NovelToon NovelToon

Naik Status: From Single To Double: Menikah

Bab 1

Di sinilah aku. Di usiaku yang hampir empat puluh tahun, bekerja dengan pekerjaan yang bukan minatku, dengan penghasilan minim meskipun memiliki latar belakang pendidikan yang lumayan. Aku belum memiliki rumah, kendaraan, hanya sedikit tabungan yang tidak cukup untuk dijadikan biaya jalan-jalan keliling Indonesia dan bahkan belum menikah. Jangankan menikah, pacar pun tidak punya.

Hidupku sempurna, bukan?

Impian-impianku belum ada satupun yang terwujud. Aku ingin tinggal dan bekerja di Eropa, memiliki sebuah apartemen kecil bergaya Skandinavia, memiliki beberapa teman dari berbagai belahan dunia, memiliki tabungan yang bisa membawaku keliling dunia ketika aku cuti tahunan, memiliki sebuah rumah di kampung halamanku dan juga sebuah restoran kecil dengan pendapatan bulanan bersih cukup untuk membeli sebuah motor baru setiap bulannya. Bukannya aku mau beli sepeda motor setiap bulan, itu hanya perumpamaan saja. Kemudian aku bertemu dengan calon suamiku yang ekstrovert, namun bisa menempatkan diri dengan baik. Lalu menikah. Melanjutkan hidup pernikahan di luar negeri sambil bekerja. Kemudian memiliki sepasang anak kembar cewek-cowok, memiliki seekor Sheltie dan tinggal di rumah sederhana bergaya modern dengan pekarangan seukuran dua kali lipat ukuran rumah. Bukan impian yang muluk, bukan? Hanya impian normal seperti wanita lainnya.

Aku tidak bermimpi memiliki sebuah rumah di setiap negara yang kukunjungi ataupun memiliki sebuah garasi mobil yang menampung bermacam-macam mobil dari merek-merek terkenal. Atau memiliki lemari yang dipenuhi dengan gaun, tas dan sepatu yang dibeli di Milan. Atau memiliki seorang suami milyarder yang mengajakku makan di restoran mahal setiap akhir pekan, terbang ke berbagai negara dengan jet pribadi. tidak, aku tidak menginginkan semua itu. aku hanya ingin hidup sederhana dan bahagia dengan keluargaku. Sulitkah mimpiku itu?

Tapi, di sinilah aku, hanya bisa membayangkan dan memimpikan semua impianku setiap malam. Di umur segini, harusnya aku sudah memiliki semua itu dan memiliki impian-impian baru yang jauh lebih besar dari impian-impian sebelumnya, apakah sekarang sudah terlambat?

Trrrt…..trrrrt….

Getaran ponselku membuyarkan lamunan siangku. Lamunanku belum selesai, tapi tak apa, kulanjutkan nanti saja saat aku tidak memiliki kerjaan. Sebenarnya, bukannnya tidak punya kerjaan, tapi aku yang memutuskan untuk tidak melakukan apapun dan hanya duduk atau tiduran sambil melamun. Bahkan saat sedang menonton film pun aku tetap saja melamun. Tapi, yang paling asyik melamun saat membaca buku. Mataku membaca, tanganku rajin membolak-balikkan halamannya dan saat aku salah meletakkan pembatas buku di beberapa halaman lebih awal, saat aku membaca bukunya kembali, aku tidak merasa janggal, karena aku benar-benar belum membacanya dengan pikiran dan perasaanku.

Tidak ada yang berarti hanya notifikasi Shopee dan beberapa iklan yang muncul berkala di ponselku kalau datanya dinyalakan. Sudah jam delapan. Saatnya siap-siap kerja. Kerja yang ingin sekali kutinggalkan dan mengejar impianku.

Rutinitas yang sama setiap hari. Tiba di kantor, berbincang-bincang dengan rekan-rekan kerja tentang berbagai hal mulai dari gosip artis hingga gosip rekan kerja, lalu memeriksa kerjaan. Jika tidak ada pekerjaan yang penting, aku menghabiskan waktu dengan duduk-duduk dan berbincang hal-hal tidak bermanfaat bagiku. Kemudian, istirahat makan siang dan kembali ke pekerjaan yang tidak membuka dunia baru bagiku. Begitu terus sepanjang minggu selama dua tahun.

Aku tahu aku harus bersyukur karena masih memiliki pekerjaan saat ini, di saat ada orang-orang di luar sana yang terluntang-lantung di jalanan tanpa pekerjaan atau bahkan yang lain harus melakukan kriminalitas untuk mendapatkan uang makan mereka setiap hari. Tapi, ada juga orang-orang yang relatif muda tapi sudah menjadi direktur, sudah keliling dunia, memiliki beberapa rumah dan kendaraan pribadi. Aku? Sudahlah, tidak perlu dibandingkan.

Sudah berbulan-bulan aku mencari dan melamar pekerjaan baru secara daring di beberapa puluh perusahaan, tapi selalu ditolak, bahkan malah ada yang mencoba menipu. Aku tahu, umurku sudah tidak muda lagi. Di negeri tercintaku ini umur seolah menjadi prioritas dan standar dalam mencari pekerjaan. Tapi, memang sih pengalaman kerjaku juga tidak mengesankan. Aku tidak pernah menjabat posisi yang bisa dibanggakan dan di beberapa tempat aku hanya bertahan selama beberapa minggu saja. Aku sadar sepenuhnya kenapa aku tidak mendapatkan pekerjaan baru. Jadi, apa yang harus aku lakukan sekarang?

Aku sudah benar-benar bosan dengan pekerjaanku yang sekarang karena berbagai alasan. Aku harus keluar dari tempat ini, ke dunia baru, secepatnya.

Cukupkah uangku untuk bertahan jika aku berhenti sekarang tanpa pekerjaan baru? Sampai kapan aku harus menanti pekerjaan baru? Bisakah aku mendapat pekerjaan baru? Haruskah aku mulai berwirausaha? Penjualan Apa yang harus kujual? Makanan? Haruskah aku membuka kedai atau mungkin mulai dari makanan gerobak? Bisnis waralaba? Lalu, di manakah aku harus tinggal dan membuka usahaku? Siapa yang nanti akan membantuku Aku tidak memiliki koneksi.

Aku juga tidak memiliki teman. Oke, kalau hanya sekedar teman biasa, ada beberapa orang jika dihitung dengan rekan-rekan kerjaku, tapi teman yang bisa dikatakan dekat, atau sahabat…. Saat ini sudah hampir tidak ada kalau bisa kukatakan. Aku memang mudah melepaskan persahabatan. Berpikir bisa melakukan semuanya sendiri, padahal tidak ada seorang manusia pun yang bisa hidup sendirian.

Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?

Aku telah berdoa dan berpikir telah menerima jawaban dari Tuhan, tapi entah apa aku salah mendengar atau itu hanya keinginan hatiku saja yang menjadi kuat. Atau pikiranku saja yang berkata kalau aku harus bertahan sedikit lagi di tempat ini. Itu sudah terjadi sejak setahun yang lalu dan hingga saat ini aku tidak mengerti sampai di mana sedikit lagi itu.

“Dari tadi melamun saja. Kita mau beli hotdog, kamu mau?” rekan kerjaku yang sedari tadi memperhatikanku membuyarkan lamunanku.

“Tidak.” Jawaban sependek itu cukup. Aku sedang menghemat uang. Bulan ini entah ke mana saja perginya uangku. Di akhir bulan seperti ini aku harus benar-benar menghemat sehingga aku bisa liburan di akhir minggu ini. Rencana yang sudah kubuat sejak sebulan yang lalu, tapi hingga 5 hari sebelum hari H-nya masih belum matang.

Jika aku memiliki teman untuk diajak liburan, aku bisa menghemat biaya transportasinya. Sebenarnya tidak memerlukan banyak uang untuk jalan-jalan kalau aku bisa mengendarai motor dan menyewanya untuk dipakai beberapa hari. Sayang sekali, aku sama sekali tidak bisa mengendarai sepeda motor. Atau bisa dikatakan aku bisa, hanya saja tidak lancar. Aku masih suka bingung yang mana rem dan gas, kiri atau kanan. Yang mana ya?

Untuk menyewa mobil tur seharian, aku harus mengumpulkan setidaknya 4 orang termasuk aku untuk berbagi biaya sewa mobil, tapi aku tidak memiliki teman untuk diajak. Ya, sudahlah, kalau rencana A tidak bisa terwujud, aku harus mengeksekusi rencana B, mau atau tidak. Sebenarnya rencana B tidak buruk sama sekali, aku malah menyukainya. Sewa kamar di tepi pantai dengan harga yang lebih mahal dan menikmati suasananya ditemani makanan pesan antar online sambil membaca buku atau menonton film. Menikmati waktu sendirian, jauh dari lingkungan pekerjaan.

“Aku pulang, ya.” Salah satu rekan kerjaku telah menyelesaikan pertarungannya hari ini

“Sampai ketemu lagi besok.” pamitku kepadanya, memalingkan tatapan dari layar komputer yang hanya berisi wallpaper rekan kerjaku memakai aksesoris lucu.

Satu hari kerja telah selesai baginya dan akan berakhir dalam dua jam lagi bagiku. Aku memiliki waktu kerja yang tidak bisa dikatakan fleksibel, sebab fleksibel artinya terserah padaku untuk memulai pekerjaan di waktu yang aku inginkan, tapi yang ada, aku harus bisa bekerja di berbagai variasi jam kerja sesuai yang dibutuhkan kantor. Aku bahkan bisa dianggap harus siap bekerja selama 24 jam. Itu hal yang tidak aku inginkan. Bagiku pekerjaan hanya selama delapan jam sehari, di luar itu adalah waktu pribadiku, aku tidak mau disibukkan dengan urusan pekerjaan sekecil apapun.

Itu adalah salah satu alasan kenapa aku ingin berhenti dari pekerjaan di tempat ini. Aku diserahkan beberapa posisi pekerjaan dengan tanggung jawab yang lumayan besar dengan bayaran satu jenis jabatan tanpa tunjangan.

Jam lima. Saatnya pulang.

Menurutmu apa yang dilakukan seorang introvert seperti aku di kamar berukuran empat kali empat berisi sebuah tempat tidur, kursi, meja dan lemari? Ya, seperti yang sudah aku katakan tadi, aku membaca, menonton film dan hal-hal lain yang tidak memerlukan banyak bergerak dan aku juga bukan orang yang senang keluyuran ke sana sini. Namun, terkadang ketika aku merasa penat dan memerlukan udara segar, aku akan keluar untuk berbelanja atau makan di sebuah restoran, atapun sekedar berkeliling kota.

Bertemu orang baru di jalan atau di dalam bus atau di swalayan atau di manapun aku pergi merupakan pengalaman yang menyenangkan. Terlebih jika terlibat dalam percakapan yang menarik. Percakapan yang menarik bagiku, jika dari percakapan itu aku belajar sesuatu yang baru ataupun mendapat pelajaran yang bermakna. Bukan sekedar perbincangan tidak karuan dan tak ada arah.

Satu hal lagi yang menyenangkan ketika melihat dunia luar adalah hal-hal yang bisa diamati di perjalanan. seperti, ketika aku melihat seorang pria sekitar umur 40 tahunan yang menjajakan jualannya di pinggir jalan dan kemudian dengan berpeluh pindah ke tempat lain dengan menenteng semua bahan jualannya di bahu dan tangannya, berjalan kaki. Aku merasa kasihan melihatnya dan juga merasa bersyukur aku masih memiliki pekerjaan yang lebih mudah, meskipun dengan penghasilan yang tidak memuaskanku. Yaa, manusia memang sulit dipuaskan. Aku harus belajar bersyukur lebih lagi.

Sepanjang jalan akan keluar dari kantor, pikiranku sibuk menerawang ke mana-mana, akibatnya aku melewatkan mesin finger print untuk absen pulang. Tidak apa, hanya memerlukan sedikit jalan kaki dari gerbang depan untuk kembali ke dalam kantor. Untung aja aku ingat belum absen pulang, kalau tidak, melayanglah gaji harianku gara gara lupa absen. Peraturan yang tidak adil menurutku, hanya karena hal kecil yang bisa dibuktikan dengan banyak fakta, tapi hukumannya besar, tak sebanding dengan pekerjaan yang sudah dilakukan seharian di saat perkerjaan sedang berat-beratnya. Juga membuang-buang waktu. Tapi, peraturan tetaplah peraturan. Di mana kamu berada bukankah harus mengikuti peraturan yang ada di tempat itu?

Mandi, cuci baju, makan malam dan santai. Runititas yang lumayan membosankan setiap hari. Seandainya ada di tepi pantai, bisa ke pantai setiap hari. Tapi, aku pernah bekerja di tempat yang benar-benar dibangun di atas pasir pantai dan aku tidak menikmati hari-hari bersenang-senang di pantai selama beberapa bulan bekerja di sana. Selain pasir pantainya hitam dan lumayan kotor, tempatnya pun kecil dan kurang menarik.

Sepanjang hari ini udara terasa dingin. Saat kucuci rambutku, kepalaku terasa membeku. Apalagi setelah keluar dari kamar mandi, dinginnya semakin menusuk akibat jendela kamar yang terbuka. Aku segera menutupnya. Syukurlah, di cuaca dingin seperti ini, kamar ini terasa hangat. Tapi, di saat matahari sedang gencar-gencarnya membagi sinar ultra violet, kamar ini berasa seperti di sauna. Lumayan juga, tidak perlu mengeluarkan uang untuk pergi ke sauna dan tidak perlu menguras tenaga untuk membakar lemak-lemak yang bersarang di tubuhku. Apakah dengan duduk diam di cuaca panas, lemak-lemak di tubuhku akan keluar jadi keringat? Nanti aku akan tanya Mbak Google, sekarang makan malam dulu.

Makan malam yang lezat, dan aku tidak keberatan kalau harus makan hidangan yang sama selama 2 hari berturut turut. Tempe dan tahu goreng tepung dan sayur pokchoi tumis. Plus sambal. Kalau saja sambalnya sambal terasi pedas, pasti rasanya lebih mantap lagi.

Ternyata aku masih harus menyetrika seragam untuk besok. Menyetrika adalah kerjaan harian yang bukan menjadi favoritku, tapi di cuaca dingin seperti ini, itu sangat membantu menghangatkan tubuh.

Semua pekerjaan sudah selesai. Aku memeriksa lamaran pekerjaanku di salah satu portal penyedia pekerjaan daring, tak ada perkembangan. Ada beberapa lowongan baru, coba saja melamar. Tidak ada salahnya, hanya tinggal menekan tombol lamar dan selesai. Diterima atau tidak, setidaknya sudah berusaha. Sebagian besar jawaban yang kuterima dari hampir seratus tempat yang aku lamar, tertulis “tidak cocok”, sisanya “diterima”. Ada juga yang sempat bertanya-tanya tapi di-PHP-in, sampai saat ini tidak ada kabarnya lagi, itu sudah dua bulan yang lalu. Tak apa, aku juga tidak berniat untuk menerima pekerjaan itu kalau sekarang ditawarkan, karena lokasinya berada di dunia antah berantah yang sulit dijangkau kendaraan.

Saatnya memeriksa lamaran pacaran, eh, maksudku aplikasi kencan daring, hehe…. Tidak ada yang menarik juga. Setelah setahun lebih terdaftar di aplikasi online yang ini, akhir-akhir perkembangannya sangat lambat, atau mungkin aku yang menjadi semakin pemilih. Aku semakin jarang membalas surat yang masuk dan bahkan ada beberapa yang sudah kenal sejak setahun yang lalu, sudah kuhentikan komunikasi. Aku mudah bosan dan bukan tipe yang senang menjaga hubungan baik dengan orang lain. Kalau orang lain memutuskan untuk tidak menghubungiku, aku tidak akan mencari mereka lagi.

Berkenalan secara daring sebenarnya melelahkan, karena harus memulai fase tahapan yang sama berulang kali. Namanya berkenalan, pasti harus dimulai dari perbincangan hal-hal dasar terlebih dahulu. Tapi, yang menjengkelkan, saat beberapa orang bertanya hal-hal yang sudah jelas, yang seharusnya mereka sudah ketahui. Contohnya: “Kamu tinggal di mana?” Apa? Di aplikasi kencan daring sudah pasti kita harus mengisi data-data kita yang akan ditampilkan dalam profil dan saat seseorang mau mengirim surat kepada kita, dia harus membaca profil kita dulu dan jelas sekali salah satu hal paling penting yang tercantum di profil adalah nama, umur, dan lokasi tempat tinggal. Jadi, kenapa pertanyaannya harus tinggal di mana?

Oke, dua hal penting sudah aku kerjakan. Itu untuk masa depanku: pekerjaan dan pasangan hidup. Selanjutnya memeriksa media sosial. Yang kumaksud dengan media sosial adalah WhatsApp dan Telegram, titik. Tidak ada Facebook atau Instagram apalagi Tiktok. Tidak ada yang menarik juga. Jadi, saatnya menonton Youtube.

Inilah hal yang paling membuang waktu, menghabiskan dua jam hanya untuk menonton video-video lucu di Youtube sampai akhirnya aku benar-benar ingin tidur. Dua jam itu seharusnya bisa aku habiskan untuk menyelesaikan membaca buku 400 halamanku yang sejak 2 minggu yang lalu baru selesai setengahnya.

Benar-benar hari yang membosankan dan tidak produktif.

Bab 2

Hari baru, tantangan baru. Apakah hari ini ada tantangan? Tentu saja.

Tantangan terbesarku adalah menghabiskan waktu dengan bermanfaat. Aku biasanya menuliskan hal-hal yang akan aku lakukan sepanjang hari, sehingga aku bisa mencoretnya ketika ada yang telah aku kerjakan. Itu membuatku merasa kalau aku telah berhasil melalui hari ini dengan bermanfaat.

Ponselku bergetar. Ada notifikasi baru, dua kali bergetar dengan jarak agak lama, pasti Whatsapp. Kuambil ponsel yang kuletakkan di samping monitor komputer. Ah, hanya iklan. Aku memeriksa situs pertemanan, mungkin saja ada komentar baru untuk ikut liburan denganku akhir minggu ini. Tidak ada.Terdesak aku mendaftar di situs pertemanan itu, disebabkan keinginan untuk melakukan perjalanan liburan tidak sendirian.

Tapi, sepertinya aku akan berlibur sendiri dan menikmati waktuku. Kalau begitu, aku harus mencari tempat yang sepi, jadi aku bisa membaca dengan tenang. Dengan keuangan yang minim, aku tidak bisa mendapatkan kamar yang nyaman dan bersih di manapun. Kamar seperti apa yang bisa kudapatkan dengan uang seratus ribu? Kamar dengan tempat tidur susun dengan kamar mandi pakai bersama. Tidak. Aku ingin privasiku terjaga.

Ini hari rabu, ada penawaran dari agen perjalanan daring. Semoga dapat yang lumayan murah di hari diskon ini. Dua hari lagi aku liburan tapi masih belum menemukan kamar yang bagus. Seharusnya aku mencarinya dari bulan yang lalu. Aku selalu seperti ini, merencanakan sesuatu dari beberapa bulan sebelumnya tapi direalisasikan di waktu-waktu yang mepet.

“Ka, kita keluar jalan hari jumat, yuk!” seru rekan kerjaku, yang terdengar seperti paksaan bukan ajakan.

“Aku tidak bisa.” kataku berusaha terdengar santai.

“Kenapa? Kita sudah lama tidak keluar jalan. Ayolah, Ka.”

Kami memang sempat merencanakan untuk keluar makan bersama setelah selesai kerja  beberapa minggu terakhir ini dan belum terlaksana.

“Aku ada urusan.” jawabku sekenanya.

“Urusan apa? Itu sudah akhir minggu, saatnya menikmati liburan.” Rekan kerjaku terus memaksa.

“Aku mau pergi.”

“Mau ke mana sih?” Seorang rekan kerjaku yang lain penasaran dengan tujuan kepergianku.

“Mau mengurus pernikahan.” jawabku bercanda. Candaanku ini bisa dianggap serius oleh mereka, dan itu sangat lucu bagiku.

“Mana pacarmu?” Bapak yang sedari tadi hanya diam melihatku, ikutan bersuara.

“Di kampungnya.” timpal rekanku yang imut. “Benar, kan, Kak?”

“Iya, dia di Korea.” ucapku melanjutkan candaan sambil tertawa.

Rekan-rekan kerjaku sangat senang berbincang-bincang. Bagi mereka hal yang paling penting adalah makan dan berbincang-bincang. Mulut mereka tidak bisa diam, entah untuk makan atau berbicara, hahaha….

“Kapan kamu menikah?” Bapak yang kini meregangkan kakinya di lantai, menatapku lagi setelah berdebat tentang asal pacarku dengan rekan-rekanku yang lain.

“Maunya secepatnya.” jawabku asal.

“Menikahnya di mana?” masih lanjut. “Kalau menikah di kampungmu, kita tidak bisa hadir.”

“Kirimi kita tiket, ya?” sambung rekanku yang baru masuk.

Aku tertawa. “Biaya tiket untuk kalian lebih mahal dari biaya pernikahanku.” Aku bergeser duduk ke pilar di samping rekan kerjaku yang sedari tadi bengong. “Kenapa bengong? Memikirkan pacarmu, ya?”

“Kalau aku menikah gimana, ya?” tanyanya tiba-tiba.

“Kalau kamu menikah, kamu akan memiliki suami, dong,” celetuk rekan cowokku yang duduk di pojok sambil mengangkat kakinya. Kontan semua rekan kerjaku tertawa. Dia memang senang sekali menjahili orang.

“Bukan itu maksudku. Apa aku akan menjadi gemuk?” pertanyaannya yang polos kembali membuat kami tertawa.

“Ya, kamu akan menjadi sangat gemuk, lebih gemuk dari dia,” celetuk rekan cowok usil tadi sambil menunjuk rekan cewek yang berbadan gemuk. Sebenarnya dia tidak begitu gemuk, berat badannya hanya 65 kg, tapi karena tingginya hanya 150 cm, jadi terlihat gemuk. Ya, wajarlah, bukankah berat badan harus disesuaikan dengan tinggi badan? Aku juga tidak sesuai.

“Enak saja, sekarang aku sudah tidak gemuk lagi, lho, beratku sudah turun 3 kg dari minggu yang lalu,” ujarnya membela diri. Dan pembelaan dirinya itu membuat kami semua terkejut.

“Apa kamu tidak waras? Bagaimana mungkin berat badan kamu turun sebanyak itu hanya dalam waktu seminggu?” Rekanku yang paling kecil tidak percaya.

“Bisa kok, aku makan sekali saja sehari, hanya makan siang saja. Sarapan hanya minum susu atau jus saja.

Malamnya aku tidak makan apa-apa lagi. Aku juga tidak makan nasi lagi.” jelasnya panjang lebar.

“Pantas saja tampang kamu kayak orang cape banget, kusam dan loyo.” Si usil terus beraksi dengan kata-katanya. Kurasa di tempat kerja manapun pasti adam satu orang seperti dia.

Tapi memang benar apa katanya. Wajah bulatnya yang putih dan berseri, sekarang tampak kusam dihiasi kantong

mata. Dia kelihatan kurang bersemangat akhir-akhir ini dan selalu menolak kalau diajak membeli camilan. Katanya dia diet untuk pacarnya. Benar-benar alasan yang tidak masuk akal. Tapi, kadang cewek rela berbuat apa saja  ntuk pasangannya.

Aku tidak ingin mendengarkan usil-usilan dan curahan hati rekan-rekan kerjaku. Terkadang mereka curhat hal—hal yang tidak perlu diketahui banyak orang. Ada hal-hal tertentu yang lebih baik hanya diketahui orang-orang tertentu saja. Kalaupun ingin meminta masukan dan nasehat, bertanyalah secara pribadi keapada orang yang dirasa kompeten akan hal itu. Ya, tiap orang berbeda. Hanya saja, ah sudahlah.

Sudah waktunya pulang, aku harus menyiapkan banyak hal untuk liburanku nanti. Seperti yang sudah kukatakan, banyak yang harus dipersiapkan, dan itu semua harus dipersiapkan beberapa hari sebelumnya.Setidaknya, dua hari bagiku.

Bab 3

Hari yang kunantikan akhirnya tiba, setelah merencanakannya dari beberapa bulan yang lalu. Sebenarnya aku tidak benar-benar merencanakannya, karena aku masih tidak tahu pasti di mana aku akan menginap, dengan siapa aku akan keluar jalan dan ke mana aku akan pergi. Sebenarnya gambaran buramnya sudah ada di benakku, tapi aku tidak membuatnya sangat jelas. Satu-satunya hal yang terpikirkan olehku sekarang adalah, kalau aku tidak bisa jalan-jalan ke pantai atau mengunjungi objek-objek wisata, aku hanya akan diam di hotel dan membaca atau menonton. Semudah itu.

Mataku terasa berat, karena aku harus bekerja sore kemarin dan bekerja pagi hari ini, tapi aku sangat bersemangat dengan liburanku hari ini. Aku hanya ingin keluar dari tempat ini, dari lingkungan kantorku dan dari kamar kos kecilku dan mencari suasana baru di luar sana. Sudah dua minggu aku tidak pergi ke manapun, hanya bolak-balik kos, kantor dan minimarket.

Akhirnya jam menunjukkan pukul tiga sore, saatnya pulang. Aku pulang ke kos, berganti pakaian dan memasukkan beberapa barang ke dalam ransel yang sudah hampir putus di bagian tali, tapi sudah kujahit. Aku akan mandi di hotel saja, tidak ingin membuang waktu. Setidaknya aku harus sudah berada di pusat kota jam 4 sore. Tapi, tidak berjalan lancar, aku selalu membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan beberapa hal, termasuk saat memutuskan baju untuk dipakai, baju apa lagi yang bisa aku bawa, yang aku yakini, pastinya nanti tidak akan aku kenakan dan hanya akan membuat ranselku semakin berat. Tak apa, bawa saja, mungkin saja aku akan pergi ke beberapa tempat dalam sehari, jadi aku perlu baju berbeda untuk foto. Hahaha….

06.30 aku tiba di hotel pertama. Setelah menimbang-nimbang secara mendadak di dalam bus menuju kota tadi, aku

memutuskan untuk menginap di dua hotel berbeda untuk liburan 3 hari dua malamku. Kedengarannya sempurna, libur tiga hari dua malam setelah bekerja beberapa bulan. Tapi, tidak sempurna seperti kedengarannya, malah hal-hal yang kurencanakan tidak berjalan lancar. Aku tidak mendapat teman untuk tur besok dan lusanya. Jadi, aku harus mencari opsi lain untuk mewujudkan liburan yang sempurna selain duduk membaca sepanjang hari di kamar hotel.Tidak ada salahnya, bukankah aku membayar untuk kamar hotel itu?

Tiada perubahan. Malam pertama liburan, aku masih tidak mendapatkan kepastian dari beberapa orang yang awalnya sempat tertarik untuk berlibur bersama. Pagi ini juga masih tidak ada kepastian, mereka seperti menghilang ditelan bumi.

Jadi, agenda hari ini adalah: pindah hotel. Dari hotel yang biasa saja, dengan harga di bawah seratus ribu, tepatnya tujuh puluh ribu rupiah, aku akan beralih ke hotel kelas menengah dengan harga lebih dari dua kali lipat tempat yang pertama, tepatnya seratus delapan puluh ribu rupiah semalam. Awalnya aku ragu, tapi aku ingin melewati masa liburanku di tempat yang nyaman dan bersih di tempat yang hening. Jadilah aku memesan hotel yang kedua.Mungkin lebih tepat disebut penginapan, bukan hotel. Tapi, aku lebih memilih menyebutnya hotel, berkesan elegan, bukan?

“Kamarnya di lantai tiga ya, Ka. Liftnya tidak sampai ke lantai tiga, hanya lantai dua saja, setelah itu Kakak melewati jembatan dan naik tangga ke lantai tiga.” Jelas resepsionisnya setelah aku menyelesaikan proses registrasi dan siap ke kamar.

Dari penjelasannya aku belum membayangkan apapun. Setelah aku turun dari lift di lantai dua, aku dihadapkan pada lorong panjang dan tangga di sebelah kiri dan dua pintu. Aku coba melihat ke dalam ke dua pintu itu, tapi itu hanya pintu ke ruangan meeting dan gym. Apa aku harus naik tangga di sini? Bukankah aku belum melewati jembatan seperti kata si resepsionis tadi? Satu-satunya pilihann hanya berjalan lurus melewati lorong yang tampak tidak berakhir.

Sampai di ujung lorong, ada dua orang cleaning service, cowok, dua-duanya masih muda, tapi yang satu ganteng, putih, rapi dan ramah. Sepertinya bukan berasal dari sini. Yaa,,, aku masih cewek normal, aku masih suka mellihat yang ganteng dan bening, tapi bukan berarti aku menginginkannya, apalagi umurnya muda sekali. Aku hanya memanjakan mataku sejenak. Tidak ada salahnya, kan? Momen itu juga hanya berakhir saat itu juga.Cowok yang satunya bertampang biasa, tapi tersenyum ramah saat melihatku.

“Ke kamar 318 lewat lorong ini, ya?” tanyaku menunjuk lorong di sebelah kananku.

“Benar, Bu.” jawab si ganteng sambil senyum. “Di ujung lorong belok kiri dan naik tangga.”

“Terima kasih.” Aku turut tersenyum.

"Sama-sama, Bu.”

Meskipun dipanggil Ibu, tapi aku tidak keberatan. Selain tampangku yang memang sudah menunjukkan keriput, meskipun aku memakai masker, tapi keriput di bagian dahi dan ujung serta bawah mata sudah kelihatan jelas. Dan juga di umurku ini seharusnya aku sudah memiliki seorang anak remaja.Terima kenyataan saja.

Saat berbelok kanan, di depanku terhampar area sawah yang luas. Sayangnya, saat ini sedang musim membajak, belum ada padinya, yang terlihat hanya warna cokelat dari tanahnya saja. Tapi, langit birunya membuat pemandangannya terlihat mempesona, sempurna. Ciptaan Tuhan memang indah.

Bagian langit-langit lorong dihiasi lampu-lampu gantung yang dibingkai dengan bola anyaman rotan, sangat cantik. Itu tempat foto yang keren, aku sudah melihatnya di internet. Saat berbelok kiri, ada semacam gerbang pemisah antara lorong dan bangunan hotel yang ternyata baru dibangun. Gerbang itu seperti gerbang model Arab, berbentuk seperti kubah segitiga berwarna putih. Aku melihat sepasang muda-mudi sedang mengambil foto, bukan hanya satu tapi beberapa. Si cewek mengarahkan pasangannya untuk mengambil foto dengan sudut segitiga sama sisi. Tidak, tidak, aku hanya bercanda. Aku tidak mendengarkan lagi apa kata cewek itu saking ingin masuk ke kamar dan melepaskan beban di pundak dan punggungku. Ranselku benar-benar berat.

Aku naik ke lantai tiga dan berbelok kiri memasuki lorong yang sama panjangnya dengan lorong di lantai dua tadi. Nomor 3 1 8. Kamarku. Kutempelkan kartu yang bentuknya seperti kartu ATM, hanya saja warnanya putih mulus dengan tulisan tangan nomor kamar di salah satu pojoknya.

Biiiiip biiiiiiip, dua kali pintunya berbunyi keras, aku rasa tetangga di lantai bawah bisa mendengarnya, kemudian bunyi pintu terbuka. Kudorong pintunya dan tada....

Interior kamar seperti yang sudah kulihat di internet terbentang di depanku. Sangat bersih dan rapi, didominasi warna putih. hanya dinding di atas kepala ranjang yang berwarna biru tua, tirai tebalnya berwarna cokelat terang keabu-abuan dan sofa di pojok samping kamar mandi berwarna abu-abu cerah. Kamar ini bergaya Skandinavia, cantik sekali. Harganya tidak mengkhianati hasilnya. Tidak sesempurna foto-foto di internet, tapi delapan puluh persen sesuai ekspektasi.

Kubuka pintu kaca geser dan tampaklah balkon yang sederhana tapi cantik. Dengan sebuah meja dan dua buah kursi yang sudah termakan waktu, lalu ada empat pintu lemari, yang di balik  salah satu lemarinya ada wastafel. Ini pasti dimaksudkan sebagai dapur kecil, hanya saja tidak ada kompor dan peralatan makan. Langit tersenyum dengan warna biru kemerahannya melengkapi indahnya pemandangan balkon.

Sempurna, inilah tempat menginap yang terasa nyaman. Aku sangat menyukainya.

Tapi, bukan aku namanya kalau aku tidak melihat kekurangannya. Ada beberapa bagian dinding yang catnya mulai

terkelupas, bukan karena usianya, ini bangunan baru, tapi karena tingkat kelembaban di dalam kamar. Dan ada satu lampu samping ranjang yang tidak menyala, serta ada bercak-bercak noda besar di kedua kursi dan sofa. Tapi, itu hanya hal kecil yang tidak akan mengurangi kekaguman dan kenyamananku akan hotel ini.

Namun, ada satu hal yang menggangguku, airnya berbau, seperti bau lumpur. Awalnya aku pikir mungkin drainase airnya ada yang berkarat, nanti setelah aku menggunakannya cukup lama, pasti tidak akan berbau lagi. Tapi, keesokan harinya pun masih bau.

Ya, sudah dua hari aku di sini dan aku tidak menemukan teman untuk tur denganku, yang akhirnya membuatku keluar sendirian ke pantai melihat matahari terbenam di sore hari pertama dan hari ke dua ini aku menghabiskannya dengan berjalan-jalan di pantai melihat matahari terbit di pagi hari, kemudian sarapan dan berkeliling kota, lalu kembali ke hotel di sore hari. Cara yang sempurna untuk menghabiskan hari, bukan?

Sejak kemarin aku ingin minum kopi. Aku ingin memesannya secara online, tapi aku batalkan. Hari ini aku membeli beberapa minuman untuk menemani sore dan malam hari terakhir di sini, sambil membaca dan menonton. Saluran TV-nya benar-benar mantap, ada 60 siaran berbeda yang membuatku bingung harus menonton yang mana. Kalau bisa dibilang menonton sih, aku hanya membiarkan TV menyala selagi aku sibuk dengan hal-hal lainnya. Tapi, aku memilih saluran yang menarik.

Sudah dua hari ini aku menonton, atau lebih tepatnya mendengarkan film Harry Potter. Sepertinya diputar dari yang pertama sampai yang ke tujuh. Apakah aku ke sini hanya untuk menikmati Harry Potter? Tak apa, aku suka di sini meskipun aku tidak ke mana-mana lagi. Toh, aku membayar harga yang lumayan untuk menginap di sini, kenapa tidak dimanfaatkan dengan baik? Aku juga memang mencari ketenangan dan kenyamanan. Bukan masalah. Aku tidak ingin menghancurkan liburanku yang tidak sempurna dengan mengeluh. Semua memang tidak berjalan sesuai keinginanku, jadi lebih baik bersyukur. Kenapa bersyukur hanya saat semuanya sesuai harapan dan keinginanku, tapi saat tidak sesuai harapanku aku harus mengeluh? Itu membuat cape saja.

Aku memesan pizza dan spaghetti yang sudah kuidamkan selama beberapa bulan ini sebagai makan malam ditemani kopi dingin dari mini market ditambah didinginkan di lemari es hotel dan menikmati film HBO Hits: Bridget Jones Baby yang lucu, sempurna. Liburanku benar-benar sempurna.

Aku bisa berbaring tanpa terbayang tentang pekerjaan sama sekali, menikmati waktu liburku sepenuhnya. Aku ingin sekali tinggal di tempat seperti, jauh dari lingkungan kerja, meninggalkan perihal pekerjaan di kantor, dan saat kaki melangkah keluar dari daerah kantor, aku menjadi aku yang bebas, tidak terikat dan terbeban dengan apapun yang ada di kantor.

Oke, kembali ke kehidupan nyata. Aku selalu berkata demikian. Bagiku, hari-hari liburku seperti dongeng, karena hal itu adalah hal yang hanya aku bayangkan dan impikan di saat aku sedang bekerja. Aku sangat menantikan saat akan liburan dan berpikir untuk tidak kembali lagi bekerja di tempat yang sama.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!