Huuffhh...
Aku menghembuskan nafas berat, rasanya begitu sesak. Berdesak-desakan dalam bus yang penuh dengan penumpang. Beginilah suasana setiap aku pulang sekolah, biasanya ada bang Arman yang jemput aku, tapi kenapa hari ini tidak ada? Ah, mungkin dia sedang sibuk mengurusi perkebunan sawit.
"Han! Hanna!"
Aku tidak mempedulikan panggilan si abang-abang tukang ojek, mereka memang selalu seperti itu, menggodaku setiap melihat aku pulang sendirian.
"Han, Hanna sayang. Abang antar yuk!" itu suara bang Riko, aku sudah hafal nama-nama tukang ojek genit di sini.
"Han, Kalau abang yang anterin, kamu mau enggak?" tanya bang Samsul, aku hanya mendelik tajam merespon pertanyaan mereka. Melihat reaksi judes dari aku, ketiga pemuda itu tertawa senang.
Apes banget gue, kenapa sih tuh kuman-kuman pada nongkrong di sana tiap hari, aku benar-benar kesal hari ini. Tadi aku turun di depan gang, dan bus sekolah yang dibawa pak Jojo langsung kembali ke tempatnya. Aku terpaksa turun di depan gang dan melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki sampai ke rumah, karena kalau nyuruh pak Jojo nganterin aku sampe ke depan rumah, dia pasti akan nyiapin 1001 alasan untuk menolak, dengan alasan tidak mau berebut jalan sama pengguna jalan yang lain.
Hari ini matahari bersinar terik banget, aku merasakan wajahku ini sudah gosong.
Sepuluh menit berjalan kaki dari gang, akhirnya aku tiba di rumah. Pemandangan pertama yang aku lihat adalah kakak iparku dan bang Arman yang sedang sibuk bermain dengan anak mereka, Aya.
"Assalamualaikum," ucapku dengan wajah masam. Aku tidak bisa tersenyum lagi, keringat mengucur deras di seluruh tubuhku, setengah seragam sekolahku sudah basah oleh keringat.
"Han, kok mukamu item banget. Kamu itu sebenarnya pulang sekolah atau habis pulang dari sawah sih?" tanya kak Riri, dia adalah istri bang Arman, abang kedua aku.
Kak Riri tertawa menatap wajahku yang mulai cemberut.
"Aku habis nyangkul," jawabku kesal.
"Maafin abang ya, Han. Abang enggak bisa jemput kamu, soalnya abang baru aja pulang dari toko sama kak Riri."
"Ngapain ke toko?" tanyaku sinis.
Huh, mana bisa aku bersikap baik di saat wajah dan seluruh tubuhku terasa panas begini.
"Beliin emas buat Aya." Kak Riri memperlihatkan emas yang melingkar di jari manisnya Aya. Tanpa sadar aku tersenyum sinis melihatnya, bagaimana tidak? Katanya enggak punya uang, tapi kok beli cincin emas bisa, kan aneh kedengarannya.
"Oeh, aku mau ke belakang dulu!" Aku langsung pergi ke belakang. Emosiku semakin bertambah tatkala melihat ibu sedang bergelut dengan pekerjaannya di dapur, ibu masak sambil nyuci piring. Aneh rasanya kalau iparku itu tidak ke dapur dan membantu ibu masak.
"Bu, kok sendirian masaknya?" tanyaku pada ibu.
"Biarin aja, Han. Ibu udah biasa sendiri kok, mereka juga cuma datang berkunjung, masa iya ibu minta tolong sama iparmu itu." Ibu kembali mengelap tangannya yang basah dan pergi melihat ikan yang digoreng supaya tidak hangus.
"Ya udah, aku ganti baju dulu. Setelah itu biar Hanna aja yang bantu Ibu," ucapku sebelum masuk ke kamar.
Setelah selesai mengganti seragam sekolah dengan pakaian rumah, aku langsung turun ke bawah untuk membantu ibu memasak.
Saat berada di dapur, aku bisa mendengar tawa ceria keponakanku dan orangtuanya.
"Lihat aja kalau setelah kita selesai masak mereka ikut makan, bakal ku sumbat mulut mereka satu per satu dengan taik ayam," ucapku mengomel sambil menggoreng tahu.
"Han, enggak baik ngomel-ngomel gitu. Bagaimanapun, mereka itu kakak-kakak kamu," ucap ibuku menegur.
"Ini bukan soal kakak, Bu. Kadang-kadang kelakuan mereka itu kayak benalu, ibu tahu kan apa itu benalu?"
"Lagi apa, Han?"
Aku terkejut, tiba-tiba aja kakak iparku sudah berdiri di depan pintu dapur.
"Lagi nyuci," jawabku ketus.
"Ya masak lah, Ri."
Aku melirik kesal ke arah ibu, ngapain juga ibu ikut jawab pertanyaan si wanita nyebelin itu.
"Oeh," balas kak Riri. Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya, aku pikir dia akan pergi, ternyata malah membuka kulkas dan mengambil es di sana.
"Untuk apa es itu, Ri?" tanya ibu.
"Mau buat sirup dingin, Bu," jawabnya singkat. Bukannya bantuin ibu dan aku masak, dia malah membuatkan air dingin untuk dirinya sendiri, lalu pergi dari hadapan kami tanpa mengatakan apa pun.
"Nah, lihat itu menantu ibu! Enggak peka banget," ucapku kesal.
"Biarin aja, Han. Toh kita juga bisa sendiri, ngapain minta bantuan orang lain.
"Awas aja kalau ikut makan bareng kita," ucapku lagi dengan nada emosi.
Setelah selesai masak, aku menata semua menu makanan di atas meja. Asap mengepul dari masakan buatan ibu, aroma opor ayam tercium sampai ke depan, tempat di mana bang Arman sama istrinya duduk.
Saat aku hendak mengambil opor buatan ibu, tiba-tiba keluarga kecil bang Arman mendatangi kami. Aya terlihat begitu bersemangat saat menatap makanan yang sudah aku dan ibu letakkan di atas meja.
"Sudah matang ya, Bu? Pasti enak tuh opornya, Arman udah lama enggak makan opor," celetuk bang Arman sambil melirik ke arah mangkok bersisi opor itu.
Tiba-tiba selera makanku hilang, apalagi saat melihat istri bang Arman yang seperti enggak punya malu, entah jenis apa mukanya itu, mungkin tembok kali ya? Jujur, aku sudah kepanasan melihat satu keluarga ini.
"Ma, ayam goreng." Aya menunjuk ke arah ayam goreng yang ada di piring nasi aku.
"Eh, jangan! Itu punya tante Hanna. Adek makan opor aja ya?" aku melihat kak Riri memasukkan opor ayam itu ke dalam piring nasi Aya.
"Enggak mau! Aku mau yang digoreng, bukan kuah kayak gini," ucap Aya gusar.
"Duh, adanya cuma itu doang, Aya. Tante Hanna cuma goreng satu buat dirinya sendiri," timpal ibuku memberi tahu.
"Ambil itu aja, Nak!" suruh bang Arman.
"Iya, makan itu aja, Aya. Opornya juga enak loh." Aku ikut nimbrung. Meski anak-anak, tapi aku tetap enggak mau ngalah kali ini, soalnya Aya sudah sering kali membuat aku jengkel, dia akan meminta apa pun yang dia inginkan. Enggak mau tahu itu punya orang lain atau bukan, setiap kali aku ngadu sama ibu, beliau selalu ngomong begini, "Namanya juga anak-anak, Han. Belum cukup akal."
Huh, aku bisa apa? Mengalah terus sama si Aya, memang yang ibu katakan benar. Aku akui akan kebenaran ucapan ibu.
"Enggak mau, aku maunya ayam goreng kayak Tante Hanna." Aya menunjuk ke piringku.
Aku mendelik tajam ke arah anak kecil berumur tiga tahun itu, tak disangka ternyata dia malah nangis kejer. Mungkin takut melihat mataku yang melotot sebesar biji jengkol, aku memutuskan masuk ke kamar dan makan di sana.
"Huaaaa... Tante Hanna jahat!" Aya menangis, anak itu juga menyebut aku sebagai tante jahat. Aku mana peduli.
Gegas aku langkahkan kaki ini menuju lantai atas, tempat di mana kamarku berada.
"Bu, masih ada ayam lagi enggak?" tanya iparku. Aku belum sepenuhnya pergi, sebenarnya aku masih berada di balik tembok yang menjadi penghubung antara dapur dan kamar tidur ibuku.
"Ada, kamu ambil aja di kulkas!" jawab ibu. Kak Riri segera membuka kulkas dan mengambil ayam lain untuk digoreng.
"Huaaaa... Aya mau ayam goreng."
"Udah, diem dulu, Nak. Tuh, ayamnya lagi mau digoreng sama ibu," ucap bang Arman.
Daripada nonton drama mereka yang enggak seru, mending aku ke kamar dan makan dengan tenang di sana.
Aku sangat kesal hari ini, kedatangan kak Riri dan bang Arman membuat mood aku hilang gitu aja. Sore ini aku pergi ke toko kak Yuyun, dia itu kakak aku, anak ketiga setelah bang Arman. Sedangkan bang Andi, Abang pertama aku, dia jarang berada di rumah. Dia sering menghabiskan waktunya di kebun sawit keluarga kami.
"Kenapa mukanya manyun gitu, Han? Ada masalah apa?" tanya kak Yuyun. Dia tengah sibuk menata minuman kaleng ke dalam lemari pendingin.
"Lagi sebel sama bang Arman dan istrinya, Kak," jawabku masih dengan wajah kesal.
"Huffff." Kak Yuyun menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan.
"Kenapa, Kak?" tanyaku heran.
"Biar kakak tebak, pasti kak Riri sama bang Arman makan siang di rumah ibu, tapi istrinya enggak ngebantuin ibu masak kan?"
"Tepat sekali, dan setelah makan mereka langsung pulang. Yang bikin aku enggak habis pikir, mereka itu katanya lagi enggak pegang duit, tapi kok beli emas buat anaknya bisa. Kan aneh, Kak."
Kak Yuyun kembali duduk di balik meja kasir, dia mulai menghitung uang pemasukan hari ini.
"Han, kalau kamu kesal sama mereka, ya ngomong aja. Daripada dipendam, yang ada entar kamu kebawa mimpi loh," ucap kakakku.
Aku menarik salah satu kursi yang ada di samping rak kue dan menghempaskan bokongku di sana. Sejenak ku lirik toko kakak yang sudah semakin banyak barangnya ini, hatiku berseru senang. Bahagia rasanya melihat kemajuan ekonomi keluarga kakak, dia merintis ini semua dari nol, memulai semua ini dengan semangat dan penuh perjuangan, hingga akhirnya bisa menjadi toko besar begini.
"Aku capek, Kak," ucapku kemudian.
"Nih!" Kak Yuyun menyodorkan dua lembar uang berwarna merah untukku.
Aku hanya diam menatapnya, aku tidak tahu apa maksud kakak.
"Kok malah diliatin aja, ambil dong!"
"Buat aku, Kak?" tanyaku memastikan.
"Terus, buat siapa lagi kalau bukan buat kamu?"
"Enggak ah," jawabku.
"Apa itu, Yun?" tanya suami kakakku yang baru aja pulang dari kebun.
"Ini Mas, uang jajan aku kasih buat si Hanna, tapi dianya enggak mau."
"Ambil aja Han, enggak apa-apa kok, enggak usah malu. Sama kakak sendiri pun," ucap bang Imran sambil berlalu dari hadapan kami.
Abang iparku yang satu itu memang sangat baik, dia juga lelaki yang taat beribadah.
Aku tersenyum malu-malu saat mengambil uang pemberian kak Yuni.
"Enggak usah senyum gitu, bilang aja kamu senang."
"Ya iya dong, Kak. Lumayan kan, bisa buat nambah-nambah beli skin care aku yang udah hampir habis stoknya di rumah," ucapku terkekeh.
Setelah mengambil uang jajan dari kak Yuni, aku pun pamit pulang. Dengan hati berbunga-bunga, aku keluar dari tokonya kakak.
Di perempatan jalan, aku tidak sengaja melihat pertengkaran ibu Sumi dan putranya.
Aku berhenti sebentar di depan toko yang masih dalam tahap perbaikan itu, aku melihat pertengkaran mereka dari jauh. Keadaan di sekelilingku sangat sepi. Wajar saja, jalan menuju rumahku memang tidak banyak penduduknya.
Hal seperti ini sering kali terjadi setiap kali bu Sumi dan putranya bertengkar. Para warga pasti akan menutup rumah mereka, semua warga akan berdiam diri di dalam rumahnya. Mereka tidak ada yang berani keluar untuk melerai, karena takut sama anaknya itu. Bagas, anaknya bu Sumi. pemuda itu sering kali marah kalau ada keinginannya yang tidak bisa dipenuhi oleh sang ibu.
Aku masih terpaku di sini, di atas bangku panjang yang ada di depan toko.
"Bagas, ayo kita masuk! Malu nanti dilihat sama tetangga yang lain," ucap bu Sumi. Wajah tuanya terlihat semakin tua karena tingkah anak lelakinya yang jahat itu.
"Aku enggak mau! Biar saja semua orang dengar, Bagas enggak peduli. Bukan urusan mereka, ini hidup aku, yang penting aku enggak ngerugiin mereka kan!" bentak bagas pada ibunya.
Kaki bu Sumi semakin terlihat gemetar, di usianya yang semakin tua, bu Sumi akan lebih mudah jantungan karena dibentak terus sama anaknya.
"Bagas, ayo kita pulang, Nak!" aja bu Sumi, beliau mulai menarik tangan Bagas agar mau masuk dalam rumah bersamanya.
Bagas mendorong kuat tubuh ibunya, dengan sekali dorong, tubuh bu Sumi terjatuh begitu hebat ke tengah jalan.
Aku tidak mungkin terus berdiam diri di sini, bergegas aku berlari untuk melerai pertengkaran Bagas dengan ibunya.
"Hei bagas! Kurang ajar sekali kamu jadi anak!" ucapku berseru. Aku tahu kalau emosinya akan semakin memuncak melihat kedatanganku saat ini.
Biar saja, aku memang sengaja melakukan semua ini, supaya para warga keluar dan membantu bu Sumi. Kadang-kadang aku juga dibuat heran sama sikap warga di kampungku ini, di mana perasaan mereka saat melihat bu Sumi dianiaya oleh anaknya sendiri. Kenapa tidak ada satu pun yang datang untuk membela.
"Pergi kamu, Han! Pergi dari sini! Ini bukan urusan kamu!" bentak Bagas, aku tidak bergeming sama sekali. Aku masih di tempat sambil memeluk tubuh ringkih bu Sumi yang mulai menggigil ketakutan.
Ah, besar sekali nyaliku rasanya. Aku sadar kalau saat ini aku sedang menantang maut. Biasanya kalau kegilaan anak bu Sumi sudah berada di tahap paling tinggi, dia bisa saja membawa golok untuk mengancamku. Seperti tempo hari, saat dia mengancam pak Rt yang ikut membantu bu Sumi dari kemarahannya sendiri.
"Oh jelas ini urusan aku dong, bu Sumi tetangga aku juga. Gas, seharusnya kamu itu jadi anak yang benar, cari uang sendiri jangan tahu minta doang sama orang tua," ucapku menyudutkan Bagas.
"Han, sebaiknya kamu pergi dari sini! Bagas sedang tidak terkontrol emosinya," ucap bu Sumi menyuruhku untuk pergi.
"Enggak apa, Bu. Sekali-kali si Bagas ini harus diajarin yang bener, mungkin otaknya udah bergeser dari tempatnya. Sampai-sampai dia tidak tahu mana orang yang harus dia jaga."
"Diam kamu, Han!"
Bagas mengacak-acak rambutnya dengan kasar, mukanya semakin memerah.
"Akhh!" erangannya terdengar begitu keras.
Dia kemudian masuk ke dalam rumahnya dengan cepat. Aku baru sadar kalau cowok itu tidak memakai sandal di kakinya.
"Bu, kita harus segera pergi dari sini," ucapku pada bu Sumi. Dengan gerak cepat aku membantu bu Sumi bangun, perasaan sudah tidak enak saat melihat Bagas masuk dalam rumah tadi. Entah kenapa aku ngerasa kalau dia hendak mengambil sesuatu dari dalam rumahnya.
"Ayo, Han."
Kami berdua berjalan menjauh dari depan rumah bu Sumi. Aku dan bu Sumi mengintip Bagas dari depan toko yang tadi aku jadikan tempat bernaung. Syukur, karena di depan toko ini masih ada tumpukan semen, jadinya kami bisa bersembunyi di balik semen-semen ini.
"Bu, Hanna! Ke mana kalian!?"
"Ibu!"
Bagas terus memanggil, dia tampak menggenggam golok di tangan kirinya.
Aku dan bu Sumi begitu terkejut, bahkan tadi pak Seno yang berniat keluar rumah langsung masuk lagi saat melihat Bagas membawa golok di tangannya.
"Gawat, dia beneran ambil senjata tajam, Han."
"Bu, gimana ini?" Aku juga mulai ketakutan.
"Hanna! Di mana kamu, cepat bawa pulang ibuku!" teriak Bagas.
"Oh Tuhan, jangan sampai riwayatku tamat sampai di sini," lirihku dalam hati.
Tadi aku bersikap bak pahlawan kesiangan saat membantu bu Sumi, tapi... Sekarang aku malah ketakutan di balik tumpukan semen ini.
Lima belas menit telah berlalu, saat keadaan sudah tampak tenang dan Bagas tidak ada lagi di sana, aku dan bu Sumi pun keluar dari tempat persembunyian.
"Bu, dia udah masuk lagi dalam rumah, apa Ibu yakin mau langsung pulang?" tanyaku pada bu Sumi. Perasaanku tiba-tiba aja khawatir, hatiku tidak ingin beliau pulang dalam keadaan Bagas masih ngamuk-ngamuk.
"Ibu yakin, Han. Nanti Bagas juga baikan sendiri, dia memang gitu kalau kepalanya sudah oleng," tutur bu Sumi.
"Bu, apa enggak sebaiknya Ibu nginap di rumah Hanna aja untuk malam ini?" aku bertanya, takutnya bu Sumi benar-benar dicelakai sama anaknya sendiri."
"Enggak usah, Hanna. Sudah sore juga ini, mending kamu segera pulang! Nanti dicariin sama ibu kamu," ucap bu Sumi memintaku untuk segera pulang ke rumah.
Dengan berat hati aku pun meninggalkan beliau, pikiran ini tak pernah lepas dari masalah yang dihadapi bu Sumi.
"Lagi mikirin apa, Hann? Kok ibu lihatin dari tadi muka kamu gelisah terus?" tanya ibu sambil mengambil posisi duduk tepat di sebelah aku.
"Kepikiran bu Sumi, Bu."
"Kenapa lagi bu Sumi? Apa dia dipukul lagi sama Bagas?" tanya ibu yang tampak khawatir.
"Ini lebih mengerikan daripada itu, Bu."
"Iya, tapi apa? Apa yang dilakukan Bagas terhadap ibunya?" tanya ibu sedikit geram dengan jawaban aku yang bertele-tele.
"Tadi Bagas terlihat begitu emosi, karena bu Sumi tidak bisa memberikan apa yang diminta oleh Bagas, sampe beliau didorong hingga terjatuh, dan aku pun datang untuk melerai. Namun siapa sangka kalau bagas malah masuk ke dalam dan mengambil golok, beruntung banget waktu itu karena aku dan bu Sumi sudah bersembunyi dari cowok gila itu," tuturku panjang lebar. Aku duduk di sisi ibu sambil merebahkan kepalaku di pangkuannya.
"Hanna, kamu enggak ada rencana untuk pergi ke acara rewang anaknya bu Tuti?" tanya ibu sambil mengusap kepalaku.
"Males, Bu. Palingan remaja di sana sibuk pacaran," jawabku sedikit kesal.
"Lah, kan enggak semuanya, Han."
"Enggak ah, Bu. Aku di rumah aja, kalau Ibu mau pergi, ya pergi aja! Biar Hanna di rumah." Aku bangkit dan berjalan menuju dapur, perutku sudah bunyi dari tadi.
"Han, Hanna!" tiba-tiba ibu berlari dari ruang tengah menuju dapur dengan tergopoh-gopoh.
Aku menoleh menatap ibu dengan raut wajah kebingungan, lekas ku letakkan kembali piring nasi di dekat kompor.
"Ada apa, Bu?"
"Han, si Bagas ada di depan! Dia ngamuk-ngamuk nyari ibunya, dia bilang kamu sudah menyembunyikan ibunya dari dia," ucap ibu panik.
"Loh, kok jadi kek gini masalahnya." Aku berjalan menuju ruang depan. Berjalan lebih dekat dengan jendela, dan kemudian aku sedikit mengintip dari jendela. Di luar sana terlihat Bagas yang ngamuk-ngamuk sambil membawa kayu di tangannya.
"Hanna, keluar kamu! Cepat suruh ibu aku pulang!" teriak Bagas.
Suara ribut cowok itu membuat para warga ikut berkumpul di depan rumahku yang halamannya tidak luas itu.
Dalam keadaan seperti ini aku harus tetap tenang, pasti sesuatu telah terjadi dengan bu Sumi hingga beliau tidak keluar menemui putranya.
"Duh, bener enggak sih bu Sumi tadi pulang ke rumahnya," ucapku lirih. Ibu yang melihat keadaanku juga jadi kesusahan, beliau tahu aku sangat kesulitan dengan masalah bu Sumi dan Bagas.
"Han, kok warga kampung kita pada diem aja ya. Apa mereka enggak punya inisiatif buat nelpon polisi gitu, laporin kejahatan si Bagas. Tingkah dia itu udah bener-bener bikin semua orang enggak nyaman," ujar ibu. Nah, ibu sendiri malah ngeluhnya sama aku. Lah aku bisa apa?
Aku begitu gelisah, yang bisa aku lakukan hanya mondar-mandir di ruang tengah sambil terus mengirim pesan untuk kak Yuni. Aku nyuruh kakak untuk mengusir anak enggak tahu diri itu dari halaman rumahku.
"Keluar kamu, Han!" seru Bagas dari luar.
Aku kembali mengintip, kini sudah ada para warga yang menyuruh Bagas agar berhenti berkoar-koar di depan rumahku. Terlihat pak Darto dan bu Kasmi yang juga mulai mendekati Bagas, suami istri itu adalah paman dan bibinya.
"Bagas, ngapain kamu cari ibu kamu di sini? Ayo pulang! Jangan bikin heboh di depan rumah orang malem-malem gini," ucap bu Kasmi.
Aku masih di dalam rumah, menunggu dengan harap-harap cemas sama seperti ibu.
"Bu, sebaiknya kita keluar aja deh. Biar si Bagas itu pulang, kelamaan kalau nunggu kak Yuni sama suaminya," ucapku pada ibu yang juga tidak kalah gelisahnya.
Apa yang harus aku takutkan? Di luar banyak para warga yang sedang mencoba untuk menenangkan si cowok berandalan itu.
Ceklek...
Aku mulai membuka pintu, ku lihat mata Bagas yang sudah memerah dan urat-urat lehernya terlihat jelas. Amarahnya sangat menggebu-gebu, aku tahu kalau dia ingin memukulku saat itu juga.
"Ngapain kamu cari aku? Percuma kamu ke sini, ibu kamu enggak ada di sini," ucapku ketus.
"Jangan bohong kamu! Tadi siang kamu bersama ibu aku." Bagas semakin meronta dari cengkraman tangan pak Darto. Secepat kilat dia layangkan tangannya dan meninju wajahku, aku tersentak kaget. Tidak ku sangka cowok itu berani memukulku di depan para warga, tindakannya tersebut rupanya membuat bapak-bapak di depan rumahku naik pitam. Mereka segera menarik Bagas menjauh, tidak hanya itu, mereka juga ikut memukul Bagas.
Mungkin para warga juga sudah muak dengan tingkahnya, di tengah keadaan yang begitu genting. Kak Yuni dan suaminya baru datang, dia menangis dan berlari ke arahku.
Aku dan ibu bingung apa yang sedang terjadi sama kak Yuni.
"Kamu kenapa, Kak?" tanyaku heran.
"Han, bu--- Bu Sumi, bu Sumi---" kak Yuni kembali menangis.
"Bu Sumi kenapa, Yun?" tanya ibu.
Warga yang lain juga pada kebingungan dibuatnya, lalu bang Imran datang dan menyampaikan berita duka.
"Bu Sumi sudah meninggal, Han."
Tak terasa air mataku tumpah begitu saja, hampir saja tubuhku limbung kalau ibu tidak buru-buru memelukku.
"Bu, gimana ceritanya bu Sumi bisa meninggal? Tadi siang dia sehat-sehat aja," ucapku di sela tangis.
"Kak, ngomong apa kamu? Jangan sembarangan ngomong ibu aku sudah mati, ibu aku masih hidup!" teriak Bagas, wajahnya sudah pada lebam-lebam kena bogem mentah dari warga.
"Kamu enggak usah pura-pura enggak tahu, ini semua karena kamu, Bagas!" bentak bang Imran. Tidak pernah aku lihat bang Imran semarah ini, mungkin dia sudah tidak sanggup lagi melihat kelakuan anaknya bu Sumi.
Begitu mendengar kabar duka dari bang Imran, para warga gegas pergi menuju tempat bu Sumi meninggal. Bang Imran menemukan jasad bu Sumi di belakang masjid kampung kami, Bagas terpaku mendengar kabar tentang ibunya.
Aku jadi curiga sama cowok itu, mungkin saja dia sendiri yang sudah membunuh ibunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!