Di sebuah asrama sekolah yang sudah mulai sepi karena telah memasuki masa libur panjang. Feri melamun sembari memandangi langit yang tampak ragu-ragu. Tahun ajaran yang akan datang ia kelas XII artinya sudah mau memasuki tahun ketiga ia bersekolah di sana sekaligus tinggal di asrama sekolah bak rumahnya sendiri. Semenjak awal kedatangannya ke sekolah yang memang diimpi-impikannya itu ia sama sekali belum pernah pulang ke rumahnya. Ia pun bukanlah seorang dari golongan yang berada jadi ia tidak bisa setiap hari menggunakan fasilitas berharga untuk dapat berkomunikasi dengan orang tuanya. Lagi pula di desanya juga tidak terjangkau sinyal.
“Melamun siapa Fer?”, tanya seorang temannya yang baru saja masuk ke kamar asrama.
“Kau tebak sendiri saja”, jawab Feri.
“Siapa? Penghuni asrama putri semuanya sudah pada pulang”, gurau teman Feri yang ternyata adalah Iwan sahabatnya.
“Kau serius tidak jadi pulang Wan?”, tanya Feri kepada Iwan.
“Ya. Buktinya aku masih di sini. Keluargaku baru saja mengadakan hajatan waktu kemarin aku izin pulang untuk acara keluarga sebelum ujian. Sayang di ongkos Fer aku pulang habis semesteran saja sekalian menemanimu yang jaga asrama sendirian”, jawaban Iwan sembari meledek Feri yang memang setiap liburan belum pernah pulang kampung.
“Bagaimana kalau kau ikut aku saja pulang ke desa ku?”, ajak Feri yang membuat Iwan terkejut.
“Serius? Katanya kau baru mau balik setelah lulus”, Iwan heran.
“Liburan kali ini aku ingin pulang”, tegas Feri.
Feri mendapatkan beasiswa atau tunjangan bantuan biaya belajar sehingga ia bisa bersekolah di sekolah favorit ini. Ketika pertama kali ia menginjakkan kaki di lembaga pendidikan yang dicita-citakan banyak orang ini ia sudah berniat tidak akan pulang atau pun mengunjungi rumahnya sampai ia tamat sekolah. Namun di liburan ini firasatnya berbeda. Hatinya menuntunnya untuk pulang di liburan panjangnya kali ini. Ini bukan saja tentang rindu kepada keluarga dan kampung halaman yang selama dua tahun ini berhasil ia tahan.
“Memangnya berapa lama perjalanan dari sini ke tempatmu?”, tanya Iwan.
“Bisa sampai satu malam. Kau jadi mau ikut aku pulang atau tidak?”, tanya Feri.
“Gila kau Fer. Aku liburan kali ini tidak pulang dan memilih tinggal di asrama karena ada kau yang biasanya tidak pernah pulang. Tentu saja aku ikut. Mana berani aku berminggu-minggu sendirian di tempat ini. Memangnya aku seperti kau yang sudah berteman baik sama setan sekolah”, tegas Iwan yang akan ikut Feri pulang ke desanya selama liburan kali ini.
“Kalau begitu malam ini kita packing. Besok pagi kita berangkat. Semoga besok tidak hujan”, kata Feri.
Keesokan paginya keduanya berangkat untuk pulang ke rumah Feri di kampung. Dari sekolah mereka akan menempuh perjalanan selama setengah hari untuk sampai di desa tempat Feri tinggal. Tidak lupa mereka berpamitan kepada penjaga sekolah yang sudah mereka kenal dengan akrab.
“Jadi kalian pulang?”, tanya penjaga sekolah kepada mereka.
“Iya Pak Mahmud ini kami mau berangkat”, terang Feri.
“Jangan lupa payung dan senter”, pesan Pak Mahmud penjaga sekolah.
“Iya Pak sudah kami bawa”.
“Mari Pak”, Iwan dan Feri berpamitan.
Feri bisa tersenyum. Tadi malam ia melihat langit yang begitu cerah bertaburan bintang-bintang yang menandakan perjalanan pulang mereka akan dikawal oleh terang sinar matahari tanpa harus adanya hujan yang turun ke bumi. Ia berharap bisa cepat sampai rumah tanpa ada hambatan sama sekali.
“Kau bawa apa itu Fer? Tongkat? Seperti kakek-kakek saja kau”, kata Iwan.
“Siapa tahu di jalan nanti ketemu dengan teman-temanmu Wan”, kata Feri.
“Teman-temanku yang mana lagi?”, tanya Iwan.
“Ular berbisa”, gurau Feri.
“Memang benar Wan asrama putri sudah kosong?”, tanya Feri
“Iya. Hari terakhir masuk sekolah mereka sudah pada langsung pulang semua tidak ada yang tinggal. Kenapa?”, tanya Iwan balik.
“Tidak apa. Sepertinya aku cuma bermimpi. Tadi malam aku mendengar suara keributan dari asrama putri ramai sekali”, jawab Feri.
Di halte dekat sekolah Feri dan Iwan menunggu kendaraan yang akan membawa mereka langsung ke kota tujuan. Datang sesuai jadwal tidak perlu menunggu lama bus yang akan mereka tumpangi tiba menghampiri. Jika tidak ada tambahan aral melintang diperlukan waktu selama kurang lebih tujuh jam untuk membawa mereka sampai ke sana. Keduanya yang sudah kerap berpergian jauh tidak khawatir dengan lama waktu perjalanan yang harus ditempuh. Mempunyai hobi yang sama Feri dan Iwan sama-sama sibuk sendiri membaca buku kegemaran mereka masing-masing yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah.
Bus yang mereka tumpangi adalah model lawas yang tentunya sudah bisa dipastikan rawan bermasalah. Sejak mereka berdua naik bus itu sudah ada beberapa penumpang lain yang naik. Belum juga ada setengah perjalanan tunggangan mereka berhenti karena ada masalah pada mesinnya. Para penumpang pun diminta untuk bersabar menunggu bus diperbaiki hingga bisa melaju kembali.
Mereka terhenti di depan sebuah tempat pemakaman umum yang terletak tepat di pinggir jalan. Feri dan Iwan pun turun dari bus sama seperti penumpang yang lainnya untuk sekedar meregangkan tubuh dan mencari udara segar. Rupanya di pemakaman itu sedang diadakan sebuah acara oleh warga setempat. Para warga berdzikir dan membaca kitab suci dengan suara keras sampai terdengar oleh orang-orang yang lewat di sana. Terlihat pemakaman itu juga bersih seperti baru saja dibersihkan.
“Apa ya tidak termasuk berdosa kuburan dibuat tempat beribadah? Kalau di tempatku dilarang hal semacam itu”, tutur Iwan kepada Feri.
“Ya tidak tahu tanya saja Pak Toha guru agama sana kalau besok sudah masuk”, jawab Feri.
“Kalian lihat apa dek?”, tanya salah seorang penumpang kepada mereka.
“Itu pak sepertinya sedang ada acara”, jawab Feri melihat kepada pemakaman yang sedang ramai di hadapan mereka.
“Oya nanti kalau busnya mau berangkat dan aku belum masuk bilang sama pak sopir suruh tunggu aku ya. Aku mau cari tempat buat buang air sudah tidak tahan. Tolong ya dek”, pesan penumpang itu kepada Feri dan Iwan.
“Iya Pak nanti kami sampaikan”, jawab Feri.
“Cuma mau nyuruh saja baru menegur”, protes Iwan.
“Itu namanya minta tolong”, terang Feri.
Mesin akhirnya sudah bisa diperbaiki. Bus sudah siap untuk melanjutkan perjuangannya. Tapi karena menunggu seorang penumpang yang masih belum naik para penumpang yang lain harus kembali bersabar. Cukup lama akhirnya bapak-bapak yang tadi sudah pamit ke Feri dan Iwan kembali ke bus. Ia disambut oleh orang-orang yang sudah memasang muka masam kepadanya.
“Bus nya sudah hidup lagi ya? Ayo pak sopir bisa lanjut”, ucapnya ketika sudah berada di dalam bus tanpa ada perasaan bersalah sedikit pun. Meminta maaf juga tidak.
Sayangnya belum lama mereka melanjutkan perjalanan laju kendaraan yang mengantar mereka kembali harus berhenti. Kali ini penyebabnya adalah salah satu ban belakang bus mereka kempes. Kembali kesabaran penumpang diuji dengan waktu sampai ban serep berhasil dipasang. Untungnya kali ini mereka berhenti di depan warung yang menjajakan jualannya. Tidak hanya ada satu saja warungnya tapi berderet bisa memilih sesuai selera.
“Ngopi yok”, ajak Iwan.
“Dimana?”, kata Feri.
“Itu di ujung saja yang sepi”, kata Iwan.
Mengganti ban tentu tidak memakan waktu yang lama seperti lamanya membenahi mesin yang tiba-tiba mogok. Permasalahan pada kendaraan tidaklah ditelan mentah sebagai sebuah masalah utama bagi para penunggang setia angkutan umum. Bisa jadi jika mereka memaknainya seperti itu maka hanya akan menambah rasa lelah dan penat belum lagi persoalan hidup yang mereka tanggung sendiri-sendiri. Mogok dan macet mereka terima sebagai satu kesatuan paket pelengkap perjalanan yang bisa terjadi kapan dan dimana saja walaupun sebenarnya tidak satu pun orang yang menginginkannya.
“Ayo Wan ke bus yang lainnya sudah pada naik”, ajak Feri.
“Kalian habis darimana?”, tanya kondektur kepada mereka yang menjadi penumpang yang terakhir kembali ke bus.
“Habis ngopi di warung ujung sana Pak”, terang Iwan yang membuat kondektur bingung karena tidak mendapati warung yang dimaksud sejauh mata memandang.
“Eh Fer, kenapa tadi kau tidak jadi ngopi?”, tanya Iwan.
“Aku tidak suka kopi sachet”, alasan Feri.
Tujuh jam yang diperhitungkan molor menjadi hampir sepuluh jam waktu yang ditempuh oleh Feri dan Iwan untuk bisa sampai di kecamatan tempat desa Feri berada. Bus itu akhirnya berhasil finis setelah melalui berbagai macam rintangan yang tak lain ialah macet dan turun mesin. Sesampainya di kota tujuan Feri dan Iwan harus segera melanjutkan perjalanan dengan naik ojek untuk sampai di desa rumah Feri. Sudah hampir magrib tidak ada angkutan umum yang melaju ke arah sana.
“Ojek dua Pak”, pesan Feri di pangkalan tukang ojek.
“Kemana dek?”, tanya tukang ojek.
“Ke pasar kliwon Pak”, jawab Feri memberikan arah tujuan yang disambut dingin oleh para tukang ojek.
“Ya sudah ayo lekas berangkat keburu gelap”, kata si tukang ojek menyanggupi.
“Di sini sudah mulai hujan belum ya Pak?”, tanya Feri saat dibonceng.
“Belum. Tapi sudah beberapa hari ini kalau sore mendung terus”, jawab si tukang ojek dingin.
Dengan kecepatan tinggi dua ojek yang melaju tanpa hambatan dari kecamatan menuju ke pasar kliwon tujuan pemberhentian Feri dan Iwan berikutnya berhasil di tempuh dalam waktu kurang dari satu jam berkendara. Tiba di pasar kliwon Iwan yang baru pertama kali melihatnya langsung dibuat penasaran dengan keadaan tempat tersebut yang begitu sunyi.
“Sepi banget ya Fer?”, kata Iwan
“Sudah gelap. Itu pasarnya. Kalau yang di seberang jalan rumah warga”, Feri menjadi pemandu untuk kawannya.
“Listrik belum masuk semua jadi pasarnya gelap. Rumah penduduk juga paling beberapa saja yang baru pasang listrik”, tambah Feri.
Setelah sampai di pasar kliwon mereka terlebih dahulu berhenti di mushola untuk istirahat dan menunaikan sembahyang. Hari yang sudah menjelang malam mereka sama sekali tidak menjumpai satu orang pun. Langit yang cukup terang di malam itu membuat Feri berani mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumahnya yang sudah tidak jauh lagi.
“Ayo Wan kita jalan”, ajak Feri.
“Kita mau kemana Fer? Loh… Bukan yang di seberang jalan itu desamu?”, Iwan bingung.
“Bukan. Lewat sini”, Feri berjalan terlebih dahulu.
Rumah warga di seberang pasar kliwon bukanlah pemukiman tempat tinggal Feri berada. Sebuah jalan persimpangan yang kini dilalui Feri dan Iwan lah yang akan mengarahkan mereka untuk sampai di desa Feri tinggal. Kondisi jalan yang masih sempit dan terjal serta tidak adanya penerangan di sepanjang jalan membuat tidak adanya transportasi menuju ke sana kecuali dengan berjalan kaki. Ojek pun juga enggan untuk lewat sana dan mengantar penumpang ke desa yang menjadi satu-satunya tujuan jalan itu dibuat apalagi suasananya yang selalu terkesan mencekam. Dengan berjalan cepat seperti layaknya penduduk desa tiga puluh menit cukup untuk mereka sampai di rumah. Tapi tidak tahu dengan Iwan apakah ia terbiasa berjalan jauh terlebih setelah lelah dirasanya melalui perjalanan panjang yang masih harus berlanjut ini.
Sepanjang perjalanan Feri dan Iwan sama-sama banyak diam. Jalan yang menanjak benar-benar menguji ketahan Iwan. Feri pun harus melambatkan langkahnya untuk menunggu temannya itu supaya jangan sampai kesasar.
“Masih lama sampainya Fer?”, keluh Iwan.
“Sedikit lagi”, kata Feri.
“Dari tadi sedikit lagi… sedikit lagi..”, balas Iwan.
“Seharusnya kita tidur dulu di mushola tadi. Atau numpang nginep sekalian di rumah warga”, keluh Iwan lagi.
Rasa bahagia menyambut anak kampung yang sudah dua tahun tidak pernah pulang. Feri meringis dengan mata yang berkaca-kaca tipis sesampainya di tempat dimana ia bisa memandangi desa yang sudah lama ditinggalkannya. Dari jalan yang berada di ketinggian itu ia bisa melihat rumah-rumah warga yang masih tetap sama seperti dulu sebelum ia pergi. Ia juga bisa melihat rumahnya sendiri dimana terdapat orang-orang terkasihnya yang selalu menantikan kepulangannya. Sementara itu Iwan masih tertinggal beberapa langkah lagi untuk menyusul Feri.
“Wow… aku takjub Fer. Indah sekali ya desamu”,
Iwan yang akhirnya bisa meilhatnya sendiri merasa terbayar lunas perjalanannya untuk ikut pulang ke rumah Feri.
“Itu ada lekukan besar apa Fer?”, tanya Iwan.
“Itu namanya embung buat nampung air”, jawab Feri.
“Gerimis Wan. Ayo kita jalan cepat ya”, ajak Feri.
Hanya tinggal jalanan yang menurun yang harus mereka lalui untuk sampai ke desa yang sudah mereka lihat. Feri menuruni jalanan yang sudah dihafalnya dengan cepat sedangkan Iwan tanpa kesulitan juga bisa mengimbangi langkah kawannya itu. Feri ingin bergegas sampai di rumah setelah gerimis menandai wajahnya.
“Fer… Fer… senter ku ketinggalan di atas”, kata Iwan.
“Sudah jauh. Besok kita ambi lagi tidak akan ilang. Sebentar lagi sampai”, kata Feri.
Lari-lari kecil mempercepat mereka untuk sampai di rumah Feri. Perjalanan dalam waktu satu malam yang berakhir indah. Sebuah rumah sederhana sama seperti rumah-rumah yang lainnya. Sebuah rumah yang dikelilingi oleh petak-petak kecil bertanam pohon-pohon disekitarnya sebelum menjumpai rumah lain yang juga serupa.
“Tok.. tok.. tok..”,
Feri mengetuk pintu rumahnya sendiri sebanyak tiga kali. Kemudian ia ulangi lagi ritme itu. Tiga kali ketukan berhenti tiga kali ketukan berhenti berharap ada yang segera membukakan pintu untuknya di malam yang sudah larut itu.
“Ini rumahku Wan”, kata Feri pelan melihat wajah kawannya itu yang berpeluh keringat dan kaku menahan rasa takut.
Ketukan berirama tanpa suara pelakunya itu akhirnya berbalas dengan dibukanya pintu rumah oleh sang empunya.
“Feri”, ayah Feri yang membukakan pintu.
“Ayo cepat masuk”, kembali pintu dikunci.
“Hujan?”, tanya ayah Feri.
“Gerimis”, jawab Feri.
“Kenapa kamu pulang?”,
Di keesokan paginya ayah Feri menanyakan dengan serius alasan dibalik kepulangan putranya. Feri menjelaskan keyakinannya dengan jelas kepada ayahnya mengapa ia harus pulang ke rumah tidak seperti janji yang sudah mereka sepakati ketika di hari pertama ia berangkat ke sekolah. Ditambah lagi ia mengajak seorang teman yaitu Iwan yang akan menjadi tanggungjawab mereka selama waktu liburan selesai.
“Perkenalkan nama saya Iwan Pak. Saya teman asrama Feri”, Iwan memperkenalkan dirinya.
“Aku bapaknya Feri. Namaku Tomo. Dibuat krasan ya Wan selama di sini. Tapi adanya ya cuma seperti ini”, ayah Feri Pak Tomo menyambut baik kedatangan Iwan.
Pagi itu warga berbondong-bondong menuju ke kebun bambu yang berada di dekat embung yang sempat dilihat Iwan kemarin malam. Menjelang memasuki musim penghujan orang-orang di sana melakukan sebuah rutinitas yang selalu mereka kerjakan di setiap tahunnya. Feri yang baru saja pulang pun tak sabar untuk terlibat di dalam masyarakat dimana di sanalah ia tumbuh bersama dengan teman-teman masa kecilnya.
“Pak aku sama Iwan yang ambil bambu ya?”, izin Feri kepada ayahnya.
“Iya sana biar bapak yang rapikan rumah. Jangan banyak-banyak Fer seperlunya saja”, pesan Pak Tomo.
Feri dan Iwan ikut bersama kerumunan warga yang berjalan menuju ke kebun bambu di dekat embung. Di perjalanan pagi itu semua masih terlihat biasa saja di mata Iwan yang baru pertama kali ke sana. Feri sendiri menyempatkan untuk bertegur sapa dengan para tetangganya yang kebanyakan adalah orang-orang seusia ayahnya atau pun yang umurnya lebih tua darinya. Ia sempat menanyakan perihal kemana kawan-kawan kecilnya dulu? Kebanyakan mereka merantau keluar dari desa.
“Fer bukannya dari tadi kita sudah melewati banyak kebun bambu?”, tanya Iwan heran.
“Benar. Tapi yang mau kita ambil ini bukan bambu itu. Kita butuhnya bambu kuning”, jelas Feri.
“Bambu kuning yang sering dibuat hiasan itu?”, Iwan terkejut.
Iwan lebih terkejut lagi ketika sudah sampai di kebun bambu yang dimaksud. Baru kali ini ia melihat kebun bambu kuning seluas ini. Sama sekali berbeda dengan bambu yang umumnya dikenal dengan warna hijaunya bambu kuning memiliki warna yang lebih cantik ditambah corak hijau bergaris. Bambu kuning memiliki ciri batang yang beruas-ruas dan tinggi. Dan lagi bambu kuning juga tidak terlalu bersisik sehingga lebih mudah untuk mengolahnya. Tapi memang keberadaannya jarang dan hanya ada di tempat-tempat tertentu saja seperti di pinggir-pinggir sungai dan salah satunya tumbuh subur di desa ini.
Dalam pengambilan bambu kuning yang dibutuhkan selalu saja ada warga yang berselisih. Terjadi percekcokan antara satu orang dengan orang yang lainnya.
“Kamu ngambilnya kebanyakan. Rumahmu memangnya sebesar apa?”, protes warga yang tidak terima jika ada yang berlebihan.
“Ini sudah pas”, warga yang diprotes tidak mau kalah.
“Kamu harusnya lihat pertumbuhan bambu kuning ini sudah tidak seperti dulu. Banyak yang mati. Kalau kamu seperti itu bisa-bisa warga yang lain tidak kebagian”, warga kembali memprotes.
Di tengah perselisihan itu untungnya selalu ada yang bisa menjadi penengah guna melerai dan meredakan amarah para warga. Ialah Pak Dirman selaku lurah kepala desa di desa itu yang menjadi jembatan dan pengambil keputusan yang adil. Sosoknya begitu dihormati dan disegani para warga.
“Ini putranya Tomo bukan? Aku kok sudah pangling”, kata Pak Dirman kepada Feri.
“Iya Pak Lurah. Saya Feri anaknya Pak Tomo”, kata Feri.
“Ealah… bukannya kamu sekolah di sekolah bagus yang ada pondoknya itu? Kenapa malah pulang?”, kata Pak Dirman.
“Asrama namanya Pak”, jelas Feri.
“Ingat ya nak masih belum ada yang berubah”, pesan Pak Dirman.
Feri sudah mendapatkan cukup bambu kuning yang ia perlukan. Ketika hendak pulang ia malah kehilangan Iwan yang entah pergi kemana. Dengan segera Feri mencari Iwan sebelum kawannya itu benar-benar hilang. Dan benar saja sesuai dengan kejadian semalam kini Iwan tengah berada di embung yang dilihatnya yang letaknya tidak jauh dari kebun bambu kuning.
“Wan ayo balik ke rumah sudah ditunggu bapak”, teriak Feri buru-buru memanggil temannya itu yang dilihatnya sedang berada di bibir embung.
Iwan berjalan ke arah Feri yang memanggilnya.
“Lain kali kalau mau ngilang bilang dulu ya Wan biar aku gampang nyarinya”, kata Feri.
“Fer embungnya kenapa tidak ada airnya?”, tanya Iwan.
“Itukan dulu awal dibuatnya fungsinya untuk menampung air hujan dan air dari sungai. Tapi setelah warga membuat sumur di dekat rumah masing-masing ya jadinya tidak difungsikan lagi. Aliran sungai yang menuju ke embung pun ditutup supaya airnya bisa lebih banyak untuk pengairan sawah warga”, penjelasan Feri.
“Kenapa tidak ditutup saja?”, tanya Iwan.
“Pernah. Dulu kami pernah menimbunnya dengan tanah. Tapi setelah hujan deras turun embung itu selalu kembali seperti semula”, terang Feri.
“Kalau itu bilik-bilik yang rusak di dekat embung itu?”, selidik Iwan penasaran tentang desa yang baru disinggahinya.
“Itu dulu rencananya mau dibuat semacam kakus. Ada juga itu sendangnya. Tapi sekarang ya sudah pada mandi dan mencuci di rumah masing-masing”, terang Feri.
Dalam perjalanan pulang ke rumah dari kebun bambu itu Iwan baru menyadari setelah betul-betul memperhatikan rumah-rumah warga di desa itu. Semua rumah yang dilaluinya pintu dan jendelanya terdapat banyak bekas lubang-lubang paku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!