Jangan lupa like, vote dan komen supaya author senang dan makin semangat buat update!
•
•
•
Alexander adalah kekaisaran yang memiliki mage terbanyak dibandingkan dengan kekaisaran yang lain, khususnya Swordsman Mage. Karena banyaknya mage hebat dan berbakat, kekaisaran ini menjadi lebih maju daripada wilayah kekaisaran lainnya.
Kekaisaran ini memimpin tiga kerajaan, yaitu kerajaan timur, barat, dan selatan.
Ibu Kota Kekaisaran Alexander terletak di bagian tengah, yaitu Kota Bern. Kota yang selalu ramai karena banyak tempat-tempat dan bangunan yang indah.
Ibu Kota adalah pusat perdagangan, akademi dan tempat di mana menara sihir berada. Semua bangsawan elit tinggal di Ibu Kota.
Sore ini suasana di Balai Kota tampak jauh lebih ramai dari bisanya. Dikatakan bahwa hari ini adalah hari penobatan Mage dan Swordsman Mage tingkat atas dari Akademi Callister. Ada sekitar lima orang yang sedang berdiri di altar, menunggu penobatan mereka.
Akademi Callister adalah salah satu akademi terkemuka di Kekaisaran. Sebagian besar Mage dan Swordsman Mage tingkat atas adalah lulusan akademi tersebut. Hanya orang-orang berbakat saja yang bisa lulus di akademi tersebut.
Penobatan kali ini diberikan langsung oleh Swordsman Mage tingkat atas lulusan akademi generasi ke-10, Riana Abelard. Rambut warna perak yang indah, mata oranye yang selalu tampak tajam dan dingin. Aura yang dipenuhi wibawa, itulah Riana.
Riana naik ke altar, kemudian ia memberikan lencana dan pedang secara bergiliran pada lima orang tersebut. Setelah sesi penobatan selesai, seluruh penonton yang berdiri di sana langsung bertepuk tangan dan bersorak dengan keras.
"Sekarang negara kita memiliki mage yang lebih banyak daripada negara lain, kan?" Salah satu pria bertanya kepada temannya yang berdiri di samping.
"Kau benar. Aku jadi merasa tenang. Hahaha!" Mereka berdua tertawa bahagia.
Semua orang yang ada di sana tampak sangat gembira, terkecuali Zeha yang sedari tadi memasang ekspresi sendu. Zeha adalah mantan siswa dari Akademi Callister, tapi ia tak bisa menguasai ilmu sihir sedikit pun. Ia juga tak mengerti bagaimana bisa dia lulus ujian masuk. Saat itu ia mengira kalau belajar di akademi akan bisa membuatnya menjadi mage yang hebat, namun ternyata selama lima tahun dia sekolah, tak satu pun dia bisa menguasai ilmu sihir. Hingga pada akhirnya, dia dikeluarkan dari akademi.
“Mage di negara kita benar-benar berbakat!”
"Berbakat, ya?"
Zeha tak menyalahkan pernyataan itu. Ia mengakuinya, kalau semua orang selain dirinya itu memiliki bakat yang hebat sampai bisa menjadi Swordsman Mage tingkat atas. Sedangkan dirinya hanya penyihir abal-abal yang kebetulan memiliki kapasitas mana yang melimpah.
Sihir.
Kemampuan luar biasa yang diberikan pada manusia. Namun, tidak semua orang bisa memilikinya. Hebat atau tidaknya sihir seseorang bisa diketahui melalui kapasitas mana mereka. Semakin banyak mana yang kau miliki, maka semakin besar pula sihir yang bisa kau hasilkan. Biasanya mereka yang memiliki kapasitas mana yang banyak adalah para bangsawan.
Namun kasus Zeha berbeda. Dia bukanlah seorang bangsawan, melainkan hanya anak dari seorang nelayan. Ia juga tidak begitu mengerti kenapa bisa memiliki kapasitas mana yang melimpah, sementara orang tuanya tidak memilikinya.
Meskipun itu hanya kesenangan sesaat sebelum Zeha menerima fakta bahwa sihirnya tidak bisa berkembang.
Pihak akademi menyatakan bahwa Zeha menderita penyakit penyumbatan mana. Meskipun itu hanya asumsi sebagai bentuk peralihan dikarenakan mereka sendiri tak tahu masalah apa yang sebenarnya diderita oleh Zeha.
"Nak, apa kau punya uang?"
Seorang wanita tua tiba-tiba memegang tangan kiri Zeha untuk menahan. Alhasil Zeha terkejut dan langsung menoleh ke belakang.
"Astaga, nenek. Ada perlu apa?"
"Nak, nenek lapar.”
"Hah?"
Zeha tak tahu apa yang sedang terjadi, tapi yang jelas sekarang ia perlu memberikan makanan pada nenek itu. Mereka berdua berakhir di sebuah toko roti yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka bertemu. Zeha membelikan cukup banyak roti untuk sang nenek. Nenek itu memakan semua rotinya, dia terlihat sangat lapar.
“Pelan-pelan makannya, nek,” ucap Zeha.
Sang nenek tidak menghiraukan perkataan Zeha dan terus melahap dengan cepat sampai roti itu habis tak bersisa.
“Aku menghabiskan 20 perak untuk roti ini. Kurasa aku akan diet malam ini.” Zeha hanya bisa tersenyum simpul mengingat ia tak memiliki uang yang cukup.
“Terima kasih, nak. Kamu baik sekali.” Nenek itu tersenyum manis sampai berhasil membuat hati Zeha menghangat.
“Iya, sama-sama, nek.”
“Karena kamu sudah membelikan nenek roti, nenek akan memberimu hadiah.”
“Nenek mau memberiku hadiah?” Tatapan Zeha berubah saat mendengar ucapan sang nenek. Ia jelas tak mempercayai ucapan nenek itu karena ia tahu kalau nenek itu adalah seorang pengemis yang tak punya uang.
“Tatapanmu itu entah kenapa membuat nenek kesal,” ucap nenek. Mendengar ucapan sang nenek, Zeha hanya bisa terkekeh malu.
“Kau tidak bisa mengembangkan sihirmu sama sekali, kan?” lanjut sang nenek.
Ketika mendengar kalimat itu, senyuman Zeha memudar, matanya membulat dan menajam. “Bagaimana nenek bisa tahu?!”
“Kalau kau ingin tahu, maka datanglah ke tempat ini. Nenek akan menunggumu,” ucap sang nenek sambil memberikan secarik kertas persegi panjang pada Zeha.
Zeha memandangi kertas tersebut cukup lama sebelum dia mengambilnya. Ia kembali membaca teks yang ada di kertas itu dengan kening berkerut.
“Bukankah ini ada di wilayah selatan?”
“Benar. Datanglah ke sana, maka nenek akan memberimu hadiah yang bagus.”
Zeha kembali memandangi kertas itu, membaca dengan teliti alamat yang tertera di sana.
“Tapi, nek. Aku harus bekerja—” Saat menoleh, Zeha dikejutkan oleh sosok sang nenek yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Bahkan dia sendiri tidak bisa merasakan keberadaan nenek itu.
Zeha memutar wajahnya ke kiri dan ke kanan guna mencari sosok sang nenek, namun anehnya dia tetap menemukannya.
“Apa-apaan nenek itu?” Entah kenapa seluruh tubuhnya mendadak merinding.
...*****...
Zeha sedang dalam perjalanan menuju penginapan. Hari ini entah kenapa dia merasa seperti telah bertemu dengan orang yang luar biasa. Ia sangat yakin kalau nenek itu bukanlah seorang pengemis.
“Hei, pecundang!”
Langkah Zeha sontak terhenti ketika ada yang memanggilnya. Ia benci mengakuinya, namun para murid di akademi memanggilnya pecundang. Karena ketidakmampuannya dalam menguasai sihir, ia kerap kali ditindas oleh para murid berandal. Salah satunya adalah pria yang memanggilnya tadi, Ryu Giriand.
“Hei, pecundang! Apa kau tidak dengar? Aku memanggilmu, sialan,” ucap Ryu—sedang berdiri di gang kecil bersama dua orang temannya.
Zeha melirik sekilas, lalu menjawab dengan nada dingin. “Ada apa? Aku sedang sibuk.”
Emosi Ryu langsung meninggi ketika melihat sikap Zeha yang terkesan dingin dan angkuh padanya. “Dasar bajingan tengik!”
Ryu menjulurkan tangan kanannya. “Kemarilah, bangsat!”
“Urk!” Tiba-tiba saja tubuh Zeha terangkat. Zeha memegangi area lehernya seolah tengah dicekik oleh sesuatu. Beberapa detik berikutnya, tubuhnya bergerak dengan sendirinya—mengarah pada Ryu.
Ryu langsung mencengkeram kuat leher Zeha dan membenturkan tubuhnya ke dinding.
“Kuagh!” Zeha tengah berusaha untuk melepaskan cengkeraman di lehernya, namun ia sangat kesulitan karena Ryu menggunakan sihir telekinesis untuk mengendalikan tubuhnya.
"Mati kau, bajingan hina!"
Zeha tak bisa melawan karena ia tak punya sihir. Alhasil, ia hanya bisa mengandalkan kekuatan fisiknya untuk melepaskan diri. Meskipun itu sangat mustahil dilakukan.
“Mohon ampunlah padaku kalau kau masih ingin hidup,” ucap Ryu yang diiringi oleh seringaian tajam.
“Kugh!” Tangan kiri Zeha bergetar hebat. Ia sedang berusaha menggerakkan tangan kirinya. Meski membutuhkan waktu yang cukup lama, ia akhirnya berhasil. Zeha mengangkat jari tengahnya pada Ryu sebagai jawaban atas penawarannya tadi.
Ryu jelas naik pitam. Aura yang ia pancarkan berubah drastis menjadi begitu mencekam.
“Bajingaan ...! Kubunuh kau ...!"
Jangan lupa like, vote dan komen supaya author senang dan makin semangat buat update!
•
•
•
“Bajingaan ...! Kubunuh kau ...!” Ryu melemparkan tubuh Zeha hingga menabrak dinding.
“Kuagh! Kugh!” Zeha langsung berusaha bangkit begitu ia terjatuh ke tanah karena sihir telekinesis telah terlepas. Namun itu hanya berlaku selama beberapa detik karena Ryu kembali menggunakan sihir telekinesis untuk menghantamkan tubuh Zeha ke dinding dan ke tanah beberapa kali.
Kedua temannya sampai syok melihat aksi Ryu yang menurut mereka sudah kelewat batas.
“Ryu! Sudah, hentikan. Pihak akademi akan marah jika mengetahui ini!” Salah satu temannya mencoba untuk menghentikan Ryu, namun tak berhasil.
“Minggir!” Ryu menggunakan sihirnya untuk melempar tubuh temannya ke arah lain.
Sementara itu kondisi Zeha sekarang sudah sangat memprihatinkan. Banyak darah yang membekas di pakaiannya. Darah juga keluar dari mulutnya beberapa kali saat tubuhnya dihantam ke dinding dan ke tanah.
Ryu tertawa puas. Sungguh nikmat sekali rasanya ketika ia melihat kondisi Zeha sekarang.
“Dasar lemah!” serunya lantas menendang kepala Zeha hingga membuat pria itu terlempar hingga membentur dinding. Tak sampai di situ, Ryu kembali menghampiri Zeha dan menginjak-injak tubuhnya beberapa kali sambil tertawa puas.
“Seorang rakyat jelata sepertimu seharusnya tahu batas! Bersikap kurang ajar pada bangsawan adalah salah satu penghinaan besar!” Ryu menendang kembali tubuh Zeha. Setelah itu ia mengangkat tubuh Zeha tinggi ke atas menggunakan sihir. “Aku akan mengakhiri hidupmu sekarang. Manipulasi mas—”
Aksi Ryu barusan sukses terhenti lantaran muncul sebuah api dari arah depan dan mengenai tubuhnya hingga terdorong jauh ke belakang. Serangan api itu sangat cepat sampai Ryu tak bisa mendeteksinya.
Tubuh Zeha yang terjatuh dari ketinggian, berhasil diselamatkan oleh seorang wanita—yaitu Riana Abelard.
“Apa anda baik-baik saja?” Riana mencoba membantu Zeha untuk berdiri, namun Zeha langsung menepis tangan Riana dan pergi begitu saja tanpa mengucapkan kata terima kasih.
“Sial ...! Dasar bajingan ...” Ryu mencoba untuk bangkit. Tak bisa dipungkiri betapa marahnya ia sekarang. “Siapa kau seenaknya menggangguku, hah?!” teriaknya kesal.
“Ryu Giriand. Kau telah tertangkap menggunakan sihir secara illegal di luar akademi.” Riana melangkah maju sembari menghunus pedangnya. “Ditambah menyakiti warga lokal dan hampir membuatnya tewas.”
Ryu seketika membatu begitu melihat sosok yang menyerangnya tadi. Ia benar-benar tak menyangka kalau salah satu mage terkuat di Akademi akan ada di sini.
“Ri-ri-riana ...” Kedua mata Ryu membulat sempurna. Ia perlahan mencoba mundur karena takut. “A-anu ... Ta-tadi itu ... Hanya bercanda ...”
Langkah Riana terhenti. Ia terdiam sejenak, namun auranya perlahan berubah menjadi pekat dan mencekam. “Bercanda? Ternyata bagimu, nyawa seseorang hanya candaan, ya?”
“Kugh!” Ryu tak menyangka kalau aura yang dikeluarkan Riana saja sudah berhasil membuatnya merinding. Ryu langsung emosi saat tahu harga dirinya telah terluka hanya karena kalah dari seorang wanita.
“Rakyat jelata itu telah menghina kami! Para bangsawan! Sudah jelas kalau dia harus mendapatkan hukuman yang setimpa—hiik!” Kalimat Ryu terhenti lantaran Riana tiba-tiba menjulurkan pedangnya hingga hampir mengenai leher Ryu.
“Seorang bangsawan harus bersikap selayaknya bangsawan yang terhormat. Aku bahkan merasa jijik padamu,” balas Riana dengan nada dingin.
“Apa?!” Rahang Ryu mengeras. Ia jelas tak menerima penghinaan ini dari mulut seorang wanita.
Riana menarik pedangnya, lantas berbalik dan melangkah pergi. “Bawa mereka ke ruang introspeksi akademi.”
“Baik!” Detik berikutnya, muncul empat orang pria yang diduga sebagai kesatria. Mereka bersama-sama menjatuhkan Ryu hingga pingsan dan kemudian membawanya pergi.
Setelah itu Riana berbalik dan berniat menghampiri Zeha yang tengah terluka parah. Namun yang didapatinya hanya gang kosong melompong tanpa ada seorang pun di sana. Riana jelas terkejut. Ia sama sekali tak merasakan jejak Zeha yang pergi meninggalkannya.
“Apa-apaan pria itu?” Kening Riana berkerut, ia tampak sedikit kesal.
-
-
-
Terletak di pinggiran Kota Bern, ada sebuah klinik kecil—tempat berobat bagi para rakyat biasa. Klinik itu sudah dibangun sejak dua puluh tahun yang lalu. Meski klinik itu tidak terkenal dan hanya diperuntukkan untuk rakyat biasa, tidak dipungkiri betapa hebatnya keahlian dokter yang bekerja di sana.
Pemilik klinik itu sekarang adalah cucu dari pendiri klinik tersebut.
Namanya adalah Luxia Dreneric.
“Selamat datang!” ucapnya ketika berbalik. Rambutnya panjang dan berwarna pirang. Ia memakai jubah putih seperti dokter lada umumnya.
Ekspresi bahagia di wajah Luxia langsung berubah ketika melihat pasien yang baru saja masuk ke dalam ruangannya.
“Astaga! Zeha! Apa yang terjadi denganmu?!” Luxia langsung meletakkan alat-alat medisnya dan berlari menghampiri Zeha. Ia membantu Zeha duduk di ranjang pasien. Matanya bergerak cepat mengamati kondisi Zeha yang terlihat sangat parah.
“Kau dihajar lagi?”
Zeha tak menjawab karena terlalu lelah. Pasalnya ia berjalan kaki menuju tempat ini padahal lokasinya lumayan jauh dari kota. Dia sempat menumpang pada kereta, namun hanya sebentar karena tujuan kereta itu berbeda dengannya.
Napasnya terengah dan matanya sayup.
“Luxia ... Maafkan aku ... Bisa tolong sembuhkan aku?” pintanya melirih.
“Tentu saja!” Luxia cepat-cepat membaringkan tubuh Zeha, kemudian ia menjulurkan kedua tangannya di atas tubuh Zeha.
Tak lama, sebuah lingkaran sihir berwarna hijau muncul tepat di bawah telapak tangan Luxia, bersamaan dengan itu cahaya hijau turut muncul, dan perlahan semakin membesar.
Cahaya itu berlangsung cukup lama, sekitar dua menit, dan akhirnya menghilang.
“Lukamu cukup parah kali ini. Meski tak seburuk dulu,” ucap Luxia. Ia beralih ke tempat obat-obatan, mengambil salah satu botol yang terjejer di sana, lantas ia berikan pada Zeha. “Minum ini.”
Zeha lantas bangkit dan langsung meminum cairan dari botol yang diberikan oleh Luxia. Air mukanya berubah masam tepat setelah ia menghabiskan seluruh cairan di dalam botol.
“Ramuanmu masih sangat tidak enak seperti biasa,” ucapnya.
“Meskipun begitu, obatku yang paling manjur, lho!” balas Luxia dengan bangga.
Zeha tersenyum. Sebetulnya dia juga setuju dengan kalimat Luxia. Di generasi ini, Luxia adalah satu-satunya healer yang memiliki kecerdasan yang tinggi. Ia mampu menciptakan berbagai macam ramuan penyembuh dan juga obat-obatan lainnya.
Meski begitu, Luxia menolak dengan keras tawaran kekaisaran yang ingin menunjuknya sebagai dokter Kekaisaran, dan hanya ingin meneruskan bisnis keluarganya sebagai dokter di klinik kecil.
“Apa kau akan tetap bekerja di sini?” tanya Zeha—memperhatikan kegiatan Luxia yang tengah meracik obat.
“Kurasa begitu? Aku sangat merasa nyaman di sini,” jawab Luxia tanpa melirik. “Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu.”
“Hah?” Kedua alis Zeha meninggi. Ia terlihat cukup bingung.
“Apa kau akan terus bekerja sebagai tukang biasa? Bagaimana dengan mimpimu yang ingin menjadi swordsman mage?” Luxia beranjak dari kursi, menghampiri Zeha dan duduk di sebelahnya.
Luxia menatap lekat-lekat pada Zeha yang tengah menunduk. Selain Rose, orang yang mengetahui kondisi yang dialami oleh Zeha adalah Luxia, teman sekelasnya saat di Akademi.
“Mungkin aku hanya akan menjadi swordsman saja. Aku akan mengumpulkan uang dan mengikuti ujian ksatria,” Zeha membalas dengan pelan.
“Bagaimana dengan kemampuan sihirmu? Apa kau akan menyerah begitu saja?”
“Tidak ada yang bisa aku lakukan lagi. Penyakit yang aku derita ini sangat langka dan sulit disembuhkan.”
Raut wajah Luxia tampak masam. Ia jelas tak senang dengan sikap Zeha yang sudah ingin menyerah begitu saja pada mimpinya. Selama ini dia sudah membantu Zeha dan mencoba berbagai hal untuk mencari obat yang bisa menyembuhkan penyakit Zeha.
“Jangan menyerah!” ucap Luxia yang tiba-tiba berdiri menghadap Zeha.
Zeha tentu saja terkejut karena Luxia tiba-tiba menyentuh kedua pundaknya tanpa peringatan. “Lux...ia?
“Aku juga tidak akan menyerah! Aku akan membunuhmu jika kau menyerah! Lihat saja! Aku akan berusaha keras untuk membuat obat yang bisa menyembuhkanmu! Karena itu jangan menyerah!” Luxia berteriak, berhasil membuat Zeha tertegun.
Luxia terlambat menyadari kalau dia telah melakukan hal yang melewati batas. Apalagi sedari tadi Zeha hanya terdiam tanpa bereaksi sama sekali pada ucapannya barusan. Hal itu sontak membuatnya malu setengah mati hingga wajahnya merah padam.
“Po-pokoknya jangan menyerah!” Luxia berbalik dan berlari secepat kilat menuju kamarnya—meninggalkan Zeha sendirian di sana.
Zeha sungguh tak percaya akan mendapat motivasi dari Luxia. Ia sendiri tak menyangka kalau kalimat wanita itu berhasil menumbuhkan kembali tekadnya.
“Jangan menyerah, ya?” Zeha tersenyum simpul. “Aku juga memiliki beberapa hal yang harus dilakukan.”
Zeha memandangi secarik kertas kecil yang diberikan oleh sang nenek tadi siang.
Jangan lupa like, vote dan komen supaya author senang dan makin semangat buat update!
•
•
•
Lima hari kemudian, Zeha telah sampai di Wilayah Selatan Kota Bern. Tempat tujuannya kali ini adalah Hutan Herio yang letaknya berada di pinggiran kota. Ia bisa langsung tahu di mana lokasinya karena sebelumnya ia pernah bekerja di Wilayah Selatan sebagai seorang pengantar makanan.
Hutan Herio adalah wilayah yang memiliki banyak jenis hewan. Meskipun tidak begitu berbahaya, namun di suatu tempat di dalam hutan, terdapat habitat hewan-hewan buas yang memiliki energi sihir. Karena itu Hutan Herio kini tak begitu banyak dihuni oleh penduduk biasa.
Cukup jauh Zeha berjalan. Petunjuk yang tertulis di kertas yang diberikan nenek itu sangat terbatas. Meski begitu, Zeha tak takut akan tersesat karena dia juga sering mengunjungi hutan ini dulu.
Tak lama, akhirnya ia menemukan sebuah gubuk kecil yang berjarak cukup jauh dari tempat ia berdiri. Awalnya Zeha ragu kalau gubuk itu adalah rumah si nenek, tapi ia tak punya banyak waktu untuk terus berdiam diri. Lantas ia melangkahkan kaki dan berjalan menuju gubuk itu.
Ternyata tidak begitu besar, namun sudah lebih dari cukup untuk tinggal seorang diri. Meskipun sangat buruk dan tampak tidak kokoh.
“Aku tidak menyangka kalau nenek itu tinggal di sini. Apa dia miskin?” Zeha teringat kembali ketika pertama kali ia bertemu dengan si nenek. Saat itu si nenek memintanya untuk membelikan roti. Memang jelas seperti pengemis.
“Apa sebenarnya nenek itu berbohong soal kemampuan sihirku?! Apa dia hanya ingin memanfaatkanku, lalu setelah itu menjualku?!”
Zeha mendadak panik dan gelisah. Ia melirik ke kiri dan ke kanan seolah mencari sesuatu. Setelah itu ia berbalik dan melangkah pergi dari sana. Namun aksinya itu terhenti lantaran kehadiran si nenek yang entah sejak kapan berada di belakangnya—berdiri sembari membawa seekor rusa di punggung.
Zeha semakin panik. Namun ia segera menghilangkan kepanikannya agar si nenek tidak curiga. Ia benar-benar sudah berprasangka buruk pada si nenek.
Zeha tersenyum semringah sembari menggaruk-garuk tengkuknya. “Ah, nenek. Sejak kapan kau ada di sana?”
“Sejak tadi,” si nenek menjawab dengan nada datar.
“Begitu, ya?” ucapnya lalu terkekeh-kekeh kecil. Ia merasa sangat bersyukur kalau si nenek tidak mendengar kata-katanya tadi soal menuduh sang nenek yang berniat mencelakai dirinya.
Kedua mata Zeha tertuju pada seekor rusa yang tengah digendong oleh sang nenek. “Ne-nenek, kau menangkap rusa, ya?” tanyanya kikuk.
“Kalau sudah tahu, untuk apa bertanya?” Sang nenek bertanya balik. Zeha hanya membalas dengan kekehan kecil lantaran tak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Ia sudah terlanjur panik.
“Sini, nek. Biar aku saja yang membawanya. Pasti berat, kan?” tawar Zeha sembari tersenyum manis. Hanya itu yang bisa lakukan saat ini agar kecanggungan ini cepat terselesaikan.
“Ini tidak berat sama sekali,” jawab sang nenek, lantas melangkah masuk ke dalam rumah. “Mumpung kau sudah datang, ayo kita makan dulu.”
Zeha hanya berdiam diri di tempatnya tanpa ada niatan untuk ikut masuk ke dalam. Itu karena prasangka buruknya tadi masih tersisa di kepala. Sang nenek yang menyadari kalau Zeha masih tak berniat beranjak pun lantas menghentikan langkahnya sejenak ketika sudah berada di ambang pintu.
“Tenang saja, kata-kataku waktu itu bukanlah kebohongan. Aku juga tidak akan memanfaatkanmu apalagi menjualmu. Jadi jangan khawatir,” ucap nenek itu lalu masuk ke dalam rumah.
Zeha membeku sesaat. Sebelum dia menyadari kalau sebenarnya sang nenek telah mendengar semua ucapannya tadi. Seluruh tubuhnya membatu, dan tiba-tiba ia merasa tidak enak badan.
...******...
Setelah selesai makan siang, sang nenek langsung mengajak Zeha untuk pergi ke ruangan bawah tanah yang ada di dalam rumah ini. Mungkin terdengar konyol mengingat kondisi gubuk yang begitu buruk. Zeha juga memikirkan hal yang sama. Namun pemikirannya sepenuhnya berubah ketika mereka benar-benar sampai di ruangan bawah tanah.
Bahkan kondisi ruangan bawah tanahnya jauh lebih bagus dan kokoh dibanding gubuknya. Luas dan terbuat dari bahan-bahan berkualitas.
Zeha tak bisa menutupi ekspresi kagumnya saat memandangi seisi ruangan tersebut.
“Apa nenek yang membuat ruangan bawah tanah ini?” tanya Zeha, masih mengikuti langkah sang nenek dari belakang.
“Benar. Ruangan bawah ini juga dilapisi oleh sihir, jadi tingkat ketahanannya menjadi lima kali lipat lebih kuat. Meski tak mudah membuatnya, aku akhirnya berhasil juga. Ruangan ini cukup berguna untuk berlindung ketika terjadi serangan dari luar,” jawab sang nenek.
Mata Zeha berbinar-binar setelah mendengar jawaban sang nenek seolah baru saja mendengar hal yang luar biasa. Ia juga tak berhenti menunjukkan ekspresi kagum.
“Anu, nek.” Zeha tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Kepalanya cukup tertunduk dan sorot matanya berubah sedikit sendu.
“Hm?” Sang nenek juga menghentikan langkahnya.
“Apa aku benar-benar bisa menguasai ilmu sihir? Satu-satunya tujuanku datang ke sini adalah karena berharap penyakitku ini bisa disembuhkan.”
Sang nenek sempat terkejut. Ia berbalik dan memberikan tatapan penuh tanda tanya. “Penyakit? Omong kosong apa yang kau—”
“Aku tahu kalau penyakitku ini sangat sulit disembuhkan, bahkan terbilang mustahil. Tapi nenek berbicara seolah tahu cara untuk menyembuhkannya! Karena itu aku datang ke sini!” Zeha berteriak menyela perkataan sang nenek.
“Woy, kau ini bicara apa—”
“Aku juga sempat ingin menyerah karena tahu kalau penyakitku ini mustahil untuk disembuhkan! Meski begitu...!” Zeha meringis, dan juga kedua tangannya tengah mengepal kuat di bawah. Ia tampak seperti seseorang yang sedang menahan tangis.
“Aku tetap berusaha untuk tidak menyerah dan terus bertahan...!” sambungnya.
Sang nenek benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya Zeha katakan.
“Kau ini sebenarnya dari tadi bicara apa, sih? Apa kau menderita penyakit serius atau semacamnya?” Sang nenek bertanya. Ia sangat kebingungan.
“Hah?” Zeha sontak terkejut sampai mengangkat wajahnya. Kedua matanya juga sudah membulat sempurna. Matanya berkedip beberapa kali karena bingung.
“Bukankah nenek tahu kalau ilmu sihirku tidak bisa berkembang?”
“Iya, lalu?”
“Hah?” Zeha semakin kebingungan. Ia tadinya mengira kalau sang nenek tahu inti penyebab dirinya tak bisa mengembangkan satu pun ilmu sihir. Ternyata semua itu hanya sebuah kesalahpahaman?
“Bukankah penyebab aku tidak bisa mengembangkan sihirku karena aku terkena penyakit penyumbatan mana?”
“Hah?! Omong kosong macam apa itu?!” Sang nenek terkejut bukan main. “Orang bodoh mana yang mengatakan itu padamu?”
“Para profesor dari akademi tempat aku sekolah dulu,” jawabnya.
“Memangnya kau sekolah Akademi mana?” tanya sang nenek lagi.
“Akademi Callister,” jawabnya.
“Ck. Sebenarnya apa, sih, yang dilakukan para cacing bodoh itu? Bisa-bisanya mereka bilang kalau anak ini menderita penyakit penyumbatan mana. Mereka memang bodoh, tapi tak kusangka akan sebodoh itu,” gumam sang nenek yang tampak sangat kesal setengah mati.
Sementara itu Zeha masih tampak kebingungan. Ia tak mengerti kenapa sang nenek mendadak berubah kesal. Sejujurnya ia juga sedikit tercengang, tak menyangka kalau nenek itu menyebut para profesor dari Akademi Callister adalah orang-orang bodoh.
Akademi Callister adalah salah satu Akademi terkemuka di Kekaisaran Alexander. Reputasi mereka terbilang sangat bagus, dan juga banyak penyihir kelas atas yang berasal dari sana. Tentu saja para pengajar dan profesor di sana bukanlah orang-orang yang berkemampuan biasa-biasa saja. Namun nenek itu malah dengan santainya mengatakan kalau mereka adalah orang-orang bodoh.
Sang nenek menghembuskan napas panjang dan berat setelah berhasil meredakan emosinya. Setelah itu ia kembali fokus pada Zeha, lantas menyentuh sebelah pundaknya.
“Dengar, nak. Fenomena yang kau alami saat ini bukanlah penyakit konyol seperti penyumbatan mana,” ucap sang nenek yang berhasil membuat Zeha terkejut bukan main.
“A-apa ma-maksudmu...nek?” Zeha masih tak percaya. Padahal informasi soal penyakit yang ia derita itu diberitahu langsung oleh salah satu profesor terkemuka di Akademi.
“Dengar, ya. Kau bukan menderita penyakit penyumbatan mana. Konsepnya saja sudah berbeda apanya yang penyumbatan mana? Rata-rata manusia yang menderita penyakit itu hanya akan bertahan hidup selama lima tahun setelah mereka dilahirkan. Mana itu sudah seperti oksigen di dalam tubuh. Mana yang tersumbat dan jika dibiarkan terlalu lama, akan meledak dan menyebabkan kematian. Karena itu tak ada manusia yang bisa hidup normal setelah menderita penyakit itu,” Sang nenek menjelaskan panjang lebar dengan ekspresi serius.
Tapi Zeha masih tampak tak mengerti. Sang nenek menyadari itu dan memutuskan untuk menjauh.
“Biar langsung aku tunjukkan saja padamu.” Sang nenek berdiri cukup jauh dari Zeha. “Lihat baik-baik.”
Tak lama setelah itu, sekumpulan asap biru keluar dari tubuh sang nenek, berbentuk seperti kobaran api. Aliran asap itu perlahan menjadi cepat dan besar. Zeha bisa merasakannya, tekanan yang begitu kuat ia rasakan dari nenek itu.
Zeha sukses kagum.
“Hebat,” ucapnya terkagum-kagum. Ia tak menyangka kalau sang nenek yang ia sangka sebagai pengemis itu memiliki energi sihir yang sangat kuat.
“Kau lihat? Ini adalah energi sihir yang aku keluarkan dengan cara mengalirkan mana ke seluruh tubuh secara maksimal,” kata sang nenek, bersamaan menghilangkan energi sihirnya.
“Jadi itu namanya energi sihir?” tanya Zeha yang masih terpana.
“Benar. Energi sihir akan semakin meningkat selama kau mengasahnya. Tapi itu juga tergantung seberapa banyak mana yang kau miliki. Sebenarnya kau bisa mengumpulkan mana dari lingkungan sekitar untuk menciptakan energi sihir. Meskipun tak semua orang bisa melakukannya.”
Penjelasan sang nenek sekali lagi berhasil membuat Zeha terkagum-kagum.
“Sekarang giliranmu.”
“Hah?” Detik itu juga Zeha membeku. Ia merasa seperti telah mendengar sesuatu yang tidak masuk akal. Ia tampak cukup kebingungan.
“Coba lakukan seperti yang aku lakukan,” ucap sang nenek.
“Hah? Mana mungkin aku bisa melakukannya, nek!” Zeha berteriak.
“Lakukan saja dulu,” imbuh sang nenek.
“Tidak! Itu mustahil, kan?” bantah Zeha yang tampak cemas.
“Sudah kubilang, lakukan saja!” perintah sang nenek geram lantas memukul kepala Zeha hingga membuatnya merintih kesakitan.
Zeha mengusap bekas pukulan sang nenek dengan pelan. Meski pelan, tapi terasa cukup sakit.
“Ba-baiklah.” Zeha tak punya pilihan lain selain menuruti perintah sang nenek.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!