NovelToon NovelToon

Tiba-Tiba Cinta

Part 1. Arumi Nasha Razeta

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh anak-anak ibu yang sholeh dan solehah"

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh bu guru"

"Sebelum kita memulai belajar di pagi hari ini, kita awali dengan berdoa terlebih dahulu ya anak-anak", ucap seorang guru di salah satu PAUD yang berada di kota Jogja.

"Iya bu guru", jawab anak-anak serentak.

"Bismillahirrahmanirrahim.. Alhamdulillahi rabbil 'alaamiin__________________"

Arumi Nasha Razeta. Seorang perempuan muda berusia 25 tahun. Sejak dulu Arum (panggilan Arumi) memang menyukai dunia anak-anak, oleh karenanya setelah lulus dari sekolah menengah atas, ia memilih untuk melanjutkan studi di Fakultas Ilmu Pendidikan, prodi Pendidikan Guru Anak Usia Dini (PG. Paud). Dan kini setelah meraih gelar S1 nya ia kemudian menjadi salah satu staf pengajar di salah satu PAUD yang ada di kota Jogja.

Meski hanya sebagai guru honorer, namun tidak menyurutkan semangat Arum untuk membagikan ilmu yang telah ia peroleh selama mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Karena bagaimanapun juga menurut Arum, ilmu yang berkah itu adalah ilmu yang bisa bermanfaat untuk orang lain.

Dan di sini, di tempat ia bekerja, merupakan ladang bagi Arum untuk bisa lebih bermanfaat bagi orang lain. Tentunya untuk anak-anak yang masih sangat polos dan menggemaskan yang belum banyak mengerti tentang kehidupan seperti anak-anak yang ada di depannya saat ini.

Setelah berdoa, Arum mengabsen murid-murid kecilnya. Kemudian dilanjutkan dengan belajar mewarnai.

Seorang anak laki-laki kecil, dengan postur tubuh yang sedikit tambun dan berambut sedikit ikal, nampak gelisah. "Bu guru?",

Sembari menghampiri anak laki-laki itu. "Ya Rafa sayang"

"Rafa pengen pipis bu", ucap anak kecil itu polos.

Arum tersenyum. "Mari sayang, ibu antar ke kamar mandi".

Sebelum meninggalkan ruang kelas, Arum menghampiri ibu paruh baya yang sedang duduk di kursi yang berada di pojok. "Ibu Ziah, saya mengantar Rafa ke kamar mandi dulu ya" ucap Arum. Ibu Ziah pun mengangguk.

Di sekolah tempat Arum bekerja, di setiap kelas memang diisi oleh dua orang guru pendamping. Mengingat yang menjadi murid mereka masih berusia kanak-kanak, maka diperlukan pengawasan ekstra, dan tidak mungkin jika hanya di handle oleh satu orang guru.

Seperti inilah pekerjaan Arum, di samping memiliki tanggung jawab mendidik anak-anak menjadi manusia cerdas dan berakhlak mulia, ia juga memiliki tanggung jawab untuk mendidik murid-muridnya menjadi manusia yang mandiri.

Dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, Arum menjalankan peran sebagai orang tua kedua untuk anak-anak didiknya. Dengan telaten, Arum mendampingi mereka, dari belajar hingga urusan-urusan di kamar mandi seperti ini.

Anak laki-laki kecil itu keluar dari dalam kamar mandi. Arum menyunggingkan senyumnya. "Sudah dibersihkan sayang?"

Anak laki-laki kecil itu hanya tersenyum malu sambil menundukkan wajahnya dan menggeleng. "R-Rafa lupa bu guru"

Arum menyetarakan tinggi badannya dengan anak kecil yang bernama Rafa itu. "Sayang, setelah pipis maupun pup, sebaiknya segera dibersihkan ya nak, biar tidak menjadi tempat yang disukai oleh setan"

Rafa memutar kedua bola matanya. "Memang setan menyukai tempat-tempat yang kotor ya bu guru?"

Arum mengangguk pelan dan tersenyum. "Maka dari itu, coba sekarang ibu guru ingin lihat, bagaimana Rafa membuat kamar mandi ini agar tidak menjadi tempat yang disukai oleh setan"

Rafa pun mengangguk dan kembali masuk kamar mandi. Tangan kecil itu mengambil gayung kemudian ia guyurkan di atas closet.

"Sudah bu guru!", seru Rafa.

Arum kembali tersenyum. "Nah pintar anak ibu, mulai sekarang jangan lupa setelah pipis ataupun pup harus_______?"

"Di siram, bu guru!", jawab Rafa mantap

"Ya sudah, ayo kita kembali ke kelas", ajak Arum.

***

Arum membuka kotak bekal makannya di saat jam istirahat. Di jam istirahat seperti ini, biasanya murid-murid kecilnya menyantap bekal makanan yang di bawakan oleh orang tua mereka dari rumah.

Sebelum menyantap bekal makanannya, Arum kembali berdiri di depan kelas. "Nah, anak-anak semua, sebelum kita makan, jangan lupa kita membaca doa terlebih dahulu ya"

"Iya bu guru, jawab mereka serentak.

Allahumma bariklana fiima razaqtana waqina adzabannar...

Pandangan Arum berhenti pada seorang gadis kecil dengan kerudung putih di kepalanya. Ia terlihat mencari-cari sesuatu di dalam tas nya. Tak lama setelah itu...

Hiks.. hiks.. hiks...

Arum yang melihat gadis kecil yang tiba-tiba menangis itu kemudian menghampirinya.

"Sayang, ada apa?", tanya Arumi sambil mengusap kepala gadis kecil itu.

"Ais tidak bawa bekal bu guru, hiks.. hiks... hiks.", jawab gadis kecil yang bernama Aisya itu sambil terisak.

Arum tersenyum. "Mari ikut ibu sayang"

Aisya memandang wajah Arum. "Mau ke mana bu guru?"

Aisya pun mengikuti langkah Arum. Sampai di meja Arum, ia membuka kotak bekal makanannya, kemudian menyerahkannya kepada Aisya. "Nah, sekarang Aisya bisa makan ini"

Aisya terlihat malu-malu. "Ta-tapi bu guru bagaimana?"

Arum tersenyum sambil mengusap kepala Aisya. "Ibu masih kenyang sayang. Ayo sekarang di makan"

Aisya pun mengangguk gembira. Ia terlihat begitu lahap menikmati makanan yang dibawa oleh Arum. Arum hanya memperhatikannya dengan gemas.

"Waahh masakan ibu guru enak sekali", puji Aisya sambil melahap jagung manis yang ada di kotak bekal makan itu.

Arum tersenyum. "Aisya suka?"

Aisya mengangguk dengan mantap. "Suka sekali bu guru"

Arum kembali mengusap kepala Aisya. "Ya sudah, kalau suka segera di habiskan ya sayang". Aisya pun mengangguk.

***

Jarum jam menunjukkan pukul sebelas siang. Lima belas menit yang lalu aktivitas di kelas Arum berakhir. Dan kini ruang kelas Arum pun sudah terlihat sepi. Arum membereskan barang-barang bawaannya.

"Ibu Ziah, saya pamit pulang dulu ya bu", ucap Arum berpamitan kepada bu Ziah yang merupakan partner di kelasnya.

Ibu Ziah tersenyum ramah. "Oh iya silakan mbak Arum, terima kasih untuk hari ini ya, hati-hati di jalan, semoga sampai di rumah dengan selamat"

Arum membalas senyuman ibu Ziah. "Iya bu, terima kasih banyak. Saya pamit ya bu, assalamualaikum"

"Wa'alaikumsalam", jawab ibu Ziah.

Arum melangkahkan kakinya ke luar ruang kelas. Tiba-tiba ia melihat Aisya masih duduk di bangku yang terbuat dari beton yang ada di area taman bermain. Arum menghampiri Aisya.

"Sayang, kok masih ada di sini?", tanya Arum

"Papa belum jemput bu guru", jawab Aisya.

Arum mengangguk. Ia merasa khawatir jika meninggalkan Aisya sendirian di tempat ini. Arum mengulas senyum. "Ibu temani ya nak"

Aisya tersenyum gembira. "Iya bu guru, Aisya seneng sekali kalau bisa di temani bu guru"

Tiba-tiba Aisya memeluk tubuh Arum. Arum pun terkejut. Ia kemudian mengusap belakang kepala Aisya yang masih berbalut hijab itu dengan lembut.

"Kalau saja Aisya punya mama secantik dan sebaik ibu guru, Aisya pasti senang sekali", ucap Aisya tiba-tiba.

Arum makin terkejut. Ia memang tidak banyak tahu tentang kehidupan anak-anak didiknya. Tapi dari kata-kata yang di ucapkan oleh Aisya ia bisa menyimpulkan bahwa ia tidak hidup bersama mamanya.

Tak lama kemudian sebuah mobil sedan berwarna hitam mengkilap berhenti di depan pintu gerbang sekolah. Setelah itu keluarlah seorang laki-laki berumur sekitar 30 tahun dengan kemeja berwarna navy, celana warna hitam dan dengan sepatu loafers yang membungkus kakinya.

"Papa!!", teriak Aisya saat melihat laki-laki itu masuk ke halaman sekolah.

Laki-laki itu tersenyum kemudian mendekati Aisya yang masih ada di samping Arum. "Maafkan papa ya sayang, papa terlambat"

Aisya sedikit memanyunkan bibirnya. "Untung ada bu guru cantik yang nemenin Ais, kalau tidak, Ais bakal sendirian nungguin papa"

Lelaki itu kemudian mengarahkan pandangannya ke arah Arum. "Maafkan saya ya bu, saya sudah merepotkan anda"

Arum tersenyum. "Tidak apa-apa pak, saya kebetulan juga belum pulang jadi masih bisa menemani Ais"

Lelaki itu memperhatikan dengan seksama wanita yang merupakan guru anaknya itu. Senyum tipis tersungging di bibirnya.

"Oh iya nama saya Afif bu", ucap lelaki itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya ke arah Arum.

"Saya Arum pak", jawab Arum sambil membalas jabatan tangan Afif.

Lenggang suasana yang tercipta. Hanya hembusan angin yang terdengar di sekitar mereka.

"Papa ayo pulang, Ais udah ngantuk", ucap Aisya memecah keheningan.

Afif pun tersadar. "Kalau begitu saya pamit undur diri ya bu, sekali lagi terima kasih banyak sudah menemani Ais, assalamualaikum"

Arum tersenyum. "Sama-sama pak. Wa'alaikumsalam"

Afif dan Aisya pun meninggalkan halaman sekolah itu kemudian terlihat mobil sedan itu pun melaju perlahan hingga tak nampak lagi di pandangan Arum. Arum menuju tempat parkir kemudian mengendarai skuter matic nya meninggalkan PAUD Yaa Bunayya ini.

.

.

. bersambung...

Hai-hai para pembaca tersayang.. terima kasih banyak ya sudah mampir ke novel keduaku ini. Jangan lupa untuk selalu meninggalkan jejak like juga komentar di setiap episodenya yaahh... terima kasih...

Salam love, love, love💗💗💗

Part 2. Arsyad Dzaki Mahendra

Semarang...

Seorang laki-laki terlihat sedang menjatuhkan bobot tubuhnya di sebuah kursi di ruang kerjanya. Rambutnya sedikit berantakan dan bajunya juga terlihat kusut menandakan ia sudah bekerja keras untuk hari ini. Ia membuang sedikit penat yang menyerangnya dengan memejamkan mata.

Arsyad Dzaki Mahendra, seorang laki-laki tampan berusia 28 tahun. Seorang pebisnis muda yang bergerak di bidang properti. Keuletan juga kegigihannya dalam bekerja, berhasil membuat ia masuk ke dalam jajaran pebisnis muda sukses di kota Semarang.

Tok.. tok... tok...

Suara ketukan pintu itupun sontak membuat mata laki-laki yang bernama Arsyad itu terbuka. Ia membenahi posisi duduknya dan sedikit merapikan rambutnya.

Arsyad menarik nafas dalam. "Iya silakan masuk!".

Tak lama, seorang lelaki paruh baya masuk ke ruangan Arsyad kemudian menghampirinya.

"Maaf mas, apa sudah siap untuk kepindahan ke Jogja?", tanya lelaki paruh baya itu.

"Apa tidak bisa di undur pak, lusa atau satu minggu lagi gitu?", tanya Arsyad sedikit risau.

Laki-laki paruh baya itu mengulas senyum. "Tidak bisa mas, karena proyek yang ada di Jogja harus segera di jalankan, dan itu membutuhkan mas Arsyad untuk berada di sana".

Arsyad menghembuskan nafas kasar. "Baiklah pak kalau begitu. Besok saya berangkat ke Jogja".

"Untuk tempat tinggal, kami sudah menyiapkan sebuah rumah kecil yang bisa mas tinggali di sana", ucap lelaki paruh baya itu.

Arsyad memijit kepalanya yang sedikit pusing. "Tidak perlu pak, rencananya saya dan keluarga saya malah mau sekalian pindah ke Jogja semua, di sana ada rumah kakak saya, jadi saya akan tinggal di sana juga".

Lelaki paruh baya itu tersenyum simpul. "Kunci ini silakan mas pegang, barangkali suatu saat mas Arsyad membutuhkan"

Ia menyerahkan sebuah kunci rumah kepada Arsyad. Arsyad terlihat berpikir sejenak, pada akhirnya, Arsyad menerima kunci itu.

"Baiklah pak, terima kasih banyak", ucap Arsyad.

Senyum simpul masih tersungging di bibir lelaki paruh baya itu. "Kalau begitu saya pamit pak. Semoga proyek di Jogja berjalan lancar di tangan mas Arsyad".

Arsyad mengangguk. "Aamiin, terima kasih untuk doanya ya pak".

Lelaki paruh baya itu mengangguk kemudian melenggang meninggalkan ruangan Arsyad. Setelahnya, Arsyad kembali menyandarkan punggungnya di kursi sambil menikmati jus jambu yang ada di hadapannya.

***

"Sayang kamu kok terlihat tidak begitu bersemangat sih mau pindah ke Jogja?", tanya ibu Risma kepada anak bungsunya itu sambil menyusun pakaian ke dalam koper.

Arsyad tidak menjawab pertanyaan sang ibu, dan malah sibuk dengan ponsel di tangannya.

Ibu Risma terlihat jengah. Ia kemudian melirik ke arah suaminya. "Pa, anak kamu itu kenapa gak biasanya dia diem kayak gitu?"

Yang di ajak bicara yang ternyata bernama pak Hendra itu hanya tersenyum. "Biasa lah ma, paling lagi dibikin galau sama pacarnya".

Ibu Risma kemudian mendekati anak bungsunya itu. "Sayang, kamu itu sebenernya kenapa?, cerita dong sama mama!"

Arsyad hanya tersenyum kecut. "Tidak apa-apa ma, mungkin capek aja, karena beberapa hari ini kerjaan menumpuk".

Ibu Risma memindai ekspresi wajah Arsyad dan benar saja, ia terlihat sedikit pucat. "Apa kita batalkan saja berangkatnya, sayang?"

Arsyad menggeleng. "Tidak perlu ma, kita berangkat besok tidak apa-apa".

Pak Hendra pun turut mendekati anaknya. "Besok biar papa yang nyetir Syad!".

Arsyad mengangguk. Ia kembali menyusun beberapa berkas masuk ke dalam sebuah tas. Setelah itu ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan memejamkan matanya. Sedangkan ibu Risma dan pak Hendra terlihat keluar dari kamar Arsyad.

"Pa, papa yakin tidak terjadi sesuatu sama Arsyad? Dia terlihat beda sekali loh pa, seperti memikul beban pikiran gitu", tanya ibu Risma.

Pak Hendra hanya mengendikkan pundaknya. "Papa juga tidak begitu paham ma, tahu sendiri kan Arsyad itu orangnya tertutup".

Ibu Risma terlihat bersungut-sungut. "Iya juga sih pa, tapi apa Arsyad masih berhubungan sama pacarnya itu, emmmm siapa namanya? Linda ya?"

"Papa juga tidak paham ma. Sudahlah ayo kita tidur. Besok kita akan melakukan perjalanan jauh loh", ucap pak Hendra mengingatkan.

"Iya ya pa. Waaahhh jadi makin tidak sabar sebentar lagi kita akan berkumpul dengan Afif juga Aisya pa", ucap ibu Risma berbinar. Pak Hendra pun juga terlihat sedikit mengulas senyum.

***

Arsyad mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia mencoba untuk terlelap namun matanya seolah tidak mau dipejamkan. Ia kemudian beranjak, dan memilih berdiri di depan jendela kamarnya. Ia memandangi suasana sekitar rumahnya di balik jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Ia menarik nafas dalam, mengingat kejadian yang tiga hari yang lalu terjadi padanya.

Flashback on..

Tiga hari yang lalu, saat Arsyad sedang mengawasi proyek yang ia kerjakan, seorang wanita dengan mengenakan dress selutut, high heels, dan rambutnya yang tergerai terlihat menghampirinya.

Arsyad terkejut, tidak biasanya sang kekasih menemuinya di saat jam kerja seperti ini. Arsyad meninggalkan pekerjaannya sejenak, kemudian menemui wanita itu.

"Sayang, kok tumben kamu nyusul aku ke sini?", tanya Arsyad.

"Aku perlu bicara Syad", jawab wanita itu.

Arsyad tersenyum. "Ada apa sih sayang, kamu kangen ya. Kalau kangen kita kan bisa ke________"

"Aku mau kita putus Syad!!", timpal wanita itu memotong ucapan Arsyad.

Arsyad tersentak. "Ma-maksud kamu apa sayang?",

Wanita itu hanya menyunggingkan senyum masamnya. "Aku masih ingin mengejar mimpi-mimpiku untuk menjadi seorang model terkenal, Syad.

"Lalu?", tanya Arsyad.

Wanita itu menghela nafas dalam. "Aku rasa jika saat ini aku menikah denganmu, aku tidak bisa mewujudkan mimpiku itu".

Arsyad menunduk lemas. Ia tidak percaya jika mimpinya untuk menikahi sang kekasih, kini kandas di tengah jalan. Sebuah acara lamaran dan pernikahan yang sudah ia rencanakan dari beberapa bulan yang lalu, akhirnya gagal total.

Padahal ia sudah merencanakan semuanya dengan matang dan sempurna. Berharap sang kekasih akan berbahagia dengan semua usahanya yang dipersiapkannya secara diam-diam, namun ternyata pupus semuanya.

"Tapi kamu bisa tetap jadi model meski kita sudah menikah Lin, aku sama sekali tidak akan pernah mengganggu profesi mu", ucap Arsyad mencoba bernegosiasi.

Wanita yang bernama Linda itu seketika menggeleng. "Tidak bisa Syad, aku tidak mau jika pernikahan kita justru membebani langkahku untuk mengejar karier ku".

Arsyad tidak bisa berkata apa-apa lagi. Lidahnya terasa kelu. Sekuat apapun ia mencoba menahan wanita yang ada di hadapannya ini, akan percuma karena ia merupakan seorang wanita yang teguh dalam pilihannya apalagi itu menyangkut mimpi dan karier nya.

"Besok aku akan pergi ke Jakarta, dan di sanalah aku akan mengawali mimpi-mimpiku Syad", sambung Linda pula.

Arsyad hanya tersenyum getir. "Baiklah jika memang itu yang menjadi keputusan juga pilihanmu Lin. Aku doakan semoga mimpi-mimpimu dapat segera terwujud".

"Terima kasih Syad", jawab Linda sembari melenggang pergi meninggalkan Arsyad.

Arsyad hanya bisa memandang punggung kekasihnya itu dengan tatapan nanar. Dadanya terasa sesak, mimpi-mimpi yang sempat ia bangun saat berpacaran dengan Linda kini seolah terbang melayang terhempas angin. Sejenak ia terdiam, terpaku melihat kepergian sang kekasih yang semakin lama hilang dari pandangannya.

"Mas Arsyad!", panggil pak Budi yang merupakan atasannya sambil menepuk bahu Arsyad.

Arsyad terkejut dan seketika lamunannya buyar. "Iya pak, ada yang bisa saya bantu?".

Pak Budi menyunggingkan senyumnya. "Mas Arsyad siap-siap ke Jogja ya, mas akan saya tugaskan untuk mengawasi proyek kita yang ada di Jogja"

Arsyad membelalakkan matanya. "Saya pak?", tanyanya tidak percaya.

"Iya mas, keputusan kami sudah final. Mas Arsyad lah yang akan mengambil alih proyek yang ada di Jogja" jelas pak Budi.

"A-apa tidak ada yang lain, pak?", tanyanya pula.

Pak Budi menggeleng. "Tidak mas, kami sudah sangat yakin, jika proyek di Jogja akan sukses besar di tangan mas Arsyad".

"T-tapi pak____"

Pak Budi tersenyum tipis. "Tidak ada tapi-tapian mas. Mas Arsyad harus segera pindah ke Jogja, untuk menjalankan proyek ini".

Arsyad hanya mengangguk pasrah dan tersenyum simpul. "Baik pak, saya akan menjalankan amanah ini dengan baik".

Flashback off

Arsyad terbangun dari lamunan panjangnya. Ia kembali menghembuskan nafas kasar berupaya mengatasi gejolak yang ada di dalam dadanya.

Mungkin memang benar aku harus meninggalkan kota ini. Tentunya untuk mengubur dalam- dalam kenangan yang pernah tercipta antara aku bersama Linda.

.

.

. bersambung....

Hai- hai para pembaca tersayang. Terima kasih banyak ya sudah berkenan mampir ke novel keduaku ini. Jangan lupa untuk selalu meninggalkan jejak like juga komentar kalian semua di setiap episodenya ya... terima kasih..

Salam love, love, love💗💗💗

Part 3. Jogjakarta

Arum memasukkan skuter matic nya ke dalam garasi. Ia melepas helm merk b**o nya kemudian masuk ke dapur melalui pintu yang langsung menghubungkannya dengan garasi.

Arum melihat ibunya sedang sibuk memasak di dapur. Kemudian ia menepuk pundak ibunya dari belakang. "Assalamu'alaikum ma",

Ibu Arum yang bernama Anita itupun terperanjat. "Astaghfirullah Arumm!!"

Arum meringis melihat ibunya terkejut. "Wa'alaikumsalam sayang", jawab ibu Anita yang tadi belum sempat menjawab salam dari anaknya.

"Kok sepi sih ma, papa sama kak Haki kemana?", tanya Arum sambil duduk di kursi makan sambil meneguk segelas air putih.

Ibu Anita mematikan kompornya kemudian duduk bersisihan dengan Arum. "Papamu di tempat biasa, sedangkan kakakmu lagi keluar sama teman-temannya"

"Papa ada di ruang kerjanya ya ma?", tanya Arum sambil mengupas buah apel di tangannya.

Ibu Anita sedikit menyibikkan bibirnya. "Ruang kerja apa sih sayang, mana pernah papamu punya ruang kerja. Itu bukan ruang kerja tapi kandang"

Arum terkekeh. "Jangan menganggap remeh ma, nyatanya burung-burung peliharaan papa itu menghasilkan banyak uang kan?"

Ibu Anita ikut terkekeh. "Hehehe iya juga ya sayang. Karena hobi papamu pelihara burung bisa untuk biaya kuliah kamu sama kakakmu"

Arum mengangguk. "Nah betul itu ma".

"Gimana tadi di sekolah sayang?".

Mata Arum berbinar. Entah mengapa hanya dengan mengingat wajah polos murid-murid kecilnya, menjadi energi positif dalam dirinya. "Arum seneng ma, mereka lucu-lucu juga menggemaskan".

Ibu Anita terkekeh. "Pasti sangat kerepotan ya sayang, mendampingi anak-anak seusia mereka?"

Arum menggeleng. "Arum menikmati pekerjaan Arum ini ma, sehingga tidak membuat Arum merasa terbebani".

Ibu Anita mengusap kepala Arum yang masih terbalut hijab itu. "Syukurlah kalau kamu menikmatinya, sayang".

Arum mengangguk. "Ma, Arum masuk ke kamar dulu ya, badan Arum sedikit capek",

Ibu Anita mengangguk. Arum beranjak dari duduknya kemudian melenggang meninggalkan mama nya. Saat sampai di ruang tengah, Arum melihat sang papa sedang menonton TV di sana.

"Papa!", sapa Arum sambil menghampiri papanya yang sedang duduk di sofa ruang tengah.

"Ya sayang, baru pulang?", tanya pak Herman.

"Iya pa, loh papa katanya lagi ngurusin burung-burung papa?", tanya Arum.

Pak Herman hanya tersenyum kecil. "Sudah selesai sayang, sekarang giliran ngurusin putri papa ini", jawab pak Herman sambil mencubit hidung Arum.

Arum pun mencibir. "Iihhhhh papa, Arum ini sudah besar, jangan seperti itu dong"

Pak Herman terkekeh. "Meski kamu merasa sudah besar tapi kamu tetap putri kecil papa sama mama, sayang"

Arum memeluk tubuh papanya. Ia selalu merasa nyaman jika memeluk tubuh lelaki paruh baya itu. "Hehehe terima kasih, pa"

Pak Herman mengangguk. "Iya sayang. Terus kapan kamu mau ngenalin calon mantu di hadapan papa?

Mata Arum terbelalak kemudian melepaskan pelukan dari tubuh papanya. "Apaan sih pa, kak Haki aja belum nikah, masak Arum mau nglangkahi?, Lagipula Arum juga belum punya pacar pa"

"Kalian itu sama saja, umur sudah mau kepala tiga masih saja betah sendiri, sibuk sama urusannya masing-masing. Papa juga pengen cepet-cepet menimang cucu, tau?", ucap pak Herman.

Ibu Anita yang kebetulan lewat di ruang keluarga tiba-tiba menghampiri anak dan juga suaminya itu.

"Loh katanya mau istirahat, kok malah di sini sayang?"

"Ini nih ma, papa tiba-tiba nanyain calon menantu", jawab Arum.

Ibu Anita terkekeh. "Makannya cepetan cari suami sayang, mama juga pengen cepet-cepet menimang cucu"

Arum membelalakkan matanya kemudian berdiri. "Iihhhh mama sama papa sama aja, dikiranya nyari jodoh itu kayak nyari tukang cilor apa?"

Pak Herman dan ibu Anita hanya terbahak melihat wajah putrinya yang sedikit kesal. Meski di tempat kerja Arum menjadi sosok seorang yang dewasa tapi di rumah ia tetap menjadi seorang anak perempuan yang selalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya.

Arum beranjak. "Sudah ah, mending Arum meluk guling saja, biar tidak ditanyain calon mantu terus-terusan".

Tawa kedua orang tua Arum semakin menggema melihat sang anak merajuk seperti itu. Dan mereka pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

****

"Oma, opa!!!!!", teriak Aisya ketika melihat oma juga opa nya keluar dari mobil.

Ibu Risma dan pak Hendra menghampiri cucu mereka sambil memeluk Aisya secara bergantian.

"Gimana kabar kamu sayang?", tanya ibu Risma sambil mengusap kepala cucunya.

"Ais baik oma. Om Arsyad di mana oma?", tanya Ais.

Ibu Risma tersenyum sambil membelai rambut Ais. "Itu masih ada di luar, sayang".

Pandangan Ais tertuju ke sebuah mobil yang ada di depan rumahnya. Kemudian ia berlari kecil menghampiri seorang laki-laki yang tengah keluar dari dalam mobil sambil mengeluarkan koper dari bagasinya.

"Om Arsyaaddd!!", teriak Ais sambil menghambur ke gendongan Arsyad.

Arsyad mengangkat tubuh mungil Ais. Kemudian mencium pipinya yang sedikit chuby. "Hai sayang, gimana kabar kamu?"

Ais terlihat menggelayut manja di gendongan Arsyad. "Ais baik om. Om Arsyad tinggal di sini bareng opa sama oma juga kan?"

Arsyad tersenyum gemas. "Iya sayang, om Arsyad akan tinggal di sini nemenin Ais. Ais kelas berapa sekarang?"

Ais terlihat memutar bola matanya. "Kelas?, Ais masih playgroup om"

Arsyad terkekeh. "Om kira udah kelas 2, udah besar sih!! "

Bibir Ais mengerucut, ia mengalungkan tangannya ke leher Arsyad seperti seorang anak yang sudah lama tak bertemu dengan ayahnya. Kemudian mereka masuk menyusul ibu Risma dan pak Hendra yang masih ada di ruang tamu. Sedangkan koper yang tadi ia keluarkan dari bagasi di bawa oleh bik Inah dan pak Marno yang merupakan asisten rumah tangga dan sopir di rumah itu.

Tak lama kemudian terlihat Afif menuruni anak tangga. Ia kemudian menghambur ke pelukan ayah juga ibunya.

"Perjalanannya lancar pa?", tanya Afif.

Pak Hendra mengangguk. "Lancar Fif, Semarang-Jogja tidak terlalu padat lalu lintasnya jadi bisa cepet juga sampai sini"

Pandangannya kemudian tertuju kepada adiknya yang saat ini sedang menggendong Ais. "Kamu apa kabar Syad?, tahun ini jadi nikah?"

Arsyad hanya memutar kedua bola matanya dengan malas. "Udah deh kak, gak usah dibahas lagi".

Ibu Risma dan pak Hendra saling melirik, mencoba mencari tahu apa yang tengah terjadi dalam diri anak bungsunya itu.

Sedangkan Afif hanya terkekeh kecil. "Arsyad batal nikah ma, pa. Dia baru saja diputusin Linda".

Ibu Risma dan pak Hendra hanya terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya. Akhirnya mereka tau kenapa sejak kemarin putra bungsunya itu terlihat murung.

Ibu Risma tersenyum kecil. "Syukurlah kalau begitu, dari dulu mama juga gak sreg sama pacar kamu itu sayang. Kayak gak dapet feel gitu. Ya kan pa?!"

Ibu Risma menyikut lengan suaminya, memberi isyarat agar ia setuju dengan ucapannya. Pak Hendra tersentak. "Eh iya, papa juga kurang sreg sama pacar kamu itu Syad".

Arsyad hanya bisa menghembuskan nafas kasar. Tidak ia sangka kalau keluarganya malah membahas Linda. Padahal saat ini, ia benar-benar ingin terlepas dari segala sesuatu yang ada hubungannya dengan Linda.

"Om Arsyad nanti tidur sama Ais ya?", ucap Ais sambil memegang pipi Arsyad.

"Oh jadi sudah tidak mau ditemenin sama papa nih?", timpal Afif yang sedari tadi melihat putri kecilnya itu begitu manja di gendongan Arsyad.

Ais menggeleng. "Ais bosan tidur sama papa, habisnya papa kalau tidur ngorok sih, Ais kan jadi gak bisa tidur"

"Hahaha sampai anak kamu sendiri saja tidak mau tidur sama kamu kak, lihatlah pesonaku jauh lebih menawan kan daripada kamu?", timpal Arsyad dengan nada sedikit bangga.

Afif tersentak mendengar celotehan putri kecilnya itu. Sedangkan yang lainnya terdengar tertawa terbahak. Dan akhirnya di kota Jogja, keluarga besar pak Hendra kembali berkumpul menjadi satu. Setelah beberapa waktu sempat berjauhan.

.

.

.

. bersambung

Hai-hai para pembaca tersayang. Terima kasih banyak ya sudah berkenan mampir ke novel keduaku ini. Jangan lupa untuk selalu meninggalkan jejak like juga komentar kalian di setiap episodenya yah... terima kasih..

Salam love, love, love💗💗💗

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!