Aku ingin pelukanmu, Ayah. Sekalipun itu menyesakkan karena kau terpaksa.
...----------------...
Apa yang lebih indah dari senja? Aku tidak ragu jika mengatakan langit biru sebagai jawabannya. Banyak pecinta warna biru lebih memilih senja daripada cerahnya langit biru di siang hari. Barangkali karena sinar mentari yang sedang terik-teriknya membakar kulit. Bagaimana denganku? Bukan seorang pecinta warna biru, namun lebih menyukai suasana terik ketika langit biru cerah. Membiarkan terik menghasilkan peluh pada raga. Juga membiarkan kulitku menggelap. Akulah, si gadis paling sawo matang di kelas.
Sudah satu bulan musim kemarau melanda desa kecilku yang asri. Setiap saat aku mendengar suara keluhan dari orang-orang sekitar. Entah di jalan, di tetangga, di warung, di mana pun. Karena memang sedang panas-panasnya. Sebuah toko yang menjual kipas angin seketika laku keras.
Tak ada suara ramah yang akan menyambut kedatanganku. Rumah. Sebuah nama yang seharusnya menyimpan banyak kehangatan, namun nyatanya penuh akan gigil rasa sayang. Di sinilah aku. Inilah aku, yang selalu mengharapkan kehangatan. Sekalipun kala kemarau panjang.
Rumah kecil dengan jumlah penghuni yang juga kecil. Sekaligus keharmonisan yang sangat kecil. Ah, tidak. Bahkan tidak tersisa keharmonisan apa pun di sini. Rumah. Tidak lebih dari sekedar tempat untuk berlindung dari hujan dan terik, juga tempat beradu mulut setiap hari.
Perutku lapar. Namun, aku tidak akan bisa makan jika tidak masak terlebih dahulu. Sedangkan tubuhku masih penat sekali sehabis berjalan di tengah terik tadi. Tak apa, rasa lelah menang. Rasa lapar masih dapat ditahan.
"DAINTY!"
Salah satu contoh dari yang aku sebutkan tadi muncul seketika. Wajah pria paruh baya datang dengan wajah galaknya. Di bingkai pintu kamarku. Seolah memenuhi kamar tidurku. Seketika itu pula aku langsung terbangun dari rebahan nyaman itu.
"Iya," jawabku dengan degup jantung yang kencang.
Tentu saja aku tahu apa penyebab kemurkaannya.
Tanpa berkata-kata lagi, pria itu langsung masuk ke kamarku dan seketika menyeretku keluar dengan menarik lengan kurusku.
Aku meringis menahan sakit. Lebam bekas dibanting kemarin saja belum sembuh. Sekarang bagian itu sudah kena lantai lagi.
PLAKKK!
Tamparan keras mendarat setelah ia berhenti menyeretku begitu sampai di ruang tengah.
Tak sampai di sana. Pria itu langsung berlari ke dapur dan kembali dalam sekejap dengan membawa rotan. Senjata andalannya. Dulu, ketika kami masih tinggal bersama ibu, ibu bercerita bahwa rotan itu sudah ada sejak nenek baru menikah. Untuk apa benda itu dipertahankan turun temurun jika hanya untuk menyakiti? Bahkan untuk kesalahan yang belum jelas.
"Udah, Ayah! Udah! Sakit!" pintaku sambil menangis karena sudah tidak tahan dengan rasa sakit.
Namun, mana mau ia mendengarkan. Pria itu benar-benar keras kepala dan tidak segan-segan menghukumku dengan cara apa pun.
"Berani kamu memintaku berhenti, maka semakin keras rotan itu melukai tubuhmu. Dasar anak tidak berguna. Sudah nakal, merepotkan, jelek, hitam, dekil pula!"
Alangkah remuknya hatiku mendengar perkataan ayah yang seperti itu. Sudah seringkali aku mendengarnya. Namun tak berkurang sedikit pun rasa sakitnya. Sampai sekarang, aku tak pernah terbiasa dengan perlakuan dan perkataannya yang seperti itu. Bagaimana tidak, dulu dia adalah ayah paling ramah dan lemah lembut yang pernah aku kenal. Sewaktu keluarga kami belum hancur, ia selalu menjadi nama yang aku banggakan untuk diceritakan kepada teman-temanku. Sekarang, entah apa yang tersisa. Selain raganya saja.
Ayah mengambil sesuatu dari atas meja. Ternyata sepiring nasi goreng yang langsung dibanting ke lantai hingga isinya tumpah semua. Menyisakan kurang dari sesuap nasi di atasnya.
Suara piring pecah yang membuatku sangat terkejut. Namun jauh lebih terkejut dengan adanya sepiring nasi goreng itu. Sejak kapan ada di sana? Apakah itu masakan ayah yang dibuat untukku?
Di sela rasa tangis, aku terus memikirkan banyak hal. Aku, si gadis SMA yang hidup dengan keluarga hancur. Senantiasa merindukan kehangatan, di tengah-tengah musim kemarau panjang.
"Udah, Ayah!"
Entah pukulan rotan ke berapa, terus menghantam tubuh mungilku. Namun ayah tak juga mengurangi kekuatannya. Selalu terbayang dalam benakku, bahwa entah di suatu saat nanti apakah hidupku juga akan berakhir di tangan pria yang seharusnya menjadi cinta pertamaku ini? Sialnya begitu perih terbayang.
"Berani-beraninya kamu menangis seperti itu di hadapanku setelah kau membuat anak orang masuk rumah sakit? Mana tanganmu! Aku tidak akan berhenti sampai kau berarah banyak sepertinya! Dasar anak tak tahu malu."
...****************...
Bulan sabit menggantung. Bertemankan bintang-bintang yang melimpah ruah. Banyak sekali. Juga indah sekali. Sesaat, tatapan ke arah aksesoris langit teralih karena suara lelaki itu.
Ia duduk di dekatku. Selalu membuatku minder. Sebab kami sudah seperti kopi susu, atau papan catur, atau merpati dan gagak. Ya, hitam-putih. Tapi, sebenarnya ia adalah pacarku.
Aku langsung berdiri begitu ia duduk di sampingku. Bukan karena tidak suka, justru aku senang sekali karena sebenarnya dia adalah orang yang peduli, terhadapku sebagai gadis yang kekurangan kasih sayang. Namun, aku hanya gengsi untuk menunjukkan bahwa aku memang sedang membutuhkannya.
"Kamu dihukum lagi sama ayah kamu?" tanya lelaki bernama Rasen itu.
"Iya, si hitam dekil ini semakin jelek dengan luka-luka yang bertambah banyak setiap harinya." Aku menjawab ketus.
"Tidak. Kamu selalu terlihat cantik, Dain. Sungguh! "Rasen berusaha menyakinkan.
Aku tak sengaja bertemu dengannya di depan gang rumahku. Lalu ia membawaku ke tempat ini. Taman kota yang dihiasi lampur berwarna kekuningan dengan bentuk berlian. Indah. Sebab di atasnya juga dihiasi dengan binteng-gemintang.
"Kamu tidak pernah memarahiku Kamu selalu sabar menghadapi sikapku yang kasar seperti ini. Kenapa? Kenapa kamu tidak pernah membentakku sebagaimana ayah melakukannya padaku?" tanyaku penuh rasa sebal.
Rasen menyodorkan sebuah bonek kelinci berwarna putih. Untuk menghiburku. Bulunya lembut dan wajahnya lucu. Ingin sekali aku memeluknya dengan senyuman yang lebar. Tapi aku tidak bisa melakukannya di sini. Rasa gengsiku terlalu tinggi.
"Dia akan menghiburmu setiap kali kamu bersedih di rumahmu. Sedangkan aku akan menghiburmu, setiap kita di sekolah setiap harinya. Saat-saat bersamamu selalu menyenangkan. Aku ingin bertemu denganmu selalu. Setiap hari. Sebab aku ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja, Dain." Rasen bertutur.
"Baiklah. Suatu saat, apakah kamu bisa meyakinkanku bahwa aku bisa merasakan pelukan ayah lagi setelah sekian lama? Bahkan lama sekali aku tidak merasakannya. Ah, ini memalukan. Walaupun di balik itu semua aku tetaplah kesal kepada ayah. Ia tak pernah bersikap baik kepadaku."
"Tentu saja. Ayahmu akan memelukmu dengan erat. Lebih dari siapa pun. Erat dan tidak menyesakkan sebab ia tulus melakukannya."
Setidaknya, sisakan suara lembutmu sebelum aku tertidur, Ayah. Tak apa walaupun hanya satu kata.
...----------------...
Kelas yang bising. Diskusi untuk ulangan harian matematika hari ini. Aku benci matematika. Merepotkan otak saja. Tapi aku kerap kali kena terus guru karena nilai matematikaku selalu yang paling buruk dibanding teman-teman yang lain. Sekali pun nilai buruk, lebih buruk lagi nilaiku. Bahkan guru matematikaku sering menyebutku perempuan berandal yang tahunya mencari ribut saja.
"Dainty!" Seseorang memanggilku dari arah pintu. Seorang lelaki berpengaruh di sekolah, sebab ia adalah ketua OSIS, peraih peringkat umum, juara pidato bahasa Inggris tingkat nasional pula. Tentu saja seantero sekolah mengenalnya. Ia juga membuatku terkenal, sebab walaupun aneh dan nyaris mustahil, namun ia adalah pacarku.
Pandangan masam mulai terlihat pada raut wajah para siswi di kelas. Sedari awal, mereka memang tidak menyukaiku. Ya, siapa pula yang akan menyukai perempuan kasar dan suka cari ribut kepada semua orang. Lelaki primadona sekolah itu nyaris tak ada celah kekurangan bagi mereka, kecuali setelah mengetahui hubungannya denganku. Di sanalah letak kekurangannya, yaitu memilihku.
Sebenarnya, aku tak kalah terkejutnya dengan mereka. Lelaki tampan, pintar dan baik hati itu memacari perempuan nakal, kasar dan pembuat onar. Nyaris tidak masuk pada nalar.
"Apa," jawabku malas.
Dengan senyuman sumringah, lelaki bernama Resendrya itu bergegas ke arah bangkuku berada. Ia biasanya dipanggil Rasen.
"Aku udah video yang aku maksud kemarin. Lihat deh," seru Rasen.
Aku yang sedang pusing karena memikirkan ulangan harian di jam pertama ini melihat layar dengan malas.
"Nggak, ah. Males!" tegasku.
"Setengah menit aja, kok. Sebentar." Rasen memohon.
Tanganku yang gatal itu langsung menghempas HP-nya hingga terjatuh ke lantai. Pemandangan yang langsung menyita perhatian siswa-siswi di kelas.
Raden memungut HP-nya dengan lemas. Itu membuatku sedikit menyesal namun aku harus melakukannya karena aku benar-benar tidak ingin diganggu.
"Ya, udah. Aku balik ke kelas dulu," ujar Rasen kemudian berlalu.
Pandangan masam masih saja mengarah kepadaku. Rasa jengkel menyergap. Spontan aku mengambil pulpen dan melemparkannya ke arah salah satu siswi. Tepat mengenai wajahnya. Membuatnya menangis kesakitan.
"Dain!" tegas Flo, seorang siswi yang paling sering ribut denganku. Siswi yang wajahnya terkena pulpen itu menangis di dekat Flo. Segitu saja menangis. Dasar cengeng.
"Berisik banget, si tukang cepu," ketusku pada Flo.
"Udah, Flo." Charisa, si perempuan lembut itu berkata.
"Apa, gue doang nih yang disuruh udah? Sedangkan cewek nggak bener yang udah ngirim pelet buat Rasen itu nggak dibilangin juga, hah?" Flo berkata sambil menatap penuh rasa muak ke arahku.
Segera saja aku berlari ke arah Flo dan menjambak rambutnya hingga berpindah beberapa helai ke tanganku. Kurang puas dengan itu, kemudian aku mendorong Flo hingga menabrak teman-teman di belakangnya yang sedang duduk melingkar di belakang. Pinggangnya sempat mengenai sudut meja.
"Sialan, lo. Dasar cewek nggak bener!" ketus Flo lagi dengan menahan sakit pada pinggangnya.
"Maju sini kalau berani!" tantangku sambil bersiap dengan sebuah pulpen yang tadi aku gunakan untuk melempar Luna.
"Lo itu nggak pantes buat Rasen. Bahkan nggak pantes buat siapa-siapa." Perempuan sialan ini masih saja membahas itu dan bukan membalas hajaran fisik yang telah aku perbuat padanya.
Rendra, si ketua kelas segera menengahi. Tampak raut wajah muak padanya. Jika saja bukan karena perintah guru, maka ia sudah tidak mau berurusan denganku. Sebab hampir setiap hari, tak pernah luput aku berbuat onar. Rendra berdiri dir depan Flo. Mungkin ia berpikir bahwa jika berdiri di depanku, yang ada malah kena tendangan super yang bisa mengakibatkannya mengalami luka seperti sebelum-sebelumnya.
"Kalian nggak bosen apa bertengkar terus? Setiap hari kelas kita kena semprot mulu dari para guru. Selalu saja kelas kita yang kena. Semuanya jadi kena getahnya. Bukan cuma kalian berdua!" Rendra berseru tegas. Wajah putihnya memerah.
"Selama cewek berandal itu ada di sini, pastinya kelas kita nggak akan bener, lah. Nggak layak jadi perempuan. Nggak layak jadi manusia!" Flo berseru menusuk.
Aku hendak maju namun dihadang Rendra. Sekuat tenaga, aku mencoba menyingkirkan penghalang ini untuk membiarkanku menghajar Flo sepuasnya.
Dhuakkk.
Perut Rendra terkena tendangan kerasku. Ia meringis kesakitan namun tetap berusaha melindungi Flo.
"Menyingkirlah, dasar pengganggu! Kecuali kalau lo mau berkorban untuk perempuan bodoh ini," ucapku sambil menendang Rendra untuk yang keduanya kalinya. Kali ini ke arah lututnya.
Seseorang menarik kedua lenganku dari belakang. Rasen.
"Urus pacar lo, itu. Nyusahin orang tahu, nggak!?" seru Flo kepada Rasen.
Mata indah itu melihat ke arahku. Dari dekat, ia terlihat semakin tampan. Namun, bukan Dainty namanya jika menampakkan sisi lembutnya ketika ditahan untuk melakukan penyerangan fisik.
"Lepasin!" ucapku mencoba melepaskan lenganku dari cengkraman Rasen.
"Udah, Dain. Suaramu terdengar sampai kelasku!" ucap Rasen.
"Pergi dari sini! Lo nggak dibutuhkan di sini tahu, nggak." Aku berseru mengusir Rasen.
Dua orang guru laki-laki masuk ke kelas kami. Satu guru yang sedang mengajar di kelas Rasen. Satu lagi guru yang akan mengajar di kelasku. Guru matematika menyebalkan itu.
"Dainty, cukup!" Guru matematika bernama pak Alva itu menampakkan wajah garang. Hanya ke arahku. Tidak dengan Flo.
"Rasen, kembali ke kelas. Biar kami yang mengurusnya." Pak Isa yang sedang ada jam mengajar di kelas Rasen itu berkata.
Meski terlihat berat, Rasen melepasku dan berlalu untuk kembali ke kelasnya. Ternyata dia ke sini ketika pak Isa sedang mengajar. Hanya untuk melihat perbuatan apa lagi yang sedang aku lakukan.
"LEPAS!" ucapku galak setelah pak Isa mengambil alih pegangan Rasen padaku.
"Bandel sekali kamu jadi cewek. Nggak pernah dididik kamu di rumah sama orang tuamu, hah?" cetus pak Alva dengan mata melotot.
Flo bahkan diabaikan. Rendra mematung di depan Flo. Semua pandangan tertuju padaku. Andai saja pak Isa tidak mencengkramku. Sudah aku lepas mereka dengan pulpen lagi. Kalau bisa mengenai muka pada bagian yang tajam. Dasar menyebalkan.
"Lepas!" Aku hampir bisa melepaskan diri, namun pak Alva segera membantu pak Isa mengunci lenganku dengan tangan mereka. Sakit sekali. Tapi, mana tahu aku mengekspresikan rasa sakit di saat seperti ini. Di saat aku belum puas menghajar Flo, di perempuan gila itu.
"Mau sampai kapan kamu begini, Dainty. Sepanjang sejarah kami mengajar di sini. Tidak pernah ada murid senakal kamu. Bahkan untuk laki-laki sekali pun. Siapa yang mendidikmu? Ayahmu berandalan juga?" tanya pak Alva tajam.
Setelah mendengar itu, kakiku seperti bergerak dengan sendirinya dan menendang pak Alva. Tepat mengenai perutnya. Maka aku berhasil lepas dari mereka karena pak Isa sedikit meregangkan cengkraman. Akhirnya, aku berlari keluar dan tidak peduli dengan adanya ulangan harian matematika sebentar lagi.
Sekolah bodoh. Guru bodoh. Bisanya menjelekkan orang saja. Walaupun hubunganku dengan ayah memang tidaklah baik. Bahkan sangat buruk.
Kenapa kebahagiaan kita tertinggal di masa kecilku saja, Ayah? Aku juga ingin melihat versi masa lalumu di masa sekarang.
...----------------...
"Kenapa kamu bisa menemukanku?" Aku bertanya malas kepada lelaki tampan yang tersenyum tulus itu kepadaku.
"Mudah saja. Aku hanya berusaha, hingga aku benar-benar menemukanmu," jawab Rasen bangga.
Ia membawa sebuah kantong plastik putih berisi kue bolu rasa coklat. Rasa favoritku.
"Nggak usah!" seruku sambil mendorong sekotak kue bolu namun segera dipindah dengan gesit menuju belakangnya.
"Ini makanan, Dain. Kamu yakin mau membuangnya tanpa merasakan sedikit pun kenikmatan yang ada di dalamnya?" Rasen mulai mengambil potongan pertama dan hendak menyuapiku.
"Jijik!" Aku mengeluarkan ekspresi tidak senang, walaupun sebenarnya aku sangat bahagia melihatnya seperti itu.
Rasen tertawa renyah. Ini dia, hal yang membuatku betah bersamanya. Tawa yang khas. Sangat menenangkan karena begitu merdu terdengar. Juga memperlihatkan senyumannya yang manis, mata yang ikut tersenyum dari wajah bersih berwarna kuning langsat itu. Jantungku tak henti-henti mendebarkan rasa sayang. Aku sayang Rasen. Aku benar-benar menyayanginya. Sekali pun sampai sekarang aku tak paham apa yang membuatnya mau denganku. Padahal aku bodoh, hitam, dekil, tidak cantik. Seperti seorang pangeran dan pengemis muda yang mendatangi istana dengan ramuan penghipnotis agar sang pangeran mau bersamanya.
Potongan bolu pertama masuk ke mulutnya. Lantas memeragakan ketika orang memakan makanan yang sangat enak. Kemudian ia turut duduk berselonjor setelah sedari tadi jongkok. Seragamnya ikut kotor karena kami berada di pematang sawah. Tepat di tengah-tengahnya. Di bawah terik mentari. Entah apa yang membuat lelaki satu ini rela menemuiku dan membakar kulit putihnya.
"Kamu tadi kabur ya dari sekolah?" Rasen bertanya tentang sesuatu yang sudah diketahuinya.
"Terserah akulah. Sekolah menyebalkan itu. Perempuan gila itu. Guru yang omong besar. Nggak ada yang perlu dipertahankan di sana. Nggak ada yang ingin aku temui di sana. Hanya orang-orang tak penting. Dasar!" ucapku muak.
"Baik, aku mengerti. Tapi ada aku. Aku selalu ingin membantuku sebisaku, Dain. Masa iya sudah tidak ada yang bisa dipertahankan di sana. Termasuk aku?"
Padi-padi yang sudah kekuningan dan merunduk itu melambai-lambai oleh angin. Juga melambaikan rambut coklat dan lurus milik Rasen. Menambah ketampanannya berkali-kali lipat.
"Apa? Kok diem dan ngeliatin aku?" tanya Rasen.
Aku tak menyadari jika aku melamun ke arah Rasen sambil menatapnya lamat-lamat. Malu akan hal itu, aku langsung mendorong Rasen hingga terjatuh ke sawah yang telah kering itu bersama kue bolu cokelatnya. Sayang sekali, padahal aku belum mencicipinya sedikit pun.
Rasen langsung memungut kue bolu yang terjatuh itu. Pasti sudah kotor terkena tanah. Aku sungguh heran dengan kesabarannya. Berkali-kali aku melakukan hal serupa. Tak sedikit pun ia pernah marah. Bahkan yang lebih parah dari ini juga sering.
"Dain, besok Azya ulang tahun. Kamu dateng ke rumahku, ya. Sekalian aku kenalin ke mamaku," ajak Rasen setelah naik kembali dari antara padi-padi.
"Nggak mau. Males. Ngapain juga aku ke sana."
Rasen manyun. Namun langsung tersenyum setelah itu, "Akan ada banyak makanan yang berunsur coklat. Kamu 'kan pecinta coklat. Aku nggak rela kalau ada acara dengan penuh coklat seperti itu tanpa kehadiranmu. Ayolah, Dain. Masa kamu nggak mau." Rasen masih memohon.
"Aku bilang nggak mau ya nggak mau. Ngapain kamu maksa. Emangnya kamu siapa, hah? Enak aja nyuruh-nyuruh." Aku masih bertahan dengan jawaban awal.
"Aku siapa? Aku pacar kamu. Ingat, sudah hampir satu tahun. Aku pacar kamu."
Jantungnya berdebar akan sergapan rasa bahagia. Rasen benar-benar mengakuiku sedalam itu.
"Paling isinya bocah nggak jelas. Males banget deket-deket sama bocah. Nanti disuruh jagain. Buang ingusnya, cebokin, anter pulang."
Mendengar jawabanku, Rasen tertawa renyah sekali. Lantas mengusap rambutku yang aku balas dengan menepis tangannya.
"Harus datang, pokoknya. Aku bakal jemput ke rumah kamu."
"JANGAN!" Aku melarang.
...****************...
Ayah berdiri di depan pintu dengan rotan andalannya. Wajahnya sudah tak tersisa ampunan lagi. Tak ada ruang untuk meminta maaf. Atau sekedar melampiaskan ketakutan agar ia sedikit berlemah-lembut.
Aku pulang malam harinya. Ketika hari sudah benar-benar gelap. Aku melarang Rasen untuk mengantarku pulang. Sebab nanti dia akan ikut terjerat masalah jika mendapati orang lain bersamaku pulang.
Nyanyian malam semakin mencekam. Aku sudah selangkah lebih dekat dengan teras. Seragamku kotor. Sepatuku basah akibat terjatuh di kubangan saat hendak memukul Rasen.
"Dari mana kamu? Ngapain aja kamu sama cowok itu?"
Rasa tegang menguasai seluruh tubuhku. Pasti seseorang yang berada di sawah melihatku sedang berduaan dengan Rasen. Padahal kami benar-benar tidak melakukan apa pun. Menyentuhku saja tidak. Aku sangat paham bagaimana Rasen sangat mampu menjaga dirinya. Juga menjagaku. Itu juga yang menyebabkanku sangat menyayanginya. Bahkan jika boleh aku bilang, lebih menyayanginya daripada ayahku sendiri. Sesaat, aku merasa berdosa setelah mengatakannya.
"Terserahku saja. Aku sudah besar dan aku ingin bebas!" ketusku melawan kepada ayah.
Pria itu berdiri di bingkai pintu dan merentangkan tangannya. Menghadangku yang hendak masuk ke rumah.
"Ngapain kamu sama laki-laki itu?"
"Awas! Aku mau masuk. Aku capek! Menyingkirlah!" tegasku sambil melotot ke arah ayah.
Pria itu mendorongku hingga terjatuh dengan pantat yang terlebih dahulu mendarat. Perih. Sakit sekali. Di saat aku belum berdiri, ayah langsung mengerahkan senjata andalannya. Tepat mengenai betisku yang kemarin lebam. Tak sampai di sana, ia juga menamparku dan memukul hidungku hingga berdarah.
"Ngapain kamu sama laki-laki itu!?" Lagi-lagi pertanyaan yang sama dilontarkannya. Malas sekali aku untuk sekedar mengatakan kami tidak ngapa-ngapain. Sebab aku sangat benci dicurigai, terutama pada hal yang sama sekali tidak aku lakukan.
"PERGI! KAU AYAH YANG SANGAT BURUK DASAR PENGECUT!"
Para tetangga bergerombol ke luar mendengar keributan yang muncul dari mulut kasarku. Melihat itu, ayah langsung menggeretku masuk hingga lututku terhantuk ujung pintu. Bertambah sudah lebamku. Tapi aku sudah terbiasa dengan rasa sakit semacam ini.
Ayah memukul mulutku berkali-kali hingga kurasakan perih yang hebat padanya.
"Kalau saja mengikuti hatiku, sudah kusobek saja mulut busukmu itu!" ucap ayah.
"Mulutmu juga jauh lebih busuk pria tua!" balasku.
Ayah kali ini mengangkat tinjunya untuk mengancam. Diletakkannya di depan bibirku dengan mata melotot.
"Sekali bergerak rontok sudah semua gigimu. Jadilah kamu gadis ompong. Nggak ada cowok yang mau sama kamu. Kamu nggak punya masa depan. Nggak ada kebahagiaanmu apa pun dari orang yang bersamamu. Kamu pikir aku nggak tahu kalau tadi pagi kamu bolos sekolah? Dengan daftar nilai yang buruk itu? Anak bodoh! Padahal keluargamu tidak ada yang Sebodoh dirimu. Dasar tidak berguna!"
Sekujur tubuhku sangat perih. Namun lebih perih lagi perasaanku setelah mendengar ucapan ayah yang menyayat itu. Sakit sekali.
"Lebih bodoh lagi kamu yang membiarkan ibuku melahirkan anak tidak berguna sepertiku ini."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!