuki perpustakaan. Seperti biasa, Yimo—penjaga perpustakaan itulah yang pertama kali menyapa dan tersenyum ramah padaku.
"Hi Fatimah."
"Hallo Yimo." Aku mendekati mejanya. Berhubung usia kami berbeda satu tahun, Yimo tak ingin aku beri panggilan kakak. Katanya dia lebih nyaman dengan panggilan nama saja.
"Are you still looking for that book?"
"Yes, I still need the book. Do you have it?"
"I order for you Fatimah. Maybe the weekend the book has arrived. "
Aku tersenyum dan amat berterima kasih pada Yimo. Tak ku sangka. Yimo akan dengan senang hati membantu aku mendapatkan buku itu.
"I'm very grateful to you Yimo. Thank you very much."
"It's okay, Fatimah. I was curious as to why you were looking for a book whose title is almost the same as your name. "
Aku hanya tersenyum tersipu. "That book is very special, Yimo. Ah yes, I want to look at old school books, is there?"
"Yes, there is. There is an 87 year book in the hallway."
"Then I'll go there first. Once again, I thank you, Yimo. "
Yimo terus mempertahankan senyumannya padaku. "You're welcome."
Aku berlalu menuju lorong J untuk mencari buku-buku tentang zaman 80-90an. Aku memang sangat suka membaca cerita-cerita terdahulu, rasanya seperti aku masuk ke dalam zaman itu.
Ku lihat lorong J itu, semua rak buku yang menjulang tinggi. Benar saja, banyak buku baru di sana. Tetapi, cukup sulit untuk aku menjangkau buku-buku di sana. Ku cari buku yang baru direkomendasikan oleh Yimo, ah, aku lupa bertanya di rak nomor berapa. Alhasil, aku mencarinya sendiri. Hingga hatiku tergugah pada satu judul buku. Letaknya cukup tinggi, sulit untuk aku mengambilnya. Sudah menjinjit, melompat masih tak juga ku dapatkan. Aku mengatur napas, membenarkan khimarku dan kembali berusaha mengambil lagi buku itu.
"Tidak baik seorang perempuan melompat seperti itu."
Sontok aku menggeser cepat saat mendengar suara lelaki yamg familier di telinga. Aku merunduk menjatuhkan pandang ke lantai. Takut untuk saling menatap hanya akan menimbulkan rasa dan setan ikut mengusik pula.
"Mr. Ali di sini juga?"
Bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah membantuku untuk mengambilkan buku yang ku inginkan dan diberikannya untukku.
"Terima kasih, Mr."
"Hm."
Dia pun pergi berlalu setelah berdehem begitu saja. Pertemuan tak sengaja dengan Pak Ali tidak membuatku penasaran untuk bertanya akan maksud selembar kertas kosong yang dia beri beberapa kali melalui Anaya.
****
Matahari tenggelam di ufuk barat, menenggelamkan sinarnya dan menggantikan tugasnya untuk menerangi bumi pada bulan. Aku yang sibuk pada koper dan beberapa pakaian di hadapanku. Lusa sudah aku akan kembali ke Indonesia, bertemu melepas segala kerinduan dengan yang tercinta. Umi dan abi.
Saat ingin menutup koper, ku dengar jelas ponselku bergetar di nakas. Segera ku lihat, nama Abi tertera jelas di sana.
"Assalamualaikum, Abi."
"Wa'alaikum salam."
"Abi sudah pulang kerja?"
"Sudah. Ah iya, bagaimana dengan ujian kamu, nak? Lancar?"
"Alhamdulillah, Allah memudahkan semuanya Abi."
"Jadi pulang lusa?"
Aku tersenyum tanpa abi ketahui. "Insya Allah jadi Abi, ini Fatimah sedang packing barang."
"Abi dan Umi jemput di bandara ya."
"Iya Abi...."
****
Selesai subuh, aku langsung membangunkan Naya. Dia masih tertidur dengan sangat lelap. Aku yakin, Naya pasti tengah kelelahan karena harus bekerja setelah pulang kuliah.
Naya adalah sahabatku, namun sayangnya dia bukanlah sahabat menuju surgaku. Perbedaan keyakinan membuatku dan Naya tidak bisa berjalan satu arah menuju surga Allah, tetapi Naya tetaplah sahabatku. Dia yang selalu mengingatkan bila aku melewatkan waktu salat. Kami saling menghargai dan menerima perbedaan untuk mencoba saling mengerti selama tinggal di negeri Sakura ini. Aku dan Naya tidak pernah saling mengkritik ataupun menegosiasikan tentang keyakinan kami.
Jika Allah mengizinkan, sungguh aku ingin Naya menjadi sahabat dunia dan akhiratku. Namun, itu bukan lagi kehendakku. Aku tak ingin memaksa Naya, sebab Naya pun begitu. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Kafirun ayat 6, yang berbunyi:
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Untukmu agamamu dan untukku agamaku.
****
Jakarta, 16 November 2015.
Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta
Hal pertama yang menyambutku dengan sangat baik adalah keramaian. Jakarta adalah ibu kota yang dikenal dengan kepadatan penduduknya. Aku menarik koper dengan tenang tanpa tergesa. Sepanjang keluar bandara yang ku tatap hanya lantai saja. Bukan tak berani menatap depan ataupun melihat kesana-kemari, hanya saja alangkah baiknya jika seorang wanita menundukkan pandangnya untuk tetap menjaga mata agar tidak menyebabkan zina mata.
Aku merasakan ponsel yang bergetar di Sling bagku, ku ambil dan terlihat abi yang menelpon. Panggilan itupun segera ku jawab.
"Assalamualaikum.."
"Wa'alaikum salam, Abi."
"Kamu dimana, Fatimah?"
Aku menoleh melihat kanan-kiri lalu menjawab, "Fatimah sudah di lobby bandara, Abi. Abi sama Umi dimana?"
"Abi sama Umi di dalam bandra ini. Yaudah, kami ke sana. Tunggu di lobby saja ya."
"Iya, Abi. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Panggilan terputus, aku membenarkan khimarku yang sedikit memaju. Tak bosan ku lantunkan surah yang sudah ku hapal, dan sesekali melantunkan shalawat nabi untuk mengisi waktu kendur ini.
****
Terlihat abi dan umi yang melanglah dengan senyuman merekah. Senyuman yang selama satu tahun ini hanya terlihat di layar ponselnya saja kini Aku bisa melihatnya kembali dengan secara langsung. Umi dan abi masih terlihat sangat cantik dan tampan seusianya. Umi dengan pakaian serba tertutup, dan Abi dengan kemeja serta jas yang membalut tubuhnya.
Aku mencium tangan abi dan umi bergantian lalu umi memelukku.
"Fatimah anak Umi." Umi memelukku dengan sangat erat dan aku juga membalasnya. Melepaskan segala kerinduan yang sudah lama terpendam.
Ku rasakan abi mengusap kepalaku dengan lembut. Saat itu pula aku mengurai pelukan kami.
"Fatimah kangen sama Umi dan Abi."
"Kami berdua juga kangen sama Fatimah. Gimana perjalanannya? Pasti anak Umi kecapekan."
"Fatimah nggak capek kok Umi. Oh iya, Umi dan Abi sehat, kan?" Tatapanku bertanya dengan melihat umi dan abi bergantian.
"Alhamdulillah sehat." Umi dan Abi menjawab serentak.
"Yaudah, ayo pulang." Ajak umi.
Aku, umi dan abi pun berjalan menuju parkiran untuk kembali ke rumah. Ya, rumah dimana aku dilahirkan dan dibesarkan hingga saat ini.
****
Setelah melakukan kewajibanku sebagai seorang hamba untuk salat isya, aku langsung turun ke lantai bawah hendak bergabung dengan umi dan Abi. Jam makan malam akan dimulai, di sana bukan hanya ada umi dan abi, melainkan ada sanak saudara juga. Sebelum turun aku menggunakan khimarku terlebih dahulu.
Lihat, betapa aku sangat beruntung lahir di tengah-tengah keluarga yang bahagia. Melihat keponakan dan sepupuku yang berjalan ke sana-kemari dengan melempar sapa juga senyum membuat aku amat bersyukur pada Allah karena Allah benar-benar Maha Baik telah memberikan kehidupan hamba sepertiku.
"Assalamualaikum Tante."
Mendengar suara mungil tersebut aku langsung membalik badan. Di belakang aku ada keponakanku yang masih berusia 3 tahun, wajahnya sangat lucu dan menggemaskan. Badannya yang kecil yang berbalut pakaian tertutup lengkap dengan hijabnya membuat aku semakin ingin mencubit pipinya.
Ku tekuk lutut dan memandang gadis kecil itu dengan memasang senyum.
"Wa'alaikum salam, Zahra."
"Tante masih ingat Lala?"
Aku tertawa kecil. Zahra yanh tidak bisa menyebutkan huruf "r" pun semakin membuatku gemas. Panggilannya Rara, tetapi dia menyebutnya sendiri menjadi Lala. Namun, aku lebih suka memanggil namanya, Zahra.
"Masih dong."
"Oleh-oleh Lala, ada?"
"Ada. Tante bawain oleh-oleh untuk semuanya. Tapi, kita harus makan dulu. Selesai makan malam baru Tante begikan."
"Pasti Tante Fatimah banyak abiskan uang, ya?"
Aku mengusap kepala Zahra yang berbalut khimar itu dan mengatakan, "nggak banyak, tetapi cukup dan bermanfaat untuk Zahra dan yang lain."
"Alhamdulillah. Lala tahu, Tante pasti tidak akan bolos uang. Kalena kalau bolos, uangnya telbuang, telus jadi mubajil dan jadi temannya setan."
"Pinter." Aku tertawa kecil mendengar ucapan Zahra. Usianya yang masih menginjak 3 tahun saja sudah paham tentang mubazir.
"Ayo makan malam dulu, pasti yang lain sudah menunggu."
Zahra mengangguk dan ikut bersamaku menuju ruang makan.
Sudah selalu begini, rumah kedua orangtuaku akan sangat ramai jika berkumpul. Tak lagi makan di meja makan, melainkan duduk di lantai dengan tikar yang tergelar. Karena, tida mungkin cukup dengan keluarga besar yang benar-benar besar untuk duduk di meja makan semua.
****
Dering jam beker terdengar sangat jelas di telinga. Aku tahu, ini pasti sudah pukul 3. Aku pun segera bangun dari tidur dan bergegas mengambil wudhu untuk melaksanakan salat sunnah tahajud.
Salat tahajud adalah satu-satunya salat sunnah yang Allah firmankan perintahnya dalam Al Qur’an sekaligus dengan menyebutkan keutamaannya. Salah satunya yang tercantum dalam surah Al-Isra':79, yang berbunyi....
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
“Dan pada sebagian malam hari bertahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al Isra’: 79)
Saat sepertiga malam terakhir itulah para Malaikat turun ke bumi untuk melihat seluruh hamba Allah. Maka, merugilah mereka yang tetap mempertahankan jiwa berkelana dalam mimpinya.
****
Matahari masih sedikit menampakkan sinarnya. Ku lihat jam ponsel yang masih menunjukkan pukul 6. Aku pun memutuskan untuk keluar kamar dan menuruni anak tangga setelah selesai membersihkan diri.
Rumah yang sebelumnya berserakan, kini sudah tertata rapih. Sanak saudara pun sudah tak terlihat lagi. Semuanya sudah kembali ke rumah masing-masing setelah selesai membersihkan kediaman keluargaku. Ya, keluarga besar kami memang selalu begitu. Pantang pulang sebelum semuanya bersih.
Aku membuka kulkas, masih ada beberapa menu makanan malam tadi. Maka, saat itu juga segera aku panaskan dan memasak beberapa menu tambahan untuk sarapanku bersama umi dan abi.
Baru memulai kegiatan memasak, umi datang menghampiri.
"Loh, kok sudah bangun? Nggak capek, apa?"
Aku tersenyum pada umi. "Sudah terbiasa umi."
"Umi pikir, kamu tidur lagi setelah subuh karena capek."
"Fatimah nggak bisa tidur lagi tadi Umi."
Umi mendekat, mengambil pisau untuk memotong daging yang sudah ku sediakan sebelumnya. Aku tetap melakukan pekerjaanku, mencuci dan menghaluskan bumbu masakan.
"Dulu aja, kamu paling sering tidur setelah subuh. Katamu, itu tidur paling nyaman. Bahkan kamu sering ketiduran di atas sajadah."
Mendengar itu aku malah tertawa kecil. Ucapan umi benar. Ingatan memori beberapa tahun lalu saat usiaku masih 7 tahun yang tak mungkin bisa terlupa. Aku memang sangat menyukai tidur setelah subuh, selain nyaman, bagiku juga mendamaikan. Tetapi, saat dengar pernyataan abi "kalau tidur setelah subuh, rezekinya di ambil orang" ketika itu aku menjadi takut. Ada rasa tak rela saat rezeki yang seharusnya untukku malah menjadi milik orang lain.
Sebenarnya tidur setelah subuh sangat tidak dianjurkan dalam Islam karena dapat mendatangkan kerugian atau efek yang tidak baik.
Banyak dalil-dalil sahih yang berpendapat tentang tidur setelah subuh. Ada yang mengatakan boleh dan makhruh. Salah satunya
Yang selalu ku ingat dari abi adalah, "Tidur setelah salat subuh, maka seseorang itu tidak akan memperoleh berkah dan akan menghambat rezekinya sendiri." Meskipun begitu aku selalu saja ketiduran setelah salat subuh.
****
Ketika aku harus dihadapkan dengan pilihan, maka memilih adalah salah satu hal yang amat sangat ku ragukan. Padahal, hidup bukan tentang pilihan, tetapi terpilih. Namun, saat ini sungguh aku tengah dilanda gelisah.
Abi, lelaki pertama yang mendapatkan cintaku. Kini abi telah menghadapkan 3 foto laki-laki di hadapanku. Laki-laki yang salah satunya kelak akan ku cintai. Aku mengenal dua diantaranya, bahkan sangat familier.
"Mereka telah mengkhitbahmu anakku. Sungguh, Abi sulit memutuskan mana yang terbaik untukmu, Fatimah. Ketiganya memiliki akhlakul Karimah yang baik, tahfidz dan ketiganya pula insya Allah bisa membimbingmu menuju surga, anakku."
"Tapi yang ini adalah dosen Fatimah, Abi." Ku tunjuk salah satu Foto berlatar biru yang terletak di atas meja itu.
Foto familier itu adalah foto Mr. Ali. Awalnya aku tak percaya jika beliau mengkhitbahku, bahkan saat ini saja beliau masih di Jepang.
"Ali sudah mengkhitbahmu satu hari setelah kamu berangkat ke Jepang, Fatimah. Saat itu Abimu ingin menerima, tetapi Umi menolak sebab tahu kamu memiliki banyak mimpi di sana. Namun, tiga bulan yang lalu, teman kecilmu, Hafidz datang ingin mengkhitbahmu pula. Dan tepat satu minggu lalu, Azzam menyusul dengan melakukan hal yang sama yaitu mengkhitbahmu."
Azzam. Mendengar nama terakhir yang umiku sebut, membuatku sedikit berpikir. Azzam, siapa dia? Apa aku mengenal dia sebelumnya?
"Umi, Abi..." Ku luncurkan sorot sedu berharap mencari pengertian. "Fatimah tahu menikah adalah suatu ibadah pelengkap ibadah lainnya. Tapi, untuk saat ini.... Bukan kah Fatimah masih terlalu muda?"
Abi dan Umi tersenyum padaku. Sorot mataku kembali melihat 3 foto di atas meja itu kembali. Lalu ku dengar abi kembali berucap. "Menikah itu bukan tentang usia yang menjadi pedoman, Fatimah. Di dalam menjalin rumah tangga, kamu tidak sendiri. Ada suami yang akan membimbingmu. Jangan jadikan usia sebagai alasan untuk menunda. Ingat nak, menikah adalah ibadah. Tidak baik jika kamu menundanya."
"Fatimah harus meyakinkan hati Fatimah dulu, Abi, Umi. Fatimah akan salat istikharah, meminta pada Allah untuk pilihan yang akan Allah sampaikan nanti. Fatimah yakin, pilihan Allah yang amat baik."
"Iya, nak. Apapun pilihan yang kamu katakan esok, Umi dan Abi pasti akan mendoakan yang terbaik."
****
"Astaghfirullah."
Aku terbangun dari mimpiku. Mimpi yang sepertinya adalah jawaban dari salatku. Aku masih sedikit merasa ragu, apa benar itu adalah mimpi dari jawaban? Atau itu hanya alibi setan yang ingin menyesatkan?
Ya, Allah. Jika itu adalah benar jawaban dari-Mu. Maka hamba akan memilihnya. Namun, jika itu bukanlah sebuah jawaban, tolong bantu hamba untuk segera meyakinkan. Batinku berkata lirih.
Dari mimpi itu, aku kembali berdoa, berharap jika itu benar adanya hadir sebagai jawaban atas ridho Allah.
Ya Allah Yang Maha Mengetahui segalanya. Ku serahkan seluruhnya pada-Mu berharap apa yang terbaik untukku.
****
Pukul 8:15 aku dan umi sudah memasak makanan sebanyak ini. Kata umi, di rumah akan ada pengajian setelah kedatanganku di sambut keluarga besar, kini akan disambut dengan pengajian juga? Masya Allah.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam," jawabku dan umi bersamaan saat mendengar salam dari wanita setengah baya yang baru datang bersama anaknya. Aku sedikit menebak, jika usis anaknya Tante itu lebih sedikit di atasku. Aku pun segera mencium tangan keduanya dengan sopan.
"Aduh, ini pasti Fatimah, ya?"
Aku mengangguk sekali dengan tetap memasang senyuman.
"Cantik, ya, Mah."
"Iya. Masya Allah, bukan hanya paras, akhlak, ilmu dan tauladannya juga sangat cantik."
Bukan merasa terbang setelah dipuji, aku malah sedikit merasakan sakit di dada. Sebab, aku tak sesempurna itu.
"Kamu bisa panggil Tante dengan Tante Annis dan ini anak Tante, namanya Fathiya."
"Fatimah, Tante."
"Ayo-ayo silahkan duduk, sambil nunggu tamu yang lain." Umi pun memberi saran.
Aku berpikir jika tawaran umi pada tante Annis dan Kak Fathiya akan membuatku tak menerima pertanyaan lagi. Kenyataannya tidak. Tante Annis kembali bertanya, lebih tepatnya tentang kepribadian yang jelas aku merasa kurang nyaman. Aku adalah gadis introvert. Sudah cukup jelas bagaimana reaksi tak nyamanku, bukan?
Namun, aku kembali dibuat terkejut saat dia mengatakan, "Ali akan segera sampai di Indonesia." Jadi, Tante Annis adalah orang tua Mr. Ali? Dan Kak Fathiya ini adalah kakaknya?
Artinya....
****
Di temaram ini, aku terdiam bergulat dengan pikiranku yang tak habisnya. Setelah salat Isya umi telah memintaku untuk turun atas permintaan abi. Aku sudah tahu pembahasan apa yang menjadi topik utama.
Tak ada henti-hentinya aku berharap dan berdoa pada Allah. Sebab hanya Allah-lah tempat menaruh segala harap hama-Nya. Seperti dalam firman Allah surah Al-Insyirah:8,
وَاِلٰى رَبِّكَ فَارْغَبْ
Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.
Sungguh Ya Allah. Tiada selain Engkau, hamba hanya berharap jika semua adalah yang terbaik diantara keduanya yang baik.
Tok... Tok... Tok...
"Masuk," ujarku saat mendengar ketukan pintu.
Pintu terbuka, sosok wanita paruh baya yang masuk ke dalam kamarku. Beliau adalah asisten rumah tangga di kediaman ini.
"Nak Fatimah sudah ditunggu Bapak dan Ibu di bawah."
"Iya, Mbok, Fatimah tahu. Hanya saja, Fatimah masih sedikit bimbang."
"Sudah salat istikharah?" Tanya Mbok Asih padaku.
Aku mengangguk.
Beliau pun tersenyum dan mengusap bahuku lembut. "Yakinlah, jika Allah sudah memberikan jawaban atas pilihan itu, nak. Mbok yakin, Insya Allah, itulah yang terbaik."
Ku peluk Mbok Asih. Benar, aku harus bisa meyakinkan jika pilihan itu adalah jawaban dari Allah.
****
Aku membalas tulus senyuman umi dan abi. Senyuman itu, tampak lebih tenang tanpa lelah.
Senyuman yang terbentuk di setiap sudut bibir umi dan abi adalah hal yang selalu menjadi penyemangatku.
"Bagaimana, anakku?"
Aku mengangguk kecil, umi dan abi langsung paham akan maksudku.
"Siapa yang Allah pilih untukmu, Fatimah?" Tanya umi penuh antusias.
Aku menahan jawaban itu. Tak lupa mengucapkan basmallah dalam hati terdalam. Semoga Allah meridhoi sepenuhnya tentang pilihan ini.
"Ali Khairy Kinaan."
Umi dan Abi semakin melebarkan senyumnya, binar bahagia dan pancaran auranya tampak jelas. Masya Allah. Apa jawaban ini sungguh membuat kedua orangtuaku bahagia?
"Alhamdulillah. Abi dan Umi yakin, Insya Allah, pilihan yang Allah beri akan menjadi ridho untuk kamu, nak."
"Amiin, Ya Allah."
"Abi akan segera menghubungi keluarga Ali. Lusa dia akan datang."
"Bukankah beliau masih di Jepang?" Tanyaku. Lagi pula, apa mungkin Mr. Ali akan ke Jakarta hanya untuk kepentingan atas jawabanku ini?
"Dia akan segera kembali, Fatimah."
Aku menghela napas sejenak dan mengangguk kecil. Aku tahu jika pekerjaan dosenku itu pasti sangat menumpuk. Lalu, bagaimana bisa ia datang lusa? ini tak sedang bercanda? Namun, entah kenapa, hatiku sangat yakin jika Pak Ali benar adanya akan datang secepatnya.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!