"Jadi, Syafa benar-benar Ayah jodohkan?" Tanya Syafa dengan wajah serius.
Ayah Syafa yang bernama Arya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
Syafa duduk diruang tamu dengan Ayahnya, pria itu ingin bicara serius tentang niatnya yang ingin menjodohkan Syafa.
Arya menunggu persetujuan dari Putri semata wayangnya. Syafa adalah orang yang paling Arya sayangi, sekarang gadis itu sudah berusia dua puluh satu tahun, ia sedang menempuh dunia perkuliahan dan sibuk menulis novel fiksi sebagai pengisi waktu luang.
Syafa itu anak yang penurut walaupun sering ketus dan kasar perkataannya saat marah, tapi ia tidak pernah menuntut apa-apa dari Ayahnya. Selalu berada disamping Arya saat pria itu sakit maupun sehat.
Arya harus memegang peran sebagai Ayah sekaligus seorang Ibu dalam membesarkan putrinya. Syafa tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ibu secara langsung sebab sudah kehilangan sosok Ibu saat bayi.
Terkadang Arya kewalahan dan tidak sanggup untuk mendidiknya, banyak hal yang tidak ia pahami tentang perempuan, tapi Arya terus berjuang.
Hal yang paling sulit saat menginjak masa pubertas, Syafa sering mengurung diri di kamar, karena ayahnya yang jarang pulang tepat waktu, dan itu wajar saja tidak ada yang bisa memperhatikannya selama dirumah karena Ayahnya sibuk di kantor.
"Kamu, keberatan, nak? Ayah pilihkan yang terbaik buat kamu," ucap Arya, ia menatap sendu wajah putrinya.
Syafa menelan ludah, Dia sudah tau beberapa hari yang lalu soal perjodohan.
"Ayah ... sebelum Syafa jawab, boleh Syafa tanya sesuatu?"
Arya mengangguk cepat.
"Boleh sayang, tanya saja."
Syafa menarik nafas, ia meraih tangan Ayahnya yang sudah dipenuhi keriput.
"Apa bisnis Ayah lagi ada masalah? Ayah butuh suntikan dana?"
Arya kaget mendengar pertanyaan putrinya. Bukan tanpa sebab, Syafa penasaran, kenapa tiba-tiba ingin menjodohkannya?, yang ia tau, orangtua akan mengambil jalan perjodohan ini untuk pernikahan politik yang menguntungkan. Kalau bukan karena perusahaan yang butuh dana, lalu apa alasannya.
Syafa butuh kepastian.
"Ayah?"
"Enggak nak, bukan begitu. bisnis alhamdulillah lancar kok, Ayah punya alasan tersendiri tentang perjodohan kamu ini, Ayah gak maksa Syafa buat mau, tapi ayah berharap ..." ucapnya dengan suara memelas.
Syafa menggenggam erat tangan Arya, pria itu menunduk, Rasanya beban di punggungnya sangat banyak, ia kelihatan lelah.
"Ayah, Syafa itu sayang banget sama Ayah. Syafa anak Ayah, Syafa bisa ngerti kekhawatiran Ayah"
Pria itu menunduk, benar adanya kekhawatiran itu. Ia takut umurnya tak panjang dan tak sempat melihat putrinya bahagia.
Syafa sangat penting untuknya, Syafa adalah segala-galanya, Syafa dunianya, Syafa kebahagiaannya.
Ia takut Syafa tidak menemukan lelaki yang tepat dan bisa menjaganya, ia tidak mau mendiang istrinya sedih.
Syafa menghela nafas perlahan, ia bangkit lalu memeluk punggung sang Ayah.
"Ayah ... Syafa bisa ngerasain kasih sayang Ayah yang tulus ke Syafa, makasih Ayah udah bertahan sejauh ini ...."
"Kalau ini permintaan Ayah, mana mungkin Syafa bisa nolak. karena Syafa yakin banget pilihan Ayah gak mungkin salah," ucap Syafa dengan suara lembut.
Arya tertegun, ia melihat wajah putrinya.
"Kamu setuju, nak?"
Syafa mengangguk sembari tersenyum manis.
Rasa bahagia dihati Arya memuncak, ia bangkit lalu memeluk erat Syafa, air matanya pun menetes.
"Maaf, ya? Insya Allah, pilihan Ayah jadi yang terbaik buat kamu." suaranya serak menahan tangis.
Syafa senang jika Ayahnya senang, meskipun hatinya ragu, Tapi menikah diumur nya yang sekarang juga tidak buruk.
"Ayah nggak perlu minta maaf, Mungkin memang udah jalannya Allah buat Syafa"
"Jadii ... kapan Syafa bisa ketemu calon suaminya?" tanya Syafa.
Arya melepas pelukannya.
"Akhir bulan ini, kamu kosong, kan?mereka udah nggak sabar pengen ketemu kamu."
"Karena selama satu bulan ini, Ayah selalu bilang untuk nunggu keputusan Kamu," ucap Arya.
Syafa mengangguk.
"Mereka kayaknya orang baik ya," ucapnya.
"Insya Allah, waktu Ayah ceritain tentang kamu, mereka senang, antusias banget pengen tau tentang anak ayah ini."
Syafa diam sejenak.
"Kenapa, nak?"
Syafa sedikit ragu dan malu untuk bertanya, tapi tidak salahkan kalau ia penasaran bagaimana rupa calonnya, masih belum terlambat untuk menolak lagi bila lelaki itu tak sesuai.
Jujur saja Syafa takut calonnya jelek.
"Syafa?"
"Ehm ... Ayah ada foto laki-laki itu gak? Bu-bukan buat apa-apa."
"Syafa cuma penasaran, dan Syafa berhak untuk lihat dulu, kalau dia nggak enak diliat, Syafa masih punya waktu juga buat nolak."
Arya mengerti maksud putrinya.
"Kamu benar, kalau dia tak enak diliat kamu boleh nolak, bentar Ayah ada simpan foto calonnya."
Arya mengambil ponsel disaku kemejanya, tangan yang penuh keriput dan kerutan mengotak-atik benda persegi panjang itu.
"Nah, ini."
Arya mengarahkan layar ponselnya ke Syafa, gadis itu pun mendekatkan wajahnya. Matanya membulat sempurna dan tidak berkedip saat tau siapa yang ada di foto itu.
Syafa mengusap matanya tak percaya, apakah foto itu cuma kebetulan mirip? Tapi kenapa bisa terlihat sangat sama. Pria itu orang yang familiar.
"Yah, bener yang ini orangnya?" tanya Syafa dengan terbata-bata.
Tubuhnya dingin.
"Benar, ganteng, kan? anak ini udah mapan, pinter, Ayah yakin kamu nggak akan nolak. dia juga udah liat foto kamu."
"Eh—ya ganteng tapi ..."
Arya binggung dengan gelagat aneh putrinya. Wanita itu tampak panik dan salah tingkah, sesekali mulutnya tampak bergumam tak jelas.
"Kamu kenapa, nak?"
Syafa menatap Ayahnya dengan mata berkaca-kaca.
"Ayah ... ini dosennya Syafa," ucapnya dengan suara gemetar, ia merangkul tangan Arya.
...
...
Syafa maupun Arya kembali duduk, mereka berhadapan satu sama lain. Keduanya tampak berpikir.
"Ayah rasa gapapa, nak. lebih bagus toh, kalau kalian dekat. bisa ketemu terus nanti akrab, kamu juga berada di dalam pantauan suami kamu," ucap Arya membuka suara.
Syafa binggung karena tau yang akan ia nikahi adalah dosennya, bolehkah ia senang? Atau malah takut dan gelisah?
"Tapii ... Syafa malu."
Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
"Kenapa malu? dia nggak cacat dan dia sempurna di mata Ayah," balas Arya.
Ayah gak paham banget ...
Syafa menghela nafas.
"Bukan malu gitu Ayah ...."
"Terus gimana? Ayahnya mana paham, nak," ucap Arya.
"Malunya Syafa itu, karena Syafa udah tau bakal nikah sama dia, besok dan hari-hari berikutnya ketemu terus di kampus, apalagi kalau dia ngajar. rasanya canggung dan campur aduk, Ayah. mau taruh dimana muka Syafa"
"Kamu salah tingkah begitu, kan? Ayah ngerti kok, Ayah juga pernah muda," balas Arya.
"Satu hal lagi, Ayah tau nggak? Waktu itu juga rumornya dia udah nikah, ada yang nambahin juga kalau dia punya anak satu, malah ada gosip juga dia pacaran sama mahasiswi di kampus, banyak banget deh, sampai yang parah juga ada."
Syafa memberi penjelasannya.
"Sempet rame juga."
Kagetnya Arya berlanjut, kenapa bisa muncul berita yang tidak benar dikalangan orang-orang terdidik.
"Loh? aneh-aneh aja. anak sekarang kalo nyebar berita," ucapnya.
"Makanya itu huhu, entah siapa yang nyebar rumor, nanti kalo ketauan Syafa yang jadi istrinya pasti panjang banget, Syafa yakin! seratus persen, deh."
"Pasti mereka bakal kait-kaitkan Syafa sama rumor itu," ucap Syafa.
"Sebel banget!" eluhnya.
"Kamu tenang aja, nak. cuma rumor, lagian semuanya pasti berlalu, Kamu pernah percaya rumornya?" tanya Arya.
"Aku?"
Syafa salah tingkah, ia malu untuk mengakui kalo ia juga sempat percaya tentang rumor dan menceritakan pria itu habis-habisan bersama teman dekatnya di kampus.
"Pe—pernah, hehe. wajar dong, Yah. Syafa mahasiswi di sana, jadi sempet ke makan berita itu juga, Ayah tau dong anak perempuan gimana, hehe," ucapnya sambil tertawa kecil.
"Tapi ... kamu nggak bicara yang aneh-aneh atau menambah 'bumbu' dalam cerita kan?"
Arya menyipitkan matanya menatap Syafa, Syafa yang merasa diintimidasi pun membela dirinya.
"Enggak, Syafa nggak mungkin gitu! kurang kerjaan aja, Ayah kan tau Syafa anak yang baik," ucapnya.
"Yaudah, jadi gimana? mau ditolak? Sayang, nak. yang seperti calon kamu ini, pasti banyak yang suka, banyak yang ngejar-ngejar, kamu nanti nyesel," ucap Arya meyakinkan anaknya.
Syafa mengigit bibir mungilnya.
Pilihan yang sulit ini.
Siapa yang tidak mau menikah dengan orang tampan dan populer? Kesempatan emas sekali bukan?
Syafa bisa unggul dari gadis lain, bahkan idola kampus tidak bisa mengalahkannya kalau sudah resmi jadi istri dosennya.
Entah apa yang akan terjadi, sepertinya ini bukan hal buruk. Seumur hidup dengan pria tampan, sepertinya Syafa sanggup.
Ia mulai berfantasi, hatinya bersorak gembira dan bahagia.
Serakah sedikit gak masalah kan?
Batinnya berkata sambil tersenyum licik.
"Syafa mau kok. seperti yang Syafa bilang sebelumnya, pilihan Ayah nggak mungkin salah, Syafa percaya sama Ayah."
"Alhamdulillah, senang rasanya ... Kamu tenang aja, biar Ayah yang atur semuanya. kamu cukup ngerawat diri, Ayah mau cari tutorial bagaimana cara merawat kecantikan kamu," ucapnya penuh semangat.
Pipi pria itu mengulas senyuman, ia tersenyum senang, Syafa tidak pernah melihat Arya sebahagia itu selama hidupnya.
Hatinya menghangat.
"Ayah, ada yang mau diomongin lagi sama Syafa?" tanyanya
Arya menggeleng.
"Nggak ada, hehe. kamu mau istirahat? jangan begadang, ya? anak Ayah yang cantik."
"Iya, Ayah. Syafa balik ke kamar, selamat malam Ayah, cintaku."
Syafa mendekat lalu mengecup kening Arya sebagai ucapan selamat malam.
"Selamat malam, makasih banyak ya cinta, Ayah sayang banget sama Syafa"
'Aku yang seharusnya berterima kasih, karena Ayah luar biasa banget.'
"Sama-sama Ayah, Syafa juga sayang banget dan berterima kasih sama Allah udah dikasih Ayah sebaik ini."
Sebuah pelukan hangat menjadi penutup perbincangan mereka malam ini.
Setelah kembali ke kamarnya, Syafa langsung membanting tubuhnya ke atas kasur. Kakinya bergerak tak bisa diam, Ia membenamkan wajahnya diantara bantal tidur. Syafa meluapkan kesenangan dihatinya yang tidak bisa ia tunjukkan di depan sang Ayah.
"Aaaaaa, ini mimpi nggak sih?" ucapnya tak percaya.
Syafa membalikkan tubuhnya, matanya menatap langit-langit kamar tidurnya. Tangan diangkat menutupi silau cahaya lampu, mata Syafa tertuju pada jari manisnya yang lentik.
Ia tersenyum tipis, pipinya memerah.
"Tangan ini, tangan yang nantinya di genggam sama dia, jari yang nantinya tersemat cincin pernikahan."
"Hahahaha, stress, aku stress!"
Syafa salah tingkah dan malu-malu membayangkan bagaimana masa depannya bersama dosennya, Ia menutup lagi wajahnya dengan bantal berbentuk donat yang ukurannya sebesar kepala manusia.
Bahkan jantungnya tidak bisa berbohong, detaknya semakin kencang saat Syafa mulai berhalusinasi, Syafa yakin ia sepertinya jatuh cinta dengan banyak alasan.
Aneh tapi itu yang ia rasakan.
"Besok ketemu nggak, ya?"
Syafa meraih ponselnya yang tergeletak disampingnya, ia ingin mengecek jadwal kuliahnya. Bukan untuk belajar, tetapi untuk melihat apakah ada jadwal bersama calon suaminya.
"Ah, sayang banget, kok bisa nggak ada kelas dia besok ..." keluhnya.
Ia meletakkan kembali ponsel ditangannya.
"Eh, kok aku jadi begini? tenang dong Syafa harus elegan, nggak boleh pecicilan, harus tetep jaga ke anggunan."
Syafa menghela nafasnya.
"Oke! Kalau besok nggak ketemu di kelas, aku bakal curi-curi pandang ke biro," ucapnya dengan wajah yakin.
Syafa Berdiri di depan gedung universitasnya, ia menarik nafas panjang lalu menghembuskan dengan perlahan, hembusan angin pagi membelai rambut hitamnya. Syafa suka cuaca hari ini, terasa sejuk dan menyegarkan. Ia melenggang kedalam kelasnya, wajahnya tersenyum sumringah.
"Semangat banget hari ini," gumamnya.
Suasana hatinya sedang dalam keadaan yang bagus, Syafa hari ini bersolek tipis dan menggunakan pakaian baru dilempari pakaiannya. Ia tidak sabar untuk melihat seseorang.
"Syafa!" seru Kio.
"Sayangku Kio, selamat pagi," balasnya.
Syafa merangkul pundak Kio, seseorang bersuara nyaring yang selalu menemaninya dari awal masuk kuliah. Kio itu lelaki yang tampan, hidungnya mancung dan kulitnya putih bersih, Namun sayang ia punya sifat kemayu, yang membuat jati dirinya sebagai lelaki yang gagah dan keren nampak hilang.
Apalagi kalau ia berbicara? Syafa yakin, gadis yang menyukainya akan kabur.
Terlepas dari sifat temannya itu, Syafa sangat bersyukur karena Kio orang yang baik, ia tidak perduli dengan orang-orang sekitar mereka yang sering meledeknya karena berteman dengan seorang 'banci', banyak sekali ucapan yang tidak mengenakkan hati keluar dari mulut mereka. Tapi baginya Kio itu yang terbaik, tidak ada yang seperti Kio, dia tidak munafik dan apa adanya.
Syafa ingat sebuah kejadian saat ia sedang datang bulan dan lupa membeli pembalut, Kio yang ada di dekatnya pun dengan sigap membantu, ia tidak malu untuk pergi membelikannya pembalut di minimarket. Banyak hari-hari yang menyenangkan dan tak pernah Syafa lakukan sebelumnya dan sekarang dapat ia rasakan saat bersama Kio.
"Aaaa, Kio aku hari ini seneng banget," ucap Syafa.
Kesabaran ini sangat di uji, aku bakal nyamperin dia haha.
batin Syafa.
"Duh—jangan terlalu nempel, badanmu bau ikan asin," eluh Kio sembari mendorong tubuh Syafa agar menjauh dan memberi jarak.
Syafa kesal? tentu tidak. Mulut Kio yang suka meledek dan ceplas-ceplos sudah kebal ditelinga Syafa, lagipula Kio itu hanya bercanda.
"Badanmu juga bau terasi," balas Syafa dengan wajah cemberutnya.
Kio berdecak, ia kembali duduk di bangkunya.
"Sini duduk dong kanjeng, nanti pendarahan berdiri terus, yang repot aku," ucap Kio.
Syafa terkekeh, ia mengambil tempat duduk bersebelahan dengan Kio. Hidupnya tidak berwarna kalau tidak didekat Kio.
"Makasih pelayan ku."
"Iya, kanjeng ratu. oh iya udah selesai belum tugasmu?" tanya Kio dengan nada kemayu.
Laki-laki itu memusatkan perhatian pada Syafa, tangan kirinya sebagai penyangga kepalanya.
Syafa pun menirukan suaranya.
"Waduh, tugas yang mana wahai pelayanku, aku nggak inget?"
Kio melotot.
"Eh—yang bener, setan! kamu jangan main-main ya, syopo jarwo."
Tuh kan, cepat banget marahnya haha.
Syafa tertawa geli, bibir Kio yang bergerak ke kanan dan kiri, cemberut. Laki-laki kemayu itu membuatnya geli terlebih caranya mempelesetkan nama Syafa.
"Udah selesai Kio, Lagian hari gini seorang Syafa belum selesai tugas? huh! apa kata Dhani," ucap Syafa.
Sebuah sentilan mendarat di kening Syafa.
"Akh, sakit tau!" bentaknya.
"Kata Dunia, bukan Dhani, Dhani siapa sih? bapakmu?" ucapnya.
Syafa menyengir.
Kelas dimulai pagi itu, semuanya berjalan lancar. Syafa juga bisa memahami materi yang disampaikan Dosen dengan baik, meskipun Kio terus mengajaknya mengobrol, Kio itu tidak ada takutnya.
Sekarang jarum jam di tangan Syafa menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga belas, jam untuk makan siang, mengisi amunisi setelah melewati dua SKS , Syafa butuh memulihkan diri untuk satu SKS selanjutnya.
Hari ini Syafa mendapatkan mata kuliah tiga SKS saja.
"Kio ... laperr," rengeknya.
"Duh, sapi ku udah kelaparan, bentar, ya," ucap Kio.
Laki-laki itu merapikan bukunya, ia juga merasa cacing diperutnya sudah berdemo minta diberi makan.
"Ayo, makan," seru Kio.
"Yeayy makan," girangnya.
Syafa menggandeng tangan Kio dengan manja, entah bagaimana pandangan orang saat melihatnya. Tapi Syafa sangat nyaman, karena Kio itu bukan seperti lelaki yang biasa, Kio seperti teman perempuannya.
"Kio," panggilnya.
"Apa?"
"Bayarin, ya?"
"Gak punya uang receh, maaf ya," ucap Kio.
Syafa menepuk lengan Kio.
"Kita makan apa ini?" tanya Kio.
"Bakso aja," ucap Syafa.
Syafa melihat sekeliling, mereka akan melewati gedung biro. Syafa Penasaran apa 'Pria' itu berada didalam sana? atau sedang makan siang di kantin juga?.
Matanya terus melihat kearah gedung biro, harap-harap bisa bertemu.
"Hei Syafa, kamu ngapain liat ruang biro?" Kio menghentikan langkahnya, ia ikut melihat ke arah gedung biro.
"Hah? kenapa Ki?"
"Liat apa sih? kamu nunggak UKT, ya? mau nyari keringanan biaya?"
"Astagfirullah, enggak, lah! aku cuma pengen liat aja, emang nggak boleh?" elak Syafa.
"Halah, biasanya lewat sini nggak pernah tuh kamu liat ke sana, curiga deh ... kamu mau jadi sugar baby salah satu dosen di dalam pasti," cibirnya.
"Ih sumpah ya Kio, mulut kamu tuh minta diikat."
"Udah, cepat jalan deh Kio, udah laper nih."
Syafa menarik tangan Kio, harapannya ingin berpapasan dengan dosennya itu sepertinya tidak berhasil hari ini, padahal Syafa yakin, pria itu bisa saja berada didalam ruangan biro, tapi di satu sisi ia juga binggung harus bersikap seperti apa kalau benar-benar bertemu.
"Bego, nanti aku jatuh, lecet, aku minta biaya visum," protes Kio.
"Diem jangan bawel, aku tariknya pelan, dasar lebay."
Syafa mempercepat langkah kakinya.
Lain kali aku lewat lagi, gak usah bawa Kio.
Sabar ya Syafa.
Sampai di kantin, mereka berdua segera makan siang karena waktu yang tak banyak. Syafa ternyata belum beruntung hari ini, karena tidak melihat dosennya itu sampai kembali ke kelas.
"Perasaan hari ini dia ada kelas, kenapa gak muncul ya tadi?" gumam Syafa.
"Siapa?" sambung Kio.
Syafa gelagapan, ia mengerjakan matanya.
"Ehm ... Bukan siapa-siapa," ucap Syafa.
Kio mencolek pipi chubby Syafa, temannya itu aneh sekali hari ini.
"Kamu kenapa sih? Udah mulai frustrasi kuliah?" tanya Kio.
"Aku? aku kenapa? nggak kenapa-kenapa tuh," ucap Syafa dengan wajah polos.
Kesabaran Kio itu setipis tissue dibagi lagi jadi tiga, bayangkan setipis apa itu.
"Jangan kayak orang bodoh gitu deh Syafa, kalo aku gak mikir kamu cewe udah aku tonjok, beneran," ancam Kio.
"Udah jelas-jelas kamu dari tadi liatin keluar kelas terus, ngedumel gak jelas, dan kayak orang yang kecarian, nyariin apa sih?"
Kio menatapnya dengan serius.
"Gak nyari siapa-siapa Ki, beneran, aku cuma gak mood, mungkin mau datang bulan."
Syafa masih mengelak, ia enggan untuk memberitahu Kio soal perjodohannya dengan pak dosen, karena Kio itu mulutnya jahil.
Pasti ia sangat berisik kalau tau Syafa akan menikah dengan dosennya sendiri.
Kio mendengus, ia makin tak bisa mempercayai ucapan Syafa.
"Jadi gitu ya, udah lama loh kita bareng, tapi kamu masih ragu sama aku, yaudah gapapa, aku paham, aku belum spesial banget buat kamu."
Kio mulai menggeser bangkunya, memberi jarak diantara mereka.
Ngambek nih, repot banget.
"Ih Kiooo kok gitu? siapa yang ragu sama kamu? nggak ada tau," bujuk Syafa.
"Jangan mikir yang enggak-enggak Ki, kamu itu lebih dari spesial, aku sehat aku nggak punya problem apa-apa. cuma kamu harus tau, nggak semua hal bisa diceritakan."
"Ada saatnya aku bakal cerita ke kamu kok," jelasnya.
"Bener nih?"
Syafa mengangguk sembari tersenyum manis.
"Bener lah, kapan aku bohong?"
"Sering sih," cibir Kio.
"Nyebelin!" kesal Syafa.
"Udah sini deketin lagi, ngapain duduk jauh-jauh," pinta Syafa.
Sabar ya Kio, aku bakal ceritain semua ke kamu, tapi gak sekarang, karena mulutmu ember, bisa bisa kalau ketemu dia kamu langsung godain, semoga kamu ngerti.
batin Syafa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!